Hujan turun dengan begitu deras di Kabupaten Bangkalan saat itu, khususnya di Demangan, pondok pesantren asuhan Syaikhona Kholil al-Bangkalani. Meski hujan mengguyur dengan derasnya, ada saja orang yang bertamu kepada beliau. Terlihat di antara rerintik hujan yang semakin deras, seorang tua lumpuh dengan susah payah hendak berkunjung menemui Syaikhona Kholil. Syaikhona segera tanggap, beliau lalu memerintahkan santrinya untuk menyusul. “Adakah di antara kalian yang mau menggendong dan membawa tamuku di laur sana itu?” “Biar saya saja, Yai,” jawab seorang santri muda mendahului teman-temannya.
Santri muda itu bergegas meloncat menembus rerintik hujan yang semakin deras, menghampiri orang tua itu. Tanpa pikir panjang, ia menggendongnya untuk menemui Syaikhona Kholil. Dengan sangat akrab, Syaikhona Kholil menyambut tamunya, dan di antara keduanya terjadi dialog empat mata. Tidak beberapa lama, rupanya percakapan mereka telah usai. Syaikhona Kholil mendatangi santri-santrinya untuk meminta bantuan lagi, “Siapakah di antara kalian yang mau membantu orang tua ini untuk kembali pulang?” “Biar saya Yai,” sahut santri yang tadi menggendong orang tua tersebut. lalu santri muda itu dengan penuh rasa takzim menggendongnya keluar pondok pesantren dengan hati-hati sesuai perintah Syaikhona Kholil.
Setelah santri dan tamu tua itu keluar dari kawasan pesantren, Syaikhona Kholil berkata kepada santri-santrinya yang lain, “Santri-santriku, saksikanlah bahwa ilmuku telah dibawa santri itu.” Dan ternyata yang digendong oleh santri tersebut adalah Nabiyullah Khidir ‘alahis salam yang bersilaturahmi kepada Syaikhona Kholil dan santri yang menggendonya adalah Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari muda (Pediri Nahdlatul Ulama), yang kemudian mewarisi keilmuan Syaikhona Kholil al-Bangkalani.
No comments:
Post a Comment