Friday, February 26, 2016

PENGERTIAN IMAN SECARA UMUM DAN TASAWWUF

Secara umum di dalam kitab tafsir Ruhul Bayan disebutkan bahwa iman menurut syari’at adalah meyakini dengan hati, mengakui dengan lisan dan mengerjakan dengan amal perbuatan. Adapun pengertian Islam menurut syari’at adalah tunduk dan patuh. Maka setiap yang beriman berarti telah Islam, namun tidak setiap yang Islam berarti telah beriman. Adapun pengertian Islam menurut hakikat yaitu sebagaimana sabda Nabi SAW:

 اَنْ تَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّاللهُ

Menyaksikan tiada Tuhan selain Allah, sedangkan pengertian iman secara hakikat adalah sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 16 :

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ أَمَنُواْ اَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِاللهِ

Belumlah seseorang itu dikatakan beriman sebelum hatinya itu dapat khusyuk mengingat Allah.

Iman dalam pengertian sufi adalah sesuatu (Nur atau Cahaya Ilahi) yang masuk ke dalam hati insan yang telah siap menerimanya (karena merasa butuh kepada-Nya). Kesiapan itu ditandai dengan kehendak dan harapan bertemu dengan-Nya (oleh karena itu, insan yang demikian disebut murid, yaitu orang yang berkehendak bertemu Tuhannya).

Kesiapan ditandai pula dengan tekad kuat untuk melakukan peperangan terbesar (jihadul akbar), yaitu memerangi nafsu dan membunuh watak akunya (jihadunnafs), sehingga nafsunya (yang wujudnya adalah jiwa raganya) tunduk dan patuh untuk dijadikan kendaraan (buraq) bagi hati, roh dan rasa, berjalan mendekat hingga kembali kepada-Nya dengan selamat (bi qalbin salim) dan rasa bahagia selama-lamanya.

Bagi sufi, Nur Ilahi ini haknya memang berada di dalam hati. Sedangkan semua yang lain harus dikeluarkan dari dalam hati (makna tashfiyatul qalbi) sehingga yang senantiasa diingat-ingat dan dihayati dalam rasa hati hanyalah Keberadaan Zat Al-Ghaib Yang Mutlak Wujud-Nya ini saja. Nur Ilahi ini lalu dirasakan membutir di dalam rasa hati menjadi butiran iman. Mereka yang telah mencapai maqam ini biasa disebut Maqam Ma’rifat.

Dengan Nur Ilahi ini, hati seorang sufi menjadi seakan-akan memandang kepada Wajah-Nya (tawajjuh), yaitu merasakan Keberadaan-Nya secara jelas dan nyata dalam rasa hati, di dalam setiap amal dan perbuatannya di mana saja, kapan saja, dan sedang dalam kondisi apa pun. Dengan cara inilah, semua amal dan perbuatannya dapat terhubung erat dan menyatu dengan Tuhannya. Dalam keadaan demikian, Tuhan selalu membuatnya melakukan perbuatan yang dikehendaki-Nya.

Perjalanan hidup seorang sufi adalah memproses diri untuk selalu menyatukan perbuatan yang lahir (zhahir) dan yang batin (bathin), yaitu menyatukan syariat (aturan-aturan formal agama) dan hakikat, dilakukan secara bersamaan sebagaimana tidak terpisahnya jiwa dan raga selama hidup di dunia ini. Mengapa bisa demikian? Karena yang lahir (syari’at) dikerjakan oleh jasad yang tampak oleh mata kepala. Bersamaan dengannya, yang batin (hakikat) dilakukan oleh hati, roh dan rasa, yang sama sekali tidak kasat mata (dibangsakan gaib, tetapi bukan Al-Ghaib-Nya Tuhan).

Lompatan Iman.

Mereka, para sufi, mengalami pengalaman lompatan iman (yaitu menyatunya ilmu tauhid, takwa, khusyu’, ihsan dan ikhlas, dalam rasa hati) dalam pelaksanaan aturan-aturan formal agama yang disampaikan lewat guru (mursyid) kepadanya. Terutama sekali, lompatan iman ini terealisasi dalam hal menegakkan salat untuk mengingat-ingat keberadaan Diri Ilahi (bukan mengingat-ingat arti bacaan salat).

Bahkan, bisa dikatakan, lebih kepada mengintai-intai keberadaan Diri-Nya sehingga dirinya (si pelaku shalat) tidak lagi merasa melakukan salat, karena perhatiannya sepenuhnya terserap kepada Diri-Nya. Hanya salat yang demikian saja yang dipastikan dapat mencegah diri dari perbuatan yang keji dan munkar (tanha ‘anil fahsya wal munkar). Begitu pula halnya dalam menafkahkan sebagian rezeki halal yang diperolehnya, dikeluarkan dengan mudah di jalan-Nya (seperti memenuhi hak-hak tanggungannya dan menolong orang-orang yang sangat membutuhkan), karena dirinya sudah tidak lagi merasa memiliki apa saja.

