Friday, January 8, 2016

ABU DARDA SAHABAT YANG ZUHUD DAN TAAT BERIBADAH

Nama beliau adalah Uwaimir bin Amir bin Mâlik bin Zaid bin Qais bin Umayyah bin Amir bin Adi bin Ka`b bin Khazraj bin al-Harits bin Khazraj. Ada yang berpendapat, namanya adalah Amir bin Mâlik, sedangkan Uwaimir adalah julukannya. Ibunya bernama Mahabbah binti Wâqid bin Amir bin Ithnâbah. Beliau termasuk Sahabat yang akhir masuk Islam. Akan tetapi, beliau termasuk Sahabat yang bagus keislamannya, seorang faqih, pandai dan bijaksana. Rasulullâh S.a.w mempersaudarakannya dengan Salman al-Fârisi r.a. Nabi S.a.w mengatakan, “Uwaimir adalah hakîmul ummah (seorang yang sangat bijaksana).” Beliau mengikuti berbagai peperangan setelah perang Uhud. Adapun keikut sertaan beliau dalam perang Uhud masih diperselisihkan. [Usudul ghâbah 5/97].

BELIAU ADALAH SAHABAT YANG ZUHUD DAN RAJIN BERIBADAH

Abu Juhaifah Wahb bin `Abdillâh r.a berkata, “Nabi S.a.w mempersaudarakan Salman al-Fârisi dan Abu Darda r.a.” Setelah itu Salmân r.a mengunjungi Abu Darda` r.a. Dia melihat Ummu Darda r.a memakai pakaian kerja dan tidak mengenakan pakaian yang bagus. Salman r.a bertanya kepadanya, “Wahai Ummu Darda`, kenapa engkau berpakaian seperti itu?” Ummu Darda` r.a menjawab, “Saudaramu Abu Darda r.a sedikit pun tidak perhatian terhadap istrinya. Di siang hari dia berpuasa dan di malam hari dia selalu solat malam.” Lantas datanglah Abu Darda r.a dan menghidangkan makanan kepadanya seraya berkata, “Makanlah (wahai saudaraku), sesungguhnya aku sedang berpuasa”. Salman r.a menjawab, “Aku tidak akan makan hingga engkau makan.” Lantas Abu Darda r.a pun ikut makan.

Tatkala malam telah tiba, Abu Darda pergi untuk mengerjakan solat. Akan tetapi, Salman menegurnya dengan mengatakan, “tidurlah” dan dia pun tidur. Tak lama kemudian dia bangun lagi dan hendak solat, dan Salman berkata lagi kepadanya, “tidurlah.” (dia pun tidur lagi). Ketika malam sudah lewat Salman berkata kepada Abu Darda , “Wahai Abu Darda`, sekarang bangunlah”. Maka keduanya pun mengerjakan solat”. Setelah selesai solat, Salman berkata kepada Abu Darda, “Wahai Abu Darda, sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, badanmu mempunyai hak atas dirimu dan keluargamu (istrimu) juga mempunyai hak atas dirimu. Maka, tunaikanlah hak mereka.” (selanjutnya) Abu Darda mendatangi Rasulullâh S.a.w dan menceritakan kejadian tersebut kepadanya.

Nabi S.a.w menjawab, “Salman benar” [HR. al-Bukhâri no. 1867., kitab Ash-Shahâbah hlm.462]. Dalam riwayat lain yang lain, Abu Darda mengatakan, “Tatkala Nabi diutus menjadi rasul, ketika itu aku adalah seorang pedagang. Aku ingin menggabungkan ibadahku dan pekerjaanku, namun keduanya tidak bisa bersatu. Kemudian aku pun meninggalkan pekerjaanku dan memilih beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Demi Allah, alangkah senangnya seandainya aku memiliki toko di jalan menuju pintu masjid hingga aku tidak meninggalkan solat. Aku bisa mendapatkan keuntungan empat puluh dinar dan bisa aku sedekahkan semua di jalan Allah Azza wa Jalla.”

Seseorang bertanya kepada beliau, “Wahai Abu Darda, kenapa engkau membenci hal (harta) itu?” Beliau menjawab, “Aku takut (hisab yang dahsyat). Pada hari kiamat Allah Azza wa Jalla akan menghisab hartaku ini dan bertanya kepadaku dua hal:

1) Pertama : Darimana harta itu diperoleh, dan 

2) Kedua : Kemana harta itu dibelanjakan.

Harta yang halal ada hisabnya dan harta yang haram ada siksanya.” [Ash-Shahâbah hlm. 461-463]

Dalam riwayat lain beliau mengatakan, “Aku senang seandainya aku bisa berdagang di jalan dekat pintu masjid, setiap harinya aku bisa memperoleh 300 dinar dan aku bisa mengerjakan solat lima waktu di masjid. Aku tidaklah mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Akan tetapi aku lebih senang menjadi orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari beribadah kepada Allah Azza wa Jalla .’” [Al-Hilyah 1/20 / Ash-Shahabah hlm. 463].

