Bagaimana pandangan kaum sufi pada umumnya, mengenai hakikat ibadah, terutama Makna Puasa?
Pertama-tama, ibadah apapun bagi kaum sufi secara umum bisa dikerangkakan ke dalam tiga langkah atau tahapan, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli secara bahasa berarti mengosongkan, dalam terminologi tasawuf berarti membersihkan diri dari berbagai dosa yang mengotori jiwa, baik dari dosa lahir maupun dari dosa batin, atau istilah al-Ghazali itu penyakit hati. Yang dimaksud dosa lahir di sini adalah setiap perbuatan dosa yang melibatkan aspek fisik atau badan jasmani kita. Contohnya seperti membunuh, berzina, merampok, mencuri, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dosa batin atau dosa yang timbul dari aktivitas hati antara lain berdusta, menghina orang lain, memfitnah, ghibah, dendam, iri, dengki, riya, ujub, takabur dan sebagainya. Adapun tahalli secara bahasa berarti menempatkan atau mengisi. Dalam dunia tasawuf berarti mengisi atau menghiasi diri dengan berbagai amal saleh, baik amalan lahir maupun amalan batin. Atau kalau lebih dalam lagi, berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dengan “meniru” akhlak atau sifat-sifat Allah serta meneladani akhlak Rasul Allah. Dalam kaitan ini misalnya ada hadits yang sudah cukup populer karena sering dikutip, takhallaqu bi akhlaqillah. Mengenai keteladanan Rasul ada ayat, laqad kana lakum fi rasullillah uswatun hasanah.
Sedangkan tajalli merupakan hasil atau buah dari dua langkah sebelumnya, takhalli dan tahalli, yang berupa tersingkapnya selubung atau hijab yang menghalangi seorang manusia dengan Tuhan, sehingga ia benar-benar dekat dengan Allah, sudah benar-benar merasakan kehadiran Allah secara intens. Bahkan pengalaman spiritual yang lebih intens lagi melalui proses tajalli ini adalah bersanding, bahkan bersatu dengan-Nya.
Dalam pandangan kaum sufi, kualitas ruhani manusia itu pada dasarnya adalah suci, dalam istilah agama disebut fitrah, karena memang ia bersumber dari Allah SWT langsung. Nabi sendiri pernah bersabda: “Setiap (bayi) yang dilahirkan pada mulanya bersifat suci (fitrah), kedua orangtuanya lah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Jadi kualitas ruhani manusia itu mulanya laksana kaca yang sangat bening, yang dapat menerima dan memantulkan kembali dengan sempurna setiap cahaya yang datang. Demikian halnya jiwa yang suci dapat menerima dengan sempurna cahaya kebenaran (hidayah) dari Tuhan untuk kemudian memantulkannya kembali dengan sempurna dalam bentuk akhlaq al-karimah.
Seperti ibadah-ibadah lainnya, puasa bagi kaum sufi adalah sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. Bahkan, dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut.
Puasa, secara bahasa berarti imsak (menahan, menghentikan, atau mengendalikan). Dalam dunia tasawuf, yang dimaksud puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang kalau ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. Jadi lingkup hawa nafsu di sini bukan cuma mengekang nafsu makan dan nafsubirahi saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli tadi!
Berarti harus bertakhalli? Ya! Sebab orang yang berpuasa tetapi masih juga melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti dia tidak mampu mengendalikan nafsu, dan karena itu puasa yang dilakukannya tidak bernilai sama sekali. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, pada bulan Ramadan ada seorang wanita mencaci maki pembantunya. Ketika Rasalullah mengetahui kejadian tersebut, beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil wanita itu, lalu Rasulullah bersabda, “makanlah makanan ini”. Wanita itu menjawab, “saya ini sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasululah bersabda lagi, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesunguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa banyaknya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja. Hal ini sesuai juga dengan hadits Nabi yang lain, “Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.”
Yaitu harus menempuh proses tahalli! Jadi puasa juga melatih orang untuk bertahalli, yakni mengisi dan memenuhi jiwa dengan berbagai perbuatan dan akhlak yang baik. Karena itu, walaupun tidur orang yang berpuasa masih dinilai ibadat, dia juga disunnahkan untuk banyak-banyak melakukan ibadat, seperti salat malam atau qiyam al-lail dengan tarawih dan tahajjud, membaca al-Qur’an, yakni tadarrus dan tadabbur, i’tikaf di masjid, banyak berzikir dan berdoa, banyak bersedekah, menolong org yg kelaparan dan kesusahan, dan berbagai amal saleh lainnya.
Tujuan utama puasa sesuai dengan penjelasan al-Qur’an adalah untuk mencetak manusia bertaqwa, yang memiliki karakteristik antara lain: beriman pada yang gaib, menegakkan salat, berinfak, beriman pada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya, yakin akan terjadinya akhirat, mendapat hidayah dan selalu memperoleh kemenangan atau kebahagiaan. Atau adalam rumusan lain memiliki sifat dermawan, mampu mengendalikan emosi, pemaaf, mawas diri (selalu instrospeksi diri) dan selalu berbuat baik.
No comments:
Post a Comment