Monday, February 15, 2016

IBLIS BERHALA DIRI

“Awal agama mengenal Allah. Apakah Iblis tidak mengenal Allah? Aku makin takut.., Kerana aku nampak 'Iblis' dalam diriku. Dan aku mencelanya siang malam...”

Ingatlah kita umat Nabi s.a.w. yang mana pada malam kelahirannya telah berjatuhan Berhala Berhala yang ada di muka bumi ini.Namun yang menjadi pertanyaan,mengapa dalam diri kita ini terdapat Berhala Berhala yang terus kita pelihara? padahal ,sudah seharusnya Berhala Berhala tersebut kita hancurkan,kita rabohkan kita buang dalam diri kita.Ketahuilah Berhala Berhala yang berada dalam diri kita adalah perasaan kecintaan yang berlebihan terhadap dunia dan merasa benci serta takut dengan datangnya kematian.Inilah kelemahan yang terdapat di dalam dada sebahagian besar manusia,yang mana perkara ini telah di sebut dan diingatkan oleh Baginda Nabi s.a.w. didalam untaian sabdanya.

Pernahkah kita merenungi bahwa dalam hati kita mungkin terdapat berhala yang dapat merusak amal ibadah kita? Memang banyak diantara kita yang tidak menyadari kalau didalam dirinya sudah terdapat Berhala Berhala yang tumbuh hidup dalam diri dan menghancurkan bangunan amal yang telah dibuat dengan susah payah. Taukah kalian sifat dan sikap apakah yang dapat membangun Berhala Berhala pada hati hati kita? Yaitu sifat mazmumah zulumat, yaitu ujub ,sombong dan sebagainya.

Sifat ujub dan sombong dapat menghinggapi siapa saja, baik orang kaya, pelajar,miskin,ulamak, orang pintar dan juga pada setiap nikmat Allah yang diberikan pada hambaNya terkadang juga dapat menimbulkan sifat ujub, sombong dan sebagainya. Ujub adalah sikap yang menganggap diri hebat kerana kelebihan yang ada pada diri. Bahkan ia membayangkan bahwa akibat dari kebaikan perbuatannya maka ia telah mencapai hak-hak tertentu atas Allah. Sifat ujub ini merupakan bahagian dari kesombongan yang belum dinampakkan (masih dalam hatinya). Sedangkan sombong (takabur) adalah sikap yang membanggakan diri , menganggap diri lebih dari orang lain yang dinampakkan melalui ucapan, sikap dan tingkah laku.

Tanda-tanda kesombongan terkadang dapat dilihat dari caranya berbicara, berjalan, terkadang ia mengharapkan sekelompok orang meniru dirinya , menganggap dirinya lebih baik / tinggi dari orang lain, sehingga dalam berintegrasi dengan orang lain disertai dengan penghinaan dan celaan, menolak kebenaran ketika orang lain memberitahukan kesalahannya, memaksa kehendaknya, pantang diremehkan, sukar menerima nasehat dan suka sanjungan dari orang lain.

Hal-hal yang dapat menyebabkan orang sombong yaitu: 

1) Kekuasaan: Jabatan yang kita miliki, dapat mengantarkan kita untuk berbuat sombong, melecehkan orang-orang biasa yang tidak punya jabatan apa-apa. Janganlah kita berlaku sombong karna kekuasaan, sebab kekuasaan tidak akan kekal, ketika kita mati maka kekuasaan pun akan hilang.

2). Harta Kekayaan: Kekayaan yang kita miliki juga rizki dari Allah. Harta kekayaan ini akan menjadi bencana, jika kita membeza-bezakan derajat seseorang berdasarkan harta kekayaan yang dimilikinya. Tidak mau menjadikannya teman kerena dia miskin, tidak mau menerima pinangan kerana derajatnya lebih rendah daripada kita dll.

Jika Allah memberi kita rizki berupa harta yang melimpah, janganlah kita berlaku sombong, karna dunia seisinya adalah kenikmatan yang tak abadi. Ingatlah, ketika kita mati, kita tidak membawa apa-apa kecuali kain yang membungkus tubuh, tak ada sedikitpun berguna harta, hanyalah ketaqwaan yang akan menyelamatkan kita.

