Pernah suatu ketika saya diprotes seorang kawan yang menganggap aneh tindakkan saya mencium tangan dan memeluk seorang syekh. Apalagi ketika dia melihat saya meminum sisa air di gelas bekas minuman sang Syekh. Dia menganggap saya telah bersikap berlebihan.
“Mengapa orang serasional kamu meminum dari bekas minumannya?” tanyanya.
“Ini tabarruk. Sekadar mengalap berkah,” jawabku singkat.
“Nggak perlu begitu-gitu amat kali?!”
“Nggak apa-apa. Ini lazim, biasa dilakukan seorang murid kepada guru yang dikagumi,” jawabku.
“Iya, tapi tindakanmu harus punya dasar!” katanya sambil mencibir.
“Seingat saya Rasulullah pernah mencontohkan. Para ulama dahulu pun mencontohkan. Karena itu, sudah menjadi tradisi santri di berbagai pondok, selalu ada saja santri yang mengalap berkah dari kyai yang dikaguminya,”jawabku lagi.
“Hah...Dalilnya apa?! Kamu harus punya dasar!” katanya sinis.
Terus terang saya bukan penghafal ayat dan hadis yang hebat. Saya tak mau berdebat panjang. Yang jelas, saya pernah membaca dan mendengar tentang hadis Nabi bahwa Rasulullah pun bertabarruk dari air hujan dan bertabarruk dari bekas peninggalan Nabi Shaleh. Tapi, saya lupa matan hadis tersebut.
Mencari berkah (tabarruk) Allah bagi sebagian santri adalah hal yang lazim. Biasanya, Kyai, ulama dan guru-guru sufi selalu menjadi buruan para santri atau salik. Mereka sering kali meminta air, jabatan tangan atau ciuman, pelukan dan sebagainya.Tradisi seperti ini terus berlangsung secara turun temurun. Namun, ada saja sebagian dari kita yang menganggap sikap semacam ini sebagai berlebihan dan takut terjadi pengkultusan terhadap kyai atau ulama. Padahal, tradisi semacam ini dari zaman Rasulullah pun terjadi. Kita mesti berlapang dada, begitulah rasa cinta murid kepada guru dalam bentuk yang sangat nyata. Meski sebenarnya, khidmat, ilmu dan ajarannyalah yang menjadi tujuan pencarian.
Dari pengalaman saya mendampingi Syekh Dr Muhammad Fadhil Al-Jailani, keturunan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani ke-25, dalam sebuah acara di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, beberapa tahun lalu, saya menyaksikan bagaimana para santri berburu berkah dan meminta doa dari guru sufi yang sangat dicintainya. Mereka meminta ijazah, berbaiat, meminta, berzikir bersama, dan mendengarkan ceramah. Bahkan, tak hanya itu. Mereka berebut uluran tangan dan pelukan Sang Syekh, meminum bekas air teh pada gelas beliau, memijat kaki beliau saat kelelahan, hingga berebut untuk melayani dan menyiapkan makanan dan minum Sang Syekh setiap waktu. Semua dilakukan demi penghormatan pada ilmu, kemuliaan dan nasab.
Saya termasuk orang yang sangat beruntung, karena tidak harus berebut seperti mereka, karena dapat mendampingi beliau sejak bandara, hotel, hingga di kediaman KH Idris Marzuki, Lirboyo. Bahkan, setelah acara selesai, yang bertepatan meletusnya Gunung Kelud ketika itu, saya ikut mendampingi Syekh Dr. Muhammad Fadhil dan Syekh Rohimuddin Nawawi Al-Bantani untuk melakukan perjalan darat menggunakan mobil. Sungguh, ini peristiwa yang sangat membekas di hati yang sangat dalam.
Selama beberapa hari, penyuntingan kitab Tafsir Al-Jailani yang dipimpin langsung Syekh Rohimuddin Nawawi Al-Bantani pun berhasil diselesaikan. Saya mendapat mandat untuk mengawal proses penerjemahan, penyuntingan, hingga penerbitan manuskrip kitab yang ditemukan Syekh Dr Muhammad Fadhil tersebut. Betapa berkesannya dapat mendapat amanah dari Sang Syekh secara langsung. "Berkah talabul-ilmi langsung dari sumbernya dan bertemu dengan wali yang masih hidup, tentu lebih bermakna bukan," demikian bisik Syekh Rohimuddin. Beliau mengajarkan kepada saya untuk tidak hanya bertabaruk kepada wali yang telah wafat, tetapi juga wali yang masih hidup. "Jika kamu ketemu wali, bergurulah kepadanya, minta nasihatnya dan ikuti ajarannya. Jangan hanya berebut dengan benda dan bekas pakaian miliknya," katanya lagi.
