Tuesday, March 10, 2015

JAWABAN ATAS ARTIKEL 'TABLIGH BINGUNG SALAFY MENJAWAB'

(Ini adalah Artikel bahagian pertama dari penjelasan Ust. Abdurrahman Lubis dalam menjawab tuduhan-tuduhan yang dilontarkan salafy di situs ALMAKASSARI.COM terhadap buku karangan beliau yang berjudul, "QUO VADIS SALAFY")

Assalamu’alaikum.wr.wb.

Alhamdulillah, berkah rahmat dan bimbingan Allah juga, jari-jari saya yang lemah masih mampu menari-nari di atas computer guna memenuhi hajat rohani dan keimanan, semoga Allah Swt semakin memandangnya dengan mata kasih sayang-Nya.

Sebenarnya, saya hampir-hampir tidak hendak menanggapi tulisan Al-Ustaz Abul Fadhel Al-Bughisiy, kerana saya tak suka dengan polemik. Untuk buku, saya lebih suka dialog terbuka, sehingga dapat mencurahkan fikiran dengan jernih dan tenang. Seperti buku saya berjudul Sorotan al Qur’an dan as Sunnah terhadap Islam Liberal. Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia di Kuantan telah mengundang saya untuk membahas buku tersebut dengan terbuka dan tanpa ada sikap dan bahasa permusuhan, semua isi buku dapat kami bedah dengan sebaik-baiknya. Kerana sampai hari ini prinsip saya semua orang Islam  adalah bersaudara

Makanya, dengan berat hati, kali ini saya coba angkat pena (dengan harapan tidak menjadi polemik berkepanjangan) yang menimbulkan rasa hasad dan dengki di hati kita, ini hanya dapat dilakukan apabila masing-masing kita memperluas atmosfir dan wawasan keislamannya. Pertama, kerana tulisan itu bersifat menyerang pribadi saya. Kedua, kerana tulisan itu menyerang Jemaah Tabligh (JT) yang sama sekali tak berkaitan dengan buku Quo Vadis Salafi (QVS). Makanya, tulisan  yang  berjudul Tabligh Bingung, Salafi Menjawab sebenarnya salah alamat. Membaca tulisan itu seakan-akan ada pertentangan secara institusi antara Tabligh dan Salafi. Na’uzubillahi minzaalik, bagaimana kerdilnya kita sehingga kita berani menggugat kebaikan-kabaikan orang-orang shaleh.

Padahal,  buku QVS hakikatnya  berintikan redefenisi terhadap Salafush Shalih. Makanya, judul lengkapnya, itu,  adalah Quo Vadis Salafi, Hakikat Salafush Shalih. Jadi, sifatnya penjelasan dan uraian tentang apa itu Salafush Shalih, sejarahnya, tokoh-tokohnya, sepak terjangnya, bagaimana pendapat-pendapat ulama di zamannya, bagaimana pendapat dan fatwa ulama mutaqaddimiin, ulama muta’akhkhiriin, bagaimana umat akhir zaman (masa sekarang) menyikapinya. Jadi isi buku QVS bersifat umum, konsumsi umat Islam pada umumnya.

Sebelum saya jelaskan lebih lanjut tentang apa yang menjadi keberatan dan tanggapan penulis, Al-Ustaz Abul Fadhel Al-Bughisiy, saya ingin mengajak untuk menyimak kembali buku QVS, khususnya komentar dan pemikiran kami di bawah ini:

Kami Tak Menghujat

Alhamdulilah, dengan rahmat Allah Swt. kami yang dha’if dan fakir dapat menyelesaikan buku “Quo Vadis Salafi, Hakikat Salafus Shalih"dalam waktu relatif singkat. Kalau bukan kerana petunjuk dan bimbingan-Nya, tak tahu jadi apa, fikiran kami yang penuh kerusakan kerana terkontaminasi oleh pemikiran “keras"orang-orang yang “mengaku"ahli hadits dan paling tahu Islam, sehingga menolak keras segala yang datang kepada mereka.

Sekali lagi alhamdulillah, sikap emosional kerana keterpancingan dapat kami hindarkan, juga semata kerana bimbingan Allah Swt. makanya, buku ini bukan untuk mendebat yang “ngaku” salafy atau wahaby. Kerana orang seperti mereka tak perlu didebat, habis waktu dan buang energi di lain pihak, kehadiran mereka mem-buktikan benarnya firman Allah Swt dan sabda Rasulullah saw Digambarkan sifat-sifat manusia, ada yang kafir, musyrik, munafik (fasiq), muslim dan mukmin. Allah Swt yang Maha tahu tentang maqom setiap kita, tanpa mesti kita ungkap saat ini.Kerananya, buku ini sekadar sumbangan informasi yang lebih detail, didukung fakta, hadits dan sejarah. 

Bahasa dakwahnya karkuzahri (urdu, laporan kerja dakwah) atau tabayyun, sebagaimana Allah Swt.menceritakan hasil kerja dakwah para nabi dalam al Qurán. Menceritakan kisah kaum terdahulu sebagai reaksi dakwah para nabi, bukan ghibah, tapi untuk mengambil i’tibar atau pelajaran. Kami, Abdurrahman Lubis, Adil Akhyar dan Muslim, hanya berusaha mengungkap dan takkan pernah mengadili dan tak berhak pula untuk mengadili siapa pun dan di mana pun. 

Kalau pun ada kalimat yang mungkin “menggelitik"atau “nyelentik"dalam goresan pena kami, semata kerana tak ada pilihan lain. Perinsip kami, sekiranya ada sebiji zarrah keburukan dalam diri saudara muslim, kami selalu curiga, jangan-jangan kebu-rukan itu terdapat juga dalam diri kami. Kami ingat pepatah orang tua: “Tungau di seberang lautan jelas, gajah di pelupuk mata tak nampak"(tentu saja bukan hadits shahih dan tak jelas sanaddan perawinya).

Sekali waktu pekerja dakwah dari jazirah arab datang ke Nizhamuddin, New Delhi. Jumpa masyeikh di masjid Banglawali, markas dakwah. Orang itu menunjukkan buku tebal berisi hujatan terhadap gerakan dakwah mereka.Usul agar Syeikh membantah buku penuh hasad dan fitnah keji itu. Tapi Syeikh menjawab hikmah, “Apakah kalau anda digonggong anjing, anda balas gonggong?” Apa bedanya anda dengan penggonggong?”Orang itu masih bersikeras, “Kita bukan digonggong, tapi digigit.” Syeikh pun menjawab lagi, “Kalau anda digigit anjing, apakah balas menggigit?” Apa beda-nya dengan yang menggigit?” Orang itu pun terdiam. Makanya, sebagai orang yang berkecimpung dalam dakwah, kami takut ber-tin-dak sama, juga sangat takut dijadikan alat untuk menghujat seseorang atau sekelompok orang Islam. 

Untuk itu kami sangat hati-hati, bukan cuma memikirkan fakta dan data, tapi rasa dan nuansa. Seperti kata Adil, anak Medan yang mengambil S2 di Fakultas Hukum UKM Malaysia: “Dakwah Salafush Shalih tetap sesuai sepanjang zaman, kerana datang ke tengah manusia menjadi “minuman rohani"yang murni dan sedap."Dakwah Salafush Shalih memenuhi kekosongan jiwa dengan kelembutan, sadida (kata-kata ma’rufa), berita tentang kebesaran Allah yang disampaikan dengan manis dan ramah tamah. Hingga dapat menerangi relung hati terdalam, yang gelap dakwah Salafush Shalih takkan membiarkan jiwa terkuasai kehen-dak nafsu melainkan dibersihkannya, takkan membiarkan hati di lintasan kebimbangan, kecuali disucikannya. Sebab dakwah Salafush Shalih tegak berdasarkan i'tisham (berpegang teguh) pada kitab Allah Swt sunnah Rasul saw dan akhlaq agung. Sesuai kepahaman Salafush Shalih. Jadi, bukan oleh yang menyebut diri salafy atau wahhaby, kata Adil Akhyar.

