Thursday, January 28, 2016

SYARIAT. TARIKAT HAKIKAT MAKRIFAT

Ilmu Fiqih perlu disertai Tasawuf. Letakkan dunia ditangan bukan di hatimu. Pesanan Imam Syafie rah: “Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (perkara syariat) dan juga menjalani tasawuf (thariqat, hakikat dan makrifat) , dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mahu menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik (muslim yang ihsan) (Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i hal 47)

PESANAN SHEIKH ABDUL KADIR JAILANI

Letakkanlah dunia di tanganmu, jangan di hatimu! Hatimu harus terus merasakan kehadiran Allah, sebutlah nama Dzat-Nya. Penuhilah hatimu dengan nama-nama-Nya nan indah. Sungguh, engkau dianggap sebagai orang yang celaka jika tidak merasa malu kepada Allah Subhanahu wata’ala, jika engkau menjadikan dinar sebagai tuhanmu dan menjadikan dirham sebagai tujuanmu, sedangkan engkau melupakan-Nya sama sekali! Sungguh, takdirmu telah dekat! Maka, jadikanlah kedai-kedai yang kau miliki dan semua harta benda untuk keluargamu adalah semata-mata kerana perintah syariat, namun hatimu harus tetap kokoh bertawakal kepada Allah.

Carilah rezekimu dan rezeki keluargamu hanya dari Allah SWT, bukan dari harta benda dan perniagaanmu. Dengan demikian rezekimu akan mengalir, begitu pula rezeki keluargamu. Kemudian, Allah juga akan memberimu karunia, kedekatan dan kelembutan-Nya dalam kalbumu. Dia akan mencukupi keperluan keluargamu dan keperluanmu melalui dirimu sendiri! Allah juga akan mencukupi keluargamu dengan apa yang Dia kehendaki dan sebagaimana yang Dia kehendaki. Akan dikatakan kepada kalbumu, “Ini adalah untukmu dan keluargamu!” (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Fath Ar-Rabbani wal-Faidh Ar-Rahman). 

Pengertian syuhud sebagai basyiratul qalbi (pandangan mata hati) seperti kaidah yang tertera dalam kitab Addurun Nafis: SYUHUUDUL KATSRAH FILWAHDAH, SYUHUUDUL WAHDAH FILKATSRAH “Pandang yang banyak pada yang satu dan pandang yang satu pada yang banyak”.  Sampai menemukan keyakinan dan pandangan yang benar, andai diungkapkan dalam bentuk kata-kata, maka lahirlah: “Tidak aku melihat sesuatu, melainkan aku melihat Allah padanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sertanya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sebelumnya, tidak aku melihat sesuatu melainkan aku melihat Allah sesudahnya”.

Itulah kunci-kunci penyibak hijab. Kunci-kunci tersebut harus dipraktekkan dengan landasan pemahaman tentang tauhidul af’al, tauhidul asma, tauhidus sifat dan tauhidu dzat (esa perbuatan, nama, sifat dan zat Allah). Inilah yang menjadi tonggak keyakinan, untuk memandang setiap kejadian di alam semesta pada hakikatnya perbuatan Allah, setiap nama hakikatnya nama Allah, setiap sifat hakikatnya sifat Allah dan setiap dzat hakikatnya adalah dzat Allah. Bila semua perbuatan, nama, sifat &dzat telah disandarkan kepada Allah, maka akan membuahkan sikap terpuji yang disebut akhlaqul karimah.  Selanjutnya orang tersebut akan memiliki sikap tegar dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan.

Sebagaimana terlukis pada kehidupan Rasulullah saw.  Beliau memiliki sifat sabar, ikhlas, hilim,tawadhu (rendah hati) dan sifat terpuji lainnya.  Akhlak tersebut tidak dipaksakan, tetapi muncul apa adanya sebagai refleksi syuhud. Acuan syuhud adalah kalimat laailaha illAllah (tidak ada tuhan selain Allah), yang berlanjut pada makna: "Tidak ada sesuatu apapun selain Allah".  Rasulullah saw. bersabda: “Kunci syurga itu laailaha illAllah”. Disebut kunci syurga, kerana syurga bagi orang yang sedang menuju Allah di fahami sebagai syurga dalam arti ma’rifah.  Seseorang tidak akan ma’rifah tanpa membuka kuncinya.  Kunci itu adalah mengamalkan kalimat laailaha illAllah sampai menemukan hakikat fana. “Semua yang ada di bumi itu akan binasa.  Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (Ar Rahmaan: 26-27).

Tatkala sampai pada derajat fana, maka tersibaklah tirai yang menghalangi dalam memandang Allah. Fana ini pun sebagai kunci pembuka tirai Ilahi. Namun perlu digaris bawahi di sini, syuhud bukanlah wacana akal dan bukan pula perdebatan lisan, tapi Syuhud ada dalam rasa.  Bagaimana rasa kehambaan sirna dalam rasa-Nya, tentunya rasa dalam arti esa.  Demikian syuhud bagi para arifin billah.  Tapi syuhud bagi salikin, dengan sarana ilmu tauhid untuk memandang kepada-Nya, hingga tertanam ‘ilmal yaqin (keyakinan ilmu). Syuhud juga dilakukan dengan menggunakan syua’ul basyirah (penglihatan akal) dan ainul basyirah (penglihatan ilmu). Kemudian mengaplikasikan ilmu itu ke dalam kehidupannya, seiring zikir yang istiqomah. Sehingga muncul kekuatan dari dalam diri yang dapat memicu semangat berjalan menuju kepada-Nya. Akhirnya dg pengamalan syuhud yg benar akan runtuh segala prasangka & tersingkaplah seluruh hijab.

No comments:

Post a Comment