1). Thoriqoh Syattariyah: Penyebaran thoriqoh syattariyah berpusat pada satu tokoh utama, yakni Abdur Rauf al-Syinkili di Aceh. Melalui sejumlah muridanya, ajaran thoriqoh syattariyah tersebar ke berbagai wilayah di dunia melayu-Indonesia. Diantara murid-murid as-sinkili yang paling terkemuka adalah Syaikh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman, Sumatra Barat dan Syeikh Abdul Muhyi dari pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Bersama-sama dengan thoriqoh lain, thoriqoh syattariyah yang dikembangkan oleh as-sinkili dan murid-muridanya tersebut menjadi salah satu thoriqoh yang mengembangkan ajaran tasawuf di dunia melayu-Indonesia dengan kecenderungan Neosufisme. Diantara karakteristik yang menonjol dari ajaran neosufisme adalah adanya ajaran untuk saling pendekatan antara ajaran syari’ah dengan ajaran tasawuf. Dalam konteks tradisi intelekstual Islam di dunia melayu-Indonesia, ajaran tasawuf dengan corak neosufisme ini, telah menjadi wacana dominan sejak awal abad ke-17, sehingga mempengaruhi hampir semua karya-karya keislaman yang muncul, khususnya dibidang tasawuf.
2). Thoriqoh Khalwatiyyah: thoriqoh ini banyak di anut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, atau di tempat-tempat lain dimana suku itu berada seperti di Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon dan Irian Barat. Nama Khalwatiyah diambil dari nama seorang sufi ulama’ dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf al-Makassari al-Khalwati yang sampai sekarang masih sangat dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari thoriqoh ini yang hadir bersama. Keduanya dikenal dengan nama thoriqoh Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Ajaran-jaran dasar thoriqoh Khalwatiyah antara lain:
a. Yaqza: kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina dihadapan Allah SWT.
b. Taubah: mohon ampun atas segala dosa.
c. Muhasabah: menghitung-hitung atau introspeksi diri.
d. Inabah: berhasrat kembali kepada Allah.
e. Tafakkur: merenung tentang kebesaran Allah.
f. I’tisam: selalu bertindak sebagai khalifah Allah di Bumi.
g. Firar: lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna.
h. Riyadah: melatih diri dengan beramal dengan sebanyak-banyaknya.
i. Tasyakur: selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi dan memujinya.
j. Sima’: mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.
3). Thoriqoh Sammaniyah: adalah thoriqoh pertama yang mendapat pengikut massal di nusantara. Hal yang menarik dari thoriqoh ini, yang mungkin menjadi ciri khasnya adalah corak wahdatul wujud yang dianut oleh thoriqoh sammaniyah dan Syathohat yang terucapkan olehnya tidak bertentangan dengan syari’at. Thoriqoh Sammaniyah didirikan oleh Muhammad bin Abdul Karim al-Madani al-Syafi’i al-Samman. Ia lahir di Madinah dari keluarga Quraisy. Dari semua wilayah nusantara, praktik thoriqoh Sammaniyah yang masih meriah hingga kini adalah di wilayah Sulawesi Selatan. Pengikut thoriqoh Sammaniyah ini sesungguhnya berasal dari bugis dan Makassar. Dimanapun mereka berada, di Kalimantan Timur, di Riau, Malaysia, Ambon dan Papua. Maka kita akan dapati mereka mempraktekkan ajaran sammaniyah ini. Tetapi tidak bbisa diragukan lagi bahwa pusat gerakan sammaniyah ini terdapat di daerah Sulawesi Selatan
4). Thoriqoh Tijaniyah: Thoriqoh ini didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani yang lahir di ‘Ain Madi, Al-Jazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Syeikh ahmad Tijani di yakini oleh kaum Tijaniyah sebagai wali agung yang memiliki derajat tertinggi, dan memiliki banyak keramat, karena didukung oleh faktor genealogis, tradisi keluarga, dan proses penempaan dirinya. Thoriqoh Tijaniyah memiliki aturan-aturan yang haruis di tegakkan oleh setiap pengamal thoriqoh tersebut. Aturan-aturan dalam thoriqoh Tijaniyah terdiri dari syarat-syarat dan tatakrama terhadap guru, sesama islam, dan terhadap dirinya sendiri. Thoriqoh Tijaniyah masuk ke Indonesia tidak di ketahui secara pasti, tapi ada dua fenomena yang menunjukkan gerakan awal thoriqoh Tijaniyah, yaitu kehadiran Syaikh Ali bin Abdullah ath-Thoyyib dan adanya pengajaran thoriqoh Tijaniyah di pesantren Buntet, Cirebon. Dewasa ini, thoriqoh Tijaniyah tersebar diseluruh Indonesia, namun yang paling banyak berada didaerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa timur. Basis jamaah thoriqoh Tijaniyah ada di tiap-tiap daerah. Cirebon dan Garut sebagai basis wilayah jawa Barat, Brebes dab Pekalongan sebagai basis wilayah Jawa Tengah, sementara Surabaya, Probolinggo dan Madura sebagai basis wilayah Jawa Timur.