3). Nasab keturunan: Bagi orang yang sombong kerana keturunan menganggap keturunannya lebih baik daripada yang lain, sehingga dia tidak mahu berteman dan bergaul dengannya, serta mencela dan mencaci bila terjadi perselisihan diantara mereka. Dengan mengatakan aku lebih tinggi daripada kamu, kedudukan orang tuaku lebih tinggi daripada orang tuamu dll. Bagi kita yang berasal dari keturunan yang mulia (orang tuanya ulama, pejabat, orang kaya, “darah biru”, orang terhormat, dan sejenisnya) berhati-hatilah, kerana kita dapat terjebak menjadi sombong dengan sebab nasab keturunan.

Jika kita terlahir didalam keluarga yang bernasab mulia, janganlah kita membanggakannya disekelilingmu, sebab nasab yang hakiki adalah taqwa. Kelak pada hari kiamat semua nasab itu terputus tiada guna, hanya amal taqwa dan salehlah yang berguna. Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (Al-Mukminun : 101)

4). Penampilan, kecantikan maupun ketampanan: Bentuk fisik kita merupakan anugerah Allah yang patut disyukuri, bagaimanapun adanya. Jika Allah menganugrahkan kepada kita wajah dan tubuh yang bagus, janganlah kita berlaku sombong terhadap pasangan atau orang-orang disekitar kita, sebab wajah dan tubuh itu ada masanya akan sirna.

5). Amal dan Ibadah: Imam Asy-Sya’abi dan Ayyub as-Sakhtiani rahimahumullah mengisahkan “ada seorang laki-laki yang terkenal dengan julukan ‘si tukang maksiat dari kalangan Bani Israel’. Suatu hari dia berjumpa dengan seorang laki-laki ‘si tukang ibadah’ yang diatas kepalanya terdapat awan yang menaunginya. Si tukang maksiat berkata pada dirinya, aku adalah orang yang banyak bermaksiat sedangkan dia adalah seorang ahli ibadah. Alangkah baiknya kalau aku duduk disampingnya. Barangkali saja aku akan mendapat imbas dari rahmat Allah yang dianugrahkan kepadanya. 

Lalu ia duduk disampingnya. Si tukang ibadah tersebut bicara kepada dirinya sendiri, aku adalah ahli ibadah sedangkan dia ahli maksiat. Aku tidak mau dia duduk didekatku!. Dengan sombong dia berkata kepada si ahli maksiat “ Pergilah kamu dari sini!. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada nabi zaman itu yang isinya “suruhlah keduanya memulai beramal. Sesungguhnya Aku telah memaafkan tukang maksiat itu dan menghapus amal ibadah tukang ibadah tersebut. Dalam sebuah riwayat disebutkan, maka awan itu pun berpindah menaungi si tukang maksiat.

Janganlah kita menganggap diri kita sebagai orang yang paling dekat dengan Allah. Memandang diri kita sebagai orang yang lebih pantas untuk masuk surga dibandingkan dengan orang lain. Menganggap diri kita lebih sempurna amalnya dibandingkan yang lainnya. Sehingga, menganggap seharusnya kitalah orang yang pantas untuk dihormati, diminta nasihatnya, dipenuhi segala keperluannya, atau didahulukan kepentingannya dibanding yang lainnya. Sehingga kita tidak mahu untuk mendengarkan nasihat dari orang lain, walaupun berisi kebenaran, kita pun akhirnya menganggap orang lain, derajatnya berada dibawah.

Banyaknya pengikut, pendukung, murid, pembantu, keluarga, kerabat dan anak,dapat juga mendatangkan penyakit sombong. Sehingga tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan dan melecehkannya, jika kebenaran tersebut datang dari orang yang sedikit pengikutnya. Dan janganlah kita merasa bangga dan sombong menjadi pengikut atau murid seseorang, misalnya menjadi murid dari syeh, kiyai, ulama atau habib tertentu. Sebab Allah takkan menanyakan hal tersebut di yaumul hisab nanti.

6). Ilmu Pengetahuan: Kita boleh menjadi sombong, justru kerana ilmu yang dimiliki. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, kita menjadi merasa sebagai orang yang pintar, sedangkan yang lainnya adalah orang-orang bodoh. Menganggap memiliki ilmu yang luas dan dalam, sehingga semua orang seharusnya menghormati kita, semua orang seharusnya menjadikan kita sebagai rujukan. Merasa dirinya menjadi yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Hanya kitalah yang pantas untuk mengisi kajian-kajian, menjadi pembicara, sebagai narasumber. Orang lain hanya berhak untuk mendengarkan dan mengikutinya. 

Parahnya lagi, kita menjadi tidak mau untuk mendengarkan nasihat dari orang lain, walaupun nasihat itu benar adanya. Kita hanya mau menerima nasihat yang diberikan oleh orang yang dianggap memiliki ilmu pengetahuan yang lebih tinggi lagi. Kita merasa, bahwa hanya kitalah yang paling layak untuk menyampaikan nasihat, sedangkan orang lain hanya pantas untuk mendengarkan nasihat kita. Akibatnya, kita benar-benar terjerumus, menjadi orang yang menolak kebenaran dan melecehkan orang lain, atau dikatakan sebagai orang yang terjangkit penyakit sombong.

Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata, Jika seorang hamba tidak menyibukkan dirinya pertama kali untuk membersihkan jiwa dan menyucikan hatinya dengan berbagai macam mujahadah, niscaya ia akan menjadi sosok yang busuk didalamnya. Jika ia mendapatkan ilmu, niscaya ilmu tersebut mendapatkan tempat yang busuk dalam hatinya dan tidak memberi buah yang baik. Bahkan pengaruhnya dalam kebaikan tidak tampak. Kerana ilmu yang dihafal oleh manusia, akan ia ubah sesuai dengan kemauan dan kehendak hatinya, sehingga seorang yang takabur semakin takabur dan seorang tawadhu semakin tawadhu.

Mudah-mudahan, ilmu yang kita miliki tidak membawa kesombongan. Bahkan sebaliknya, semakin luas ilmu yang dimiliki, kita semakin sadar bahwa ilmu yang kita miliki masih sangat sedikit dan masih memerlukan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain. Apalagi jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sungguh tak ada apa-apanya. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (Asy-Syu’ara: 215)

Ketika seseorang yang memiliki kelebihan dan keberhasilan mendapati bahwa orang-orang disekelilingnya lebih rendah tingkatannya dari dirinya, maka hal ini tentu akan membuat penyakit sombong sedikit demi sedikit bersarang dihatinya. Mengapa tidak? Dia selalu mendapati bahwa pendapatnya adalah pendapat yang benar, pemikirannya adalah pemikiran yang tepat, dan menganggap semua pandangan dan pendengaran orang terarah kepada pendapatnya dalam berbagai kejadian. Jika ia ditanya tentang sesuatu dan membalas ucapannya, niscaya ia akan marah, dan jika ada yang mendebatnya, niscaya ia dengan keras akan membantahnya, jika diberikan nasehat, maka ia segan menerima nasehat tersebut dan boleh saja ia mengatakan “yang berhak menasehatiku adalah orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada diriku”. Jika ia mengajar, ia tidak bersikap lembut dengan orang yang belajar, bahkan tidak segan membentaknya, ia sering mengingat-ingat jasanya dan memanfaatkan orang yang ia ajarkan.

Allah dan RasulNya telah mengingatkan kita terhadap penyakit ujub dan sombong ini.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Hujurat: 11)

Tidak akan masuk surga seseorang yang didalam hatinya ada rasa sombong, meski hanya seberat biji sawi (HR.Muslim)

Cukup menjadi kejahatan seseorang jika dia meremehkan saudaranya seislam (HR. Muslim)

Barangsiapa senang jika orang-orang berdiri menghormatinya, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka (HR Ahmad)

Marilah kita merenung, apakah dihati kita terdapat berhala yang dapat merusak amal ibadah kita? Kenapa Allah tidak memasukkan kita kedalam surga kerana sifat dan sikap ujub dan sombong ini? Yaitu kerana ujub dan sombong adalah salah satu macam syirik kecil yang berbahaya.

“Syirik tidak terbatas pada makna luarnya yang tidak mendalam, yang tercerminkan dalam menyembah berhala dan yang selain Allah, atau tecerminkan dalam tindakan seseorang dari kita yang meminta kepada selain Allah. Tetapi, ia mempunyai makna tersembunyi yang menyelusup kerana ketersembunyiannya kedalam hati dan jiwa kaum muslimin tanpa diketahui dan dirasakan. Itulah sumber bahayanya. Kerana setiap kita melakukan amal saleh, ibadah, atau sesuatu semacam jihad, niscaya syirik yang tersembunyi (terselubung itu) menghancurkan pahalanya dan menghilangkan nilainya, serta mengubahnya dari ketaatan yang diterima menjadi kemaksiatan dan syirik.

“Awal agama mengenal Allah. Apakah Iblis tidak mengenal Allah? Aku makin takut.. Kerana aku nampak 'Iblis' dalam diriku. Dan aku mencelanya siang malam…”

No comments:

Post a Comment