Wednesday, March 30, 2016

TUNGGULAH HINGGA MATANG JANGAN TERGESA-GESA

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: "Engkau menginginkan agar kebahagiaan dan kedamaian terlimpahkan kepada dirimu, padahal engkau masih berusaha membinasakan nafsu hewanimu. Engkau pun masih berharap balasan di dunia dan akhirat, dan masih memiliki banyak keinginan lain dalam dirimu.

Wahai engkau yang terburu-buru! Berhenti dan berjalanlah perlahan-lahan. Wahai engkau yang berharap sesuatu! Pintu akan selalu tertutup jika keadaanmu masih seperti itu. Ketahuilah tentang kontrak dirimu sebagai hamba. Sepanjang kau masih memiliki secuil harapan dan nafsu hewani, maka kau akan tertutup darinya. Selama kau masih menghisap kelezatan biji kurma dari dunia ini, merasakan dengan hawa nafsumu, memiliki pamrih dan kerinduan duniawi pada semua itu, atau mencintai dan berharap keuntungan dunia dan akhirat, maka kau masih berada di pintu peleburan diri.

Tenanglah sampai peluruhan dirimu sempurna, lalu kau akan dikeluarkan dari tempat pelebuhan diri hingga kau terbaluti pakaian, hiasan dan keharuman, kemudian kau dibawa kepada Sang Maharaja nan Agung. Kau akan menempati kedudukan tinggi serta dianugerahi limpahan nikmat, belaian dan rahmat-Nya”. (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Adab as-Suluk wa at-Tawassul ila Manazil Al-Muluk).

2). HATI BAGAIKAN CERMIN

Syekh Ibnu Atha’illah mengatakan: “Hati bagaikan cermin, sedangkan nafsu seperti nafas. Cermin buram setiap kali kau bernafas padanya. Hati seorang fasik tak ubahnya seperti cermin milik lelaki tua renta yang tak lagi perhatian untuk membersihkan atau menggunakannya. Sebaliknya, hati yang mengenal Allah bagaikan cermin milik pengantin wanita. Setiap hari ia melihat cermin tersebut sehingga tetap bening dan mengkilat. Perhatian utama seseorang yang zuhud adalah bagaimana memperbanyak amal, sementara perhatian utama orang yang arif adalah bagaimana meluruskan keadaan jiwa. Hati adalah tempat tatapan Tuhan. Nabi SAW bersabda, ‘Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”. (Syekh Ibnu Atha’illah dalam Taj Al-‘Arus). 

3). UTAMAKAN YANG FARDHU, LALU KERJAKAN SUNNAH

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan: “Seorang Mukmin hendaklah menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah fardhu terlebih dahulu. Jika sudah selesai mengerjakannya, hendaklah menyibukkan diri dengan sunnah-sunnah yang utama. Jika sudah mengerjakannya, hendaklah menunaikan ibadah-ibadah sunnah biasa dan keutamaan-keutaman lainnya yang sejenis. Selama dia belum selesai mengerjakan ibadah-ibadah fardhu, dia tidak boleh mengerjakan ibadah sunnah. Jika dia sampai melakukan hal itu, maka itu merupakan kebodohan yang sia-sia. Jika dia mengerjakan ibadah-ibadah sunnah biasa sebelum mengerjakan ibadah sunnah yang lebih utama dan lebih kuat, maka amal tersebut tidak akan diterima, bahkan dihinakan.

Perumpamaan orang itu seperti orang yang dipanggil oleh raja untuk melayaninya, tetapi dia tidak mendatangi dan tidak memenuhi panggilannya. Dia malah melayani pimpinan-pimpinan wilayah yang berada di daerah kekuasaan sang raja. Mereka hanya sebatas pelayan atau pembatu bagi sang raja. Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. mengatakan, “Rasulullah SAW pernah bersabda, Sesungguhnya perumpamaan orang yang mendirikan shalat sunnah sebelum menunaikan shalat yang wajib itu seperti seorang wanita yang mengandung. Ketika masa nifasnya sudah dekat, kandungannya mengalami keguguran.

Maka, dia seperti orang yang tidak mempunyai kandungan sebelumnya. Begitu juga orang yang melakukan shalat sunnah tidak akan diterima shalatnya tersebut, sampai dia menunaikan shalat fardhu terlebih dahulu. Perumpamaan orang itu adalah seperti seorang pedagang. Dia tidak akan memperoleh laba bersih sebelum modalnya kembali semua. Begitu juga orang yang shalat sunnah, shalat tersebut tidak akan diterima sampai dia menunaikan shalat fardhu.” (HR Al-Baihaqi)”. (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Futuhul Ghayb).

No comments:

Post a Comment