Belakangan, Sekretaris Eksekutif Islamic Center Sunan Kali Jaga Sumatera Utara, ini, cukup risau melihat keadaan umat yang terjebak dalam ikhtilaf dan terpecah-pecah. Makanya, Pembina Yayasan Daarul Syifaa’ Indonesia, ini, untuk menyalurkan kerisau-annya, belakangan aktif menulis buku-buku Islam. Seperti 25 Peristi-wa Ajaib di Dalam al Qurán, Penerbit Al Hidayah Malaysia, 26 Pintu Pahala Kearah Insan Mukmin (Al Hidayah Malaysia), Tips Mendidik Anak Pintar Yang Tidak Diganggu Syaitan (Al Hidayah Malaysia), Orang Kaya dan Orang Miskin yang Disayangi Rosulullah saw (Al Hidayah Malaysia), Sumpah dan Janji Iblis (Pustaka Azhar, Malay-sia), 15 Sebab Turunnya Bala (Penerbit Darul Nukman Malaysia),15 Sebab Tertolaknya Bala (Darul Nukman Malaysia) dan lainnya.

Sedangkan Muslim, lulusan Madrasah Arabiah Raiwind Pakistan, yang banyak bergaul dengan para masyeikh, memandang lewat flashback (kilas balik) sejarah.

Dakwah dan Tarbiyah Islamiyah Rasul adalah untuk memper-baiki manusia. Jahiliyah dikenal dengan ciri bodoh, hina, lemah, mis-kin dan berpecah-belah. Keadaan ini berlaku sampai kini ketika ke-jahilan akhirnya melahirkan kesesatan nyata.

Penasihat Madrasah Tahfizhul Qurán Yayasan Daarul Syifaa’ Indonesia, ini, menambahkan, dengan dakwah dan tarbiah kita rasa-kan mendapat petunjuk dari Allah Swt untuk memperoleh pengeta-huan, marwah (harga diri), kekuatan dan persatuan. Ujungnya bermuara pada khairu ummah (sebaik-baik umat).

Jahiliyah itu fenomena kerusakan dan kebodohan. Sekarang, dalam hal pendidikan, teknologi dan kemahiran, kita termasuk tinggi. Namun peradaban, budaya dan tingkah laku seperti binatang. Cirinya, sama dengan binatang, mengumbar hawa nafsu dan kehidupan seksual yang dimotivasi faham hedonisme. Sebagaimana Allah gam-barkan:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى 

لَهُمْ

Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka. [1]

Jahiliyah cirinya bodoh. Bodoh kerana tak menerima hidayah. Abu Jahal (Bapak Kebodohan) digelar bukan kerana bodoh ilmu, tapi bodoh hidayah. Kaumnya menjuluki Abu Hakam (Bapak Hakim). Tingkah lakulah yang membuat orang jahil. Pribadi jahiliyah tak faham hakikat hidup disangka kebaikan padahal keburukan dan sebaliknya. Inilah penghancur peradaban dan kebudayaan. Umat jahili-yah menjadikan dirinya hina, kerana kebanggaan bersifat materi melekat pada status, rumah, kendaraan, jabatan, kehormatan. Padahal akan menjauhkan dan menuju derjat lebih rendah. Tindakan bodoh membuatnya hina, meski dihiasi berbagai kebanggaan.

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu (iaitu dalam syari'at) dan manusia dijadikan bersifat lemah. [2]

Makanya, buku “Quo Vadis Salafy, Hakikat Salafus Shalih”, ini, hadir untuk menekankan kembali agar semakin meyakini “laporan kerja dakwah”-Nya Allah Swt, yakni al Qurán, tentu saja dalam upaya mengantisipasi kejahilan di mana-mana, termasuk kejahilan di kalangan orang-orang berilmu.

Samakah hukuman pendosa awam dengan pendosa alim? Seperti halnya disebut Adurrahman Lubis, “Tak sama nilai orang yang mengetahui dengan yag tak mengetahui, seperti halnya tak sama dosa orang yang mengetahui dengan yang tak mengetahui."Kalau orang awam melanggar kerana dia tak mengerti, tapi kalau orang berilmu melanggar kerana dia memang mau melanggar”, imbuhnya dan me-nambahkan bahawa Allah Swt. akan memberi ganjaran setimpal ke-pada orang seperti itu.

Sekarang yang paling penting bagaimana setiap individu muslim menjadikan dirinya bermanfaat untuk orang lain.

Agar amal tak tercemar dan supaya tetap jadi muslim sejati, setiap kita (khususnya ahli ilmu) perlu mewaspadai sifat ‘ujub (berbangga diri) meski atas nama ilmiyah. Perlu disemak pernyataan Umar bin Kaththab r.a., “Sesungguhnya di antara kesempurnaan taubatmu adalah bila kamu mengetahui dosamu; sesungguhnya di antara kesempurnaan amalmu adalah apabila kamu menghindar-kan rasa ‘ujubmu; dan sesungguhnya di antara kesempurnaan syukurmu adalah bila kamu menyadari kekuranganmu.” 

Diceritakan dari Umar bin Abdul Aziz r.a., bahawasanya apabila ia sedang khutbah, lalu khawatir timbul rasa ‘ujub, maka ia menghentikan khutbanya dan bila ia sedang menulis, lalu khawatir timbul rasa ‘ujub, maka ia menyobek kertas dan berkata: “Allahumma innii a’uzubika minsyarri nafsi.” (Ya Allah aku mohon perlindungan-Mu dari keburukan hawa nafsuku).

Dari Mathraf bin Abdullah, ia berkata, ”Bila saya tidur sepanjang malam, lalu pagi hari merasa menyesal itu lebih saya sukai dari-pada saya bangun untuk salat malam, lalu pagi hari merasa ‘ujub.”[3]

Abdurrahman Lubis akhir-akhir ini semakin aktif menulis sebagai ungkapan kerisauan kepada umat. Kali ini bersama partner barunya. Setelah “Kiat Menghafal al Qurán Bagi Profesional”, “Lima Belas Penyebab Bencana”, “Globalisasi Dakwah Nubuwwah, “Pentingnya Iman dan Amal Shalih."Kini tampil dalam “Quo Vadis Salafy, Hakikat Salafus Shalih."Segera terbit buah tangannya, “Kejayaan di Balik Sunnah”, “Aku Suka Tabligh”, “Cintaku Bersemi di Nagoya"(novel religius) dan ”Keajaiban Dakwah.”

