Sunday, April 10, 2016

SIAPAKAH DIA WALI TUHAN?

Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali menulis sebuah cerita dalam Mukasyafat Al-Qulub: Alkisah, seorang bangsawan berjalan-jalan di pasar budak. Matanya tertarik pada seorang budak bertubuh sasa. Lalu ia bertanya kepada budak itu, "Maukah kau bekerja untukku? Aku lihat kau mempunyai keterampilan yang aku perlukan." Dengan tenang budak itu menjawab, "Aku mahu bekerja untuk siapa pun dengan dua syarat." "Apa dua syaratmu itu anak muda?" tanya sang bangsawan ingin tahu. "Dua syaratku adalah; pertama, aku hanya bekerja siang hari, jangan suruh aku bekerja di malam hari dan kedua, aku tidak mahu tinggal satu rumah denganmu. Beri aku tempat tinggal yang lain." Mendengar ini, timbul rasa ingin tahu yang lebih dari bangsawan, ia pun berniat untuk mengambil budak itu bekerja, apatah lagi budak itu memenuhi kriteria pekerja yang dia perlukan.

Singkatnya cerita, dibawalah budak itu ke rumah sang bangsawan. Dia diizinkan untuk tinggal di sebuah gubuk di sebelah rumah mewah bangsawan. Lalu bermulalah hari-hari si budak bekerja bagi majikan barunya. Segala sesuatu berjalan apa adanya. Si budak bekerja di siang hari menjalankan tugas-tugasnya sampai majikannya sangat puas terhadapnya. Ingin rasanya majikan itu memintanya kerja juga di malam hari walaupun hanya untuk pekerjaan ringan, tetapi dia teringat akan syarat pertama si budak. Dan dia merasa berpuas hati dengan pekerjaan yang dibuat oleh si budak itu pada siang hari. Semuanya berjalan lancar sampai suatu saat ketika istri si bangsawan merasa ingin memberi hadiah atas kerja keras budak itu. Tanpa sepengetahuan suaminya, malam hari, istri bangsawan itu membawakan sesuatu buat si budak.

Ia menyelinap masuk ke dalam gubuk. Alangkah terperanjatnya istri bangsawan itu apabila ia menemukan budak itu telungkup sujud. Di atasnya bergayut lingkaran putih bercahaya. Menurut Imam Ghazali, cahayanya terpancar dari langit. Melihat ini, istri bangsawan segera berlari menemui suaminya dan berkata, "Wahai suamiku, sesungguhnya budak itu adalah seorang wali Allah!" Dengan segera pasangan suami istri itu bergegas menemui si budak. Apa jawab budak itu ketika bertemu dengan mereka? Ia hanya menjawab singkat, "Bukankah sudah aku minta agar kalian tidak menggangguku di malam hari?" 

Lalu ia menadahkan tangannya ke langit seraya menggumamkan sebuah syair: Ya shahib al-sirr, inna al-sirra qad zhahara, fa ma uridu al-hayata ba'da isytahara. Wahai pemilik rahasia, sesungguhnya rahasia ini telah terungkap, maka tak kuinginkan lagi hidup ini setelah rahasia ini tersingkap." Tak lama setelah membacakan syair ini, si budak pun sujud dan menghembuskan nafasnya yang terakhir, meninggalkan suami istri itu dalam keheranan. Cerita yang agak panjang dari Imam Ghazali itu memberikan kita pengajaran beberapa perkara.

Pertama, bahwa kita (sebagai manusia biasa) tidak boleh mengetahui begitu saja bahwa si fulan ini adalah wali Allah dan fulan yang lain bukan. Menurut para sufi, la ya'rif al-wali illa al-wali, tidak akan mengetahui seorang wali selain wali Tuhan yang lainnya. Allah "mengikat" hati orang-orang yang dekat kepada-Nya dalam satu ikatan cinta. Mereka didekatkan Allah dengan yang lainnya. Al-Quran mengatakan, "Fa allafa baina qulubikum fa ashbahtum bi ni'matihi ikhwana. Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara" (QS. Ali Imran:103). 

Ada getaran tertentu ketika seorang wali bertemu dengan wali yang lainnya. Ada aura batiniah yang mempersatukan mereka. Jadi bolehkah kita -sebagai orang awam- mengetahui siapakah dia wali Tuhan yang berjalan di muka bumi? Siapakah dia yang tangisannya di tengah malam dirindukan penghuni 'Arasy di langit tinggi?

Sebuah kisah tasawuf lainnya mungkin boleh menjawab pertanyaan ini. Alkisah seorang murid bertanya kepada gurunya, "Guru, nun jauh di seberang sana ada orang yang boleh berjalan di atas air?" Gurunya menjawab, "Apa anehnya, dari dulu katak boleh berjalan di atas air." Muridnya lalu bertanya lagi, "Guru, di tempat yang lain ada orang yang boleh terbang ke sana ke mari." Guru itu menjawab, "Itu juga tidak aneh, dari dulu lalat beterbangan dari satu tempat kotor ke tempat lainnya." Oleh kerana ingin tahu, murid itu bertanya lagi, "Tapi guru, ada juga orang yang boleh berada di berbagai tempat pada saat yang sama." Sang guru pun menjawab, "Anakku, dari dulu setan berada di jutaan hati manusia pada saat yang sama." Putus asa, murid itu lalu bertanya, "Lalu yang bagaimanakah yang disebut wali Tuhan?" 

