"Syeikh Abu Nashr As-Sarraj", Sahl bin Abdullah rahimahullah pernah ditanya tentang Rahasia Nafsu, maka ia mengatakan: “Nafsu adalah suatu rahasia, di mana rahasia tersebut tidak akan nampak pada siapa pun dari makhluk Allah kecuali hanya pada Fir’aun yang pernah mengatakan, ‘Saya adalah Tuhan kalian yang maha-tinggi.’
Rahasia nafsu memiliki tujuh lapis penghalang dari langit dan tujuh lapis penghalang dari bumi. Ketika seorang hamba berusaha mengubur nafsunya ke dalam lapisan2 bumi, maka hatinya akan mulia membumbung tinggi ke lapisan2 langit. Dan jika anda telah mengubur nafsu anda di bawah lapisan bumi, maka dgn hati anda mampu sampai ke singgasana Arasy.”
Rahasia nafsu memiliki tujuh lapis penghalang dari langit dan tujuh lapis penghalang dari bumi. Ketika seorang hamba berusaha mengubur nafsunya ke dalam lapisan2 bumi, maka hatinya akan mulia membumbung tinggi ke lapisan2 langit. Dan jika anda telah mengubur nafsu anda di bawah lapisan bumi, maka dgn hati anda mampu sampai ke singgasana Arasy.”
CEMBURU (Ghirah): Asy-Syibli rah. pernah ditanya tentang kecemburuan (ghirah), maka ia mengatakan: “Bahwa cemburu itu ada dua jenis: Cemburu Manusiawi (basyariyyah) dan Cemburu Ketuhanan (Ilahiyah). Cemburu Manusiawi adalah cemburu terhadap individu, sedangkan cemburu Ilahiyyah adalah sikap cemburu terhadap waktu, di mana ia tidak ingin mensiasiakannya untuk selain kepentingan Allah Swt.”
MASALAH: Fath bin Syakhraf rah. berkata: “Suatu ketika saya pernah bertanya kepada Israfil, Guru Dzun-Nun rah., ‘Wahai Guru (Syeikh), apakah rahasia2 hati (al-asrar) akan disiksa sebelum tergelincir (melakukan dosa)?” Ia tidak menjawab selama berhari-hari, kemudian setelah itu ia mengatakan, “Hai Fath, jika kamu sudah berniat sebelum berbuat, maka al-asrar akan disiksa sebelum tergelincir (melakukan dosa).”
Setelah mengatakan demikian ia lalu menjerit dan masih sempat hidup selama tiga hari sebelum akhirnya meninggal. Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Farghani yang dikenal dengan sebutan al-Wasithi pernah ditanya tentang Sifat Hati. Maka ia mengatakan: “Hati dibagi menjadi tiga keadaan: Hati yang diuji, Hati yang tercabut dari akarnya dan Hati yang terkoyak hancur, di mana awal-awal dari keadaannya adalah roboh.
Ini adalah orang yang mampu merealisasikan dgn permulaan2nya, bahwa ia belum terwujud sebelum sesuatu yang disebutkan. Jika anda hadir maka anda akan jatuh pada kehancuran yakni kematian, berarti hilang. Maka inilah awal dan akhir anda, agar anda tidak mengatakan, ‘Saya telah maju dan mundur.’ Dan tiga jenis hati ini, lisan membisu tidak mampu berbicara.”
Setelah mengatakan demikian ia lalu menjerit dan masih sempat hidup selama tiga hari sebelum akhirnya meninggal. Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Farghani yang dikenal dengan sebutan al-Wasithi pernah ditanya tentang Sifat Hati. Maka ia mengatakan: “Hati dibagi menjadi tiga keadaan: Hati yang diuji, Hati yang tercabut dari akarnya dan Hati yang terkoyak hancur, di mana awal-awal dari keadaannya adalah roboh.
Ini adalah orang yang mampu merealisasikan dgn permulaan2nya, bahwa ia belum terwujud sebelum sesuatu yang disebutkan. Jika anda hadir maka anda akan jatuh pada kehancuran yakni kematian, berarti hilang. Maka inilah awal dan akhir anda, agar anda tidak mengatakan, ‘Saya telah maju dan mundur.’ Dan tiga jenis hati ini, lisan membisu tidak mampu berbicara.”
Al-Jariri ditanya tentang apa yang dimaksud dengan Bencana (bala’). Maka ia mengatakan: “Bencana (bala’) itu dibedakan menjadi tiga macam: Sebagai siksaan bagi orang-orang yang ikhlas, sebagai penghapusan dosa bagi orang-orang terdepan dalam menjalankan kebaikan (as-sabiqun) dan sebagai pembenaran atas ujian bagi Anbiya’ dan Ash-shadiqin.”