Bahan-bahan cukup lama disiapkan, ternyata “ketemu jodoh"alias “nyambung”, dengan apa yang difikirkan dua sahabat kental, Adil Akhyar dan Muslim bin Bukhori al Malay, keduanya selalu ber-sama sejak Sekolah Dasar. Sekarang bersama pula terjun di rimba dakwah, Allah pertemukan mereka. Subhanallah…

Nah, kini musyawarah bertiga untuk memandang jauh kepentingan umat. Abdurrahman Lubis, yang dulu nyantri di Ponpes Bahagian Oelama K.H.A dahlan Sipirok, Sumatera Utara, namun kombinasi kesibukan dengan jurnalistik. Selain mengasuh Ponpes di Cijeruk, Bogor, mengajar di berbagai majelis ta’lim di masjid-masjid, sering muzkarah dengan pakar al Qurán dan Hadits seperti mufti Abdullah (penanggung jawab jamaah arab di masjid Kakrail Dakka Bangladesh), Dr. Su'ud (dosen ilmu hadits pada Jamiah Ummul Quro Mekkah) dr. Ahmad Adnan (dosen Jamiah Islamiyah Madinah), al Hafiz Maulana Sayyid Muhammad Hussain al Hasani bin Maulana Sayyid Muhammad Yunus al Hasani, pengajar senior University Islam Antar Bangsa Malaysia (UIA), K.H. Mahrus Amin, mudir Pon-dok Pesantren Darunnajah Jakarta.

Dunia tulis menulis (sebagai karunia Allah) baginya tak asing lagi, digeluti sejak tsanawiyyah. Pernah “ngepos"di Sekretariat Negara, di DPR/MPR dan di berbagai instansi untuk meliput. Bekerja untuk Detik, Taruna Baru, Sinar Pembangunan, Media Indonesia, Kontak Bisnis Kadin Jaya, Jurnal Ekubank dan sebagainya. Melanglang buana seantero Indonesia dan Manca Negara Belakangan gencar dalam dakwah keliling, Madagascar, Mauitsius, India, Pakistan, Bangladesh, Srilanka, Thailand, Malaysia, Singapura, Hongkong, Macau, Taiwan, Jepang, Yaman dan Papua Nugini.

Baginya, buku Quo Vadis Salafy, Hakikat Salafus Shalih bukan sekadar kebanggaan, tapi sebagai media instrospeksi, terutama bagi rekan-rekan pekerja dakwah yang mengemban tanggungjawab umat dunia akhirat.Motonya: ”Takut bermain-main dalam dakwah.”

Jaddu Syaibah

Penulis dan Editor QVS tidak pernah menggambarkan tentang Salafiyyun alias Ahlus Sunnah, kerana itu hanya pengakuan oknum-oknum yang mengaku salafi, kerana itu tidak penting.

Komentar tentang, Cover  QVS menunjukkan bahawa mereka (Jama’ah Tabligh) adalah kaum yang jauh dari petunjuk dan sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, ini jelas komentar yang tidak nyambung. Apa-apaan, kok tiba-tiba ada nyelonong Jamaah Tabligh.Apakah itu cerminan kebencian dari komentator atau kelompok salafi, wa Allahu a’lam. Satu lagi bukti komentar itu lebih bersifat menghujat. Sebenarnya, sudah sangat banyak hujatan dan kecaman dari kelompok salafi terhadap gerakan dakwah di luar mereka, termasuk terhadap  Jamaah Tabligh dan orang-orang tidak suka menanggapinya.

Defenisi Salaf

Defenisi yang anda tulis itu sudah benar, yang tidak benar adalah klaim (pengakuan) sebagai salafy. Kan sudah ada Waqoola Innanii Minal Muslimiin. Sedangkan sebutan Jamaah Tabligh itu sendiri dari mana anda peroleh, sebagai seorang penulis pernahkan anda melakukan tabayyun (check  and recheck) atau penelitian empirik, apakah ada itu Jamaah Tabligh yang anda singkat dengan kata JT? Saya sendiri yang sudah menerjuni gerakan dakwah itu selama lebih 15 tahun, tadinya juga sangat geram terhadap tindakan yang mereka lakukan. Tapi tidak sampai di situ, saya ikuti mereka pelan-pelan dan sampai ke pusat legiatan mereka di India, Pakistan dan Bangladesh. Ternyata kata Jamaah Tabligh itu sendiri aneh bagi mereka, apalagi sebutan JT. Lucu kan, orang-orang yang anda sebut JT ketika ditanya mereka sendiri tak tahu apa itu JT. 

Saya menghargai anda, mungkin lulusan dari universitas dan pernah belajar khusus tentang al Qur’an dan al Hadis, tapi sekolah di belakang meja dalam ruangan ber AC yang megah tidak cukup untuk memahami teks-teks al Qur’an dan al Hadis. Kita harus terjun langsung melihat aktifitas umat agar tidak seperti membeli kucing dalam karung. Maulana Ilyas Rah.a sendiri sebagai penggagas kembali gerakan dakwah,  itu, tak pernah menyebut suatu nama terhadap gerakannya. Andaikata harus dinamai, kata Maulana Ilyas Rah.a, maka saya lebih cocok disebut  “Usaha Atas Iman” demikian juga Maulana Saad Hafizahullah , sebagai pelanjut generasi ketiga dari Maulana Ilyas, berkali-kali mengatakan, barang siapa mengaku dirinya Jamaah Tabligh berarti ia adalah pemecah belah umat. “Kita ini orang Islam biasa seperti saudara kita orang Islam lainnya. 

Kita mengajak saudara muslim kita agar secara besama melakukan perbaikan diri menuju kepada kesempurnaan iman dan amal agar mendapat kejayaan seperti di jaman sahabat dahulu. Secara panjang lebar saya, alfaqeer Abdurrahman Lubis,  telah mengulas tentang gerakan dakwah ini dalam buku yang saya terbitkan seperti Globalisasi Dakwah Nubuwwah, Pentingnya Iman dan Amal Shalih, Kejayaan Dalam Sunnah, Risau Umat Syeikh Abdul Wahab, Tabligh Genggam Umat Lima Benua  dan sebuah novel Islami Cintaku Bersemi di Nagoya. Lain lagi tulisan  saya di website dan majalah-majalah Islam baik yang terbit di Indonesia maupun di Malaysia.

Betul, setiap orang yang mengikuti jejak Salafus Shalih adalah salafy, tapi itu bukan hak seseorang atau sekelompok orang saja. Orang Islam yang lain pun tetap salafy, selagi ia sudah pernah mengucap syahadat, masih salat, puasa di bulan ramadhan, bayar zakat dan sebagainya. Walau tidak menyebut diri salafy. Kalau mau jujur, dilihat dari segi kegiatan dan gerakannya, orang-orang yang anda sebut JT itu sebenarnya yang paling pantas disebut salafy. Tapi, apa lah arti sebuah pengakuan, bukankah itu menjadi beban berat andaikata ternyata nantinya tidak diakui? 

Kita baru dapat menentukan kebaikan ketika seseorang diakhir hayatnya dan dari banyak pengalaman orang-orang ahli bid’ah dan sesat yang anda sebut JT ternyata diakhir hayatnya mampu mengucapkan kalimah Laa ilaaha illa Allah. Apakah orang-orang ahli bid’ah dan sesat diakhir hayatnya dapat mengucapkan kalimah tersebut? Inilah keanehan-keanehan dari analisis dan klaim mematikan orang-orang Salafy, yang telah menusuk-nusuk sanubari umat. Pada hal ketidak sempurnaan manusia dalam segala hal merupakan bukti dia insan yang lemah, kenapa kita tak mau memberi kesempatan kepada mereka-mereka yang mau bertobat. Adapun kalau mereka belum sempurna itu menjadi tugas kita semua untuk memperbaikinya. 

