Sepuluh tahun lamanya saya tak bertemu dengan seorang teman yang kami selalu satu sekolah sedari tingkat dasar hingga menengah atas. Kecuali, berpapasan di jalan ketika kami mengendarai kendaraan masing-masing. Itupun hanya sesekali dan sesaat tentunya dalam kurun waktu itu, dua kali ia memberi kabar mengejutkan. Pertama, terjadi delapan tahun silam ketika saya duduk di tingkat tiga. Bukan ia yang memberi kabar secara langsung. Melainkan sebuah majalah terbitan kepolisian di kota tempat tinggal saya.
Rupanya, teman saya itu menjadi seorang polisi dan bukan pekerjaanya itu yang mengejutkan di sampul majalah itu bersama sejumlah rekannya ia tampil. Cukup jelas terpampang wajahnya kerana foto itulah yang menjadi cover. Majalah itu mengabarkan, bahawa teman saya melakukan pelanggaran disiplin sehingga pangkatnya diturunkan. Begitu yang saya ingat.
Kedua, ketika Idul Fitri lalu saat bersama dua orang teman SMP kami, ia bertamu. Saya langsung menduga di dalam hati ketika ia mengajak kami solat berjamaah di rumah mungil saya dugaan saya merujuk pada kelompok Jamaah Tabligh.
Dugaan yang saya pendam itu akhirnya terbukti belum lama ini. Selepas solat di sebuah masjid dekat kantor, sosok bersurban dan bergamis serta celana di atas mata kaki menghampiri saya. Tak ada yang bakal tahu bila sosok itu sehari-harinya adalah seorang anggota polisi. Itulah teman saya.
Jamaah Tabligh. Saya pernah bersentuhan dengan kelompok yang didirikan Muhammad Khandalawi dari India itu dan dalam perjalanan pengalaman spiritual saya kemudian, saya mengambil ‘mazhab’ berbeda dengan jamaah yang dikenal dengan khuruj (keluar berdakwah) ini.
Rutin membacakan kitab Fadilah Amal karangan pendirinya, perkembangan jamaah ini sepengetahuan saya cukup pesat. Memilih menghindari khilafiyah atau perbedaan pendapat dalam Islam, Jamaah Tabligh mendakwahkan kalimat tauhid melalui khurujnya yang biasanya memiliki pola, 1, 3, 7, 40. Angka-angka itu menunjukkan jumlah hari lamanya mereka keluar. Puncaknya, mereka khuruj ke IPB alias India, Pakistan, Bangladesh.
Oh iya, mantan personel Sheila On 7, Sakti, adalah sosok yang juga memilih meninggalkan dunia musik untuk dan mendekatkan diri kepada tuhan melalui jamaah ini. Beberapa teman saya dari beragam kalangan juga memilih jalan ini.
Secara pribadi saya menyebut teman saya itu sebagai polisi bersurban. Menemukan polisi-polisi bersurban gampang-gampang susah dan saya tak tahu,apakah itu panggilan keimanan atau sekadar penyamaran untuk mengumpulkan informasi mengenai Islam.
Kalaulah diizinkan, saya ingin juga menyebut Anton Bahrul Alam sebagai polisi bersurban. Ia adalah salah satu contoh polisi yang dikenal taat beragama. Saya tidak sedang mengaitkan mantan Kapolda Jatim yang kini menjabat Kadiv Humas Mabes Polri itu dengan Jamaah Tabligh. Tapi, sepertinya Anton (dan teman saya tadi) contoh kecil polisi bersurban di tengah citra polisi yang masih banyak dinilai negatif.
Anton dan teman saya tadi, adalah alat Negara yang dekat dengan agamanya. Berbanding terbalik dengan itu, belakangan terungkap keterlibatan oknum polisi dengan aksi terorisme. Mereka juga dekat dengan agamanya tapi memilih jalan dan pemahaman berbeda.
Adalah Tatang Mulyadi dan Abdi Tunggal. Tatang Mulyadi adalah polisi yang bertanggung jawab terhadap gudang senjata api Polri di Cipinang, Jakarta Timur. Keduanya terbukti memasok senjata bagi kelompok teroris Aceh. Sejak Oktober 2009, tak kurang 28 pucuk senjata berbagai jenis mereka pasok.
Di kota saya kasus serupa juga terjadi. Seorang oknum (ah, wajib sepertinya kata oknum) polisi memasok senjata bagi kelompok perampok yang menggasak uang senilai Rp 1,3 miliar. Sepanjang 2010 ini, polisi bersurban, polisi sejati dengan tri brata, atau polisi jahat yang kerap Anda temui? Kalau saya.
No comments:
Post a Comment