Thursday, January 10, 2013

DENDAM

(dalam sudut pandang ber-amar makruf nahi munkar)

Dari Aisyah r.ha, ia bertanya kepada Nabi s.a.w, “Wahai Rasulullah! Pernahkah engkau melewati suatu hari yang lebih berat dari peperangan Uhud?” Beliau s.a.w menjawab: “Aku telah mengalami gangguan dari kaum-mu. Peristiwa yang paling berat kulalui adalah pada hari ‘Aqabah. Aku mendatangi Ibnu ‘Abdil-Lail bin Abdi Kilal, namun ia tidak menyambutku. 

Aku bergegas pergi dalam keadaan SEDIH bukan kepalang. Aku baru menyadari ketika telah sampai di daerah Qarnuts-Tsa’alib. Aku angkat kepalaku, dan tiba-tiba terlihat awan yang menaungiku. Aku amati, dan muncullah Jibril seraya berseru, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan dan penolakan kaummu. DIA subhanahu wa ta’aala telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk siap engkau perintah”.

Malaikat penunggu gunung-pun memanggil dan mengucapkan salam kepadaku, seraya berseru, “Wahai, Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar penolakan kaummu. Dan aku penjaga gunung mendapat titah untuk menerima perintahmu sesuai dengan kehendakmu. Jika engkau mau, maka aku akan benturkan dua gunung ini di atas mereka”. (Mendengar seruan malaikat ini), beliau s.a.w justru berkata, “Sesungguhnya aku BERHARAP Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang BERIBADAH kepada Allah semata, TIDAK menyekutukan-NYA dengan apapun (HR. Muslim)”. 

Sudah menjadi sifat dasar manusia; bahawa dia akan MEMBALAS segala sesuatu yang (dianggap) ditujukan kepada dirinya, yang dianggap menyinggung perasaannya, maupun menyakiti hati atau tubuhnya, dari orang lain, dikarenakan suatu sebab yang benar (sesuai dengan kenyataan) ataupun karena salah-paham (tuduhan yang belum tentu kebenarannya). Jika pembalasan ini *tidak bisa* dilakukan secara langsung pada saat terjadinya perlakuan buruk tersebut dikarenakan suatu hal (kelemahan situasi / kondisi dan sebagainya), maka akan berpotensi menimbulkan suatu emosi terpendam yang apabila dibiarkan larut dalam waktu lama, akan melahirkan suatu sifat "ingin membalas", yang biasa kita sebut dengan istilah “dendam".

Apa yang menjadi dasar (melatarbelakangi) kemunculan sifat dendam ini, apabila ditelisik lebih dalam, pada dasarnya bukanlah pada suatu perlakuan buruk yang terjadi, melainkan SIAPA aktor yang berlaku buruk tersebut. Dengan kata lain, sifat dendam muncul disebabkan subyektifitas yang timbul akibat rasa iri-dengki terhadap seseorang. Maka sifat iri-dengki ini menjadi suatu pembahasan yang panjang karena sifat yang merupakan penyakit-hati ini sangat kompleks jika ditinjau dari segi sebab dan akibat-nya. Allahu a’lam.

Namun, satu hal yang PASTI sebagai keutamaan akhlaq; bahawa yang dapat menghalangi timbulnya segala penyakit hati (dendam, iri, dengki) diatas adalah INTROSPEKSI-DIRI. Dengan sifat ini, seorang muslim tidak akan SELALU menganggap "kebenaran berada pada pihaknya", melainkan suatu perjalanan hidup untuk mencari "kebenaran" dari sisi Allah, dengan khusyu' dan istiqomah. Inilah hakekat seorang penuntut Ilmu (akan diuraikan dalam materi tersendiri, jika Allah menghendaki. Insyaa Allah).

