1). Apa Yang Dikatakan Rasulullah s.a.w Tentang Abu Bakar ra
Abu Bakar ra adalah orang dewasa pertama yang masuk islam, tetapi bukan itu saja, Rasullullah saw juga memujinya karena cara penerimaan ajakan Rasullullah saw untuk memeluk islam. Tentang hal ini Baginda saw bersabda, "Tiada pernah aku mengajak seseorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan kecuali Abu Bakar. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun."
Abu Bakar ra juga sahabat Rasullullah saw jauh sebelum Baginda saw mendakwahkan Islam. Selisih usianya yang hanya bertaut dua tahun lebih muda dan kemuliaan budi pekerti Abu Bakar dibandingkan orang-orang Makkah saat itu, membuatnya dekat dan akrab dengan Rasullullah saw Bahkan Abu Bakar menjadikan sosok Nabi saw sebagai cerminan dan teladan untuk meningkatkan mutu dirinya. Tak heran begitu memeluk Islam, keimanan dan keteguhannya dalam menjaga agamanya tak diragukan lagi, bahkan Rasulullah saw sendiripun memujinya.
Baginda saw bersabda tentang dirinya "Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, akan lebih berat keimanan Abu Bakar." (HR Iman Baihaqi, dalam Asy Syib)
Masih banyak lagi pujian Nabi saw terhadap Abu Bakar, misalnya, “Pemimpin jamaah di syurga, Semua pintu syurga akan memanggilnya untuk memasukinya, Orang pertama yang masuk syurga dari umat Nabi SAW, dll”.
2). Kegigihan Abu Bakar RA Dalam Menjalankan Dan Mendakwahkan Agamanya
Abu Bakar adalah salah seorang yang sangat dihormati dikalangan orang-orang Makkah, selain karena kemuliaan budi pekertinya, kejujuran, kecerdasan, kecabila, berkemahuan keras, pemberani dan dermawan, dia juga berasal dari keturunan yang mulia dari Bangsa Quraisy. Nasab kedua orang tuanya bertemu dengan nasab Rasullullah saw pada Murrah Bin Ka'ab, kakeknya. Namun demikian, pilihannya untuk masuk agama Islam membuat orang-orang Makkah mengabaikan kedudukan dan kemuliaannya tersebut.
Tidak mudah bagi Abu Bakar untuk menjalankan ibadah sebagaimana sahabat-sahabat yang mula-mula memeluk Islam, gangguan dan siksaan juga dialaminya. Ketika penganiayaan dan tekanan semakin dahsyat, dia meminta izin kepada Rasullullah saw untuk berhijrah ke Habsyah dan Rasullullah saw pun mengizinkannya. Ketika perjalanannya sampai pada tempat bernama "Barkulimat", Abu Bakar ra bertemu dengan Ibnu Addagnah, pemimpin suku setempat . Ketika ditanya tentang perjalanannya tersebut, Abu Bakar ra menjawab, "Aku dipaksa keluar (dari Makkah) oleh kaumku dan aku ingin merantau di muka bumi sehingga aku dapat beribadah kepada Rabbku."
Mendengar jawaban itu, Ibnu Addagnah berkata, "Orang seperti engkau hai Abu Bakar, tidak boleh keluar atau dikeluarkan. Engkau selalu menolong orang yang miskin, suka bersilaturahmi, membantu orang yang sengsara dan lemah dan menghormati tamu. Aku bersedia menjadi pelindungmu. Kembalilah ke Makkah dan sembahlah Tuhanmu di negerimu."
Budaya "Pelindung/Melindungi” adalah budaya yang sangat dihormati di kalangan suku-suku Arab. Begitu seorang yang punya pengaruh menyatakan diri sebagai "Pelindung" bagi seseorang, maka maka harta, darah dan kehormatan orang tersebut aman dari gangguan dan siksaan orang-orang sekitarnya. Budaya ini pula yang membantu Nabi saw mendakwahkan Islam di tengah penolakan dan permusuhan kaum kafir Quraisy Makkah karena Abu Talib menyatakan diri sebagai "Pelindung" Rasullullah saw Begitu Abu Thalib meninggal, Rasullullah saw mengalami siksaan dan penghinaan yang tak kalah hebatnya dengan sahabat-sahabat Baginda saw yang lain.