Kenyataannya sekarang kan ada sekelompok individu yang mengklaim diri sebagai Salafy dan menuduh orang lain sebagai ahli bid’ah, sesat dan kafir, alias bukan Salafy. Siapa yang mengangkat mereka sebagai hakim  yang dapat memutuskan bahawa si A adalah ahli bid’ah dan si B adalah kafir. Padahal mereka yang divonnis itu tak lain orang Islam yang harus kita usahakan mengajari dan mendidiknya ke arah yang benar. Kecuali memang benar terhadap seseorang atau sekelompok di luar Islam, atau kelompok yang sudah menyatakan dirinya anti sunnah dan yang telah terbukti menyimpang akidahnya.Padahal, kita semua harus merasa curiga, jangan-jangan kita saat ini masih berada dalam kesesatan, kebid’ahan dan kekafiran. Kerana kita semua akan menuju garis final kematian, husnul khotimah atau tidak.Yang tahu hanya Allah Swt.

Ketahuilah, menyesatkan dan mengkafirkan orang adalah sesuatu yang berbahaya jika tidak dilandasi dengan ilmu dan bayyinah. Kalian akan ditanyai ilmunya di sisi Allah dosanya besar wahai yang mengaku Salafy, sebab mengotori kehormatan seorang muslim dan berkata dusta atas nama Allah adalah dosa besar. Bahkan boleh jadi kesesatan dan kekafiran itu akan kembali kepada anda, sehingga akhirnya kalianlah yang kafir. Wal’iyazu billah.

Nabi s.a.w bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, “Wahai si kafir”, maka sungguh ucapan ini akan kembali kepada seorang diantara keduanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (6104).

Ini merupakan kecaman keras bagi orang yang mengkafirkan orang tanpa ilmu dan hujjah; tanpa mengadakan check and recheck, serampangan dalam mengkafirkan sebagaimana yang dilakukan oleh Salafiyyun terhadap gerakan lain yang bukan Salafy.

Anda mengatakan, “Program dan amaliah bid’ah yang tak pernah dicontohkan oleh para salaf. Misalnya, “khuruj“; di dalam JT, semua harus khuruj (keluar berdakwah), entah ia jahil atau berilmu. Mana ada contohnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para salaf berdakwah asal-asalan seperti itu. Mereka ibaratnya orang yang tak pandai berenang, lalu berusaha menyelamatkan orang-orang yang hampir tenggelam. Akhirnya, ia mati bersama orang yang hendak ditolong tersebut.”

Jawaban: Setahu saya dakwah mereka tidak asal-asalan, tapi penuh dengan perencanaan, program yang padat dengan muatan yang padat dari al Qur’an dan as Sunnah. Kata khuruj itu tertulis dalam al Qur’an

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

 “Kamu adalah sebaik-baik umat dikeluarkan untuk manusia, kamu perintahkan untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah”. Bukankah kata-kata ukhrijat yang berarti dikeluarkan (bina majhul)berasal dari khoroja yakni keluar.Bukankah khuruj juga berarti keluar dalam arti sesungguhnya dari satu tempat ke tempat lain.? Bukankah Nabi-nabi telah keluar dari tempatnya menuju kaum masing-masing untuk mendakwahkan Islam demikian juga Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya? Kaum salafus Shalih, khalafus shalih, ulama mutaqoddmin, ulama mutaa’khkhiriin sampai kepada kita sekarang umatnya? Bukankah mereka semua berusaha keluar dari zhulumaat ilannuur?

Anda Berkata: Seorang yang tak berilmu lalu terjun ke medan dakwah, maka ia akan banyak menimbulkan kerusakan, sebab pasti ia akan mengada-ada atas nama Allah. Sedang mengada-ada atas nama Allah adalah perbuatan haram.

Pernyataan itu betul, tapi jangan dialamatkan kepada orang-orang yang khuruj.Lihat dulu ke dalam baru ngomong. Memang di antara mereka banyak orang awam, makanya ketika mereka melakukan khuruj berjamaah, ada amir yang berpengalaman, membimbing, ada orang alimnya dan ada hafidh al Qur’annya. Memang tidak semua jamaah sempurna komposisinya seperti itu, tapi mereka masih dibimbing dengan muzakarah ushul-ushul dakwah dan adab-adab serta doa-doa masnunah, yang semua itu disusun oleh ulama dan masyeikh yang mumpuni, sehingga setiap jamaah selalu ada peningkatan iman, ilmu dan amalnya. 

Sayangnya teman-teman dari Salafy, kurang berprilaku koperatif dengan mereka sehingga tidak mendapatkan informasi yang sempurna atas gerakan khuruj mereka dulu, ketika mengawali dakwah mereka satu generasi yang lalu, memang komposisi ideal, dalam arti jamaah yang sempurna ada orang alim, hafiz dan yang berpengalaman, susah dicari. Tapi sekarang sudah banyak kemajuan, banyak anak-anak mereka yang disekolahkan menjadi hafiz dan alim baik di dalam maupun di luar negeri, hasilnya cukup menggembirakan. Semua itu adalah bukti mereka betul-betul memperbaiki diri, tidak jalan di tempat dalam kebodohan dan kejahilan. Orang–orang  profesional seperti pegawai negeri, pengusaha, tentara dan polisi juga tidak sedikit yang ikut. Seperti polisi, tadinya ingin menginteli gerakan mereka, yang selalu ada di kampung-kampung, kota-kota dan masjid-masjid.Tapi akhirnya mereka ikut sendiri secara diam-diam, kerana akal waras mereka masih dapat menimbang baik-buruk.Lagi pula, dakwah kita kan tidak melihat hasil, kita manusia hanya berusaha saja dan berdoa, dengan manhaj yang benar, insya Allah, Allah yang berhak memberikan hidayahnya. 

Justeru kekuatan dakwah mereka terletak pada kesederhanaan, tidak banyak publikasi di media massa, pembiyaan yang ditanggung sendiri, dengan menggunakan harta dan diri. Mereka tak pernah mau menerima bantuan dari manapun dan dari siapapun, mereka merogoh kantong masing-masing dalam perjalanan dakwahnya, kerana begitulah Nabi saw dan sahabatnya memberi contoh, bukankah semua da itu hakikatnya dari Allah Swt juga.

Dalam beberapa kali anda telah  menyematkan sifat-sifat buruk kepada penulis QVS, seperti Abdurrahman Lubis yang kebingungan, pendapat penulis QVS yang licik, penipuan informasi dan sebagainya, bahkan tentang penjelasan mengenai pernyataan Al-Bajuuri anda mengatakan hal itu  meruntuhkan pemikiran dan kebingungan Abdur Rahaman Lubis (Editor QVS) dan Penulis QVS  yang menyatakan bahawa istilah salafiy tidak syar’iy. Sebab jika salaf sudah ada sejak zaman kenabian, maka berarti pengikutnya harus ada. Nah, pengikut salaf itulah yang kita istilahkan “salafy”.

Cukup jelas kan?  Bahawa siapa saja yang mengikut jejak Rasulullah saw, sahabatnya, tabi’iin dan tabi’ut tabi’iin (para salafus shalih) adalah salafy. Jadi tidak harus ada yang mengklaim, “Saya salafy atau kami salafiyyun”. Sehingga orang lain bukan salafy.

Anda menulis: “Mengada-ada seperti ini banyak kita jumpai pada Jama’ah Tabligh saat mereka menulis buku atau saat menyampaikan ceramah. Lihat saja buku rujukan mereka yang berjudul Fadho’il A’mal, karangan Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawiy”.

Dalam hal yang satu ini ada seabrek pengalaman, orang-orang salafy selalu menyalahkan isi kitab Fadho’il A’mal karangan Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawiy”. Waktu saya berada di Aden, Yaman (2008) kami didatangi beberapa anak muda di Masjid Usman bin Affan, intinya mereka menyalahkan isi kitab Fadho’il A’mal kerana menurut mereka banyak hadis dho’if dan maudhu’ (palsu).Tapi, ketika saya minta bahagian mana dan hadis yang mana, sanadnya atau rawinya atau sirohnya yang lemah, tenyata mereka tak dapat menunjukkannya. Mereka sendiri tak pernah  melihat kitab itu, hanya qila waqoola (dikatakan dan katanya alias dari mulut ke mulut).

