Tuesday, March 29, 2016

HADIS QUDSI UNTUK KEDAMAIAN HATI

Allah SWT berfirman, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Aku, tiada sekutu bagi-Ku dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Ku. Barangsiapa yang tak rela dengan ketentuan-Ku, tidak sabar terhadap ujian-Ku, tidak mensyukuri nikmat-Ku, dan tidak puas dengan pemberian-Ku, maka hendaknya ia menyembah tuhan selain-Ku. Barangsiapa yang sedih terhadap kehidupan dunianya, seolah-olah ia sedang murka kepada-Ku. Siapa yang mengeluh atas suatu musibah, berarti ia telah mengeluhkan-Ku. Siapa yang mendatangi orang kaya, lalu ia merendahkan diri karena kekayaannya, maka hilanglah dua pertiga agamanya.

Siapa yang memukul wajahnya karena kematian seseorang, seolah-olah ia telah mengambil tembok untuk memerangi-Ku. Siapa yang mematahkan kayu di atas kubur, seolah-olah ia telah menghancurkah Ka'bah-Ku dengan tangannya. Siapa yang tak peduli darimana ia mendapat makanan, maka Allah juga tak peduli dari pintu mana ia akan dimasukkan ke neraka Jahanam.  Siapa yang tak bertambah agamanya, berarti ia merugi. Sedangakan orang yang merugi, mati adalah lebih baik baginya. Barangsiapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui, maka Allah akan mewariskan untuknya ilmu yang tidak ia ketahui. Serta siapa yang panjang angan-angan, maka amalnya tidak akan ikhlas”. (Imam Al-Ghazali dalam Kimiya As-Sa’adah). 

2). TAFSIR AL-JAILANI

Kitab Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dapat menjadi rujukan utama ilmu tasawuf. Dari ayat ke ayat, kita dapat mempelajari makna-makna Al-Quran dengan batin dan ruh tasawuf. Kita seolah menyelami samudera syariat, tarekat, makrifat dan hakikat dari ayat ke ayat. Berikut ini adalah keunggulan-keunggulan kitab tersebut:

1. Pada kitab ini, ayat demi ayat ditafsirkan dengan cara penuturan dan ungkapan yang mudah, singkat dan sistematis. Jika terdapat ayat yang dapat ditafsirkan dengan ayat lain maka dijelaskan sambil dibandingkan antara dua ayat tersebut, sehingga makna dan tujuannya semakin jelas. Dapat dikatakan bahwa tafsir ini sangat memperhatikan cara penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (Al-Qur’an bi Al-Qur’an). Lalu, setelah selesai beliau mulai menuturkan beberapa Hadis Marfu’ yang berkenaan dengan ayat tersebut, sambil menjelaskan argumentasinya dengan mengiringi perkataan para Sahabat, Tabi’in dan ulama salaf.

2. Dalam ayat-ayat yang terkait dengan hukum fikih, tafsir ini tampak mentarjih sebagian pendapat ulama dan mendhaifkan serta mensahihkan sebagian riwayat secara tersirat, singkat dan dengan redaksi yang hemat, tidak seperti yang banyak dilakukan para mufasir lain. Hal ini menunjukkan bahwa pengarangnya adalah seorang yang memiliki pengetahuan Ilmu Hadis yang sangat mapan.

3. Tafsir ini tergolong Tafsir Isyari, meskipun tidak semua ayat dalam surah-surah Al-Qur’an ditafsirkan secara isyari, akan tetapi struktur dalam bangunan pandangan sufi terhadap Tauhid melalui penafsiran beliau kepada seluruh ayat-ayat Allah, baik yang tersirat dalam alam dan tersurat dalam Al-Qur’an sangat sistematis, runtut, teratur dan sempurna. Sehingga, ini memperkuat Tafsir Al-Jailani sebagai sebuah referensi utama, serta standar matlamat bagi umat Islam, khususnya para penempuh jalan menuju Allah SWT. 

4. Sebagai sebuah kitab dan rujukan Tasawuf tingkat tinggi (first class) kitab ini juga menyebutkan sanad dan status Hadis; mentarjih sesuatu yang dipandang benar tanpa fanatik atau taklid tanpa dalil. Tafsir ini benar-benar bersih dari isra’iliyat yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis.

5. Terbukti Tafsir Al-Jailani telah diterima dan tersebar di seluruh dunia Islam serta diakui oleh para ulama, seperti Syekh Dr. Ali Jumu’ah (Mufti Mesir), Mufti Syria, Mufti Libanon, serta para Syekh sufi seperti murabbi besar Syekh Youssef Riq al-Bakhour dan lain-lain.