MASALAH TENTANG PERBEZAAN ANTARA AL HUBB (CINTA) & AL WUDD (KASIH SAYANG)
Al-Hubb di dalamnya terdapat unsur dekat dan jauh, sedangkan Al-Wudd sama sekali tidak mengandung unsur keterputusan, kejauhan ataupun kedekatan. Sesungguhnya orang yang menyaksikan Al-Hubb adalah dengan haqul-yaqin, orang yang menyaksikan Al-Wudd adalah dengan ‘ainul-yaqin sedangkan orang yang menyaksikan Ash-shiyanah (keterjagaan) adalah dengan ilmul yaqin. Al-Wudd adalah sambung (Al-Washl) tanpa kesinambungan (Muwashalah). Sebab Al-Washl adalah tetap, sedangkan Al-Muwashalah adalah menggunakan waktu.
TANGIS: Abu Said al-Kharraz rahimahullah ditanya tentang Tangis, lalu ia mengatakan: “Tangis itu ada tiga macam: Dari Allah (minalIah), kepada Allah (ilallah) dan pada Allah (‘alallah). Sementara menangis yang dari Allah akan lama tersiksa kerinduannya bila disebutkan terlalu lama waktu bertemu-Nya, menangis kerana takut terputus dengan-Nya dan berpisah dari imbalan yang dijanjikan-Nya, dan menangis kerana gelisah bila ada kasih sayang dan kejadian2 yang mengakibatkannya tidak sampai kepada-Nya.
Sedangkan menangis kepada Allah adalah rahasia hatinya berusaha memaksakan kerinduan yang membara kepada-Nya dan menangis kerana jiwanya terbang dgn kerinduan kepada-Nya, menangis kerana kehilangan akal untuk-Nya, menangis kerana mengadukan keluh kesah, menangis kerana berhenti di depan-Nya, menangis kerana lembutnya pengaduan kepada-Nya, menangis kerana berhenti di hamparan kerendahan utk mencari kedekatan dgn-Nya, menangis ketika bergegas apabila diduga lambat menuju kepada-Nya, menangis kerana takut terputus jalan sehingga tidak sampai kepada-Nya, menangis kerana takut tidak baik untuk bertemu dengan-Nya, dan menangis kerana merasa malu dengan-Nya dgn mata apa ia memandang-Nya.
Kemudian menangis pada-Nya adalah menangis ketika diperlambat utk bertemu dgn-Nya pada sebahagian waktu yang ia biasakan, dan menangis kerana kesenangan di saat ia sampai kepada-Nya, bila ia dipeluk dgn kebaikan-Nya, sebagaimana seorang bayi yg masih menyusu ibunya, ketika itu ia menangis. Maka dengan demikian tangisan memiliki delapan belas.”
Sedangkan menangis kepada Allah adalah rahasia hatinya berusaha memaksakan kerinduan yang membara kepada-Nya dan menangis kerana jiwanya terbang dgn kerinduan kepada-Nya, menangis kerana kehilangan akal untuk-Nya, menangis kerana mengadukan keluh kesah, menangis kerana berhenti di depan-Nya, menangis kerana lembutnya pengaduan kepada-Nya, menangis kerana berhenti di hamparan kerendahan utk mencari kedekatan dgn-Nya, menangis ketika bergegas apabila diduga lambat menuju kepada-Nya, menangis kerana takut terputus jalan sehingga tidak sampai kepada-Nya, menangis kerana takut tidak baik untuk bertemu dengan-Nya, dan menangis kerana merasa malu dengan-Nya dgn mata apa ia memandang-Nya.
Kemudian menangis pada-Nya adalah menangis ketika diperlambat utk bertemu dgn-Nya pada sebahagian waktu yang ia biasakan, dan menangis kerana kesenangan di saat ia sampai kepada-Nya, bila ia dipeluk dgn kebaikan-Nya, sebagaimana seorang bayi yg masih menyusu ibunya, ketika itu ia menangis. Maka dengan demikian tangisan memiliki delapan belas.”
YANG MENYAKSIKAN (ASY SYAHID): Tatkala Al-Junaid rahimahullah ditanya, mengapa Asy-Syahid (yang menyaksikan) itu di sebut Syahid (menyaksikan)? Maka ia menjawab: “Zat Yang Maha Menyaksikan, Al-Haq Swt adalah Yang Menyaksikan hati nurani anda dan rahasia-rahasia hati anda, dimana Dia senantiasa mengetahuinya, menyaksikan Keindahan-Nya yg ada pada makhluk dan hamba2Nya. Jika seseorang melihat-Nya, ia akan menyaksikan IlmuNya dengan melihat kepada-Nya.