Tahun 2003 saya berada di Madura, di salah satu masjid di Sampang, kami telah didatangi tiga pemuda yang intinya menyalahkan kami dan agar tidak membaca kitab Fadho’il A’mal dengan alasan banyak hadis maudhu’ dengan senang hati saya layani anak-anak muda itu. Saya ambil Fadho’il A’mal dan saya persilahkan kepada mereka untuk menunjukkan bahagian mana yang lemah dan maudhu’ tersebut. Ternyata mereka hanya bilang banyak. Lalu saya bilang, jangan banyak-banyak, satu saja. Itu pun mereka tidak dapat menunjukkannya. Saat itu saya katakan, orang-orang seperti saudara sudah sering saya temui, saya sudah menjalani 15 negara dan selalu ada orang seperti saudara Sekarang, begini saja, kami di sini tiga hari, datangkanlah ulama-ulama hadis dari anda agar kita bermuzakarah. Jadi tidak setiap orang seenaknya membuat fatwa. Sejak itu satu persatu, anak muda itu mundur dan menghilang, tinggal seorang dan ketika ditanya, ia menjawab: “Saya juga bingung ustad, mana yang banar!”

Di masjid Miftahul Jannah Jati Bening Bekasi, tahun 2000 saya sedang membuat bayan (ceramah agama) dalam kuliah magrib, ternyata mustami’iin (para pendengar) dikacaukan dengan adanya selebaran foto kopi (majalah atau koran) yang isinya: “Jamaah Tabligh Berdakwah Tanpa Ilmu”. Selesai bayan, saya menemui tiga pemuda yang duduk di pojok belakang masjid, seraya mengucapkan salam. Tapi salam saya tak dijawab, saya ulang salam kedua tak dijawab juga. Saya ulang salam ketiga sambil memegang tangan salah seorang mereka, kalau saudara seorang muslim, jawablah salam saya, kalau tidak silahkan keluar dari masjid ini. Mereka pun menjawab salam saya. Saya dekati meraka dan saya bilang, siapa yang diuntungkan dengan cara anda seperti ini? Mereka tak menjawab dan saya katakan bahawa yang beruntung adalah musuh-musuh Islam. Kalau anda merasa punya ilmu, dekatlah kepada mereka dan ajarkanlah ilmu kalian agar bermanfaat.Jangan malah  menghina. Sama halnya seperti di Sampang, satu persatu mereka meninggalkan saya dan yang terakhir ketika saya tanya, seorang menjawab: “Saya juga bingung ustad, mana yag benar”.

Di salah satu  Musholla di Pondok Gede, anak-anak muda sudah berhenti membaca ta’lim dan malah tidak solat, kerana seorang ustad telah melarang mereka membaca kitab Fadho’il A’mal, padahal mereka anak-anak preman yang baru tobat dan baru mengenal masjid,, yang seharusnya memerlukan bimbingan yang bijak. Ketika saya datang ke rumah ustad tersebut dan menanyakan hal itu, ustad tersebut juga tak dapat menunjukkan hadis yang mana yang maudhu’ dan lemah dalam kitab tadi. Lagi pula, kalau itu yang jadi masalah, bukankah merupakan kesepakatan ulama hadis lemah masih dapat digunakan untuk mendorong amal atau fadhilah.Padahal ustad itu termasuk alim dan tokoh di kalangan Salafy yang rumahnya tak jauh dari rumah saya. Banyak lagi pengalaman yang cukup mengenyangkan kita.

Wafatnya seorang alim besar.

Sejenak kita rehat dari bahasan ini, sambil sedikit mengenal siapa Maulana Zakaria rah.a  yang bukunya sering menjadi bulan-bulanan orang Salafy. Beliau adalah sosok yang selalu berharap untuk bertemu Allah Swt sampai saat terakhit beliau tinggal di Madinah, kota tempat Rasulullah Saw   Akhirnya Allah Swt mengabulkan doanya, beliau wafat di Madinah,  Senin 1 Syaban 1402 H, 24 Mei 1982 M dimakamkan di Pekuburan Baqi,  di kalangan para Sahabat r.anhum dan ahli keluarga Nabi  SawDiikuti sejumlah besar orang dan dimakamkan di sebelah pusara Maulana Ahmad Khalil Shaharapuri rah.a, gurunya sendiri, lalu dimakamkan oleh Syeikh Ibn Baaz rah.a,  Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi.

Lahir 10 Ramadhan 1315 H/12 Februari 1898, di desa Kandlah di wilayah Uttar Pradesh India, dari keluarga yang punya sejarah panjang dalam pengabdian pada Islam. Silsilah keluarga beliau bersambung sampai kepada Sahabat besar Abu Bakar Ashshidiq ra

Zakariyya kecil mulai belajar membaca kepada Hakim Abdur Rahman, kemudian menghafal Al-Quran dibimbing langsung sang ayah, Maulana Muhammad Yahya, ulama besar yang cukup terpandang di India. Setelah itu belajar bahasa Persia dan bahasa Arab kepada Maulana Muhammad Ilyas, pendiri gerakan Dakwah Tabligh.

Usia 12, Maulana Zakariyya dibawa ayahnya ke Madrasah Mazahirul Ulum di bimbingan ayah sendiri, beliau mempelajari bahasa Arab tingkat lanjut, teks-teks klasik, nahwu, sharaf dan ilmu mantiq.

Usia 17 tahun, mulai melakukan kajian ilmu hadits. 5 dari 6 kutubussittah. Belajar untuk kedua kali kitab Sahih Bukhori dan Sunan at-Tirmizi ke Maulana Khalil Ahmad Saharanpuri. Selama belajar Zakariyya muda selalu menjaga wudlu’.

Memulai karier mengajar tahun 1335 H, ditunjuk mengajar nahwu, sharaf dan sastra Tahun 1341 H, ditunjuk mengajar tiga bahagian dari kitab Sahih Bukhori dan pada tahun 1344 H mengajar kitab Mishkat al-Masabih.

Tahun 1345 H, beliau kunjungi tanah suci. Setahun Di Madinah dan selama itu mengajar Sunan Abi Dawud di Madarasah Ulum Shar’iyyah di Kota Nabi ini, Maulana mulai menulis Awjaz al-Masalik ila Muwatta’ Imam Malik, syarah kitab Al-Muwatta’nya Imam Malik, ketika itu beliau berumur 29 tahun.

Ketika kembali ke India, beliau mulai lagi mengajar kitab Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasai, Al-Muwatta Imam Muhammad dan separuh bahagian dari Sahih Bukhari, separuhnya lagi diajarkan oleh direktur madrasah. Setelah sang direktur wafat, tugas mengajar Sahih Bukhari ini diberikan seluruhnya kepada Maulana Zakariyya.

Selama hidup beliau, beliau telah mengajar separuh bahagian pertama dari Sahih Bukhari selama 25 kali, mengajar seluruh kitab tersebut selama 16 kali dan mengajar kitab Sunan Abi Dawud sebanyak 30 kali. karier beliau mengajar bertahan sampai tahun 1388 H, ketika beliau menderita sakit mata yang tidak memungkinkan lagi untuk terus mengajar.

