Ke-Ilmuan para Mursyid dari waktu-ke-waktu tidak pernah berubah, bertambah atau berkurang. Tetap stabil pada porosnya yang telah disampaikan oleh para nabi dan rasul, guru awal sampai guru akhir yang hidup bersama kita sekarang. Pengetahuan yang di-ajarkan tidak terlepas dari 3 Pilar Utama:
1. Pemahaman Ibadah yang benar dan tepat.
2. Mahkota Rumah Tangga (Nisa’i).
3. Menemukan Jalan Kembali.
Seterusnya:
1). Pemahaman Ibadah yang benar dan tepat.
Shalat itu terlalu “kamal”, Di dalamnya “liqa” lagi dan “wisal”, Apabila lenyap daripada “waham” dan “khayal”, Engkaulah Sultan yang tiada ber-“mithal”, (Maksudnya : Kamal = Sempurna, Liqa = Pertemuan, Wisal = Cinta, Waham = Salah sangka, Khayal = reka-reka, Mithal = Alam Rohani). Cara beribadah yang dijalani sebagian orang hanya berdasarkan pada perkiraan saja, tanpa melihat dan mengetahui esensi dari sebuah acara ibadah, akhirnya mereka merasakan bahwa ibadahnya belum “afdhal”. Mengapa masih ada perasaan demikian…? Bukankah kita harus mengetahui kebenaran dan ketepatan atas pekerjaan yang kita lakukan?
Ritualitas Ibadah harus ada parameternya, Rasulullah Muhammad telah memberikan “juklak” dan “juknis” dalam menjalankan ibadah terhadap diriNya, dan itu diturunkan hingga ke guru akhir (Mursyid). Untuk melakukan peribadatan yang benar dan tepat, minimal kita harus memahami hakekat ibadah yang ter-formulasi ke dalam 6 pertanyaan mendasar yaitu :
1. Apa itu Ibadah?
2. Siapa yang beribadah?
3. Dimana Beribadah?
4. Kapan Beribadah?
5. Mengapa Beribadah?
6. Bagaimana Beribadah?
Dari ke-enam pertanyaan ini, apabila di pahami dengan benar, maka seseorang dapat beribadah dengan penuh Kekhusu’an. Sehingga mencapai sasaran yang tepat.
Kalau belum kita pahami, maka yang kita jalankan hanya kewajiban saja (Rutinitas biasa), tidak lebih dari itu, sementara disisi lain kita mengharapkan sesuatu yang baik (pahala) atas perbuatan ibadah. Ironos memang antara keinginan dan kenyataan. Bagaimana dapat mencapai derajat Khusu’ , kalau pemahaman terhadap paradigma ibadah saja belum tepat?
2). Mahkota Rumah Tangga (Nisa’i).
Rumah Tangga itu adalah jenjang Penyempurnaan Diri. Hal ini harus dilalui oleh setiap Insan yang akan memasuki gerbang Kesempurnaan. Rumah tangga bukan sekedar penerus dari rasa cinta antara lelaki dan perempuan yang dirajut dalam ikatan Agama yang disebut Nikah, namun dalam Rumah Tangga kalaulah ditelusuri makna Spritualnya, maka kita akan menemukan Samudra Ke-Ilahian yang tak bertepian, namun akan bermuara pada satu tujuan yang Mulia, yaitu “membantu” pengenalan Sang Pencipta. Sudah seharusnya pengetahuan ini didapatkan bagi mereka yang telah masuk didalamnya.
3). Menemukan Jalan Kembali.
“Aku Kematian dan Kebangkitan, barang siapa percaya kepadaku, maka ia akan hidup, sekalipun mati…”. Kematian dan kehidupan adalah merupakan satu paket yang sama. Dimana ada kematian, maka ada kehidupan, dan dimana ada kehidupan, maka ada kematian. Bagaimana caranya sekarang kita memahami kematian sebagai awal untuk menyempurnakan Diri menjadi lebih baik, dalam menjalani kehidupan kembali.
Kematian bukan akhir dari segala perjalanan hidup, tetapi kematian harus dipahami sebagai proses untuk penyempurnaan kehidupan kembali seorang manusia, maka proses kematian ini harus dipahami juga sebagai proses kehidupan. Dengan pemahaman demikian, maka kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan, dan menyeramkan, dengan berbagai anggapan selama ini tentang adanya “neraka” ataupun “surga” namun ini adalah suatu perjalanan yang Mulia yang akan dialami oleh tiap-tiap manusia. Dalam menemukan Jalan Kembali (untuk hidup lagi) maka seseoran harus mengetahui apa itu mati? Kapan akan mati? Dimana mati? Dan bagaimana untuk kembali lagi dalam realitas kehidupan ini.
Dengan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang kematian yang Paripurna, maka tidak diragukan lagi, seseorang akan “hidup” di dua alam.
No comments:
Post a Comment