Saturday, April 23, 2016

MENGENAL ALLAH MELALUI ALLAH, MEMBACA MELALUI ASMA-ASMA-NYA

(Oleh KHM Luqman Hakim).  Sebuah peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia, adalah turunnya Al-Qur’an pertama kali di Gua Hira’. Pertemuan Rasulullah sayyidina Muhammad SAW, dengan Malaikat Jibril saat itu (bertepatan dengan Lailatul Qadr0 merupakan representasi dari sebuah awal sekaligus akhir dari perjalanan waktu dunia yang terbatas, menuju waktu Ilahi yang tiada hingga ‘azali dan abadi’. Betapa tidak. Ketika Jibril AS, memeluk beliau, sambil mendiktekan bacaan, “Iqra’!,” lalu dijawabnya “Maa anaa bi qaari’” (Aku tak bisa membaca). 

Sebuah jawaban teologis, filosufis dan sekaligus sufistik. Disebut teologis karena ketika itu Rasulullah berada di hadapan wajah Allah, sehingga yang ada hanyalah tauhidullah, bahkan dirinya sendiri sekali pun sirna dalam tauhid sampai harus berkata, “Aku tak bisa membaca…” Begitu juga sangat filosufis, karena dunia filsafat tak habis-habisnya mengurai peristiwa itu sebagai landasan utama peradaban tauhid di muka bumi. Setiap kali dimaknai secara filosufis, muncul pula cahaya baru dibalik makna yang tersembunyi. Bahkan juga sangat sufistik, karena “al-qaari al-haqiqi huwa Allah Ta’ala”, Sang Pembaca yang hakiki adalah Allah Ta’ala. Karena Dialah yang berkalam, dan Yang Maha Tahu makna kalam yang sesungguhnya.

Sampai kali ketiga, disaat Jibril AS meneruskan, Iqro’ bismi rabbikalladzi khalaq….dan seterusnya. Kanjeng Nabi Muhammad SAW baru bisa menirukan. Disinilah rahasia Asma Allah tersembunyi bagaimana Rasulullah SAW mampu membaca ketika kelanjutan kalimat pada ayat itu terbesit kalimat Bismi Rabbik (Dengan Asma Tuhanmu). Seandainya boleh ditafsirkan, “Bacalah Al-Qur’an ini dengan nama Tuhanmu. Siapa nama Tuhanmu? “Allah!” Dengan kata lain, bacalah Al-Qur’an ini dengan Allah…Allah…Allah…”.

Dan memang demikian, akhirnya tak satu pun dari seluruh tinta yang menghabiskan tujuh lautan ruhani maupun tujuh lautan fisika, mampu menuliskan, melukiskan bahkan menggambarkan dahsyatnya ilmu Allah dalam kalamullah itu. Yang ada hanyalah gemuruh jiwa yang menggetarkan seluruh jagat semesta ruhani dan jasmani, dalam kristal jantung Rasulullah SAW. Bahkan sampai beliau menggigil dalam fana’ul fana’. Karena wa yabqo 
wajhu rabbika dzul-jalaali wal-ikraam, ketika itu.

“Zammiluuni…Zammiluuni….” Selimuti aku….selimuti aku…. Seakan Rasulullah SAW, berkata: “Selimuti aku….selimuti… karena cahaya dari Maha Cahaya-Mu yang memancar di seluruh jagat cerminku. Selimuti aku, selimuti…., betapa senyap, sunyi, beku, dingin, tiada tara dalam GenggamanMu….. Selimuti…Oh, selimuti….dan akulah sesungguhnya selimut-Mu….Akulah Nama-Mu, akulah Ismu Rabbik itu…Oh…..”

Saat itu, dan mulai kala itu, tiada hari tanpa munajat, tiada kondisi dan waktu melainkan adalah waktu-waktu penuh liqa’ Allah. Maka ismu rabbik itu melimpah begitu dahsyatnya tanpa bisa terucap, tertulis dan terbayang, menjadi Al-Asma’ul Husna.