Kecintaan Maulana Zakariyya pada agama, terutama pada kajian ilmu Hadits, sangat total. Total waktu yang dihabiskan beliau untuk belajar dan mengajar hadits adalah selama kurang lebih 60 tahun.

Dalam kurun waktu tersebut beliau juga telah menulis lebih dari 80 kitab yang sangat tinggi nilainya dan diakui oleh para ulama di seluruh dunia. Beberapa kitab yang beliau tulis dalam bidang kajian hadits antara lain ; Awjaz al-Masalik ila Muwatta’ Imam Malik (syarah dari kitab Muwatta Imam Malik, terdiri dari 6 jilid), Lami’ al-Dirari ‘ala Jami’ al-Bukhari (syarah dari kitab Sahih Bukhari), Syarah Muslim (syarah Sahih Imam Muslim), Juz’ Hajjat al-Wida’ wa ‘Umrat al-Nabi (Berisi tentang detilnya haji dan umroh yang dilakakukan oleh rasulullah SAW, juga memuat tentang masalah hukum haji, lokasi dan tempat-tempat yang pernah dilalui atau disinggahi oleh Rasuulllah SAW), Khasa’il Nabawi Sharh Shama’il al-Tirmidhi (syarah dan komentar terhadap kitab al-Shama’il al-Muhammadiyya-nya Imam Tirmizi yang berisi tentang detil hadits-hadits yang berkenaan dengan peri kehidupan Nabi Muhammad SAW) dan beberapa kitab lainnya.

Detil lebih lengkap mengenai riwayat hidup beliau bisa dibaca di buku otobiografi beliau yang ditulis dengan cara yang unik oleh beliau sendiri dengan judul “Aap Beeti”, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Otobiografi Zakariyya Al-Kandahlawi”.

Tahun 2007, penulis Abdurrahman Lubis dan teman-teman sempat bertandang ke rumahnya di Saharanpur, diterima oleh putranya Maulana Tholha, duduk di dipan bekas tempat Maulana Zakaria bergumul dengan kitab-kitabnya yang banyak.

Membaca kisah belajar, mengajar, menulis, ketekunan dan semangat Maulana Zakariyya dalam pengabdiannya kepada agama, khususnya dalam ilmu hadits harusnya membuat kita menjadi malu.

Pertanyaan sederhana untuk kita, apa yang telah kita lakukan untuk memajukan agama yang kita cintai ini? Belum  apa-apa kan? Kalau sudah begitu, rasanya menjadi sangat tidak pantas bagi kita memberi label atau cap negatif terhadap sosok Maulana Zakariyya Kandahlawi, Maulana Ilyas Kandahlawi dan ulama-ulama  lainnya.

Apalagi penguasaan dan pengetahuan kita seringkali pas-pasan saja, itu pun kita mendapat kannya dari sumber terjemahan, bahkan seringkali hanya copy paste dari sumber yang tidak jelas sanadnya.

Anda mengulas: Sebenarnya yang mengadakan kontroversi dan kekacauan dalam beragama adalah para ahli bid’ah –diantaranya Jama’ah Tabligh-, sebab mereka telah menjauhkan umat dari aqidah salaf dan merusak ibadah umat, bahkan merusak akhlaq mereka. 

Pernyataan anda ini tanpa bukti, cuma silat lidah belaka. Mungkin sudah ada ratusan kali atau ribuan kali orang-orang Salafy menuding Jamaah Tabligh itu adalah ahli bid’ah, sufiyyuun, quburiyyun, ahli tarekat yang sesat dan sebagainya. Tapi orang-orang dakwah itu tak pernah bereaksi, tak pernah membantah. Bukan kerana yang anda tuduhkan itu benar. Tapi kerana mereka memang tidak seperti itu. Coba anda buktikan satu saja kuburan yang pernah mereka sembah, tunjukkan di mana dan siapa yang pernah melakukan tarekat sesat, siapa yang pernah mengikuti sufiyyun, atau bid’ah yang mana yang anda maksud. Tuduhan anda itu kan baru anggapan dan kesimpulan anda sendiri, kerana melihat dari jauh orang-orang dakwah, lalu anda mengambil kesimpulan dengan hati yang hasad dan otak yang sudah berisi kebencian, kemudian memetik ayat al Qur’an dan al Hadis untuk memukulkannya kepada mereka. Saya ingin bertanya, apakah demikian kerja seorang alim atau ahli ilmu terhadap murid (umat) nya?

 Satu ketika saya mendengar lagi dari mulut orang-orang Salafy, bahawa orang-orang tabligh itu menyembah kubur di Nizomuddin, New Delhi, India. Lha ini berita apa lagi. Saya sudah berkali-kali datang ke Nizomuddin, suatu kawasan semacam kecamatan. Ada stasiun kereta Nizomuddin, ada Police Station Nizomuddin, ada makam Waliullah Hazrat Nizomuddin dan ada masjid Banglawali Nizomuddin. Memang banyak orang terlanjur masuk ke makam Waliullah Hazrat Nizomuddin, dari berbagai lapisan masyarakat dalam dan luar negeri, mereka ingin bertabarruk(mengambil keberkahan) kepada Waliullah tersebut. Tetapi itu sama sekali tak ada kaitannya dengan yang anda tuduhkan, yakni masjid Banglawali, markaz dakwah dunia, yang jaraknya lebih kurang 500 meter saja dari tempat itu. 

Sebagai seorang muslim yang merindukan hidayah Allah, saya ingin mencari kebenaran dengan cara yang benar, dengan menyempurnakan iman dan amal seraya mendakwahkan Islam kepada sesama.Ternyata itu saya dapatkan di masjid Banglawali Nizomudin dalam hal ini, saya ingin mengajak anda dan teman-teman Salafy lainnya, agar dapat melihat langsung keadaannya dengan niat mengamalkan ilmunya meluangkan waktu mendakwahkan agama Allah yang suci ini. Jangan merasa puas dengan teksbooks thinking, ilmu untuk ilmu, akhirnya ilmu menjadi panglima yang bolehjadi guru besarnya adalah hawa nafsu yang disetir oleh syaithon. Na’uzubillahi minzaalik.

Nukilan anda: “Makanya mereka (JT), verbalitas ilmu saja mereka tak punya. Tapi anehnya mereka lancang berdakwah di jalan Allah. Sampai preman-preman yang baru sehari tobat, eh malah ikut khuruj (berdakwah di jalan Allah). Verbalitas ilmu saja mereka tak miliki, apalagi hakikatnya. Seorang tak mungkin akan memahami hakikat ilmu dalam hati, jika ia tak memahami verbalitas ilmu dengan akalnya yang bersih”.

Itukan kalimat saya di QVS yang anda nukil ulang dan memukulkannya kembali ke saya. Sebenarnya di situ ada dua kemungkinan, pertama, orang-orang tabligh berdakwah tanpa ilmu, itu ada benarnya, kerana memang mereka sedang menuntut ilmu dalam proses dakwahnya dakwah mereka itu merupakan rangkaian sempurna dari dakwah Ila Allah, ta’lim wat’allum, zikir dan ibadah serta perkhidmatan. Bayangkan, itu yang mereka ulang-ulang selama 40 hari atau 4 bulan, dalam waktu khusus, suasana khusus, mendapat bayan hidayah dan diakhiri dengan bayan pulang dan semua yang mereka dapat itu akan diamalkan lagi di kampung masing-masing, seperi Nabi saw tikdak diturunkan sekalugus 30 juz al Qur'an, tapi Allah Swt memnerikannya sedikit-sedikit, dalam proses panjang melalui media dirinya sendiri yang penuh susah payah dan nestapa. 13 Tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah, Nabi saw dituduh  pensihir, orang gila dan sebagainya. Tapi kan Nabi saw jalan terus. Begitu juga Nabi saw dan sahabatnya sekembali dari jihad di Badar dan di tempat lainnya. 

