(Oleh Ibnu ‘Abidin As-Soronji)
Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosulullah adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi s.a.w dan mendapatkan keridhoan dari Allah s.w.t. Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w
.السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ (رواه أحمد)
“Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhaan bagi Rabb”. [Hadits shahih riwayat Ahmad, Irwaul Ghalil no 66). [Syarhul Mumti’ 1/120 dan Taisir ‘Alam 1/62]
Oleh karena itu Rasulullah s.a.w begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda,
.لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلى
َ أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Irwaul Ghalil no 70]
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَّلاَةٍ
“Kalau bukan karena akan memberatkanumatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan solat”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Irwaul Ghalil no 70]
Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan solat, beliau berkata: “Rahsianya yaitu bahawasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita sentiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”.
Dikatakan bahawa perkara ini (bersiwak ketika akan solat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shan’ani: “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahawasanya rahsianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dgn hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir r.a.
:مَنْ أَكَلَ الثَّوْمَ أَوِ الْبَصَالَ أَوِ الْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
لأَنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ بَنُوْ آدَمَ“
Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam terganggu dengannya” [Taisir ‘Alam 1/63]
Dan ternyata Rasulullah S.a.w tidak hanya bersiwak ketika akan solat saja, bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan. Diantaranya ketika dia masuk kedalam rumah…
رَوَى شُرَيْحٌ بْنُ هَانِئِ قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
بِأَيِّ شَيِءٍ يَبْدَأُ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ بَيِتَهُ ؟ قَالَتْ : بِالسِّوَاكِ
(رواه مسلم)
Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata : “Aku bertanya kepada ‘Aisyah : “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Nabi S.a.w jika dia memasuki rumahnya ?”
Beliau menjawab: “Bersiwak”. [Hadits riwayat Muslim, Irwaul Ghalil no 72]
Atau ketika bangun malam
عَن
ْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا
قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوْسُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ“
Dari Huzaifah ibnul Yaman r.a, dia berkata: “Adalah Rasulullah jika bangun dari malam dia mencuci dan menggosok mulutnya dengan siwak”. [Hadits riwayat Bukhari]
Bahkan dalam setiap keadaan pun boleh bagi kita untuk bersiwak. Sesuai dengan hadits di atas
(السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ).
Dalam hadits ini Rasulullah S.a.w memutlakkannya dan tidak mengkhususkannya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu siwak boleh dilakukan setiap waktu (Syarhul mumti’ 1/120, Fiqhul Islami wa Adillatuhu 1/300), sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor [Syarhul Mumti’ 1/125].
Rasulullah S.a.w sangat bersemangat ketika bersiwak, sehingga sampai keluar bunyi dari mulut beliau seakan-akan beliau muntah.
عَنْ أَبِي مُوْسَى اَلأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ
وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ قَالَ وَطَرْفُ السِّوَاكِ عَلَى لِسَانِهِ وَهُوَ
بَقُوْلُ أُعْ أُعْ وَالسِّوَاكُ فِيْ فِيْهِ كَأَنَّهُ يَتَهَوَّعُ“
Dari Abu Musa Al-Asy’ari r.a berkata : “Aku mendatangi Nabi s.a.w dan dia sedang bersiwak dengan siwak yang basah. Dan ujung siwak pada lidahnya dan dia sambil berkata “Uh-uh”. Dan siwak berada pada mulutnya seakan-akan beliau muntah”. [Hadits riwayat Bukhori dan Muslim]
Dan yang lebih menunjukan akan besarnya perhatian beliau dengan siwak yaitu bahawasanya diakhir hayat beliau, beliau masih menyempatkan diri untuk bersiwak sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah
:عَنْ عَائِشَة
َ قَالَتْ : دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِيْقِ عَنْهُ عَلَى
النَّبِيِّ وَ أَنَا مُسْنِدَتُهُ إلَى صَدْرِي – وَمَعَعَبْدِ الرَّحْمنِ سِوَاكٌ