Abu Bakar kembali ke Makkah dan Ibnu Addagnah mengumumkan "Perlindungan" yang diberikannya pada Abu Bakar, dia melarang siapapun untuk mengganggu Abu Bakar. Orang-orang kafir Quraisy tak berkutik, tetapi mereka mengajukan syarat agar Abu Bakar tidak bersuara keras dalam beribadah, karena khauatir kaum wanita dan anak-anak mereka akan terganggu. Ibnu Addagnah dan Abu Bakar menerima persyaratan itu.
Abu Bakar mendirikan mushalla di depan rumahnya, dia solat dan membaca Qur'an di sana. Setiap kali selesai membaca Qur’an, dia selalu menangis, hal ini membuat wanita dan anak-anak orang kafir Quraisy jadi tertarik dan mulai terpengaruh dengan apa yang dilakukan Abu Bakar. Kaum kafir Quraisy pun jadi khawatir dan mengadukan ini pada Ibnu Addagnah. Ibnu Addagnah pun mendatangi Abu Bakar dan berkata, "Engkau telah mengetahui perjanjian dengan orang-orang Quraisy, hendaklah engkau menepati perjanjian itu atau engkau kembalikan perlindunganku?” Dengan jawaban yang menunjukkan keteguhan imannya, Abu Bakar ra pun menjawab, "Aku kembalikan janji perlindunganmu dan aku ridha dengan perlindungan Allah swt” Mulailah Abu Bakar mengalami tekanan dan siksaan dalam beribadah kepada Allah SWT sebagaimana sebelumnya.
Setelah memeluk Islam, Abu Bakar ra mengurangi aktivitas perdagangan yang sebenarnya cukup maju dan mengabdikan waktu, tenaga dan hartanya untuk agama yang diyakini kebenarannya itu. Tercatat beberapa sahabat utama menjadi muslim karena ajakan Abu Bakar seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka ini adalah sebahagian dari sepuluh orang sahabat yang dijamin akan masuk syurga sebagaimana diberitakan Nabi saw pada Aisyah rha. Selain itu, Utsman bin Mazh'un, Abu Salamah bin Abdul Asad, Al Arqam bin Abil Arqam juga mengikuti ajakan Abu Bakar untuk masuk islam pada periode awal.
Abu Bakar juga mengorbankan hartanya untuk menebus dan membebaskan hamba-hamba yang disiksa oleh tuannya karena memeluk agama Islam, diantaranya adalah Bilal bin Rabbah dan Ibunya, 'Amr bin Farikhah, ibu dari Jubaish, hamba wanita dari Bani Muamil dan Hammamah, Zanirah, hamba Umar bin Khattab dan lain-lain.
3). Sikap Abu Bakar atas Perjanjian Hudaibiyah
Dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi saw dan orang-orang Quraisy, meninggalkan banyak kegelisahan pada umat Islam, bahkan pada sahabat selevel Umar bin Khattab, karena secara sepintas perjanjian Hudaibiyah itu cenderung menguntungkan orang-orang Quraisy dan merugikan umat Islam. Hanya Abu Bakar yang yakin sepenuhnya atas keputusan Rasulullah saw, bahkan ia memberikan jawaban yang sama persis dengan Nabi saw Ketika Umar yang kritis sempat mempertanyakan keputusan Rasulullah saw menerima perjanjian ini, Abu Bakar memberikan nasihat pada Umar bin Khattab karena sikapnya tersebut, "Patuhlah engkau pada perintah dan larangan Rasulullah sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."
Sikap Abu Bakar ini sama persis dengan sikapnya ketika Rasulullah saw memberitakan peristiwa Isra dan Mikraj yang menggemparkan itu kepada masyarakat Quraisy, sikap yakin sepenuhnya atas benarnya perkataan dan sikap serta keputusan Nabi saw, tanpa setitikpun ada kesangsian. Karena sikapnya pada peristiwa Isra' Mikraj ini Abu Bakar digelari Nabi saw “As-Shiddiq”. Ketika sebahagian besar sahabat merasakan “kekalahan” dengan adanya perjanjian Hudaibiyah ini, Abu Bakar justru berpendapat lain. Dia berkata, "Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan pada perjanjian Hudaibiyah, akan tetapi kebanyakan orang berfikir pendek mengenai apa yang terjadi antara Nabi saw dengan Rabbnya, sedang para hamba saat itu tergesa-gesa. Demi Allah, beliau tidak tergesa-gesa seperti ketergesaan hamba, sampai beliau menyampaikan semua urusan sebagaimana beliau kehendaki."