Bahkan, shalat yang khusyu’ ini bagi sufi merupakan cara (hati) mengembalikan jasad manusia kepada unsur-unsurnya (yaitu tanah, air, api, dan udara). Pengembalian ini terus menerus dilakukan sebelum mati, yang sebenarnya ditemui (muutuu qabla anta muutuu). Pengembalian ini dimaksudkan agar tidak menjadi penghalang (hijab) mata hatinya guna melihat Wajah-Nya hingga dapat selamat bertemu dengan-Nya di Akhirat kelak.

Selain pengembalian jasad, sufi memproses pengembalian roh (terjadi dalam penghayatan rasa hatinya), karena roh ini milik-Nya jua (Ruh Ilahi), sehingga apa saja (termasuk keberadaan dirinya dan perbuatannya) yang semua itu adalah milik-Nya, tidak lagi diakui dan dirasa miliknya.

Dengan demikian, sufi menjalani kehidupan di dunia ini tetap sebagaimana mestinya manusia biasa hidup di dunia, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan asasinya dan mengatasi masalah-masalahnya, tetapi niat dan tekadnya (membuktikan makna zuhud dan ‘uzlah) sama sekali tidak untuk hidup berdunia dengan nafsu dan watak akunya. Niat dan tekad hidupnya senantiasa tetap untuk memproses diri mendekat kepada-Nya demi mencapai cita-cita dan tujuan hidup, semata-mata bertemu dengan-Nya Yang Kekal Abadi.

Pengalaman keagamaan seorang sufi dilandasi oleh kesadaran al-faqir, yaitu merasa diri tidak bisa apa-apa, tidak punya apa-apa, tidak tahu apa-apa, bahkan bukan apa-apa. Juga, dilandasi rasa syukurnya terhadap banyaknya pemberian Tuhan kepadanya. Pemberian jiwa raga dan keberlangsungan hidupnya di dunia, ini saja sudah cukup banyak baginya.

Sufi meyakini pemberian terbesar dalam kehidupannya (al-kautsar) adalah masuknya butiran iman (Nur Ilahi) ke dalam (rasa) hatinya, sehingga lalu memfungsikan mata hatinya (yang ada di dalam hati, ruh dan rasa) dapat dengan mudah dan indah merasakan Keberadaan-Nya yang sungguh-sungguh dekat sekali kepadanya (bahkan lebih dekat dari jiwa raganya sendiri).

Nikmatnya zikir (mengingat-ingat dan menghayati Ada dan Wujud Diri-Nya Zat Yang Al-Ghaib) dalam rasa hatinya pun lalu terbukti. Inilah rahasia kebenaran mutlak Al-Haqq-Nya yang sama sekali tak terungkap dalam kata-kata dan tak terjangkau akal pikiran. Seperti rahasia rasa asin, hakikatnya tak terungkap dan tak terpikir kecuali satu-satunya cara merasakan keberadaannya adalah dengan mencicipi garamnya. Padahal, garam ini masih bisa dilihat mata dan masih bisa dipikirkan akal.

Apalagi terhadap Tuhan Yang Al-Ghaib, sama sekali mustahil untuk mencerapnya dengan indra dan akal. Sejauh-jauh jangkauan akal manusia akhirnya hanya akan sampai pada kesimpulan hukum sebab-akibat penciptaan saja.

Setelah hati mengenali Keberadaan-Nya (ma’rifatullah), akal yang lalu tercerahi Cahaya Ilahi pun tak mampu mengingkari Keberadaan-Nya Yang Esa dan Mutlak. Meskipun demikian, akal tercerahkan ini tetap saja bungkam seribu bahasa tak mampu memaparkan-Nya, sebagaimana ia pun tak mampu memaparkan hakikat rasa asin. Rahasia rasa (sirr) inilah yang sebenarnya menjadi dasar manusia. Buktinya, kehidupan tanpa rasa akan menjadikan kehidupan ini hambar sama sekali.

Akan tetapi ternyata semua rasa duniawi (termasuk rasa suka maupun duka yang dialami manusia) mendindingi atau menutup rapat-rapat rasa asli (sebagai hakikat insan) untuk merasakan Keberadaan Diri-Nya Zat Yang Wajib Wujud-Nya.

Setelah manusia tumbuh dalam kehidupan berdunia yang berporoskan nafsu dan watak akunya, mata hatinya lalu menjadi buta sama sekali. Akibatnya, manusia tidak lagi percaya bisa mengenali-Nya, apalagi hingga sampai bertemu dengan-Nya.

No comments:

Post a Comment