5). Thoriqoh Syadziliyah: Thoriqoh ini tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu Hasan al-Syadzili. Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Abu Hasan al-Syadzili (wafat 1258 h). silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan mereka yang bergaris keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah, anak perempuan nabi Muhammad SAW. Pemikiran-pemikiran thoriqoh Syadziliyah antara lain:
a. Tidak menganjurkan kepada murid-muridanya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan dan kendaraan yang layakdalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah swt dan mengenal rahmat Illahi.
b. Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat islam.
c. Zuhud bukan berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan.
d. Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi millionair yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya.
e. Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, akan kekeringan spiritual yang sedang menimpanya.
f. Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah.
g. Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah (gnosis), as-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifah adalah salah satu tujuan ahli thoriqoh atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama, Mawahib atau ‘Ain al-Jud (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya dengan tanpa usaha dan dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberikan anugerah tersebut. Kedua, Makasib atau Badzi al-Majhud yaitu Ma’rifah akan dapat diperoleh melalui usaha keras, melalui ar-riyadloh, mulazamah al-dzikr, mulazamah al-wudlu, puasa, Solat sunnah, dan amal shaleh lainnya.
6). Tarekat Idrisiyyah Bersanad Kepada Nabi Khidir as. Tarekat Idrisiyyah dinisbahkan kepada nama Syekh Ahmad bin Idris al-Fasi al-Hasani (1173-1253H/1760-1837M). Sebenarnya Tarekat ini berasal dari Tarekat Khidhiriyyah yang berasal dari Nabi Khidir As yang diberikan kepada Syekh Abdul Aziz bin Mas’ud ad-Dabbagh Ra. Setelah Syekh Ahmad bin Idris Ra. Tarekat Idrisiyyah mengalami perkembangan lebih jauh yang melahirkan berbagai jenis Tarekat lainnya, hal ini disebabkan karena beberapa murid Syekh Ahmad bin Idris membuat komunitas Tarekat yang dinisbahkan kepadanya dan mengembangkan ajarannya menjadi suatu sistem ajaran yang lebih spesifik. Oleh karenanya tidaklah heran jika Tarekat Idrisiyyah ini memiliki hubungan yang erat dengan nama-nama Tarekat lainnya, seperti Sanusiyyah, Mirghaniyyah, Rasyidiyyah, Khidhiriyyah, Syadziliyyah, Dandarawiyyah, Qadiriyyah. Bahkan Syekh Muhammad bin Ali Sanusi sebagai murid Syekh Ahmad bin Idris menguasai 40 Thariqat yang dikumpulkan dalam sebuah masterpiece-nya ‘Salsabil Mu’in fi Tharaa-iqul Arba’iin. Istilah 40 Thariqat dari kitab ini mengilhami istilah Thariqah Mu’tabarah (diakui) di Indonesia (yang berjumlah 40).