4). Bersama Rasullullah saw, Tetapi Rasullullah Tidak Terlihat
Kedekatan dan kecintaan Abu Bakar terhadap Nabi saw tidak diragukan lagi, bahkan telah terjalin sebelum Nabi saw diangkat menjadi Nabi dan mengemban Risalah Islam. Maka tak heran ketika Nabi saw mengalami tekanan dan siksaan, Abu Bakar pun ikut merasakan kesedihan dan luka, bahkan lebih dalam dirasakan dibanding bila dia sendiri yang mengalaminya.
Setelah turunnya surat Al Lahab, Ummu Jamil, istri Abu Lahab yang dikatakan sebagai Pembawa Kayu Bakar dalam Surah tsb, begitu marah kepada Rasullullah saw Dengan membawa batu besar dia datang menghampiri Nabisaw yang saat itu sedang duduk bersama Abu Bakar. Abu Bakar menangis melihat niat Ummu Jamil tsb. Tetapi Rasullullah menenangkannya dengan mengatakan, "Biarkan saja, dia tidak melihatku”. Benar saja, setelah dekat Ummu Jamil berkata kepada Abu Bakar ra, "Hai Abu Bakar, dimana kawanmu Si Muhammad itu, aku dengar ia menyindirku dengan mengatakan, ..dan istrinya, si pembawa kayu bakar, di lehernya ada tali dari sabut… Demi Allah, jika aku menjumpainya, pasti akan aku pukul dengan batu ini.” Itulah Abu Bakar, Rasulullah saw yang ingin disakiti, itupun telah membuatnya sedih.
5). Dalam Perjalanan Hijrah Bersama Rasulullah saw
Setelah berlangsungnya Baiatul Aqabah kedua atau juga dikenal dengan Baiatul Aqabah Kubra, Rasulullah saw menghimbau kaum muslimin untuk berhijrah ke Yathrib (kemudian Madinah). Sebahagian besar berangkat dengan sembunyi-sembunyi tetapi ada juga yang terang-terangan seperti Umar bin Khattab. Sebahagian sahabat yang telah berhijrah ke Habsyah ada yang langsung berangkat ke Yathrib.
Dua bulan lebih setelah Baiatul Aqabah Kubra tersebut, hampir semua kaum muslimin telah meninggalkan Makkah menuju Yathrib, kecuali beberapa orang yang diberikan keringanan (ruksah) untuk tidak berhijrah. Ketika Abu Bakar meminta izin Rasulullah saw untuk berhijrah, beliau bersabda, “Tundalah keberangkatanmu, sesungguhnya aku masih menunggu izin bagiku untuk berhijrah (dan kita akan berangkat bersama-sama)..!!” “Demi bapakku menjadi taruhannya,” Kata Abu Bakar, “Dalam keadaan seperti ini engkau masih menunggu izin?”
Nabi saw mengiyakan. Memang benar firman Allah, Rasulullah tidaklah mengatakan atau melakukan sesuatu karena hawa nafsunya, tetapi semua itu adalah atas wahyu dan petunjuk dari Allah (Wa maa yantiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyuy yuukha). Dan Abu Bakar masih harus menunggu lagi selama empat bulan, sampai suatu pagi salah seorang pembantunya memberitahukan kepadanya, “Ini ada Rasulullah mengenakan kain penutup wajah, tidak biasanya beliau menemui kita pada saat-saat seperti ini…!” Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, beliau tidak akan menemui aku di saat seperti ini kecuali ada urusan yang sangat penting…!!” Nabi saw sampai di pintu rumah Abu Bakar dan meminta izin untuk masuk. Setelah diizinkan, beliau segera masuk dan berkata, “Aku sudah diizinkan untuk pergi (berhijrah)..!!” “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, apakah aku harus menyertai engkau (dalam perintah/izin berhijrah tersebut)?” “Benar” Kata Rasulullah saw Hati Abu Bakar menjadi gembira Sungguh suatu kehormatan dan kemuliaan menyertai Nabi saw dalam hijrah ke Madinah. Beliau merancang beberapa langkah yang akan ditempuh dalam hijrah kali ini, demi mengantisipasi berbagai kemungkinan, setelah itu beliau pulang.
