Saturday, April 23, 2016

ALLAH PUN BERSEMAYAM DI HATI

(Oleh KHM Luqman Hakim). Apakah yang bisa Anda bayangkan ketika mata Anda saling memandang dengan Mata Allah? Pastilah itu mengingatkan kenangan-kenangan ketika empat mata pecinta saling beradu. Tiba-tiba luruh jantung berhenti seperti gelombang lautan yang menghempaskan sauhnya di pantai. Lalu bayangkan jika gejolak jantung dan gejolak Cinta Ilahi bertemu dalam samudera (demi samudera keluasan dan ketakterbatasan jiwa) maka tak ada yang lebih tepat lagi untuk menyebutkan, melainkan adalah kata ketentraman, kedamaian, ketenangan yang terus menerus menyelami gairah demi gairah.

Apakah yang bisa Anda bayangkan, ketika Allah mengenang diri kita dalam kenangan rindu keabadian-Nya? Pastilah kenangan kita akan lenyap, hanyut dan terpesona, sampai kita tak mampu mengenang lagi. Apa itu sebenarnya yang disebut kenangan? Yang ada hanyalah kenangan Ilahi. Lalu di mana-mana, kapan saja, bagaimana, bahkan mengapa, tak sejenak pun terjawab, kecuali semuanya adalah bukti, semuanya adalah cahaya-cahaya, semuanya adalah ayat-ayat suci.

Apakah yang Anda bayangkan, ketika Anda berada dalam barisan-barisan (shaf-shaf), makhluk-makhluk pilihan, yang berkumpul dalam sebuah jamaah agung di hamparan para kekasih Allah? Tentulah, tak ada kemuliaan yang melebihinya, tak ada keharuan yang menghalanginya, tak ada wajah-wajah muram yang menjadi awan meganya, tak ada cahaya yang melebihi cahaya matahari penyaksiannya, tak ada hamparan yang melebihi keindahannya. Maka di sanalah wajah-wajah cerah bersinar, wajah yang tak terhadang oleh keinginan-keinginan diri sendiri, tetapi memancarkan wajah hati yang sesungguhnya. Cermin yang tak bisa ditipudaya.

Apakah yang Anda bayangkan, ketika seluruh urat nadi, syaraf-syaraf, tulang belulang, pori-pori dan darah yang mengaliri seluruh tubuh Anda, tak henti-hentinya mengenang Tuhannya. Tak henti-hentinya bagai arus deras mengalirkan tasbih-tasbih penyucian, tak henti-hentinya menyuarakan  bunyi-bunyi rahasia dari segala rahasia-Nya? Tentu, Anda takkan mampu berkutik sedetik pun, melainkan Anda melihat diri Anda sekadar wujud semu dalam kefanaan. Anda melihat nama Anda hanyalah pinjaman belaka dari nama Tuhan. Anda melihat diri Anda sekadar bayangan dari wujud yang sesungguhnya. Selanjutnya, Anda tidak mampu lagi melihat diri Anda.

Bahkan siapa sebenarnya Anda pun tak terlintas, tak terbayang, tak tergambar. Kalau toh harus Anda kisahkan kenyataan-kenyataannya, Anda hanya bisa membuat tamsil-tamsil belaka. Sebab Anda pun telah sirna dari kesirnaan itu sendiri. Dalam fananya fana’. Amboi, hanya ada Allah di sana, Allah…Allah…saja… Apakah yang Anda bayangkan, ketika hati Anda telah menjadi Istana Allah yang tiada bandingnya? Pastilah yang Anda saksikan adalah Keindahan dan Keagungan, Karisma dan Kelembutan, Keperkasaan dan Kehalusan, Kedahsyatan dan Kasih Sayang, Keadilan dan Kemurahan Cinta Utama, Rahman dan Rahim, Jalal dan Jamal, Jalalul Kamal dan Jamalul Kamal, Kamalul Jalal dan Kamalul Jamal, Jamalul Jalal dan Jalalul Jamal Allah SWT.

Hatimu adalah Istana Ilahi. Janganlah engkau biarkan istana itu dalam kemuraman tanpa cahaya-cahaya kerinduan-kecintaan. Janganlah engkau biarkan istana itu kotor oleh setan-setan. Janganlah engkau biarkan istana itu sepi, sunyi dari bunyi-bunyi, sunyi dari gerak-gerik dan lalu lalang kebajikan. Pun sunyi dari suara-suara yang bernyanyi yaitu nyanyian yang memuja dan memuji, nyanyian kehanyutan dalam kenangan Ilahi. Nyanyian yang teriring melodi dan konser dari Asma’ dan Sifat bahkan Af’al Ilahi. Nyanyian yang bergelora, bahkan juga nyanyian sunyi dalam dekapan Keindahan dan Keperkasaan Ilahi.

Lalu apa yang Anda bayangkan lagi, saat segalanya adalah dirimu. Dirimu bukanlah dirimu. Lalu dirimu adalah segalanya, dan segalanya bukanlah dirimu? Tentulah Anda tak lagi mampu berkata-kata. Akal, pikiran tak mampu berlogika. Tak ada nama-nama, predikat-predikat, bahkan sifat-sifat  yang Anda ungkap, melainkan itulah alam keabadian, alam kemandirian, alam penyaksian dan ma’rifat. Yang terlintas bagai sekelebat cahaya itu, adalah cahaya dzikrullah. Cahaya yang menerangi Istana Ilahi dalam hati hamba-hamba-Nya yang beriman. Cahaya yang memancar ketika hamba menyadari betapa dalam jiwanya ada istana, di mana Allah bersemayam bagai Arasy-Nya, dan hakikatnya memanglah demikian.