KISAH BERPULANGNYA BELIAU MENGHADAP Allah AZZA WA JALLA.

Syumaith bin Ajlân rah berkata, “Tatkala Abu Darda hendak meninggal dunia, beliau merasa gelisah. Ummu Darda berkata kepadanya, ‘(Wahai Abu Darda`), bukankah engkau pernah memberitahuku bahwa engkau mencintai kematian?’ Abu Darda menjawab, ‘Demi Allah, benar’, akan tetapi tatkala aku yakin akan meninggal dunia, aku menjadi benci kepada kematian, kemudian Abu Darda menangis dan mengatakan, ‘Sekarang adalah detik-detik akhir hidupku di dunia ini. Bimbinglah aku mengucapkan lâ ilâha illallâh.’ Akhirnya Abu Darda sentiasa mengucapkan kalimat itu hingga meninggal dunia.” Beliau wafat dua tahun sebelum pembunuhan Utsman bin Affan r.a. Ada yang mengatakan bahwa beliau wafat setelah perang Siffin. Ada yang mengatakan tahun 23 atau 24H di kota Damsyik dan ada juga yang mengatakan tahun 38 atau 39. Akan tetapi, yang masyhur dari kebanyakan para ahli ilmu adalah beliau wafat pada masa kekhalifahan Utsmân RadhiyAllahu anhu . [Usudul Ghâbah 4/18-19, no. 4136].

DI ANTARA PESANAN ABU DARDA.

Beliau mengatakan, “Seandainya kalian mengetahui apa yang akan kalian lihat setelah kematian, pasti kalian tidak akan berselera untuk makan, minum, dan berteduh di dalam rumah. Kalian akan keluar menuju tempat-tempat yang tinggi dan memukul-mukul dada kalian serta menangisi diri-sendiri. Sungguh, aku lebih senang menjadi sebatang pohon yang dikunyah kemudian ditelan. [Az-Zuhd, Imam Ahmad/ Ash-Shahâbah hlm. 465]

Beliau mengatakan, “Siapa yang banyak mengingat kematian, maka ia akan sedikit gembira dan jarang berbuat hasad”. Beliau berkata, “Ada 3 hal yang membuatku tertawa dan 3 hal yang membuatku menangis. 3 hal yang membuatku tertawa yaitu:

1) Pertama : Orang yang cita-citanya adalah duniawi, padahal kematian selalu mengintainya.

2) Kedua: Orang yang lalai dari kematian, padahal kematian tidak pernah lalai kepadanya, dan

3) Ketiga: Orang yang berlalu banyak tertawa, ia tidak tahu apakah Allah Azza wa Jalla murka atau ridha kepadanya.

Adapun 3 hal yang membuatku menangis adalah, dahsyatnya kiamat, terputusnya amal, dan keadaanku di hadapan Allah Azza wa Jalla , apakah akan dimasukkan di surga atau neraka.” Beliau juga pernah berkata, “Wahai manusia, injakkan kakimu ke tanah. Sesungguhnya sebentar lagi ia akan menjadi kuburmu. Wahai manusia, sesungguhnya hidupmu hanya beberapa hari, tiap kali waktu berlalu, berarti sebahagian hidupmu telah pergi. Wahai manusia, engkau sekarang ini selalu menghabiskan umurmu sejak lahir dari rahim ibumu. ” 

Seorang penyair mengatakan:

نَسِيْرُ إِلَى اْلآجَالِ مِنْ كُلِّ لَحْظَةٍ وَأَيَّامُنَا تُطْوَى وَهُنَّ مَرَاحِلُ
وَلَمْ أَرَ مِثْلَ الْمَوْتِ حَقًّا كَأَنَّهُ إِذَامَا تَخَطَّتْهُ اْلأَمَانِيَّ بَاطِلُ
وَمَا أَقْبَحَ التَّفْرِيْطَ فِيْ زَمَنِ الصِّبَا فَكَيْفَ بِهِ وَالشَّيْبُ لِلرَّأْسِ شَاعِلُ
تَرَحَّلْ مِنَ الدُّنْيَا بِزَادٍ مِنَ التُّقَى فَعُمْرُكَ أَيَّامٌ وَهُنَّ قَلاَ ئِلُ

Kita berjalan menuju ajal dalam setiap detiknya

Hari-hari kita selalu berlalu, dan memiliki tahapan-tahapan. 

Aku belum pernah melihat ada sesuatu yang lebih meyakinkan daripada kematian . 

Seolah-olah, semua yang tidak dijangkau oleh angan-angan (kematian-pen), tidak bisa diterima. 

Alangkah buruknya perbuatan kita (meninggalkan agama-pen) tatkala muda. 

Lantas, bagaimana seseorang itu tetap meninggalkan agama, padahal ubannya telah menyala. 

Berjalanlah kamu di dunia ini dengan bekal takwa 

Kerana, umurmu hanyalah beberapa hari, dan itu sangatlah sedikit.

Demikian sosok sahabat yang agung, mudah-mudahan bisa kita jadikan sebagai suri teladan yang baik. WAllahualam.

No comments:

Post a Comment