Sementara itu, seorang Sufi yang ‘menyaksikan’ harus menempuh tingkatan Para Murid, sehingga ia menyaksikan umumnya Kaum Arif (Al-’Arifin) dan memikul nama orang yang menyaksikan yang hadir dalam keghaiban, dimana ia tidak merasa keberatan, tidak letih dan tidak pernah lengah. Jika ia masih pernah lengah dan lupa sebagaimana seorang Murid, maka ia belum disebut orang yang sanggup menyaksikan (Asy-Syahid). Dan ketika yang berlangsung adalah selain ketentuan ini dalam lahiriahnya maka itu tidak benar, dan ia bukanlah cara yang ditempuh kaum Sufi.”
Sementara itu, seorang Sufi yang ‘menyaksikan’ harus menempuh tingkatan Para Murid, sehingga ia menyaksikan umumnya Kaum Arif (Al-’Arifin) dan memikul nama orang yang menyaksikan yang hadir dalam keghaiban, dimana ia tidak merasa keberatan, tidak letih dan tidak pernah lengah. Jika ia masih pernah lengah dan lupa sebagaimana seorang Murid, maka ia belum disebut orang yang sanggup menyaksikan (Asy-Syahid). Dan ketika yang berlangsung adalah selain ketentuan ini dalam lahiriahnya maka itu tidak benar, dan ia bukanlah cara yang ditempuh kaum Sufi.”
KESUCIAN BERMUAMALAH & BERIBADAH: Syekh Abu Nashr as-Sarraj mengatakan: “Para Guru Sufi (Syeikh) Tanah Haram pernah berkumpul dengan Abu al-Husain Mi bin Hindun al-Qurasyi al-Farisi rahimahullah kemudian mereka menanyakan tentang kesucian bermuamalah dan beribadah. Maka ia menjawab: “Sesungguhnya pada akal terdapat petunjuk (Dilalah), dalam hikmah terdapat isyarat dan dalam Makrifat terdapat kesaksian (Syahadah). Maka akal memberikan petunjuk, hikmah memberikan isyarat, dan makrifat menyaksikan bahawa kejernihan ibadah tidak akan dicapai kecuali melalui kejernihan makrifat yang ada empat:
1. Makrifat (mengenal) Allah Swt
2. Makrifat tentang diri (nafsu)
3. Makrifat tentang kematian
4. Makrifat tentang apa yang bakal terjadi setelah kematian, dari janji dan ancaman Allah Swt.
Maka org yg mengenal Allah niscaya akan memenuhi hak2Nya, org yg mengenal nafsunya ia akan bersiap2 melawan dan berjuang menentangnya, org yg mengenal kematian akan bersiap siaga meng hadapinya, org yg mengerti ancaman Allah akan menjauhi laranganNya dan mengerjakan perintah-Nya. Sementara itu untuk menjaga hak-hak Allah ada tiga cara: Memelihara kesetiaan (al-wafa’), adab dan muru’ah.
Adapun menjaga kesetiaan adalah dengan mentauhidkan hati Anda akan Kemahatunggalan (Infiradiyyah)-Nya, kukuh dan tetap untuk menyaksikan (Musyahadah) Kemaha-esaan (Wahdaniyyah)-Nya dengan Cahaya Azaliyyah-Nya dan hidup bersama-Nya. Adapun menjaga adab adalah dengan menjaga rahasia2 hati, menjaga waktu, menghindari sikap dengki dan permusuhan.
Sedangkan menjaga Muru’ah ialah dengan tetap berzikir, baik ucapan maupun perbuatan, menjaga lisan, mata, makanan dan pakaian. Itu semua dapat dilakukan dengan adab. Sebab pangkal semua keabaikan di dunia dan di akhirat adalah adab.” Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita.
Adapun menjaga kesetiaan adalah dengan mentauhidkan hati Anda akan Kemahatunggalan (Infiradiyyah)-Nya, kukuh dan tetap untuk menyaksikan (Musyahadah) Kemaha-esaan (Wahdaniyyah)-Nya dengan Cahaya Azaliyyah-Nya dan hidup bersama-Nya. Adapun menjaga adab adalah dengan menjaga rahasia2 hati, menjaga waktu, menghindari sikap dengki dan permusuhan.
Sedangkan menjaga Muru’ah ialah dengan tetap berzikir, baik ucapan maupun perbuatan, menjaga lisan, mata, makanan dan pakaian. Itu semua dapat dilakukan dengan adab. Sebab pangkal semua keabaikan di dunia dan di akhirat adalah adab.” Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita.
KEDERMAWAAN: Al-Rants Al-Muhasibi rahimahullah berkata: “Orang yang dermawan ialah orang yang tidak pernah peduli kepada siapa pun yang ia beri.” Sementara itu al-Junaid rahimahullah mengatakan, “Orang dermawan adalah orang yang tidak menjadikan anda perlu kepada suatu perantara.”
No comments:
Post a Comment