Bukankah apa yang mereka kerjakan merupakan siaran ulangan dari apa yang dikerjakan kaum salafus shalih, Nabi saw dan para sahabatnya dahulu? Apakah kita lupa atau sengaja menutup mata, bahawa Nabi saw telah banyak mengutus sahabatnya untuk berdakwah ke negeri-negeri Irak, Mesir, Yordan, Yaman dan sebagainya? Mereka ada yang kembali dan kebanyakan syahid di perjalanan,  buktinya dari jumlah mereka yang 124.000 orang, makamnya di kubur Baki hanya 10.000 saja, selebihnya bertebaran di berbagai negeri seluruh alam.

Anda bilang: “Jadi, Jama’ah tabligh yang berdakwah tanpa ilmu ibaratnya orang yang berusaha berenang demi menyelamatkan orang yang hampir tenggelam, sementara ia sendiri tak bisa renang. Hasilnya, ia dan orang yang ingin diselamatkan, semuanya tenggelam”.

Anda benar, cuma kurang faham saja.Kenapa Allah menyebut Muhammad saw itu sebagai:

إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلًا

“Sesungguhnya bagimu di siang hari berenang yang panjang”

(Ini adalah bahagian ke-2 dari penjelasan Ust. Abdurrahman Lubis dalam menjawab tuduhan-tuduhan yang dilontarkan salafy di situs ALMAKASSARI.COM terhadap buku karangan beliau yang berjudul, "QUO VADIS SALAFY”).

Kata “sabhan", dapat juga diartikan mempunyai urusan yang panjang (banyak). Apa yang menjadi urusan Nabi saat itu, ketika permulaan Islam? Ya dakwah lah. Kalau kata sabhan diartikan dengan sesungguhnya berarti Nabi saw di siang hari kerjanya cuma berenang. Padahal di tengah-tengah kota Mekkah saat itu gak ada pantai, sungai ataupun kolam renang. Justeru berenangnya Nabi saw di siang hari itu, maksudnya adalah dakwahnya. Apakah ada pekerjaan Nabi saw yang lebih besar selain berdakwah setelah ia dilantik menjadi rasul?

Anda mengatakan: ‘Adapun sangkaan Bang Lubis bahawa orang-orang yang khuruj (keluar) di jalan Allah untuk mendakwahkan agama dan berniat memperbaiki diri, maka ini adalah sangkaan batil dan salah, sebab seorang yang mau memperbaiki diri, ia harus belajar dan duduk di depan para ulama dan ustaz agar ia mengetahui kebaikan dan keburukan sehingga ia dapat mengamalkan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Adapun jika kita malas belajar, tapi langsung sibuk dakwah, maka tentunya keliru dan sembrono. Bukankah seorang yang mau renang demi menyelamatkan orang lain, harus belajar renang dahulu sebelum terjun ke air?’

Jawaban: Anda dan orang-orang Salafy, sangat enteng membuat stigma batil dan salah. Padahal kata-kata itu sesunguguhnya hanya milik dan hak Allah. Dan diri kita masing-masing tidak ada yang ma’shum dari perkara itu. Saya ada beberapa kali ke Pakistan, baru-baru ini juga kembali dari sana di markas dakwah Raiwind,  Lahore, Pakistan, setiap hari rata-rata  20 ribu orang solat lima waktunya, mereka datang dan pergi dari berbagai daerah dan negeri, termasuk negeri-negeri arab. Kalau ada bayan (kuliah umum) dalam bahasa urdu yang disampaikan ulama atau penanggungjawab dakwah, diterjemahkan ke berbagai bahasa, arab, inggeris, parsi, cina, melayu dll. Saya lihat halaqoh terjemah arab paling ramai, saya selalu duduk dengan mereka. Saya seringkali bertanya pada mereka, di antaranya ada orang awam yang seperti anda sebutkan, ada  juga yang lulusan Ummul Quro Makkah, Jamiyatul Islamiyah Madinah, Al Azhar Kairo dan sebagainya, bahkan tak sedikit yang hafiz al Qur’an dan muhaddis.

Saya Tanya: ’Kenapa harus datang ke Raiwind (Pakistan), bukankah di Arab gudang ilmu dan kalian ini orang-orang ahli ilmu.’

Di antara mereka menjawab: ‘Betul di tempat kami belajar dasar-dasar ilmu, tapi di sini kami belajar mengamalkannya di sini , seperti zaman sahabat, ada al Qur’an berjalan’, kata seorang di antaranya.

Perhatikan ayat ini:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا 

فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ 

بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ 

اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya kerana memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. [2]

لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ 

فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ هُمُ 

الصَّادِقُونَ


(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah [3]  yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (kerana) mencari karunia dari Allah dan keredhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar. [4].

Maksudnya: kerabat Nabi, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil yang kesemuanya fakir miskin, mereka itu adalah ‘akar rumput’ mewakili prosentase terbesar umat ini,  dan mereka berhijrah. Bukankah ini menggambarkan bahawa peserta hijrah bersama Nabi saw adalah mereka yang papa, miskin, fakir dan yang terusir. Siapakah di antara mereka yang ahli ilmu? Sementara ayat al Qur’an sebagai sumber ilmu belum turun seluruhnya. Artinya, Allah Swt sentiasa memberi  kesempatan kepada hamba-hamba-Nya untuk memperbaiki diri dari kesalahannya dan membuka pintu taubat seluas-luasnya bagi siapa saja yang mau bertaubat. Lha kok terbalik, justeru anda, Al-Ustaz Abul Fadhel Al-Bughisiy dan teman-teman Salafy lainnya, menganggap hal itu perkara yang batil dan salah, hanya dengan mengemukakan dalih seorang yang mau memperbaiki diri, harus belajar dan duduk di depan para ulama dan ustaz agar ia mengetahui kebaikan dan keburukan sehingga ia dapat mengamalkan yang baik dan meninggalkan yang buruk di sini lah letak kepicikan, atau setidaknya keterbatasan  pandangan anda. 

Betul, menuntut ilmu itu wajib di depan ulama, bahkan bertanya kepada ulama, menghormati ulama dan memuliakan ulama. Melihat wajah ulama saja menjadi ibadah. Semua itu diperintahkan. Tapi, dakwah ila Allah dan gerakan kebaikan itu, hari ini,  adalah juga hajat paling utama semua orang. Artinya jangan sampai kita dudukkan dakwah dan mengajak kebaikan, itu, seakan cuma menjadi monopoli ulama, miliknya para sarjana hadis, yang lulusan ummul Quro, Jamiatul Islamiyah, Al Azhar dan sebagainya. Seakan ilmu  itu menjadi menara gading. Simbol elitisme dan keterpicisan sekelumit sosok, yang konon well educated(terpelajar) saja dan kalau itu yang terjadi, bukankah menjurus keangkuhan intelektual yang dapat merusak asas bangunan Islam secara totalitas yang telah dibangun susah payah oleh Nabi saw? Padahal mayoritas umat ini adalah orang miskin, awam dan jahil. 