رَطْبٌ يَسْتَنُّ بِهِ – فَأَبَدَّهُ رَسُوْلُ اللهِ بَصَرَهُ، فَأَخَذْتُ السِّوَاكَ
فَقَضِمْتُهُ وَطَيَّبْتُهُ، ثُمَّ دَفَعْتُهُ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَنَّ بِهِ، فَمَا رَأَيْتُ
رَسُوْلَ اللهِ اسْتَنَّ اسْتِنَانًا أَحْسَنَ مِنْهُ. فَمَا عَدَا أَنْ فَرَغَ
رَسُوْلُ اللهِ رَفَعَ يَدَهُ أَوْ إِصْبَعَهُ ثُمَّ قَالَ : (فِي الرَّفِيْقِ
الأَعْلَى) ثَلاَتًا، ثُمَّ قُضِيَ عَلَيْهِوَ فِي لَفْظٍ: فَرَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهِ،
وَ عَرَفْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ السِّوَاكَ فَقُلْتُ آخُذُهُ لَكَ ؟ فَأَشَرَ بِرَأْسِهِ :
أنْ نَعَمْ
“Dari ‘Aisyah r.ha berkata: Abdurrahman bin Abu Bakar As-Sidik r.a menemui Nabi dan Nabi bersandar di dadaku. Abdurrahman r.a membawa siwak yang basah yang dia gunakan untuk bersiwak. Dan Rasulullah memandang siwak tersebut (dengan pandangan yang lama). Maka aku pun lalu mengambil siwak itu dan menggigitnya (untuk dibersihkan) lalu aku membaguskannya kemudian aku berikan siwak tersebut kepada Rasulullah, maka beliaupun bersiwak dengannya. Dan tidaklah pernah aku melihat Rasulullah bersiwak yang lebih baik dari itu. Dan setelah Rasulullah selesai dari bersiwak dia pun mengangkat tangannya atau jarinya lalu berkata
:فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى
Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau wafat. Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata: “Aku melihat Rasulullah memandang siwak tersebut, maka akupun tahu bahawa beliau menyukainya, lalu aku berkata: ‘Aku ambilkan siwak tersebut untuk engkau?” Maka Rasulullah mengisyaratkan dengan kepalanya (mengangguk) yaitu tanda setuju”. [Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim]
Oleh karena itu berkata sebahagian ulama: “Telah sepakat para ulama bahawasanya bersiwak adalah sunnah muakkadah karena anjuran Rasulullah s.a.w dan kesentiasaan beliau melakukannya dan kecintaan beliau serta ajakan beliau kepada siwak tersebut.” [Fiqhul Islami wa Adillatuhu 1/300]
DEFINISI SIWAK
Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk bersiwak jika memenuhi persyaratannya, yaitu:
1). Harus lembut, sehingga batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan gigi.
2). Bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak. Seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak sehingga bisa mengotori mulut. [Syarhul Mumti’ 1/118]
BOLEHKAH BERSIWAK MENGGUNAKANSIKAT GIGI MODERN DAN PASTA GIGI?
Sebahagian ulama berpendapat tidaklah dikatakan bersiwak dengan sikat gigi adalah sunnah Nabi s.a.w karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Namun pendapat yang benar bahawasanya jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak maka boleh kita bersiwak dengan menggunakan sikat gigi biasa karena illah (sebab) disyariatkannya siwak adalah untuk membersihkan gigi. Bahkan Nabi s.a.w pernah besiwak dengan jarinya ketika berwudhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali r.a bahawasanya Nabi S.a.w
أدْخَلَ أضصْبِعَهُ عِنْد
َ الْوُضُوْءِ وَ حَرَّكَهَا“
Beliau memasukkan jarinya (ke dalam mulutnya) ketika berwudlu dan menggerak-gerakkannya”. [Hadits riwayat Ahmad dalam musnadnya 1/158].
Berkata Al-Hafizh dalam talkhis 1/70 setelah beliau membawakan hadits-hadits tentang siwak dengan jari yaitu dari hadits Anas r.a dan Aisyah dan selain keduanya: “Dan hadits yang paling shahih tentang siwak dengan jari adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Ali bin Abi Thalib r.a” [Syarhul Mumti’ 1/118-119]
Dan bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon adalah lebih baik dan lebih mengikuti sunnah Nabi s.a.w karena memiliki faedah yang banyak dan bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa kemana-mana. Namun anehnya banyak kaum muslimin yang merasa tidak senang jika melihat orang yang bersiwak dengan akar atau dahan pohon, padahal tidak diragukan lagi akan kesunnahannya.
Mereka memandang orang yang bersiwak dengan akar kayu dengan pandenganan sinis atau pandangan mengejek. Apakah mereka membenci sunnah yang sering dilakukan dan dicintai oleh Nabi s.a.w bahkan ketika akhir hayat beliau? Tidak cukup hanya dengan membenci, merekapun memberikan olok-olokan yang tidak layak sampai-sampai mereka mengatakan orang yang bersiwak adalah orang yang jorok.