Sanad Tarekat Al-Idrisiyyah: Syekh Ahmad bin Idris berguru kepada Syekh Abdul Wahab at-Tazi, yang merupakan murid Syekh Abdul Aziz az-Dabbagh, pengarang kitab Al-Ibriz. Awrad terkenal yang diajarkan oleh Syekh Ahmad bin Idris kepada murid-muridanya adalah berupahizib-hizib, di antaranya adalah Hizib Sayfi yang diperolehnya dari Syekh al-Mujaidiri, yang didapatnya dari seorang Raja Jin, dari Sayidina Ali Karramallahu Wajhah. Selain itu Dia diajarkan seluruh awrad Syadziliyyah dari Rasulullah Saw melalui perantara Nabi Khidir As. Namun yang masih eksis diamalkan oleh penganut Tarekat Idrisiyyah adalah Shalawat ‘Azhimiyyah, Istighfar Kabir dan Zikir Makhshus. Sanad Tarekat Al-Idrisiyyah terkenal sangat ringkas, karena menggunakan jalur Nabi Khidhir As hingga Nabi MuhammadSaw. Sedangkan jalur pengajaran syari’at Tarekat ini menggunakan jalur Syekh Abdul Qadir al-Jailani Qs. hingga kepada Sayidina Hasan Ra.
Tarekat Al-Idrisiyyah di Indonesia: Tarekat Al-Idrisiyyah yang dikenal di Indonesia adalah Tarekat yang dibawa oleh Syekh al-Akbar Abdul Fattah pada tahun 1930, yang sebelumnya bernama Tarekat Sanusiyyah. Syekh al-Akbar Abdul Fattah menerimanya dari Syekh Ahmad Syarif as-Sanusi al-Khathabi al-Hasani di Jabal Abu Qubais, Mekah. Saat ini kepemimpinan Tarekat Al-Idrisiyyah diteruskan oleh Syekh Muhammad Fathurahman, MAg. Tarekat ini menekankan aspek lahir dan batin dalam ajarannya. Penampilan lahiriyyah ditunjukkan oleh penggunaan atribut dalam berpakaian. Kaum laki-laki berjenggot, berghamis putih, bersurban, dan berselendang hijau. Sedangkan kaum wanitanya mengenakan cadar hitam. Jama’ahnya menjauhi perkara haram dan makruh seperti merokok. Adapun dalam aspek peribadatannya senantiasa mendawamkan salat berjama’ah termasuk salat sunnahnya. Sujud syukur setelah salat fardhu dikerjakan secara istiqamah.
Tarekat Al-Idrisiyyah lebih dikenal di Malaysia daripada di Indonesia, karena banyak berafiliasi dengan Tarekat lain (seperti TQN). Ada Tarekat Qadiriyyah Idrisiyyah atau Ahmadiyyah al-Idrisiyyah. Nama Ahmadiyyah diambil dari nama depan Syekh Ahmad bin Idris. Ketika masuk ke Indonesia, karena alasan politis nama Tarekat Sanusiyyah berganti dengan nama Idrisiyyah. Mengingat pergerakan Sanusiyyah saat itu telah dikenal oleh para penjajah Barat.
Awrad dan Zikir: Kebiasaan zikir yang biasa dilakukan oleh jama’ah Al-Idrisiyyah adalah di setiap waktu ba’da Maghrib hingga Isya dan ba’da Shubuh hingga Isyraq. Pelaksanaan zikir di Tarekat ini dilakukan dengan jahar (suara nyaring), diiringi lantunan shalawat (kadang-kadang dalam moment tertentu dengan musik). Kitab panduan Awrad zikirnya bernama ‘Hadiqatur Riyahin’ yang merupakan khulashah (ringkasan) awrad pilihan (utama) dari berbagai amalan (awrad) Syekh Ahmad bin Idris dan Sadatut Thariqah lainnya. Awrad wajib harian seorang murid Idrisiyyah adalah:
Membaca Al-Quran satu Juz,
Membaca Itighfar Shagir 100 kali,
Membaca Zikir Makhshush 300 kali: Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rosulullah fii kulli lamhatiw wanafasin ‘adada maa wasi’ahuu ‘ilmullah.
Membaca Sholawat Ummiyyah 100 kali,
Membaca Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum 1000 kali,
Membaca Zikir Mulkiyyah 100 kali: Laa Ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘alaa kulli syay-in qodiir.
Memelihara Ketaqwaan.
Awrad tambahan untuk bertaqaarub kepada Allah adalah menunaikan salat tahajjud dan membaca Sholawat ‘Azhimiiyyah sebanyak 70 kali sesudah ba’da Shubuh hingga terbit Fajar.
No comments:
Post a Comment