Lalu Allah berkali-kali memanggil kita, dengan panggilan khusus, “Wahai orang-orang yang beriman…”, bahkan seakan-akan Allah memanggil pula, “Wahai hati, di mana Istanaku….”. Panggilan itu adalah panggilan abadi. “Kenanglah Allah dalam ingatan hatimu, dengan segala sebutan dan kenangan, dengan segala ungkapan dan segala yang tak bisa dilupakan, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya…sebanyak-banyaknya….” Itulah, sehingga Syekh Abu Ali ad-Daqqaq, membangun sebuah istana dalam hatinya dengan tiang-tiang yang kokoh, tiang-tiang dzikrullah, dan kelak tiang-tiang itu memanjang, menyangga jembatan-jembatan yang menghubungkan ke Arasy-Nya. Sebuah pijakan di mana semua hamba melintasinya, melintasi jejak-jejak dzikrullah itu sendiri. “Siapa pun tak akan pernah sampai kepada Allah, melainkan dengan orang itu melanggengkan dzikirnya.”

“Dzikrullah adalah taburan dunia wali, siapa pun yang bermandikan taburan itu, ia telah tertaburi bunga-bunganya. Siapa yang tersingkirkan, ia telah terasingkan dari butir-butir taburan itu,” kata Syekh Abu Ali ad-Daqqaq. Mohammad al-Wasithi lantas meyambutnya. Dzikir itu berarti keluar dari medan-medan kealpaan menuju medan-medan yang berhampar padang musyahadah. Medan yang penuh dengan selimut ketakutan sekaligus penuh dengan kehangatan cinta.

Lalu Jibril turun membawa berita yang begitu menggembirakan. Berita itu ia sampaikan kepada Rasulullah SAW, "Sesungguhnya Allah Ta' ala berfirman, "Aku telah menganugerahi umatmu sesuatu yang tidak pemah sarna sekali Kuberikan kepada umat-umat lainnya." Lalu Nabi SAW balik bertanya kepada Jibril: "Apa sesuatu itu wahai Jibril?" Lantas Jibril menyebutkan, "Yaitu firman Allah, “lngatelah kepada-Ku, niscaya Aku mengingatmu”. Allah tidak berfirman seperti ini selain pada umat ini.” Karena itu para sufi itu ada yang berkata,“ Siapa saja yang tidak merasakan ganasnya kealpaan, maka ia tidak akan merasakan mesranya dzikir." Lalu Sarri as-Saqathi mengatakan, bahwa disebagian kitab-kitab Allah terdahulu disebutkan, "Manakala hamba-Ku diliputi oleh ingatan kepada-Ku, ia telah asyik masyuk kepada-Ku dan Aku juga asyik masyuk kepadanya."

Makanya, Ahmad an-Nuri mengingatkan, bahwa segala sesuatu itu ada penderitaannya. Penderitaan orang-orang yang ma'rifat kepada Allah adalah manakala ia telah putus dengan dzikir kepada-Nya. Janganlah dibayangkan, bagaimana dzikrullah menjadi begitu agung di hadapan Anda. Sebab, sesuatu yang terbayangkan, tercerna dalam bentuk dan ukuran, tergambar dalam warna dan rupa, terbayang dalam jarak dan arah ruang, maka semua itu hanyalah batasan-batasan. Semua itu hanyalah angan-angan yang begitu lemah. Padahal keagungan dzikrullah melampaui apa yang kita bayangkan. Dzikrullah telah menjadi bagian paling agung dari Asma' -Nya, yaitu Ad-Dzakir.

Tetapi mari sejenak kita istirahatkan hasrat-hasrat kita, untuk sekadar menjenguk ungkapan al-Ghazali, Sang Hujjatul Islam. Dzikir itu ada lima. Ada dzikir lisan belaka, sementara hatinya tidak hadir dihadapan Allah. Ada dzikir nafsu, di mana orang yang berdzikir diliputi oleh keinginan-keinginan duniawi, hasrat-hasrat diri dan bahkan keuntungan-keuntungan di balik dzikir bagi kepentingan dunianya. Lalu ada dzikir kalbu, di mana hatinya hadir di hadapan Allah. Semata dzikirnya untuk akhirat, bahkan ia lepaskan segala hal yang berbau dunia. Maka kita menginjak lagi tahapan berikutnya, dzikir ruh. Dzikir di sana terhampar segala penafian, penegasian, pembuangan segala hal selain Allah. 

Sang Pendzikir telah sirna. Bahkan ia sendiri di kemudian waktu telah sirna dari rasa sirna itu sendiri. Maka Sang Hamba akan memasuki wilayah baru, yaitu dzikir sirr. Di sana ia tidak lagi mampu berdzikir, sebab yang ia pandang segalanya. Dzikir-dzikirnya, segala yang disaksikan termasuk gerak-gerik kalbu, lisan, bahkan ruhnya adalah Allah. Allahlah yang hakikatnya berdzikir. Hamba hanyalah pantulan dari dzikir Allah Ta'ala Azza wa jalla. Sang Hamba berada dalam baqa'-Nya, dalam keabadian-Nya, dalam kelanggengan dan kemahaan-Nya.

No comments:

Post a Comment