Oleh: Asy-Syaikh As-Sayyid KH.Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini (Peneliti Sejarah & Nasab Wali Songo, Mursyid Thariqah Wali Songo dan Pimpinan Majelis Dakwah Wali Songo).
Menurut sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Walisongo adalah perintis awal dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Walisongo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad ke-14. Walisongo yang terkenal dan Masyhur terdiri dari sembilan wali, yaitu: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Perkataan wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau Waliya yang berarti qaraba yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung (auliya) mereka ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. al-Baqarah: 257).
Selanjutnya kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan, angka bilangan magis Jawa yang diambil dari kata Ja yang memiliki nilai tiga dan wa yang bernilai enam. Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari bahasa Arab, tsana’ (mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji). Pendapat ini didukung oleh sebuah kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para wali di jawa yang disusun oleh Sunan Giri II.
Ajaran yang diajarkan oleh Wali Songo adalah Islam dengan manhaj Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah. Strategi dakwah yang digunakan Walisongo adalah penerapan strategi yang dikembangkan para sufi Sunni dalam menanamkan ajaran Islam melalui keteladanan yang baik. Aliran teologinya menggunakan teologi Asy’ariyah, sedangkan aliran sufistiknya mengarah pada ajaran para Mursyid Thariqah Wali Songo, di antara Mursyidnya adalah Al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani Al-Hasani, Junaid Al-Baghdadi dan lain-lain. Thariqah yang diamalkannya adalah Thariqah Wali Songo, yaitu sembilan Thariqah yang silsilahnya bertautan dengan 9 Wali, yaitu : Thariqah ‘Alawiyyah, Thariqah Qadiriyyah, Thariqah Naqsabandiyyah, Thariqah Syadziliyyah, Thariqah Sanusiyyah, Thariqah Maulawiyyah, Thariqah Nur Muhammadiyyah, Thariqah Khidiriyyah, dan Thariqah Al-Ahadiyyah.
Jejak yang ditinggalkan Walisongo itu terlihat dalam kumpulan nasihat agama yang termuat dalam tulisan-tulisan para murid dan ahli waris Wali Songo. Baik berupa buku sejarah, nasab, silsilah, suluk, babad, manaqib dan lain-lain yang menggambarkan hakikat aliran tasawuf dan dakwah yang mereka anut dan kembangkan. Kendati demikian, Strategi Dakwah yang dilakukan para wali berbeda-beda. Contoh: Strategi yang dilakukan Sunan Kudus tampak unik dengan mengumpulkan masyarakat untuk melihat lembu yang dihias sedemikian rupa sehingga tampil bagai pengantin itu kemudian diikat di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan secara istimewa dan aneh itu. Sesudah mereka datang dan berkumpul di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini praktis dan strategis untuk menarik minat masyarakat yang masih banyak menganut agama Hindu. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang keramat Hindu.
Terhadap tokoh-tokoh masyarakat yang keras dan gigih menentang dakwah Islamiyah, para wali menerapkan metode al-mujadalah billati hiya ahsan (berbantah-bantah dengan jalan yang sebaik-baiknya). Mereka diperlakukan secara personal, dan dihubungi secara istimewa, langsung, bertemu pribadi sambil diberikan keterangan, pemahaman dan perenungan (tadzkir) tentang Islam. Cara ini dilakukan oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel ketika berdakwah kepada Pembesar Hindu dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijaksanaan Raden Rahmat, Pembesar Hindu itu masuk Islam bersama istri dan seluruh penduduk negeri yang dipimpinnya. Strategi itu dipergunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah mengajak Pembesar Hindu di Semarang. Mulanya terjadi perdebatan seru, tetapi perdebatan itu kemudian berakhir dengan rasa tunduk Sang bangsawan itu untuk masuk Islam. Kejadian mengharukan ketika bangsawan itu rela melepaskan jabatan dan rela meninggalkan harta dan keluarga untuk bergabung dalam dakwah Sunan Kalijaga.
Beberapa wali bahkan telah membuktikan diri sebagai kepala daerah seperti misalnya Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kudus yang berkuasa di daerah-daerah di sekitar kediaman mereka. Kekuatan diplomasi dan kemampuan dalam berhujjah atas kekuatan pemerintahan Majapahit yang sedang berkuasa ditunjukkan oleh Sunan Ampel, Sunan Gresik dan Sunan Majagung. Alhasil, Prabu Brawijaya I (Raja yang sedang berkuasa di Majapahit saat itu) memberi izin kepada mereka untuk memilih daerah-daerah yang disukai sebagai tempat tinggal. Di kawasan baru tersebut mereka diberi kebebasan mengembangkan agama, menjadi imam dan bahkan kepala daerah masyarakat setempat.
Dari penjalasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, Strategi yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
1. Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Kudus.
2. Al-Mau’izha Al-Hasanah (nasihat yang baik) : memberi nasihat dengan kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluh hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah yang dilakukan oleh para wali.
3. Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah dengan jalan sebaik-baiknya) : tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. sebagaimana dakwah Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga kepada Bangsawan Hindu.
Strategi-Strategi tersebut sejalan dengan Firman Allah SWT: “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl : 125).
No comments:
Post a Comment