CARA BRSIWAK
Hendaklah bersiwak dengan menggosokbahagian kanan gigi, setelah itu bahagian yang kiri. Hal ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah
.كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ
شَاْنِهِ كُلِّهِ“
Adalah menyenangkan Rasulullah untuk memulai dengan yang kanan ketika memakai sendal, menyisir rambut, ketika bersuci, dan dalam semua keadaan” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan siwak termasuk dari bersuci. Namun para ulama berselisih tentang mana yang lebih afdhal, apakah memegang siwak dengan menggunakantangan kanan atau dengan tangan kiri?.Sebahagian ulama berpendapat bahawa yang lebih afdhal adalah dengan tangan kanan. Karena bersiwak adalah sunnah Nabi s.a.w , dan sunnah adalah ketaatan kepada Allah S.w.t, dan ketaatan kepada Allah s.w.t tidak layak dilaksanakan dengan yang kiri.
Sebahagian ulama yang lain (diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) menganggap yang lebih afdhal adalah dengan tangan kiri. Karena bersiwak adalah termasuk membersihkan kotoran sebagaimana beristinja’ dan beristijmar. Oleh karena itu lebih baik menggunakan tangan kiri. Sebahagian ulama yang lainnya (yaitu sebahagian para ulama dari mazhab Maliki) memerinci.
Jika niat bersiwak untuk membersihkan kotoran maka yang lebih afdhal menggunakan tangan kiri, namun jika niatnya hanya sekedar melaksanakan sunnah (walaupun gigi dalam keadaan bersih) seperti bersiwak ketika wudlu atau ketika akan solat maka lebih baik menggunakan tangan kanan. Namun tentang masalah ini perkaranya luas (bebas) karena tidak adanya dalil yang jelas yang menunjukan akan hal ini. [Syarhul Mumti’ 1/126-12]
BOLEHKAH SESEORANG YANG BERPUASA BERSIWAK?
Tentang masalah ini juga terjadi khilaf diantara para ulama’. Makruh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah seseorang yang berpuasa bersiwak setelah waktu zawal (condongnya matahari) atau sejakmasuk waktu solat dhuhur hingga terbenam matahari. Dalil mereka.
1. Hadits Rasulullah S.a.w.
إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتِكُوْا بِالْغَدَاةِ وَلاَ تَسْتَكُوْا بِالْعَشِي
ِّ“Jika kalian berpuasa maka bersiwaklah ketika pagi hari dan janganlah kalian bersiwak ketika sore hari” (setelah zawal)”. [Hadits riwayat Daruqutni dari hadits Ali bin Abi Thalib, namun sanadnya dha’if lihat Irwaul Ghalil no 67]2. Hadits Rasulullah S.a.w.
لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِم
ِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسكِ“
Bau mulutnya orang yang berpuasa sungguh lebih baik di sisi Allah daripada bau misik”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim] Dan bau mulut tersebut biasanya tidaklah muncul kecuali pada sore hari. Dan bau tersebut muncul dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, maka tidak selayaknya untuk dihilangkan sebagaimana darahnya para syuhada’ tidak boleh dihilangkan sehingga mereka dikuburkan bersama darah-darah mereka dan tanpa dimandikan. Dan tidak dimakruhkan sama sekali secara mutlak menurut Malikiah dan Hanafiah seseorang yang berpuasa untuk bersiwak bila saja.
Dan ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Berkata Imam Syaukani:”Yang benar disunnahkan orang yang berpuasa untuk bersiwak sejak awal siang hingga akhirnya (dari semenjak pagi sampai terbenam matahari), dan inilah pendapat jumhur para imam”. [Fiqhul Islami 1/302]
Dalilnya yaitu :
1). Hadits-hadits yang menganjurkan untuk bersiwak itu bersifat umum baik bagi orang yang tidak berpuasa maupun yang berpuasa. Dan tidak ada satu dalilpun yang shahih yang mengkhususkan bahawa tidak dianjurkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah dhuhur. Sedangkan hadits Ali r.a yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni, hadits tersebut dhai’f maka tidak bisa dijadikan hujjah. Syaikh Al-Albani berkata mengomentari hadits Ali yang dha’if ini :”… Dan jika engkau telah mengetahui lemahnya hadits ini maka tidak ada hujjah padanya(hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah akan makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah zawal). Lagi pula hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang umum tentang disyari’atkannya siwak yang berlaku bagiorang yang berpuasa pada setiap waktu.Dan betapa baik apa yang telah diriwayatkan oleh At-Thabrani:
:عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ غَنِمٍ قَالَ : سَأَلْتُ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ :
آتَسَوَّكُ وَأَنَا صَائِمٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ, قُلْتُ : أَيُّ النَّهَارِ ؟ قَالَ :
غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً. قُلْتُ : إِنَّ النَّاسَ يَكْرَهُوْنَ عَشِيَّةً وَ يَقُوْلُوْنَ
إِنَّ رَسُلَ اللهِ قَالَ : لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ
رِيْحِ الْمِسكِ ؟ قَالَ : سُبْحَانَ اللهِ لَقَدْ أَمَرَهُمْ بِالسِّوَاكِ, وَ مَا
كَانَ بِالَّذِيْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يُنَتِّنُوْا أَفْوَاهَهُمْ عَمْدًا, مَا فِيْ ذَالِكَ مِنَ
الْخَيْرِ شَيْءٌ بَلْ فِيْهِ شَرٌّ. قَالَ الحَافِظُ فِيْ التَّلْخِيْصِ (ص 113) :
إِسْنَادُهُ جَيِّد
“Dari Abdurrahman bin Ghanim berkata: “Aku bertanya kepada Mu’az bin Jabal r.a: Apakah aku bersiwak padahal aku berpuasa?” Beliau menjawab: “Ya”, Aku berkata: “Di siang hari bila?”
Beliau berkata: “Di waktu pagi dan sore”. Aku berkata: “Orang-orang membenci (bersiwak) pada sore hari. Dan mereka berkata bahawa Rosulullah bersabda: “Bau mulutnya orang yang berpuasa sungguh lebih baik di sisi Allah daripada bau misik”. Beliau berkata
سُبْحَانَ الله
2). Rasulullah sungguh telah memerintahkan mereka untuk bersiwak dan tidaklah layak (bagi mereka) atas apa yang telah mereka telah diperintahkan oleh Rasulullah, mereka sengaja membuat mulut mereka menjadi berbau busuk. Tidak ada pada perbuatan mereka itu kebaikan sedikitpun, bahkan kejelekan yang ada pada perbuatan mereka itu.” Berkata Al-Hafiz dalam “Talkhis” hal 113: “Sanadnya baik” [Lihat Irwaul Ghalil hal 1/106)]2.
Hadits Rasulullah bersiwak dalam keadaan berpuasa
قَالَ عَامِرُ بْن
ُ رَبِيْعَةَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ مَا لاَ أُحْصِي يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ“
Berkata Amir bin Rabi’ah r.a: Aku telah melihat Rasulullah apa yang tidak bisa aku menghitungnya yaitu beliau bersiwak dan beliau dalam keadaan berpuasa”. [Hadits riwayat Abu Dawud]. Namun hadits ini dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. [Lihat Irwaul Ghalil no 68].
3). Sedangkan diqiaskannya bau mulut orang yang berpuasa dengan darah parasyuhada’ adalah qias yang salah. Karena ‘illah dari tidak dimandikannya para syuhada’ adalah pada hari kiamat mereka akan dibangkitkan dalam keadaan luka-luka mereka berdarah dengan warna darah namun mengeluarkan bau misik. Hal ini berbedadengan puasa, tidak ada dalil yang menunjukan bahawa orang yang berpuasa akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengeluarkan bau mulut yang tidak dibersihkan dengan bau yang harum.
4). Adapun mengatakan bahawa bau mulut itu biasanya muncul pada waktu sore hari, ini tidaklah mutlaq. Bukankah terkadang bau itu muncul sebelum dhuhur, karena sebab munculnya bau iniadalah kosongnya lambung.
Jika seseorang sahurnya terlalu cepat maka lambungnya akan kosong pada waktu pagi, sehingga di pagi hari mulutnya sudah bau. Seharusnya kalau ‘illah dari larangan bersiwak adalah bau mulut, maka bila saja mulut itu bau maka tidak boleh bersiwak baik di siang hari maupun di pagi hari.
Apalagi ada orang yang tidak memiliki bau mulut ketika berpuasa karena pencernaannya lambat atau karena yang lainnya (maka tentunya tidak mengapa baginya untuk bersiwak). [Lihat Syarhul Mumti’ 1/121-124] Berkata Syaikh Ali Bassam : “Tidak ada dalil pada hadits ini (yaitu hadits
لَخُلُوْفُ فَمِ …. ).
Sebab siwak tidaklah bisa menghilangkan bau yang timbul dari sumbernya yaitu dari lambung, berbeda dengan mulut yang bisa dibersihkan dengan siwak” [Taudihul Ahkam 1/106] Demikianlah sekilas mengenai siwak semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
.وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Maraji’1. Syarhul Mumti’ ‘ala zadil mustaqni’ jilid 1, karya Syaikh Muhammad Utsaimin2. Irwaul Ghalil jilid 1, karya Syaikh Al-Albani3. Taisirul ‘Alam jilid 1, Karya Syaikh Ali Bassam4. Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 1, karya Doktor Wahbah Az-Zuhaili5. Taudihul Ahkam jilid 1, karya Syaikh Ali Bassam[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun V/1422H/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
No comments:
Post a Comment