Dibalik kiprah dalam karir politiknya yang cemerlang, pemikirannya yang progresif, dan sebagai tokoh ulama yang alim, pada diri KH Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) menyimpan pula kepribadian yang terpuji dan karakter yang mulia. Salah satu di antara kesukaan yang telah menjdi kebiasaan yang melekat pada putra Hadhratussyekh KH M Hasyim Asyari ini adalah gairahnya dalam membaca dan menghafal Al-Qur’an. Ayahanda Gus Dur ini selain suka berpuasa sunah yg sering dilakukannya adalah membaca Al-Qur’an dan berzikir di malam hari. Kegemaran membaca dan menghafal Al-Qur’an membuatnya secara tetap menyisihkan sebagian waktunya utk membaca atau menghafal Al-Qur’an di tengah2 kesibukannya sebagai seorg pemimpin nasional. Kesibukannya sepanjang hari yg penuh dgn acara2 politik, perjuangan dan kemasyarakatan tidak menghalanginya untuk mencari celah waktu agar dapat membaca dan menghafal Al-Qur’an.
Laku spiritual tersebut selalu dilakukannya, baik ketika sedang menghadiri persidangan kabinet, berdiskusi, atau sedang menyetir mobil sekalipun. Dengan demikian setiap hari selalu ada waktu yang disempatkannya untuk untuk meneruskan hafalan Al-Qur’annya. Bila sudah khatam seluruh Al-Qur’an, maka diulangi lagi dari permulaan. Selain itu bacaan Al-Qur’an yang hendak dihafal dibacanya pula dalam tiap kali Solat. Meskipun beliau bukan seorang hafiz, tetapi boleh dikatakan hampir hafal seluruh isi Al-Qur’an. Dalam kaitan dengan Al-Qur’an ini, ada satu hal yang menarik pada diri KH Wahid Hasyim. Telah menjadi kebiasaannya apabila sedang sakit, ia tak cuma diobati dengan obat-obatan dari dokter, melainkan seringkali mendengarkan bacaan-bacaan Al-Qur’an. Kebetulan yang menjadi salah satu juru tulisnya adalah seorang yang bernama Khairi Abdurrahman yang tinggal di daerah Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur.
Suatu waktu Khairi ini ditanya Kiai Wahid siapa kiranya yang bisa dipanggil untuk membaca Al-Qur’an ketika beliau menderita sakit. Kemudian Khairi Abdurrahman bertanya kepada istrinya yang berasal dari Serang. Ketika itu kebetulan di sana banyak terdapat ahli dalam membaca Al-Qur’an. Ternyata salah seorang di antara kerabatnya sendiri adalah seorang tokoh qira’at yang kemudian menjadi sangat terkenal di Jakarta, yaitu KH Tubaghus Manshur Ma’mun. Maka dipanggilkah kiai tersebut ke Jakarta untuk membacakan Al-Qur’an kepada KH Wahid Hasyim yang sedang sakit. Itulah awal mula kedatangan ahli Al-Qur’an terkemuka ini ke ibu kota. Jadi kedatangannya terkait dengan kehidupan KH Wahid Hasyim.
Kecintaan membaca dan mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang telah mengakar kuat pada karakter KH Wahid Hasyim ini bila ditelusuri merupakan salah satu kebiasaan yang dahulu juga telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam sejarahnya, Rasulullah senang mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain sebagaimana beliau juga senang membacanya sendiri. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah bersabda, “Bacakanlah Al-Qur’an untukku. Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Ya Rasululluah, haruskah aku membacakannya kepada Anda, sedangkan Al-Qur’an sendiri diturunkan kepada Anda?” Rasulullah menjawab, “Benar aku ingin mendengarkannya darimu”. Maka Abdullah bin Mas’ud membacakan Surat An-Nisa’. (M. Haromain). Disarikan dari: Ali Yahya, Sama Tapi Berbeda: Potret Keluarga Besar KH A Wahid Hasyim, penerbit: Yayasan KH A Wahid Hasyim, 2007.
No comments:
Post a Comment