Saturday, May 14, 2016

IBRAHIM BIN ADHAM DITEGUR LANGSUNG OLEH NABI KHIDIR

Ibrahim ibn Adham merupakan raja Balkh yang sangat luas wilayah kekuasaannya. Kemana pun ia pergi, empat puluh buah pedang emas dan empat puluh buah tongkat kebesaran emas diusung di depan dan di belakangnya. Pada suatu malam ketika ia tertidur di kamar istananya, langit-langit kamar berderik-derik seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan di atas atap.  Ibrahim ibn Adham terjaga dan berseru “Siapakah itu?!”. “Seorang sahabat”, terdengar sebuah sebutan. “untaku hilang dan aku sedang mencarinya di atas atap ini.” “engkau hendak mencari unta di atas atap?” seru Ibrahim. “Wahai manusia yang lalai.” Suara itu menjawab. “Apakah engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutera dan tidur di atas ranjang emas?”.

Kata-kata ini sangat menggetarkan hati  Ibrahim ibn Adham. Ia sangat gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya. Ketika hari telah siang. Ibrahim kembali ke ruang pertemuan dan duduk di atas singgasananya sambil berpikir-pikir, bingung dan sangat gundah. Para menteri telah berdiri di tempat masing-masing dan hamba-hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka. Kemudian dimulailah pertemuan terbuka. Tiba-tiba seorang lelaki berwajah menakutkan masuk ke dalam ruangan pertemuan itu. Wajahnya sedemikian menyeramkan sehingga tak seorang pun di antara anggota-anggota maupun hamba-hamba istana yang berani menanyakan namanya. Semua lidah menjadi kelu. Dengan tenang lelaki tersebut melangkah ke depan singgasana.

“Apakah yang engkau inginkan?” tanya Ibrahim.
“Aku baru saja sampai di persinggahan ini”, jawab lelaki itu.
“Ini bukan sebuah persinggahan para kafilah. Ini adalah istanaku. Engkau sudah gila,” Ibrahim menghardik.
“Siapakah pemilik istana ini sebelum engkau?” tanya lelaki itu.
“Ayahku”, jawab Ibrahim.
“Dan sebelum ayah mu?”
“Ayah dari kakekku!”
“Dan sebelum dia?”
“Kakek dari kakekku!”.
“Ke manakah mereka sekarang ini?”, tanya lelaki itu.
“Mereka telah tiada. Mereka telah mati,” jawab Ibrahim.
“Jika demikian, bukankah ini sebuah persinggahan yang dimasuki oleh seseorang dan ditinggalkan oleh yang lainnya?”.

Setelah berkata demikian lelaki itu hilang. Sesungguhnya ia adalah Khidir as. Kegelisahan, dan kegundahan hati Ibrahim semakin menjadi-jadi. Ia dihantui bayang-bayang di siang hari dan mendengar suara-suara di malam hari; keduanya sama-sama membingungkan. Akhirnya, karena tidak tahan lagi, pada suatu hari berserulah Ibrahim: “Persiapkan kudaku! Aku hendak pergi berburu. Aku tak tahu apa yang telah terjadi terhadap diriku belakangan ini. Ya Allah, kapan semua ini akan berakhir?”. Kudanya telah dipersiapkan lalu berangkatlah ia berburu. Kuda itu dipacunya menembus padang pasir, seolah-olah ia tak sadar akan segala perbuatannya. Dalam kebingungan itu ia terpisah dari rombongannya. Tiba-tiba terdengar olehnya sebuah seruan: “Bangunlah.”

Ibrahim ibn Adham pura-pura tidak mendengar seruan itu. Ia terus memacu kudanya. Untuk kedua kalinya suara itu berseru kepadanya, namun Ibrahim tetap tak memperdulikannya. Ketika suara itu untuk ketiga kalinya berseru kepadanya, Ibrahim semakin memacu kudanya. Akhirnya untuk yang ke empat kali, suara itu berseru: “Bangunlah, sebelum engkau ku cambuk!” Ibrahim tidak dapat mengendalikan dirinya. Saat itu terlihat olehnya seekor rusa. Ibrahim hendak memburu rusa itu, tetapi binatang itu berkata kepadanya: “Aku disuruh untuk memburumu. Engkau tidak dapat menangkap ku. Untuk inikah engkau diciptakan atau inikah yang diperintahkan kepadamu?”

