Saturday, July 16, 2016

JENAKA NASRUDIN HOJA

Salah seorang Sufi yg mengajarkan kebenaran melalui tingkah jenaka ialah Nasrudin Hoja. Beliau menyuruh kita untuk menertawakan diri kita sendiri. Nasruddin Hoja seperti Abu Nawas di Timur Tengah, atau Kabayan di Tanah Sunda. Dgn kejenakaannya beliau mewariskan kebijakan dan kearifan. Berikut adalah salah satu kisah Nasrudin Hoja. Alkisah, para filusuf, ahli ilmu mantiq, dan ahli hukum semuanya berkumpul di istana. Mereka bergabung untuk berdebat dgn Nasruddin Hoja. 

Perkaranya Nasruddin telah berbuat kesalahan yg amat serius. Nasruddin seringkali dtg ke berbagai tempat meneriakkan satu khutbah yg sama. Dlm khutbahnya beliau menyebut org2 ahli ilmu, spt para ulamak sbg org yg bodoh. Tentu saja, khutbah Nasruddin ini dianggap mengganggu ketertiban negara dgn mencela para ahli ilmu. Singkat cerita, mereka yg merasa tersinggung meminta Raja untuk mengadili Nasruddin Hoja. Dipanggil sebuah pengadilan dgn Nasruddin sebagai terdakwa tunggal.

"Hai Nasruddin" ucap Raja
"Ya Baginda" sahut Nasruddin.
"Aku bermurah hati padamu, engkau mendapat giliran utk bicara terlebih dahulu sbg pembelaan atasmu, apa alasan khutbahmu itu” ucap Raja.

Nasruddin lalu meminta dibawakan beberapa lembar kertas dan pena. Setelah itu beliau berkata, "Tolong bagikan kpd para pakar yg ada di ruangan ini, masing2 secarik kertas dan sebilah pena.” Setelah setiap org pakar mendapatkan kertas dan pena, Nasruddin berkata lagi, "Aku mohon kpd setiap ahli utk menulis kan di kertas itu jawaban utk pertanyaanku ini. Apa yg dimaksud dgn roti?” Setiap para ahli ilmu, cerdik pandai, ulama yg ada di tempat itu lalu menuliskan apa yg mereka ketahui ttg roti. 

Jawaban para pakar itu lalu dikumpulkan dan diserahkan kpd Raja. Raja pun membacanya satu demi satu. Ahli ilmu pertama menulis, "Roti adalah sebuah makanan." Ulama kedua menjawab, "Roti adalah tepung bercampur dan air." Si filsuf menulis, "Roti adalah karunia Tuhan." Ahli mantiq selanjutnya menjawab, "Roti adalah terigu yg telah dimasak." Cendikiawan berikutnya menulis, "Roti merupakan makanan bergizi." demikian seterusnya Setiap org yg terkenal ahli ilmu itu menulis jawaban yg berbeda-beda, masing2 bergantung pada pemaknaan mereka akan sebuah roti. 

Setelah mendengar semua jawaban itu, Nasruddin berkata kepada Sang Raja, "Kalian yang hadir disini adalah ahli ilmu namun tak ada seorang pun yang memiliki jawaban yang sama dari sebuah pertanyaanku tentang roti.” “Wahai Baginda Ketika mereka tidak dapat memiliki jawaban yang sama apa yang dimaksud sebagai roti, apakah mereka berhak menentukan khotbahku benar atau salah, inilah maksudku mereka adalah orang2 yg bodoh”. Beliau melanjutkan, "Dapatkah Baginda mempercayakan urusan penilaian atau keputusan kpd org2 seperti ini? Bukankah amat aneh bila mereka tidak sepakat akan sesuatu yg mereka makan setiap hari, tetapi mereka sepakat untuk menentukan bahwa khotbahku salah?” 