Peristiwa Hira’ itu, juga awal mula sebuah ajaran tentang dzikrullah dimulai. Gemuruh dzikrullah, telah menyelimuti seluruh nadi, ruh dan sirr Rasulullah SAW, dalam hamparan jiwanya. Karena hanya jiwa-jiwa yang beriman saja yang bisa menjadi istana Ilahiah.

Bahkan, dari 99 Al-Asmaul Husna yang pernah dihaditskan oleh Rasulullah SAW, dibaca oleh Asy-Syeikhul Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Araby, kemudian tertulis dalam kitabnya, An-Nuurul Asna Bi-MunajaatiLlaahi Bi-Asmaail Husnaa. 99 Munajat yang begitu indah, sekaligus menggambarkan Huquq ar-Rubuiyyah (hak-hak Ketuhahan) dan huqul ‘ibad wal ‘ubudiyah (hak-hak kehambaan dan ubudiyah). Misalnya, ketika membaca asma-Nya, “Allah”, Ibnu ‘Araby bermunajat:

Ya Allah, tunjukkan padaku, bersama-Mu, kepada-Mu. Limpahilah rizki keteguhan (keketapan) di sisi Wujud-Mu, sepanjang diriku dengan nya, untuk beradab di hadapan-Mu….

Yaa…Rahmaan, kasihanilah daku dengan pemenuhan paripurna nikmat-nikmat-Mu, tersampainya cita-cita ketika menahan cobaan-cobaan dahsyat dan ujian-Mu.

Yaa… Rahiim, sayangilah daku dengan memasukan ke surge-Mu dan bersuka ria dengan taqarrub dan memandang-Mu…

Yaa Maalik, Wahai….Diraja dunia dan akhirat, dengan kekuasaan mutlak paripurna, Jadikan diriku sampai di Jannatun Na’im dan Kerajaan Agung dengan beramal penuh total.

Yaa.. Quddus, sucikan diriku dari aib-aib dan bencana, sucikan diriku dari dosa-dosa dan kejahatan diri.

Yaa…Salaam, selamatkan daku dari seluruh sifat yang tercela, dan jadikan diriku dari golongan orang yang dating kepada-Mu dengan qalbun saliim.

Ya… Mu’min, amanlahlah daku di hari yang paling mengejutkan, limpahilan rizki padaku dengan bertambahnya iman kepada-Mu, sebagai bagianku.

Yaa…Muhaimin…Jadikanlah diriku sebagai penyaksi dan pemandang atas pemeliharaan-Mu, dan jadikanlah daku sebagai pemelihara dan pemegang amanah-amanah-Mu dan Janji-janji-Mu.

Yaa…Aziz…Jadikanlah daku dengan Perkasa-Mu termasuk orang-orang yang merasa hina di hadapan-Mu dan berikanlah padaku amaliah dengan amal-amal akhirat di sisi-Mu.

Yaa… Jabbaar…Paksalah diriku untuk berselaras dengan Kehendak-Mu, dan janganlah Engkau jadikan aku sebagai pemaksa pada hamba-hamba-Mu.

Yaa..Mutakabbir, jadikanlah daku termasuk orang-orang yang tawadlu’ atas kebesaran-kebesaran-Mu, tergolong orang-orang yang tunduk atas hukum dan keputusan-Mu.

Yaa…Khaaliq, ciptakan pertolongan dalam hatiku untuk taat kepada-Mu, dan lindungi daku dari kezaliman dan pengikutnya diantara makhluk-makhluk-Mu.

Yaa..Baari’, jadikanlah diriku dari golongan yang terbaik dari manusia, dan riaslah daku dengan akhlak baik yang diridlai.

Yaa…Mushawwir, Rupakanlah diriku dengan bentuk ubudiyah pada-Mu, dan cahayailah daku dengan cahaya-cahaya ma’rifat-Mu. Dan seterusnya sampai sembilan puluh sembilan Nama Allah.

Itulah implementasi lain, dari “Berakhlaqlah dengan Akhlaq-Akhlaq Allah”. Maka Al-Asmaul Husna, adalah hampiran pertama, ketika seorang hamba ingin merespon akhlaqullah, melalui munajat-munajat sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Araby.

No comments:

Post a Comment