Pada awal malam di hari itu, beberapa orang tokoh kaum Quraisy mengepung rumah Nabi saw dengan niat bulat untuk membunuh beliau. Menjelang tengah malam, beliau berkata kepada Ali bin Abi Talib, “Tidurlah engkau di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan selimutku warna hijau yang berasal dari Hadramaut ini. Tidurlah dengan berselimut ini. Sungguh engkau akan tetap aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan itu!!”
Ali melaksanakan perintah Rasulullah tersebut dan beliau keluar melewati kepungan para tokoh Quraisy tersebut, bahkan beliau sempat menaburkan pasir di atas kepala mereka yang dalam keadaan tertidur. Riwayat lain menyebutkan mereka tidak tertidur, tetapi tidak bisa melihat Nabi saw yang melewati mereka dan tidak merasakan pasir yang ditaburkan di atas kepala mereka.
Nabi saw bergegas menuju rumah Abu Bakar yang telah siap menunggu dengan gelisah. Kemudian mereka berdua berjalan ke arah selatan, arah menuju Yaman, bukan ke arah utara yang menuju ke Yathrib. Setelah menempuh sekitar lapan kilometer, mereka sampai di Gunung Sur dan mendakinya. Abu Bakar memapah Nabi saw yang tampak sangat kelelahan, apalagi beliau tidak mengenakan alas kaki.
Di puncak gunung, mereka menemukan Gua Sur dan bermaksud bersembunyi di dalamnya. Abu Bakar berkata kepada Nabi saw, “Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya sebelum aku memasukinya. Jika ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, biarlah aku yang terkena, asalkan tidak mengenai engkau!!” Abu Bakar memasuki gua dan membersihkan ruangannya. Ia melihat banyak lubang, karena khawatir akan keluar binatang berbisa dari dalamnya, dia merobek pakaiannya untuk menutup lubang-lubang tersebut kecuali satu kerana tiada lagi kain yang tinggal, baru kemudian mempersilakan Nabi saw memasukinya. Abu Bakar menutupi lubang terakhir tadi dengan tumit kakinya dan Nabi saw berbaring dengan berbantalkan paha Abu Bakar dan beliau langsung tertidur. Tiba-tiba Abu Bakar merasakan sengatan di kakinya yang menutupi lubang tadi, mungkin ular atau kalajengking dan ia merasa sangat kesakitan. Tetapi ia tidak mau menggerakkan kakinya karena takut akan membangunkan Rasulullah.
Ia berusaha keras menahan rasa sakit, hingga air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah, dan Baginda saw terbangun, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Abu Bakar?” Tanya Rasulullah saw “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, aku digigit binatang berbisa!!” Nabi saw bangkit dari tidurnya dan memeriksa kaki Abu Bakar. Beliau meludahi kaki yang terluka tersebut,dan seketika sakit yang dirasakan Abu Bakar menghilang.
Mereka berdua bersembunyi di dalam Gua Sur selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar datang ke gua tersebut untuk menemani dan menceritakan keadaan di Makkah, layaknya seorang mata-mata melaporkan tugasnya. Amir bin Fuhairah, salah seorang pelayan Abu Bakar, menggembalakan domba-dombanya di kaki gunung tersebut dan mengantarkan susu ke gua untuk minuman mereka. Menjelang fajar, Abdullah segera kembali ke Makkah dan Amir bin Fuhairah menggiring domba-dombanya di belakangnya sehingga menghilangkan jejak kaki yang dibuat Abdullah. Sebenarnya ada beberapa orang Quraisy yang sempat mendaki gunung dan menemukan Gua Sur. Abu Bakar berbisik kepada Nabi saw, “Wahai Nabi Allah, andaikata mereka mendongakkan pandangannya, tentulah mereka akan melihat kita!!” “Diamlah, wahai Abu Bakar,” Kata Nabi saw dengan berbisik juga “Dua orang dan yang ketiga adalah Allah!!” Sebahagian riwayat menyebutkan, di atas pintu gua tersebut terdapat sarang burung merpati dan pintu gua tertutup dengan sarang labah-labah, yang walaupun labah-labah tersebut baru saja membuatnya, tetapi keadaannya seperti sarang yang telah lama berada di situ. Karena itu akal mereka “tertipu”, logika mereka membantah kalau ada orang di dalam gua. Semua itu adalah cara Allah untuk melindungi hamba-hamba yang dikasihi-Nya.