Semoga dengan penerjemahan dan penerbitan Tafsir Al-Jailani karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam bahasa Indonesia/Melayu oleh Markaz Jailani Asia Tenggara, umat Islam di seluruh Nusantara dapat belajar, memahami dan mendalami ajaran-ajaran syariat, tarekat, makrifat dan hakikat dari ayat ke ayat dalam Al-Qur’an. Semoga Allah SWT memudahkan dan memberkahi umat Islam di Nusantara dalam mempelajari samudra makrifat melalui Tafsir Al-Jailani sebagai rujukan utama ilmu tasawuf, serta mengamalkannya dalam sendi-sendi kehidupan seperti yang diajarkan oleh Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. 

(Syekh Rohimuddin Nawawi Al-Jahary Al-Bantani, Penasehat Markaz Jailani Asia Tenggara dan Direktur Dar Al-Hasani, Kelantan Malaysia).

3). BELAJAR TENTANG TAKDIR

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Sirrul-Asrar menegaskan, “Karena itu, seseorang tidak boleh berlindung pada rahasia takdir untuk meninggalkan amal saleh. Seperti alasan, “Kalaupun aku di zaman azali sudah ditakdirkan menderita maka tidaklah ada manfaatnya beramal saleh. Dan, jika aku memang ditakdirkan bahagia maka tidaklah membahayakan bagiku untuk melakukan amal buruk.”

Pengarang kitab Tafsir Al-Bukhari berkata, “Sesungguhnya kebanyakan dari rahasia itu diketahui tapi tidak perlu dibahas seperti rahasia takdir. Seperti Iblis, ketika ia mengelak untuk tidak menghormati Adam, ia berkelit pada hakikat takdir. (Ketika ia ditanya mengapa engkau tidak menghormati Adam. Ia menjawab, “Inikah takdir-Mu Ya Allah?”). Dengan begitu ia kufur dan diusir dari surga. Sebaliknya, Nabi Adam AS selalu menimpakan kesalahan pada dirinya, maka mereka bahagia dan diberi rahmat (tidak mempermasalahkan takdir Allah SWT).

Hal yang wajib bagi semua Muslim adalah jangan berpikir tentang hakikat takdir, agar ia tidak tergoda dan terpeleset menjadi zindik. Justru yang wajib bagi seorang Muslim dan mukmin adalah yakin bahwa Allah SWT adalah Maha Bijaksana. Segala sesuatu yang terjadi dan terlihat oleh manusia di muka bumi ini, seperti kekufuran, kemunafikan, kefasikan, dan sebagainya, adalah perwujudan dari ke-Maha Kuasa-an Allah dan Hikmah-Nya. Dalam hal ini terdapat rahasia luar biasa yang tidak dapat diketahui, kecuali oleh Nabi Muhammad SAW. 

Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa sebagian ahli makrifat bermunajat kepada Allah SWT, “Ya Allah, Engkau telah menakdirkan, Engkau menghendaki dan Engkau telah menciptakan maksiat dalam diriku,” tiba-tiba datanglah suara gaib, “Hai hamba-Ku, semua yang kau sebutkan itu adalah syarat ketuhanan, lalu mana syarat kehambaanmu?” Maka sang ahli makrifat itu menarik kembali ucapannya, “Aku salah, aku telah berdosa dan aku telah berbuat zalim pada diriku.” Maka datanglah jawaban dari suara gaib, “Aku telah mngempuni. Aku telah memaafkan dan Aku telah merahmati.”

Maka yang wajib bagi semua mukmin adalah berpandangan bahwa amal yang baik adalah atas taufik Allah dan amal yang buruk adalah dari dirinya, sehingga ia termasuk ke dalam hamba-hamba Allah yang disinggung dalam Al-Qur’an, “Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka mengingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 135)

Jika seorang hamba menganggap bahwa perbuatan maksiat berasal dari dirinya, maka ia termasuk orang yang beruntung dan selamat. Ketimbang menganggap bahwa dosa adalah dari Allah SWT, meskipun secara hakiki memang Allah SWT penciptanya.” (Kitab Sirrul-Asrar wa Mazh-harul-Anwar; Rasaning Rasa karya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, terjemah KH Zezen ZA Bazul Ashab, Salima dan Pustaka Zainiyyah, Juni 2013).

No comments:

Post a Comment