Lalu, apa hubungan yang mendasari sifat dendam ini dalam berdakwah. Sudah menjadi sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan; bahawa tanpa disadari *orang-orang yang beriman* telah melupakan tujuan utama (hakekat) dalam berdakwah (amar makruf nahi munkar). Mereka seringkali menanggapi suatu perlakuan yang tidak diharapkan (buruk) dari orang lain sebagai suatu *"pernyataan perang"* yang menyulut emosi. Padahal, adalah sunnatullah (ketetapan dari Allah yang berlaku atas ummat sepanjang zaman) atas segala perlakuan buruk tersebut sebagai suatu keniscayaan, dan bahawa tugas kita HANYA menyampaikan SAJA.

Maka, berlakulah celaan, cercaan, atau bahkan laknat kepada "musuh" tersebut. Bahkan para mukminun (baca: pelaku dakwah) ini menggunakan dalil (ayat Al-Quran dan As-Sunnah) sebagai senjata untuk menyerang pihak-pihak yang dianggap "musuh agama" tersebut. Dan yang sangat menyedihkan hati kita, diantara mukminun tersebut ada beberapa ulama yang menjadi "idola" bagi sebahagian umat, yang dengan lantangnya menyuarakan ancaman keras bahkan permusuhan kepada "musuh" ini, sedangkan disisi lain (para fans) tanpa pikir panjang mengikuti "arahan" artis mereka dengan suara yang sama atau bahkan melebihi beliau.

Inilah fenomena akhir zaman yang di-nubuwah-kan Rasulullah s.a.w; akan ada ulama Suu' yang tidak memperhatikan posisinya sebagai seorang GURU (dalam ungbila jawa dimaknai: diGUgu lan ditiRU), bahawa ada sebahagian (besar) muridnya yang nyunnah (baca: patuh secara mutlak) kepada beliau-beliau. Hal ini tidak lain dan tidak bukan, karena umat memandang KEDUDUKAN ILMU DIBAWAH ULAMA, dan bukan memandang Ilmu sebagai atribut (pakaian) ulama. Sehingga "apa-apa" yang menjadi pendapat idola mereka, adalah sesuatu yang mutlak kebenarannya. Maha suci Allah atas segala perilaku manusia.

Maka, sebaik-baik seorang muslim adalah menahan diri dan berlapang-dada atas perlakuan buruk tersebut. Untuk kemudian melakukan introspeksi-diri atas apa yang telah dilakukannya sehingga timbul pertentangan. Maka, berserah-diri dan berdo'a kepada Allah adalah sebaik-baik KESUDAHAN-nya.

Dari Umar bin Khaththab r.a, bahawasanya Rasulullah s.a.w pernah memberikan nasihat, “Hitung-hitunglah (amal) diri kalian sebelum kalian dihitung! Timbanglah (amal) diri kalian sebelum kalian ditimbang! Perhitungan kalian kelak (di akherat) akan lebih ringan dikarenakan telah kalian perhitungkan diri kalian pada hari ini (di dunia). Berhiaslah (Parsipkanlah) diri kalian demi menghadapi hari ditampakkannya amal. Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatu-pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah)”. (HR. At-Tirmizi).

Orang yang menghendaki kebaikan berkata, “KEBENARAN tidak menjadi BENAR, apabila dilakukan dengan CARA yang SALAH dan cara yang benar untuk mencapai KEBAIKAN, tidak selalu dilakukan oleh orang yang TERLIHAT benar”.  Allah s.w.t berfirman, “Jadilah engkau PEMAAF dan SURUHLAH orang mengerjakan kebajikan serta BERPALINGLAH dari orang-orang yang bodoh. (Al-A’raf 7:199)”. Semoga Allah s.w.t melimpahkan Hidayah, Taufiq, dan Inayah-NYA kepada kita semua dan semoga, kita semua dikarunia cahaya (Ilmu) serta dimudahkan untuk meng-ilmu-inya dengan bersikap lapang-dada. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin. Wallahu a'lam bish-showab.

No comments:

Post a Comment