Setelah tiga hari berlalu, mereka melanjutkan perjalanan ke Yathrib disertai oleh Amir bin Fuhairah, dengan penunjuk jalan Abdullah bin Uraiqit, yang ketika itu masih beragama jahiliah, tetapi merupakan orang yang dapat dipercaya, sehingga Abu Bakar memilihnya. Abu Bakar mempunyai kebiasaan duduk membonceng di belakang Nabi saw dan ia seseorang yang cukup dikenal di kawasan Jazirah Arabia. Ketika bertemu beberapa orang yang mengenalnya dalam perjalanan hijrah itu mereka bertanya, “Siapakah orang yang di depanmu itu?” Abu Bakar selalu menjawab, “Dia orang yang menunjukkan jalan kepadaku..!!” Tentunya Abu Bakar tidak berbohong dengan jawabannya itu, walaupun orang yang menanyakannya mempunyai persepsi yang berbeda atas jawabannya tersebut.
Beberapa peristiwa terjadi dalam perjalanan ini, seperti pengejaran oleh Suraqah bin Malik bin Ju’syum, beristirahat di tenda Ummu Ma’bad, (lihat kisahnya di bahagian lain Percik Kisah Sahabat Nabi saw ini), dan lain-lainnya yang tidak perlu dijabarkan secara mendetail dalam kisah Abu Bakar ini. Yang jelas, Abu Bakar selalu mendampingi dan melindungi Nabi saw dari berbagai kemungkinan yang bisa menyakiti atau mencelakakan beliau, hingga akhirnya tiba di Quba, Yathrib.
6). Kekhawatiran Abu Bakar.
Walaupun menjadi sahabat utama dan pilihan Rasulullah saw, bahkan jelas-jelas beliau menyampaikan bahawa ia dijamin masuk syurga, bahkan delapan pintu syurga memanggilnya untuk memasukinya, tetapi semua itu tidak menjadikannya sombong dan merasa telah suci. Bahkan ia sendiri seingkali merasakan kekhawatiran. Inilah beberapa di antaranya. "Alangkah baiknya jika aku…."
Walaupun kemuliaan dan pujian langsung diberikan oleh Rasulullah saw tetapi Abu Bakar tidak secara otomatis merasa selamat di akhirat kelak, bahkan ia selalu merasa khawatir dengan nasibnya di hadapan Allah. Sering sekali ia melontarkan ungbila yang menunjukkan kegundahan hatinya. Misalnya "Alangkah baiknya jika aku ini sebatang pohon, yang kemudian ditebang dan dijadikan kayu bakar."
"Alangkah baiknya jika aku ini sebatang rumput, yang akan habis begitu saja dimakan ternak."
Ketika sedang berada di suatu kebun dan melihat seekor burung yang sedang berkicau, dia berkata, "Wahai burung, sungguh beruntungnya engkau, engkau makan, minum dan terbang di antara pepohonan penuh kebebasan tanpa perasaan takut akan hari kiamat, andai Abu Bakar menjadi seperti engkau, wahai burung.” "..telah aku anggap benar padahal sebenarnya tidak…"
Suatu saat Ummul Mukminin Aisyah ra melihat keadaan ayahnya, Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah, dalam keadaan sangat gelisah, seperti ada beban amat berat yang ditanggungnya, karena itu ia bertanya, "Wahai ayahku, apakah engkau tengah menghadapi suatu kesusahan?” Abu Bakar hanya memandang putrinya tanpa memberikan jawaban. Keesokan harinya, dia memanggil putrinya itu dan berkata, "Wahai Aisyah, bawalah padaku buku catatan tentang sikap, perbuatan, dan ucapan Nabi saw (Hadits) yang telah kuberikan kepadamu dulu!”
Abu Bakar memang telah menghimpun tentang sikap, perbuatan dan ucapan Nabi saw (yang di kemudian hari disebut Al-Hadits), baik dari yang dilihat dan dialaminya sendiri bersama Nabi saw, atau dari sahabat-sahabat lainnya dan menuliskannya dalam suatu buku catatan, sejumlah lima ratus riwayat. Buku catatan tersebut diberikan kepada putrinya untuk disimpan.
Aisyah datang dengan membawa buku catatan tersebut. Setelah buku itu diserahkan, Abu Bakar segera membakarnya dan berkata, "Wahai Aisyah, buku yang kubakar tersebut mengandung banyak riwayat tentang Nabi saw yang kukumpulkan dan kuperoleh dari orang-orang yang berbeda. Aku khawatir, jika aku telah meninggal kelak, aku meninggalkan sebuah riwayat yang kuanggap benar, padahal sebenarnya tidak dan aku harus menanggung akibatnya."