“Wahai, apakah yang menghadang diriku ini?” seru Ibrahim. Ia memalingkan wajahnya dari rusa tersebut. Tetapi dari pegangan di pelana kudanya terdengar suara yang menyerukan kata-kata yang serupa. Ibrahim panik dan ketakutan. Seruan itu semakin jelas karena Allah Yang Maha Kuasa hendak menyempurnakan janji-Nya. Kemudian suara yang serupa berseru pula dari mantelnya. Akhirnya sempurnalah seruan Allah itu dan pintu surga terbuka bagi Ibrahim. Keyakinan yang teguh telah tertanam di dalam dadanya. Ibrahim turun dari tunggangannya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air matanya. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah.

Ketika Ibrahim menyimpang dari jalan raya, ia melihat seseorang gembala yang mengenakan pakaian dan topi terbuat dari bulu domba. Sang pengembala sedang menggembalakan sekawanan ternak. Setelah diamatinya ternyata si gembala itu adalah sahayanya yang sedang menggembalakan domba2 miliknya pula. Kepada si gembala itu,  Ibrahim ibn Adham menyerahkan mantelnya yang bersulam emas, topinya yang bertahtahkan batu-batu permata beserta domba-domba tersebut, sedang dari si gembala itu Ibrahim meminta pakaian dan topi bulu domba yang sedang dipakainya. Ibrahim lalu mengenakan pakaian dan topi bulu milik si gembala itu dan semua malaikat menyaksikan perbuatannya itu dengan penuh kekaguman. “Betapa megah kerajaan yang diterima putera Adam ini,” Malaikat2 itu berkata, “ia telah mencampakan pakaian keduniawian yang kotor lalu menggantinya dengan jubah kepapaan yang megah.”

Dengan berjalan kaki, Ibrahim mengelana melalui gunung2 dan padang pasir yang luas sambil meratapi dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Akhirnya sampailah ia di Merv. Di sini Ibrahim melihat seorang lelaki terjatuh dari sebuah jembatan. Pastilah ia akan binasa dihanyuntukan oleh air sungai. Dari kejauhan Ibrahim berseru: “Ya Allah, selamatkanlah dia!.” Seketika itu juga tubuh lelaki itu berhenti di udara sehingga para penolong tiba dan menariknya ke atas. Dan dengan terheran-heran mereka memandang kepada Ibrahim. “Manusia apakah ia itu.” Seru mereka. Ibrahim meninggalkan tempat itu dan terus berjalan sampai ke Nishapur. Di kota Nishapur Ibrahim mencari sebuah tempat terpencil di mana ia dapat tekun mengabdi kepada Allah.

Akhirnya ditemuinyalah sebuah gua yang dikemudian hari menjadi amat termasyhur. Di dalam gua itulah Ibrahim menyendiri selama sembilan tahun, tiga tahun pada masing-masing ruang yang terdapat di dalamnya. Tak seorang pun yang tahu apakah yang telah dilakukannya baik siang maupun malam di dalam gua itu, karena hanya seorang manusia luar biasa perkasanya yang sanggup menyendiri di dalam gua itu pada malam hari. Setiap hari kamis, Ibrahim memanjat keluar dari gua tersebut untuk mengumpulkan kayu bakar, Keesokan paginya pergilah ia ke Nishapur untuk menjual kayu-kayu itu. Setelah melakukan Solat Jum’at ia pergi membeli roti dengan uang yang diperolehnya. Roti itu separuhnya diberikannya kepada pengemis dan separuhnya lagi untuk pembuka puasanya. Demikianlah yang dilakukannya setiap pekan.

Pada suatu malam di musim salju, Ibrahim sedang berada dalam ruang pertapaannya, Malam itu udara sangat dingin dan untuk bersuci Ibrahim harus memecahkan es. Sepanjang malam badannya menggigil, namun ia tetap melakukan Solat dan berdoa hingga fajar menyingsing. Ia hampir mati kedinginan. Tiba-tiba ia teringat pada api. Di atas tanah dilihatnya ada sebuah kain bulu. Dengan kain bulu itu sebagai selimut ia pun tertidur. Setelah hari terang benderang barulah ia terjaga dan badannya terasa hangat. Tetapi segeralah ia sadar bahwa yg disangkanya sebagai kain bulu itu adalah seekor naga dengan biji mata berwarna merah darah. Ibrahim panik ketakutan dan berseru: “Ya Allah, Engkau telah mengirimkan makhluk ini dalam bentuk yang halus, tetapi sekarang terlihatlah bentuk sebenarnya yg sangat mengerikan. Aku tak kuat menyaksikannya”. Naga itu segera bergerak dan meninggalkan tempat itu setelah dua atau tiga kali bersujud di depan Ibrahim.

Ibrahim ibn Adham Pergi ke Mekkah: Ketika kemasyhuran perbuatan2nya tersebar luas, Ibrahim meninggalkan gua tersebut dan pergi ke Mekkah. Di tengah padang pasir, Ibrahim berjumpa dengan seorang tokoh besar agama yang mengajarkan kepadanya Nama Yang Teragung dari Allah dan setelah itu pergi meninggalkannya. Dengan Nama Yang Teragung itu Ibrahim menyeru Allah dan sesaat kemudian tampaklah olehnya Nabi Khidir as. “Ibrahim”, kata Nabi Khidir kepadanya, “Saudaraku, Daud-lah yang mengajarkan kepadamu Nama Yang Teragung itu.”

Kemudian mereka berbincang-bincang mengenai berbagai masalah. Dengan seizin Allah, Khidir adalah manusia pertama yang telah menyelamatkan Ibrahim. Mengenai kelanjutan-kelanjutan menuju Mekkah Ibrahim mengisahkan, sebagai berikut: “Setibanya di Dzatul Irq, kudapati tujuh puluh orang yang berjubah kain perca tergeletak mati dan darah mengalir dari lubang telinga mereka. Aku berjalan mengitari mayat-mayat tersebut, ternyata salah seorang di antaranya masih hidup. “Anak muda, apakah yang telah terjadi?” aku bertanya kepadanya.

“Wahai anak Adam,” jawabnya padaku, “Beradalah di dekat air dan tempat Solat, janganlah menjauh agar engkau tidak dihukum, tetapi jangan pula terlalu dekat agar engkau tidak celaka. Tidak seorang manusia pun boleh bersikap terlampau berani di depan Sultan. Takutilah sahabat yang m3mb4nt4i dan memerangi para peziarah ke tanah suci seakan-akan mereka itu orang-orang kafir Yunani. Kami ini adalah rombongan sufi yang menembus padang pasir dengan berpasrah kepada Allah dan berjanji tidak akan mengucapkan sepatah kata pun di dalam perjalanan, tidak akan memikirkan apa pun kecuali Allah, senantiasa membayangkan Allah ketika berjalan maupun istirahat, dan tidak peduli kepada segala sesuatu kecuali kepada-Nya.

Setelah kami mengarungi padang pasir dan sampai ke tempat di mana para peziarah harus mengenakan jubah putih, Khidir as. Datang menghampiri kami. Kami mengucapkan salam kepadanya dan Khidir membalas salam kami. Kami sangat gembira dan berkata “Alhamdulillah, sesungguhnya perjalanan kita telah diridhai Allah, dan yang mencari telah mendapatkan yang dicari, karena bukankah manusia suci sendiri telah datang untuk menyambut kita’. Tapi, saat itu juga berserulah sebuah suara di dalam diri kami: “Kalian pendusta dan berpura-pura! Demikianlah kata-kata dan janji kalian dahulu? Kalian lupa pada Ku dan memuliakan yang lain. Binasalah kalian! Aku tidak akan membuat perdamaian dengan kalian sebelum nyawa kalian ku cabut sebagai pembalasan dan sebelum darah kalian ku tumpahkan dengan pedang kemurkaan!” Manusia2 yg engkau saksikan terkapar di sini, semuanya adalah korban dari pembalasan itu.

Wahai  Ibrahim ibn Adham, berhati-hatilah engkau! Engkau pun mempunyai ambisi yang sama. Berhati-hatilah atau menyingkirlah jauh-jauh!.”Aku sangat gemetar mendengar kisah itu. Aku bertanya kpdnya: “Tetapi mengapakah engkau tidak turut dibinasakan?” “Kepadaku dikatakan : Sahabat2mu telah matang sedang engkau masih mentah. Biarlah engkau hidup beberapa saat lagi dan segera akan menjadi matang. Setelah matang engkau pun akan menyusul mereka”. Setelah berkata demikian ia pun menghembuskan nafasnya yg terakhir. Empat belas tahun lamanya Ibrahim mengarungi padang pasir dan selama itu pula ia selalu berdoa dan merendahkan diri kepada Allah. Ketika, hampir sampai ke kota Mekkah, para sesepuh kota hendak menyambut nya, Ibrahim mendahului rombongan agar ridak seorang pun dapat mengenali dirinya. Hamba2 yang mendahului para sesepuh tanah suci melihat Ibrahim, tetapi karena belum pernah bertemu dengannya, mereka tak mengenalnya. 

Setelah Ibrahim begitu dekat, para sesepuh itu berseru: “Ibrahim bin Ad-ham hampir sampai. Para sesepuh tanah suci telah datang menyambutnya.” “Apakah yang kalian inginkan dari si bid’ah itu?” tanya Ibrahim kepada mereka. Mereka langsung meringkus Ibrahim dan memukulinya. “Para sesepuh tanah suci sendiri datang menyambut Ibrahim tetapi engkau menyambutnya bid’ah?” hardik mereka. “Ya, aku katakan bahwa dia adalah seorang bid’ah”, Ibrahim mengulangi ucapannya. Ketika mereka meninggalkan dirinya, Ibrahim berkata pada dirinya sendiri: “Engkau pernah menginginkan agar para sesepuh itu datang menyambut kedatanganmu, bukankah telah engkau peroleh beberapa pukulan dari mereka? Alhamdulillah, telah kusaksikan betapa engkau telah memperoleh apa yang engkau inginkan!” Ibrahim menetap di Mekkah. Ia selalu dikelilingi oleh beberapa org sahabat dan ia memperoleh nafkah dgn memeras keringat sbg tukang kayu.

Ibrahim ibn Adham Dikunjungi Putranya: Ketika berangkat dari Balkh, Ibrahim bin Adham meninggalkan seorang putera yang masih menyusui. Suatu hari, setelah si putera telah dewasa, ia menanyakan perihal ayahnya kepada ibunya. “Ayahmu telah hilang!”. Si ibu menjelaskan. Setelah mendapat penjelasan ini, si putera membuat sebuah maklumat bahwa barang siapa yg bermaksud menunaikan ibadah haji, diminta supaya berkumpul. Empat ribu org datang memenuhi panggilan ini. Kemudian ia lalu memberikan biaya makan dan unta selama dalam perjalanan kepada mereka itu. Ia sendiri memimpin rombongan itu menuju kota Mekkah. Dalam hati ia berharap semoga Allah mempertemukan dia dengan ayahnya. Sesampainya di Mekkah, di dekat pintu Masjidil Haram, mereka bertemu dengan serombongan sufi yang mengenakan jubah kain perca.

“Apakah kalian mengenal Ibrahim ibn Adham?” si pemuda bertanya kepada mereka. “Ibrahim bin Adham adalah sahabat kami. Ia sedang mencari makanan untuk menjamu kami.” Pemuda itu meminta agar mereka sudi mengantarkannya ke tempat Ibrahim saat itu. Mereka membawanya ke bagian kota Mekkah yang dihuni oleh org2 miskin. Di sana dilihatnya betapa ayahnya bertelanjang kaki dan tanpa menutup kepala sedang memikul kayu bakar. Air matanya berlinang tapi ia masih dapat mengendalikan diri. Ia lalu membuntuti ayahnya sampai ke pasar. Sesampainya di pasar si ayah mulai berteriak2: “Siapakah yg suka membeli barang yang halal dengan barang yg halal?!”

Seorang tukang roti menyahuti dan menerima kayu api tersebut dan memberikan roti kepada Ibrahim. Roti itu dibawanya pulang lalu disuguhkannya kepada sahabat2nya.Si putera berpikir-pikir dengan penuh kekuatiran : “Jika kukatakan kepadanya siapa aku, niscaya ia akan melarikan diri.” Oleh karena itu ia pun pulang meminta nasihat dari ibunya, bagaimana cara yang terbaik untuk mengajak ayahnya pulang. Si Ibu menasehatkan agar ia bersabar hingga tiba saat melakukan ibadah haji. Setelah tiba saat menunaikan ibadah haji, sang anak pun pergi ke Mekkah. Ibrahim sedang duduk beserta sahabat-sahabatnya. “Hari ini di antara jama’ah haji banyak terdapat perempuan dan anak-anak muda.” Ibrahim menasehati mereka. “Jagalah mata kalian.”

Semuanya menerima nasehat Ibrahim itu. Para jama’ah memasuki kota Mekkah dan melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah, Ibrahim beserta para sahabatnya melakukan hal yang serupa. Seorang pemuda yang tampan menghampirinya dan Ibrahim terkesima memandanginya. Sahabat-sahabat Ibrahim yang menyaksikan kejadian ini merasa heran namun menahan diri sampai selesai thawaf. “Semoga Allah mengampunimu,” mereka menegur Ibrahim. “Engkau telah menasehati kami agar menjaga mata dari setiap perempuan atau kanak-kanak, tetapi engkau sendiri telah terpesona memandang seorang pemuda tampan”. “Jadi kalian telah menyaksikan perbuatanku itu?.” “Ya, kami telah menyaksikannya,” jawab mereka.

“Ketika perdi dari Balkh,” Ibrahim mulai memberi penjelasan, “aku meninggalkan seorang anakku yang masih menyusui. Aku yakin pemuda tadi adalah anakku sendiri”. Keesokan harinya tanpa sepengetahuan Ibrahim, salah seorang sahabatnya pergi mengunjungi perkemahan jama’ah dari Balkh. Di antara semua kemah-kemah itu ada sebuah kemah yang terbuat dari kain brokat. Di dalamnya berdiri sebuah mahligai dan di atas mahligai itu si pemuda sedang duduk membaca al-Qur’an sambil menangis. Sahabat Ibrahim tersebut meminta izin untuk masuk.

“Dari manakah engkau datang?”, tanyanya kepada si pemuda. “Dari Balkh,” jawab si pemuda. “Putera siapakah engkau?”. Si pemuda menutup wajahnya lalu menangis. “Sampai kemarin aku belum pernah menatap wajah ayahku.” Katanya sambil memindahkan Al-Qur’an yang sedang dibacanya tadi. “Walaupun demikian, aku belum merasa pasti apakah ia ayahku atau bukan. Aku kuatir jika ku katakan kepadanya siapa aku sebenarnya, ia akan menghindarkan diri kembali dari kami. Ayahku adalah Ibrahim bin Ad-ham, raja dari Balkh.” Sahabat Ibrahim lalu membawa si pemuda bertemu dengan ayahnya. Ibunya pun turut menyertai mereka. Ketika mereka sampai ke tempat Ibrahim, Ibrahim sedang duduk bersama sahabt-sahabatnya di depan pojok Yamani. Dari kejauhan Ibrahim telah melihat sahabatnya datang beserta si pemuda dan ibunya. Begitu melihat Ibrahim, wanita itu menjerit dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. “Inilah ayahmu!.”

Semuanya gempar. Semua orang yang berada di tempat itu serta sahabat-sahabat Ibrahim menitiskan air mata. Begitu si pemuda dapat menguasai diri, ia segera mengucapkan salam kepada ayahnya. Ibrahim menjawab salam anaknya kemudian merangkulnya. “Agama apakah yang engkau anut?”, tanya Ibrahim kepada anaknya. “Agama Islam.” “Alhamdulillah,” ucap Ibrahim. “dapatkah engkau membaca al-Qur’an?,” “Ya”, jawab anaknya. “Alhamdulillah. Apakah engkau sudah mendalami agama ini?”. “Sudah”.

Setelah itu Ibrahim ibn Adham hendak pergi tetapi anaknya tidak mau melepaskannya. Ibunya meraung keras-keras. Ibrahim ibn Adham mengadahkan kepalanya dan berseru: “Ya Allah, selamatkanlah diriku ini.” Seketika itu juga anaknya yang sedang berada dalam rangkulannya menemui ajal. “Apakah yang terjadi Ibrahim?”, sahabat2nya bertanya. “Ketika aku merangkulnya,” Ibrahim ibn Adham menerangkan, “timbullah rasa cintaku kepada anakku, dan sebuah suara berseru kepadaku: “Engkau mengatakan bahwa engkau mencintai Aku, tetapi nyatanya engkau mencintai seorang lain di samping Aku. Engkau telah menasehati sahabat2mu agar mereka tidak memandang perempuan, tetapi hatimu sendiri lebih tertarik kepda wanita dan pemuda itu!”. Mendengar kata-kata itu akupun berdoa: “Ya Allah Yang Maha Besar, selamatkanlah diriku ini. Anak ini akan merenggut seluruh perhatianku sehingga aku tidak dapat mencintai-Mu lagi. Cabutlah nyawa anakku atau cabutlah nyawaku sendiri.” Dan Kematian anakku tersebut merupakan jawaban terhadap doaku.

No comments:

Post a Comment