Nah, siapa yang akan menggarap lahan mayoritas umat ini kalau semua kita cuma berpangku tangan menunggu ulama? Kita sibuk mengeluarkan fatwa-fatwa, membahas kitab-kitab tebal, sementara umat ini jangankan mendengarkan fatwa, solat saja sebagai ibadah mahdhoh paling besar sudah ditinggalkan. Umat ini sudah berbondong-bondong meninggalkan solat, itu artinya berbondong-bondong menuju neraka jahannam. Apakah anda al Ustaz Abul Fadhel Al-Bughisiy yang mulia dan sahabat-sahabatku Salafy, sampai hati atau merasa tega dan membiarkan mereka begitu saja dan bahkan cukup puas Cuma menuduh mereka bid’ah dan sesat? 

Memang betul, mereka seakan sedang di dalam lumpur berteriak minta tolong, sementara kita sibuk membuat pengumuman: Hati-hati ada jurang! Sedang keadaan umat ini bukan hanya lemah, tapi buta dan tuli! Apalagi akan sangat disayangkan kalau di antara kita masih ada yang merasa bahawa ilmu itu adalah status sosial, ilmu itu adalah ijazah, LC, S1,S2,S3 dan sebagainya. Siapa perancang LC, S1, S2, S3? Apakah ada sunnahnya menggunakan titel-titel itu. Kalau mau jujur, bukankah itu juga perkara bid’ah yang besar? Apakah ada jaminan kesalehan bagi para penyandangnya. Bukankah realistisnya  gelar-gelar tersebut justeru menimbulkan kelas-kelas tertentu di masyarakat? 

Mohon maaf beribu maaf, saya mengutarakan ini, bukan berarti saya sinis terhadap ilmu dan gelar, kerana saya sendiri memiliki ijazah-ijazah itu. Cuma menurut pandangan saya yang faqeer  ini, bukankah semua itu hanya alat untuk mencapai tujuan. Bukan harus menjadi kebanggaan atau kesombongan yang selalu ditampilkan di depan nama seseorang. Bukankah dalam amalan dakwah Nabi saw, siapa saja dari sahabatnya dapat menjadi sebab kebaikan dan sebab hidayah, sepanjang  ia mau bermujahadah. Maka di antara sahabat Nabi saw mengatakan:Kuunuu mitslanaa  (Jadilah kalian seperti kami),  maksudnya dari segi iman, kesalehan dan ketaatan, supaya setiap orang mau mencotoh mereka.

Ada satu kisah, tahun 2003 saya bergabung menjadi penerjemah teman-teman dari Saudi Arabia di antaranya DR.Su’ud dari Universitas Ummul Quro Mekkah dan DR.Ahmad Adnan dari Jamiatul Islamiah Madinah.Di masjid Hussein On Kuala Lumpur, kami ik’tikaf 3 hari, hari kedua ada pengajian rutin yang diisi oleh ustad setempat. Sebenarnya topik kajian malam itu adalah fikih, tapi tiba-tiba sang ustad muda yang baru lulus dari Ummul Quro itu, menyebut-nyebut:

-‘Ada golongan yang sudah memindahkan kiblat dari Mekkah ke India, mereka berdakwah tanpa ilmu, mereka datang ke masjid-masjid, mereka berdakwah membawa kesesatan. Kita harus hati-hati dan jangan terlalu mudah mengikutinya.’  

Saya terjemahkan semua ucapan ustad tersebut ke bahasa arab,  kepada teman-teman dari Saudi. Mereka berkomentar, ‘Haza lanaa (yang ini untuk kita)’. 

Selesai majelis, panitia mempersilahkan kami minum bersama. Maka posisi duduk pun diatur, sang Ustad berdampingan dengan DR.Su’ud. Mereka berkenalan, ternyata dari perkenalan itu diketahui DR.Su’ud adalah Muhaddis senior yang jauh di atasnya, semasa belajar di Ummul Quro. 

Sang ustad bertanya: ’Anta ma’at tablighi? (anda sekarang bersama orang tabligh)?’ Dijawab: ‘Na’am ana ma’ahum  wa ma’aka aidhon’(ya, saya bersama mereka dan bersama anda juga)”. Sang Ustad langsung diam dengan raut muka memerah, menunduk dan tidak bicara sepatahpun sampai beranjak dari tempat itu.

Tahun 2008, saya pernah bayan dalam bahasa arab di satu mesjid dekat Jami’atul Iman, Sonaa, ibukota Yaman. Selesai bayan, seorang anak muda mengajak saya bertemu dengan para dosennya.Kami duduk di dekat taman dan saya dikelilingi 3 orang, salah satunya  bertitel Doktor Syariah. Seorang di antaranya berkata, “Tadi dalam bayan anda mengatakan semuanya datang dari Allah, segalanya milik Allah, sedikit-sedikit Allah. Nah, saya punya anak dan isteri yang tinggal di balik bukit sana (sambil menunjuk ke arah bukit). Kalau saya tak mengirim belanja atau makanan, apa yang mereka makan, apakah ada yang langsung dari Allah?’

Saya pun menjawab: ‘Pertanyaan anda merupakan siaran ulangan dari pertanyaan Nabi Zakaria  as:

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا مَرْيَمُ 

أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ 

بِغَيْرِ حِسَابٍ

Setiap kali Zakariyya datang ke mihrab, di situ dijumpainya makanan siap hidang, ia tanya:”Hai Maryam, dari mana makanan ini dijawab: Itu dari sisi Allah, Dia  yang memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.[5]

Ada dua pelajaran, pertama; Pantaskah seorang Nabi bertanya tentang rezeki, padahal Nabi adalah guru tauhid, yang pasti sudah tahu semua itu datangnya dari Allah Swt. Kedua, yang ditanya seorang wanita (bukan Nabi, kerana tidak ada wanita yang Nabi) dalam keadaan terkucil dilanda fitnah besar. Ternyata iman wanita itu  mengagumkan, perhatikan, katanya:

‘Semua itu dari sisi Allah, Dia  yang memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab’.

Bayangkan, wanita lemah dengan keluguannya dapat memberi tarbiyah (pelajaran) iman kepada seorang Nabi, bukankah Nabi itu professor  iman? Di sini Allah Swt memberi  tarbiyah, bahawa orang pintar, ahli ilmu , bahkan seorang Nabi pun masih tetap harus belajar dan kadang gurunya adalah orang awam atau yang lebih bodoh darinya.

Maka, seorang dari yang bertanya kepada saya menyatakan: ‘Sodaqta  ya syeikh (anda benar bung)’.

Coba kita perhatikan lagi  ayat ini;

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ 

لَدُنَّا عِلْمًا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, [6] yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami [7]

Di sini jelas bahawa kisah Khidir yang orang biasa dan Musa as yang ulu al ‘Azmi tapi telah banyak bertanya dan itu sebagai bukti ketidaksabaran Musa as. Khidir  telah memberi pelajaran sabar (sebagai wujud iman) kepada Musa as. Oleh sebab itu pula ayat tersebut menjelaskan “Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”satu bukti bahawa ilmu tak selamanya dari guru atau ulama, Allah sendiri Maha Mampu memberikan ilmu langsung kepada siapa saja yang dikehendakiNya.

Kerana ada dialog, perjumpaan kami pun berpisah dengan damai dan berangkulan, tanpa hujatan dan caci maki. (bersambung).

[1] Al Qur’an surah Al Muzzammil  ayat  7.
[2] Al Qur’an surah al Baqarah ayat 273.
[3] Maksudnya: kerabat Nabi, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil yang kesemuanya orang fakir dan berhijrah.
[4] Al Qur’an surah al Hasyr ayat 8.
[5] Al Qur’an surah ali imron ayat 37.
[6] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. Sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut. 65.
[7] Al Qur’an surah al Kahfi ayat 65.

No comments:

Post a Comment