Mungkin suatu kehati-hatian yang berlebihan, karena Abu Bakar adalah sahabat Nabi saw yang paling dekat bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi Rasul, tentunya ia sangat tahu tentang beliau. Apalagi sewaktu Nabi saw masih hidup ia diberi tugas untuk berfatwa atau menjawab atas masalah umat, seperti halnya Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Muaz bin Jabal, Abu Musa al Asy'ari dan Abu Darda'. Tetapi justru inilah salah satu wujud tingginya nilai keimanan Abu Bakar yang dipuji oleh Nabi saw
7). Gaji Abu Bakar Sebagai Khalifah Rasulullah.
Abu Bakar bekerja sebagai pedagang kain di pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sesaat setelah diba'iat sebagai khalifah, Abu Bakar mengambil dagangannya dan berangkat ke pasar sebagaimana biasanya. Melihat keadaan ini, Umar bin Khattab berkata, "Apabila engkau sibuk dengan perdaganganmu, bagaimana dengan urusan kekhalifahan?” "Kalau tidak berdagang kain, bagaimana aku akan menafkahi anak istriku?" Jawab Abu Bakar. "Marilah kita menemui Abu Ubaidah yang diberi gelar Nabi saw 'Aminul Ummah' (orang kepercayaan umat)" Kata Umar, "Dia akan menetapkan gaji bagimu dari Baitul Mal”. Mereka berdua pergi menemui Abu Ubaidah yang memang dipercaya Nabi SAW memegang Baitul Mal. Setelah mendengar penjelasan Umar, Abu Ubaidah menetapkan tunjangan bagi Abu Bakar sebagai khalifah, sebagaimana tunjangan seorang muhajir yang tidak mempunyai penghasilan tetap.
Suatu ketika istri Abu Bakar ingin sekali makan manisan, tetapi Abu Bakar berkata kalau ia tidak mempunyai uang lagi. Maka istrinya berkata, "Kalau engkau mengizinkan, aku akan menyisihkan uang dari belanja setiap harinya, sehingga dalam beberapa hari akan terkumpul cukup uang untuk membeli manisan..!” Abu Bakar menyetujui usul istrinya ini. Setelah beberapa hari, istrinya menyerahkan kepadanya, uang yang terkumpul untuk membeli bahan-bahan manisan. Setelah menerima uang tsb. Abu Bakar justru ragu untuk membelanjakannya, ia berkata, "Dari pengalaman ini, aku jadi tahu kalau kita memperoleh tunjangan yang berlebihan dari Baitul Mal.” Karena itu uang tersebut tidak jadi dibelikan bahan manisan, tetapi dikembalikan ke Baitul Mal dan dia berpesan kepada Abu Ubaidah agar tunjangannya dikurangi sebanyak yang dikumpulkan istrinya setiap harinya.
Sebelum meninggal, Abu Bakar berpesan kepada putrinya, yang adalah istri Rasulullah saw, Aisyah ra, agar setelah kematiannya, barang yang diperolehnya dari Baitul Mal sebagai khalifah, diserahkan kepada khalifah penggantinya. Dia juga berkata pada Aisyah, "Sebenarnya aku tidak ingin mengambil apapun dari Baitul Mal, tetapi Umar telah mendesakku untuk mengambil tunjangan agar aku tidak disibukkan dengan perdaganganku dan mengurus keadaan kaum muslimin. Aku tidak punya pilihan lain sehingga terpaksa aku menerima dari Baitul Mal. Karena itu, kuserahkan kebunku kepada Baitul Mal sebagai pengganti uang tunjangan yang telah kuterima selama ini."
Ketika wasiat ini ditunaikan dan Umar bin Khattab menerimanya, dia berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Bakar, sungguh dia telah menunjukkan jalan yang sulit untuk diikuti pengganti-penggantinya. Satu riwayat mengatakan, peninggalan Abu Bakar adalah seekor unta betina, sebuah mangkuk dan seorang hamba sahaya, tanpa dinar dan dirham sebuahpun. Riwayat lain mengatakan hanya sebuah selimut dan riwayat lainnya lagi hanya sebuah permadani. Wallahu A’lam.
No comments:
Post a Comment