Wednesday, July 6, 2016

MARI MELIHAT WARISAN TASAWUF DI NUSANTARA

(Sumber : Kompasina, Indonesia). Wajah Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tradisi tasawuf. Nurcholish Madjid (Cak Nur) melihat bahwa, corak pemikiran Islam Indonesia terkenal sangat kental berwarna kesufian yang pekat. Menurutnya, hal ini disebabkan: Pertama, datangnya Islam ke kawasan ini, seperti juga yangke Asia Tengah dan Afrika Hitam, banyak ditangani oleh kaum sufi sekaligus pedagang. Jaringan gilda2 perdagangan mereka yang luas (yang berpusat pada tempat2 penginapan mereka dekat masjid, sekaligus padepokan2 kesufian mereka yang disebut zawiyah, khaniqah, ribath, dan funduq (“pondok”) telah memberi mereka fasilitas menyebarkan Islam melalui perembesan damai. 

Bagi Cak Nur, karena watak sosial kesufian yang sangat mengandalkan intuisi pribadi dan perasaan (dzawq), pemikiran Islam yang diwarnainya tampil dengan sikap yang cukup reseptif (berpembawaan mudah menerima) unsur-unsur budaya lokal. Melalui kebijakan para “wali” (khususnya wali songo), gaya pemikiran Islam di Indonesia umumnya dan di Jawa dalam tempo singkat menjadi agama mayoritas bangsa kita. Jadi, tasawuf merupakan “syarat kemungkinan” eksistensi Islam indonesia. Memang, sejarah mencatat, tasawuf telah berperan dalam penyebaran Islam sejak abad ke-12 M, yang semakin masif pada akhir abad ke-13 M dan sesudahnya, bersamaan munculnya kerajaan Islam pesisir seperti Perulak, Samudra Pasai, Malaka, Demak, Ternate, Aceh Darussalam, Banten, Gowa, Palembang, Johor Riau dan lain-lain. Tidak mengherankan tasawuf ikut berkembang di kepulauan Nusantara. 

Bukti2 arkeologi, seperti tulisan pada makam raja-raja dan bangsawan Pasai (1272-1400 M) membuktikan besarnya pengaruh tasawuf sejak awal tarikh Islam. Pada makam2 kuno itu tertulis bukan saja ayat-ayat Alquran yang sufisfik, tetapi juga sajak2 sufisfik karangan Sayidina Ali dan penyair Sufi Persia abad ke-13 M, Mulla Sa`di. Sumber2 sejarah Melayu sepeti Hikayat Raja-raja Pasai (anonim, abad ke-15 M), Slalat al-Salatin (karangan Tun Sri Lanang, abad ke-16 M), Hikayat Aceh (anomin), Babad Banten dan lain-lain, juga memaparkan aktivitas para Sufi dan besarnya pengaruh mereka dalam kehidupan masyarakat Muslim. Menurut Tun Sri Lanang, Sultan Malaka Mansyur Syah (1459-1477 M) adalah seorang pengikut ajaran tasawuf yang terkemuka yang pernah memerintahkan agar memperbanyak sebuah kitab tasawuf karangan Abu `Isyaq, seorang ulama Arab terkemuka abad ke-14, berjudul Dur al-Manzum (Untaian Mutiara Puisi). Nuruddin al-Raniri dalam Bustan al-Salatin menyatakan bahwa pada akhir abad ke-16 di Aceh terjadi perbincangan seru tentang ajaran Wujudiyah Ibn `Arabi. 

Seorang ulama Arab terkemuka menulis buku tasawuf berjudul Syaf al-Qati (Pedang Tajam) untuk meluruskan pemahaman tentang paham Wujudiyah. Sultan Aceh, kakek Iskandar Muda, Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604 M) adalah tokoh Tarekat Qadiriyah. Pada mulanya beliau adalah seorang saudagar kaya, yang dilantik oleh musyawarah orang-orang kaya menjadi raja, untuk mengisi takhta kerajaan Aceh yang lowong disebabkan sengketa dan krisis politik yang berkepanjangan. Begitu pula Sultan Iskandar Muda, seorang penggemar sufi kelas berat. Pendamping Sultan ini dalam pemerintahan ialah Syamsudin Pasai, seorang Sufi terkemuka dan penganjur ajaran Martabat Tujuh perdana menteri yang disegani. Sultan Banten Zainal Abidin yang memerintah pada akhir abad ke-17 adalah juga seorang pengikut tasawuf dan kolektor kitab sufi terkemuka. Pangeran Diponegoro (w. 1855), juga pengikut Tarekat Qadiriyah sebagaimana penentang kolonial Belanda pendahulunya, yaitu Pangeran Trunojoyo (w. 1211). 

Di antara tarekat yang berpengaruh ialah tarekat2 yang muncul pada abad ke-13 M. Misalnya Tarekat Rifa`iyah, Qadiriyah, Syadiliyah, Naqsyabandiyah, Sattariyah, Khalwatiyah lain-lain. Tokoh-tokoh tarekat ini, khususnya Ahmad Riaf`i, Abdul Qadir al-Jilani, Naqsyabandi dan lain-lain dipengaruhi Imam al-Ghazali. Menggali dan Memperkenalkan Sebetulnya, tasawuf banyak diminati berbagai kalangan, terutama kelas menengah dan atas perkotaan, di Indonesia. Minat tersebut bisa dibaca (salahsatunya) sebagai ekspresi kerinduan mistik, pengharapan terhadap ketenangan batin manusia. Hiruk-pikuk hidup dan lalu lintas keseharian menyeret manusia ke gurun gersang hedonisme-materialistik. Kegersangan melahirkan dahaga spiritualhanya bisa disejukkan dengan meneguk air dari oase tradisi panjang spiritual. Buku-buku dan pusat-pusat kajian tasawuf muncul seperti cendawan di musim hujan. Tasawuf dikaji dimana-mana, terutama di lingkaran kelas menengah atas. Pusat-pusat kajian tasawuf tumbuh bak kecambah. Sayang nya, dalam banyak forum kajian yang banyak diekspose adalah warisan-warisan sufi klasik, seperti al-Hallaj, Ibn Arabi dan seterusnya. Jarang sekali kajian berfokus pada buah perenungan sufi nusantara. Meskipun ada, kajian terhadap warisan spiritual karya anak nusantara hanya dibahas secara kikir.

Kita lebih kenal al-Hallaj daripada Syekh Siti Jenar atau al-Ghazali dibandingkan Abd al-Shamad al-Palimbani. Artinya, belum banyak pihak dan pemerhati tasawuf yang mencoba menggali, mengungkap, memperkenalkan, dan mensosialisasikan perbendaharaan khazanah tasawuf nusantara. Dari rahim kondisi ini melahirkan keprihatinan sekaligus tantangan untuk memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia bahwa khazanah tasawuf di Nusantara sangat kaya.

No comments:

Post a Comment