Allah Swt berfirman, “Wahai anak Adam, Aku tidak menciptakan kalian untuk memperbanyak jumlah kalian dari yang tadinya sedikit, tidak untuk berteman dengan kalian setelah tadinya kesepian, tidak untuk meminta bantuan kalian atas sesuatu yang Aku tidak mampu kerjakan, juga tidak untuk memetik manfaat dan menolak mudarat.
Tapi, Aku menciptakan kalian agar kalian terus mengabdi kepada-Ku, agar banyak bersyukur kepada-Ku dan agar bertasbih kepada-Ku, baik pagi maupun petang. Wahai anak Adam! Seandainya generasi dahulu dan kemudian dari kalian, jin dan manusia, yang kecil dan yang besar, yang merdeka dan yang menjadi hamba, semuanya berkumpul untuk taat kepada-Ku, hal itu takkan menambah kerajaanku sedikit pun.
Siapa yang berjihad, sebenarnya ia berjihad untuk dirinya sendiri. Allah Mahakaya, tidak butuh atas seluruh isi alam. Wahai anak Adam! Engkau akan disakiti sebagaimana engkau menyakiti. Dan engkau akan diperlakukan sebagaimana engkau berbuat.” (Kitab Al-Mawaizh fi al-Ahadis Al-Qudsiyyah, karya Imam Al-Ghazali).
2). PAPAN PETUNJUK JALAN
“Allah mengetahui bahwa para hamba itu sangat mengharapkan agar ditampakkan rahasia pertolongan-Nya, maka dari itu Allah berfirman, “Dan, Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya untuk diberi rahmat-Nya,” (QS Al-Baqarah: 105). Allah juga Maha Mengetahui bahwa seandainya Dia membiarkan mereka begitu saja, pasti mereka akan meninggalkan usaha karena hanya bersandar pada hukum azali semata. Karena itu, Allah berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-‘Araf: 56)”. (Syekh Ibn Atha’illah dalam Al-Hikam).
Sahabatku, Rasulullah mengajarkan kita untuk memohon kepada Allah agar kita merasa ridha dengan apa apu keputusan Allah. Kita juga diajarkan oleh Rasulullah untuk bersabar atas apa yang menimpa kita, seperti kesedihan, kegalauan, dan penderitaan, melalui ujian ini kita sebenarnya sedang diajarkan bagaimana cara bersyukur kepada Allah setiap saat, kapanpun dan dimanapun.Yakinlah bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak dan kebijaksanaan Allah SWT.
Lalu, kita merasa butuh, sehingga kita berdoa kepada-Nya. Namun, harus diingat bahwa sebenarnya amal yang kita lakukan dan kebutuhan kita bukanlah penyebab dari kemurahan dan rahmat Allah. Sebab sebenarnya, cinta, ampunan dan rahmat Allah itu telah mendahului eksistensinya. Ia telah ada sejak di zaman azali. Menurut Syekh Fadhlalla Haeri, amal kita itu mengikuti papan petunjuk jalan, padahal sesunggunya kita telah ada di kota-Nya.
3). TENTANG HAKIKAT DIRI DALAM SHALAT
Syekh Ibnu Athaillah berkata, "Syekh Abu Al-Hasan Al-Syadzili r.a. Mengatakan, 'Keadaan dirimu bisa diukur melalui shalat. Jika engkau meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi maka kau bahagia. Tapi, jika tidak, tangisilah dirimu. Jika kaki ini masih sulit dilangkahkan menuju shalat, adakah orang yang tidak ingin berjumpa dengan Kekasihnya?!
Allah SWT berfirman, “Shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”. (QS. Al-Ankabut 29: 45). Maka, barangsiapa yang ingin mengenal hakikat dirinya di sisi Allah dan mengetahui keadaannya bersama Allah, perhatikanlah shalatnya. Apakah ia melakukan shalat dengan khusyuk dan tenang atau dengan lalai dan tergesa-gesa?
Jika engkau tidak menunaikan shalat dengan khusyuk dan tenang, sesalilah dirimu! Sebab, orang yang duduk dengan pemilik kesturi, ia akan dapatkan wanginya. Sementara, ketika shalat, sesungguhnya engkau duduk bersama Allah. Jika engkau ada bersama-Nya tetapi tidak mendapatkan apa-apa, berarti ada penyakit dalam dirimu, mungkin berupa sombong, ujub, atau kurang beradab. Allah SWT berfirman, “Akan Ku-palingkan dari ayat-ayat-Ku orang yang bersikap sombong di muka bumi dengan tidak benar”. (QS Al-A'raf 7: 146).
Karena itu, setelah menunaikan shalat, janganlah terburu-buru pergi meninggalkan tempat shalat. Duduklah untuk berzikir mengingat Allah seraya meminta ampunan atas segala kekurangan. Bisa jadi shalatnya tidak layak diterima. Tapi, setelah berzikir dan beristigfar, shalatnya menjadi diterima. Rasulullah Saw. sendiri selepas shalat selalu membaca istigfar sebanyak tiga kali”. (Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitab Taj Al-‘Arus).
4). PERJALANAN KALBU MENUJU KE HADIRAT ALLAH
Syekh Ibnu Atha’illah mengirim surat kepada sahabatnya: “Sesungguhnya permulaan (bidayah) itu bagaikan cermin yang memperlihatkan akhir (nihayah). Barangsiapa yang permulaannya selalu bersandar kepada Allah, pasti akhirnya akan sampai kepada-Nya.”
Sahabatku, ungkapan di atas menjelaskan kondisi salik sejak awal hingga akhir perjalanan sampai ia menempati kedudukannya. Lalu, Syekh Ibnu Atha’illah menyebut adab suluk (meniti jalan Allah) dan cara wushul untuk sampai kepada Allah.
Maksud dari “permulaan” di sini adalah permulaan segala perkara. Sedangkan yang dimaksud dengan “cermin yang memperlihatkan akhir” adalah gambaran akhir segala perkara. Artinya, permulaan seorang murid adalah gambaran akhirnya. Jika di awal permulaan ia sudah memiliki tekad kuat untuk menghadap Allah dan berjuang dalam ibadah, serta melakukan riyadhah, maka hal tersebut adalah bukti bahwa di akhir ia akan mendapatkan kemenangan besar. Ia akan sampai kepada tujuannya dalam waktu singkat. Tetapi, jika awalnya dia lemah, maka kemenangan dan wushul-nya pun akan lemah.
Barang siapa sejak awal telah bersandar kepada Allah, selalu meminta pertolongan Allah dalam beribadah dan riyadhahnya, maka di akhirnya, ia pasti akan sampai kepada Allah. Ia akan berhasil mengesakan-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Zahir dan Batin. Dengan begitu, ia akan merasa dirinya sirna dan hilang di hadapan Allah.
Syekh Ibnu Atha’ilah mengatakan: “Hal yang harus dikerjakan adalah amal ibadah yang engkau sukai dan semangat dalam melakukannya, sedangkan yang harus engkau tinggalkan adalah hawa nafsu dan urusan dunia yang sering mempengaruhinya”. (Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi).