Makrifat Dzatullah, Dalam penglihatan kepada Allah walau sudah ditampakkan dengan jelas yang tidak teralingi lagi tak perlu diterangkan secara fulagiar atau apa adanya. Sebagaimana pendapat Imam besar Al Ghazali, ilmu mukasyafah adalah ilmu yang tersembunyi, dan hanya diketahui oleh mereka yang benar-benar mengenal Allah. Karena itulah mereka hanya mempergunakan simbol-simbol khusus serta tidak memperbincangkannya diluar kalangan sendiri sebagaimana kata Imam Al Ghozali selanjutnya: Pengetahuan-pengetahuan yang begini, yang hanya dikemukakan melalui isyarat, tidak diperkenenkan untuk diketahui setiap manusia.
Begitulah halnya dengan orang yang pengetahuan tersebut tersingkap padanya, dia tidak boleh mengungangkapnya kepada orang yang pengetahuan tersebut tidak tersingkap atasnya. Dengan pernyataan ini barangkali Imam Ghozali bermaksud menghindarkan dirinya, dan para sufi lainnya dari kekeliruan-kekeliruan Al Busthami dan Al Hallaj yang mengungkapkan hakikat realitas-reallitas tauhid secara fantastis. Sebab dari penyaksiannya seorang sufi bisa mendaki berbagai peringkat yang tidak mampu diungkap secara ucapan. Dan setiap kali seseorang berusaha mengungkapnya dalam ucapannya niscaya terkandung kekeliruan-kekeliruan nyata.
Maka bagi orang yang tidak memahaminya, menurut Imam Ghozali hendaklah tidak melewati batas yang dinyatakan sebagai berikut: “Hal itu sungguh telah lalu, dan aku lupa lagi maka mending dia sangka dan hal itu jangan Tanya lagi”. Berkatalah Syekh Syathibi: Adapun ciri-ciri Ahlul Ma’rifat ialah orang yang hatinya bagaikan cermin yang dapat terlihat di dalamnya hal-hal yang ghoib dari pada yang selain Dia (Allah), dan sinar hatinya tiada lain kecuali nurul iman dan nurul yaqin. Maka atas sekedar kekuatan imannya, bersinarlah nur hatinya. Dan atas dasar kadar kekuatan sinar nur hatinya dapatelah dia bermusyawarah dengan Al Haqqu la ala....
Dan atas kadar kekuatan musyawarah maka dapatelah ia berma’rifat dengan Asmaullah, Sifatullah dan atas kadar kekuatan Makrifatullah dengan keduanya itu, dapatelah ia mencapai Makrifat Dzatullah Yang Maha Agung. (Kunci Memahami Ilmu Tasawuf hal. 231). Atas kadar kekuatan Makrifat Dzatullah maka sang hamba mencapai sebagai Insanul Kamil/manusia dengan sifat yang sempurna (sifat sempurna). Atas kadar sifat sempurna maka ia tenggelamlah kedalam sifat kesempurnaan Allah. Karena pengabdiannya sbg hamba Allah. Dengan tenggelamnya kedalam sifat kesempurnaan Allah itu maka sang hamba mencapailah pada Maqom Hakikat Ketuhanan.
Pada taraf seperti itu, keindraan mulai fana’/ lenyap maka berkuasalah perasaan batin dalam suatu keadaan “Masiwallah” yakni dalam wujud Allah semata-mata. Akal fikirannya tidak jalan lagi melainkan tiba pada Maqom / derajat tertinggi dan Maha Agung. Ketika itu ia telah beroleh kelezatan yang belum pernah terlihat mata, tidak pernah terdengar telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati sanubari manusia, tidak mungkin disifati atau dinyatakan dengan kata-kata. Tetapi tiap orang akan tahu sendiri bilamana ia telah mencapai maqom itu. Siapa yang belum merasakannya maka ia belum mengenalnya, artinya siapa yang belum mengenal hakikat makrifat maka ia belum sampai kepada maqom tertinggi. Biarlah maqom itu mencarimu dan janganlah kamu mencari maqom itu, karena dia diciptakan untuk manusia yang sudah mencapainya. (Sumber: Buku Rahasia Makrifat Nabi Khidir – Penulis M. Ali)
Intinya apa? Penjelasan yang tidak rampung
ReplyDelete