Cerita Nasruddin di atas sebenarnya merupakan sebuah sindiran seorg Sufi kpd mereka yg merasa ahli ilmu, mereka yg sibuk mempelajari agama lalu ramai berdebat untuk memutuskan mazhab mana yg benar dan mana yg sesat. Bukankah ketika kita belajar fikih, kita dihadapkan kpd berbagai perbedaan pendapat. Kita akan dianggap orang yang paling pandai apabila kita bisa mengetahui segala pendapat yg berbeda itu, lalu memutuskan bahwa pendapat kitalah yang paling benar. Nasruddin Hoja memberikan pelajaran kepada para ahli ilmu, pemikir, pakar agama, ahli fikih, dan para filusuf tentang hal itu dengan cara yg amat halus. Menurutnya, mereka yang berilmu itu sebetulnya hanyalah org2 jahil, yg kebingungan dan tak bisa menyamakan pendapatnya. Bahkan hanya dalam urusan kecil seperti roti yg dimakan setiap hari.

Kisah ini seakan hendak menyampaikan kpd kita semua bahwa di atas keberagamaan yg terpecah2 ke dlm berbagai mazhab itu, terdapat satu keberagamaan yg disepakati bersama. Seseorang akan menjadi lebih arif apb ia meninggalkan hal yg dipertengkarkan dan memasuki satu hal yg disetujui bersama. Tidaklah mungkin bagi kita utk membuat semua org berpendapat sama ttg cara bagaimana menjalankan keberagamaan yg berbeda dgn benar. Banyak org mengatakan ikhtilaf dlm agama akan segera berakhir bila kita kembali pada AI-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Mereka lupa bahwa ketika para ulama kembali merujuk kpd Al-Quran dan Sunnah, di situlah dimulai perdebatan dan perbedaan pendapat.

Masalah tayamum saja misalnya. Ketika para ulama kembali kpd Al-Quran utk membaca ayat tentang tayamum, mereka akan mengambil kesimpulan yg berbeda berdasarkan penafsiran masing2. Hampir semua ulama sepakat akan hadits Nabi, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap org yg telah dewasa.” Tapi dari satu hadits ini saja, terdapat tak kurang dari tujuh mazhab yg menafsirkan ketentuan ini. Setiap mereka mendakwa bahwa pendapat merekalah yg paling sahih. Seringkali org awam dibingung kan oleh perbedaan pendapat antara ulama. Terkadang segala perbedaan itu berujung pada kebingungan umat dan tak tahu harus menjalankan pendapat yg mana. Bila kita ikuti mazhab yg satu, mazhab yg lain akan menganggapnya sesat. Kepada mereka yg kebingungan, Nasruddin berkata, “Janganlah kau ikuti berbagai macam pendapat yg ada. Kau takkan mungkin dapat mempersamakan para ulama itu." Para ulama yg berbeda paham tersebut hanya mencapai bagian luar dari ajaran agama. Bidang agama yg luas akan selalu menghasilkan perbedaan pendapat. Namun bila kita menukik lebih dlm lagi, ke substansi dari ajaran agama, semua mazhab akan menemukan titik temu. Ke sanalah jalan para Sufi menuju.

Meskipun demikian, jalan Sufi bukan berarti meninggalkan syariat yg dirumuskan berlainan oleh para ulama. Jalan Sufi hanya mengungkap bhw di balik perbedaan syariat itu, terdapat persamaan tharekat dan hakikat. Secara sederhana, semua ini mengajarkan kpd kita untuk tidak menilai keberagamaan seseorang dari pendapatnya yg bermacam2, tetapi dari amal salih yg ia lakukan. Bukankah dalam AI-Quran, Allah berfirman : "Dan masing2 org memperoleh derajat yang sesuai dengan amalnya” (QS. AI-An'am; 132).

Janganlah kita melihat saudara2 kita dari mazhab yang mereka anut, tapi marilah kita ukur mereka dari akhlak dan amalnya, dari kontribusi mereka bagi kepentingan kaum muslimin dan seluruh manusia. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda, "Yang paling baik di antara kamu, ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” Dalam hal ini, semua ulama sepakat. Orang yang paling banyak manfaatnya itulah orang yang paling utama, apapun mazhabnya.

No comments:

Post a Comment