Dengan tenang guru itu menjawab, "Dia yang dapat memasukkan rasa bahagia pada sesama saudaranya.” Kebanyakan kita tak mengendahkan keadaan orang lain dan lebih memperhatikan diri kita. Seperti banyak sufi besar dalam sejarah, umumnya mereka diejek orang, bahkan sering dianggap gila dan dijauhi masyarakat. Tengoklah kisah, misalnya, Bahlul dan Al-Hallaj. Mereka dianggap "sesat" hanya karena masyarakat di zaman itu tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Ini membawa kita pada hikmah kedua dari cerita Imam Ghazali: bahwa anugerah Allah yang dikhususkan kepada para kekasih-Nya adalah "rahsia" antara Dia dan kekasih-Nya.

Seperti kisah si budak di atas, selama ini ia memperoleh kelezatan spiritual dengan bermunajat kepada Allah. Ia merasakan kebahagiaan berduaan dengan kekasihnya tanpa ada tirai di antara mereka. Dalam tasawuf kita mengenal pula istilah "Bukanlah wali jika ia menceritakan karamah-nya kepada orang lain".

Maksudnya, tidak semua orang akan mengerti apa yang sudah dialami oleh para sufi, sehingga apabila karamah itu disampaikan, orang biasa mungkin akan sukar memahaminya. Ketika Manshur Al-Hallaj hendak dipancung, ia mengangkat tangan ke langit dan berkata, "Tuhanku, maafkan aku kerana aku mengetahui apa yang mereka tidak ketahui, dan maafkan mereka kerana tidak mengetahui apa yang aku ketahui." Sebagian sufi menilai bahwa "dieksekusinya" Manshur Al-Hallaj adalah konsekuensi dari pengungkapan rahsia yang diberikan Allah khusus kepada Al-Hallaj.

Dengan meneriakkan, "Ana al-Haqq." Al-Hallaj dipandang telah menyebarkan rahsia itu. Nabi yang mulia pun (semoga rahmat Allah tercurah baginya dan keluarganya) berbicara kepada sahabatnya 'ala qadri 'uqulihim, sesuai kadar kemampuan para sahabat itu mencernanya. Kalau memang semua orang di zaman Nabi mempunyai kemampuan mencerna yang sama, maka tidak akan kita dapati pada kitab-kitab hadis tanya jawab antara Nabi dengan para sahabatnya. Kerana itu juga, hadis-hadis tasawuf mempunyai rijal sanad yang sedikit -bahkan kebanyakan di antaranya dinilai sebagai hadis dhaif oleh sebagian ulama- kerana hadis-hadis itu tidak disampaikan kepada orang kebanyakan.

Pernah suatu saat, ayah Ibn 'Arabi mempertemukan Ibn Rusyd dengan Ibn 'Arabi. Orang-orang menunggu di luar menanti hasil sidang istimewa itu. Ketika Ibn Rusyd keluar, mereka bertanya kepadanya, "Apa yang sudah terjadi?" Dengan singkat Ibn Rusyd berkata, "Ia (Ibn 'Arabi) merasakan apa yang selama ini aku ketahui." Ketika kepada Ibn 'Arabi ditanyakan hal serupa, ia menjawab, "Ibn Rusyd mengetahui apa yang selama ini aku rasakan." Baik Ibn 'Arabi maupun Ibn Rusyd tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang mereka maksud dengan jawaban mereka itu. Mungkin mereka khawatir bahwa orang-orang pada waktu itu tidak akan memahami apa yang mereka fahami.

Jika demikian, bagaimana kaitannya dengan fa amma bini'mati rabbika fahaddits, dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebutnya (QS. Al-Dhuha:11)? Jika anugerah yang diberikan Allah berupa karamah-karamah itu sebaiknya tidak kita sebarkan, bagaimana kita hendak menyebut nikmat Tuhan itu sebagaimana bunyi ayat tadi? Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "menyebut nikmat Tuhan" itu adalah dengan mensyukurinya, dan menurut para sufi, cara mensyukuri nikmat yang khusus itu tidaklah selalu dengan menyebarkan berita tentang karamah itu kepada banyak orang, tetapi dengan "mengajarkan" kepada orang lain sehingga orang itu boleh juga merasakan apa yang dia rasakan. Dengan erti lain, sebarkanlah nikmat kelazatan spiritual yang dianugerahkan Tuhan secara khusus itu dengan mengajarkan agar orang lain memperoleh kenikmatan yang serupa.

Hikmah yang ketiga dari cerita Imam Al-Ghazali adalah: bahwa seorang pecinta Tuhan yang sejati akan meluangkan sebagian waktunya khusus untuk kekasihnya. Sebagaimana si budak yang mengkhususkan waktu malamnya untuk Tuhan, begitu pula seharusnya kita dalam belajar mencintai Tuhan. Dalam istilah tasawuf, kita mengenalnya dengan khalwat. Dalam dunia esoterik kita mengenalinya dengan meditasi. Selain untuk lebih mendekatkan kita kepada Tuhan, berkhalwat dapat juga mengatasi kelelahan-kelelahan psikologi kita.

Dunia moden dengan segala macam ragam telah mengubah hati kita menjadi sarana pergelutan duniawi yang tak kunjung berakhir. Dengan berkhalwat kita senntiasa diingatkan akan tujuan kehidupan kita yang sesungguhnya. Terbukti, dalam berbagai ritual meditasi, orang yang sanggup menenangkan dirinya, lebih bahagia menjalani kehidupan ini. Menenangkan atau menguasai diri adalah tingkatan pertama dari wilayah takwiniyyah, Pada proses selanjutnya, setelah manusia sanggup menguasai dirinya, ia melangkah pada proses menguasai selain dirinya. Imam Ali kw, misalnya, pernah -dengan izin Tuhan- mengembalikan matahari setelah ia terbenam pada satu peperangan kerana para sahabatnya menolak untuk solat dengan alasan waktu yang sudah habis.

Kita tidak akan membicarakan wilayah takwiniyyah itu sekarang. Hikmah ketiga yang diajarkan Imam Ghazali adalah berkhalwat dengan Tuhan. Pernah, Imam Khumaini diberitahu oleh pembantunya bahwa ada tamu yang menunggunya di masjid. Pembantu Imam itu kehairanan melihat Imam tidak menjawab ketika dia memanggilnya. Imam bahkan melangkah dan masuk ke biliknya. Tak lama setelah itu, Imam keluar dan menemui para tamunya. Setelah para tamu itu pulang, pembantu Imam bertanya kepada Imam atas perilaku Imam yang menghairankannya. Imam menjawab, "Tadi, ketika engkau memanggilku, adalah waktu khusus aku dengan Tuhanku." Imam Khumaini tidak mau waktu khususnya dengan Tuhan diganggu oleh hal-hal lain.

Jika kita boleh menyediakan waktu khusus bagi orang-orang yang kita cintai, bagi keluarga dan kerabat kita, mengapa kita tidak boleh menyediakan waktu khusus buat Dia yang seharusnya dicintai semua makhluk? Imam Khumaini dalam Arbai'in Hadits-nya mengajarkan cara berkhalwat itu dengan singkat: mulailah setiap kita hendak tidur dengan musyarathah (pensyaratan) terhadap apa yang akan kita lakukan esok hari, lalu sepanjang esok hari itu, kita berusaha untuk muraqabah (penjagaan), menjaga dan berusaha agar apa yang kita syaratkan malam sebelumnya itu terlaksana, dan akhirilah pada saat menjelang tidur lagi dengan muhasabah (perhitungan), dengan mengevolusi apakah yang sudah kita syaratkan itu terpenuhi atau tidak. Pada saat muhasabah itulah saat terbaik untuk berkhalwat dengan Tuhan.

Tidakkah kita dengar kerinduan Tuhan yang memanggil kita untuk berduaan dengan-Nya? Wahai orang yang berselimut, bangunlah di malam hari, walaupun sedikit, atau setengahnya, atau kurangilah dari setengahnya itu sedikit, dan bacalah Al-Quran. (QS. Al-Muzammil:1-4) Tuhan mengajak kita untuk meluangkan waktu malam kita. Jika kita tidak boleh, Tuhan meringankannya dengan hanya meminta setengah dari malam itu. Jika itu pun kita masih tidak bisa, Tuhan berkata, "... sedikit saja dari waktu malammu itu". Atau kalau itu pun masih sukar bagi kita, bacalah Al-Quran di malam hari.

Kebanyakan kita masih sukar untuk melakukan itu. Satu-satunya cara agar boleh memenuhi kerinduan Tuhan itu adalah dengan menaklukkan keinginan diri kita dan berserah diri pada keinginan Tuhan. Itulah tujuan dari semua hikmah dalam tasawuf. Kerana itu, untuk menjawab judul tulisan ini, siapakah dia wali Tuhan? Imam Ghazali menjawabnya dengan hikmah-hikmah dari cerita budak di atas.

Pertama, dialah wali Tuhan yang berjalan di muka bumi dan menyebarkan kebahagiaan pada sesama manusia. Kedua, dialah wali Tuhan yang menyebarkan nikmat Tuhan dengan mengajak sesamanya untuk berjalan bersamanya menuju Tuhan. Dan terakhir, dialah wali Tuhan yang meluangkan sebahagian bahkan seluruh waktunya beribadat kepada Tuhan, pasrah dalam cinta kepada-Nya. Andakah dia wali Tuhan yang berjalan di muka bumi? Maha Benar Allah, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Semoga bermanfaat. Wa min Allah at Tawfiq.

No comments:

Post a Comment