Sejak keterlibatan saya pada beberapa lembaga tarekat, alhamdulillah saya dapat berjumpa banyak tokoh sufi dan berkenalan secara pribadi. Tapi, kadang-kadang jiwa kesantrian saya selaku saja ingin mengenang romantisme berebut berkah dari bekas benda milik guru sufi. Ini semacam dorongan seorang salik, yang kadang di luar nalar. Karena itu, tak jarang kawan-kawan saya di luar tarekat mencemooh dan menyindir sikap saya yang berburu berkah kepada guru. Mereka menghujat saya karena terlalu berlebihan memandang Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan keturunannya. Padahal, mereka tak memahami apa yang terjadi antara saya dan guru.
Bagi saya, nasihat Syekh Rohimuddin telah menjadi panduan bagi saya. Bahwa tak ada salahnya bertabaruk kepada Syekh, tapi juga harus ambil ilmunya. Itu juga tabarruk yang sangat baik. Namun, pada saat yang sama kita juga tidak bisa menyalahkan fenomena maraknya para santri memburu berkah kepada kiyai, ulama dan guru sufi dengan cara dan gaya khas santri. Ini cara mereka mengekspresikan cinta dan memuliakan guru, sambil menimba ilmunya secara langsung.
Begitu banyak hadis-hadis shahih yang memuat tentang tradisi mencari berkah di zaman Rasulullah SAW. Hal tersebut sudah lumrah. Kita melihat hal tersebut sebagai komunikasi ruhani antara guru dan murid, atau antara umat dan nabinya.
Karena itu, sebagai pembelaan bagi santri dan masyarakat awam yang suka bertabarruk kepada orang yang dimuliakannya, berikut ini saya hadiahkan beberapa hadis yang merekam kejadian serupa. Tujuannya agar kita tidak mudah menyalahkan tradisi tabaruk di tengah masyarakat kita.
Berikut ini adalah hadis-hadis yang bisa kita kaji bersama.
Maka, di forum ini saya sekadar berbagi ilmu tentang hadis-hadis yang memuat tentang cara Rasul dan sahabat mengalap berkah. Tujuannya bukan untuk melakukan kultus tanpa dasar dan bukan hanya taklid buta. Menghormati, mencintai dan mengalap berkah dari orang shaleh tentu bertujuan untuk mendekatkan secara ruhani. Dan, dalam urusan berkah, kita tak memerlukan argumentasi rasional-empirik untuk menguatkannya, sebab banyak hal dari sisi ruhani yang tak bisa dijelaskan oleh akal.
Berikut ini beberapa dalil yang dapat memuaskan dahaga ilmu kita tentang tabarruk:
Anas r.a. meriwayatkan, “Pernah kami dan Rasulullah SAW ditimpa hujan, lalu Rasulullah SAW keluar seraya menyingkap (menyingsing) kainnya hingga terkena air hujan. Maka kami pun bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa engkau lakukan hal itu?” Beliau menjawab: “Karena hujan adalah ciptaan yang baru saja diciptakan oleh Tuhannya.” [yakni Rasulullah SAW ingin bertabarruk (mandapatkan berkah Allah) dengan hujan]. (HR Abu Daud)
Abdullah, seorang budak milik Asma’ binti Abu Bakar, berkata: “Saya datang kepada Asma’ binti Abu Bakar untuk memberitahukan kepadanya tentang informasi yang saya peroleh. Tak lama kemudian dia (Asma’) memperlihatkan kepada saya sebuah jubah yang berwarna hijau dan berkerah sutera, sedangkan kedua sisinya dijahit dengan sutera seraya berkata: “Hai Abdullah, ini adalah jubah Rasulullah.” Setelah itu, dia meneruskan ucapannya: “Jubah ini dahulu ada pada Aisyah hingga dia meninggal dunia. Setelah dia meninggal dunia, maka aku pun mengambilnya. Dan, dahulu Rasulullah SAW sering mengenakannya. Lalu kami pun mencuci dan membersihkannya untuk orang sakit agar dia lekas sembuh dengan mengenakannya (yakni bertabarruk).” (HR Muslim dan Ahmad)
Anas bin Malik menuturkan, “Rasulullah SAW pernah berkunjung ke rumah Ummu Sulaim. Lalu beliau tidur di atas tempat tidur Ummu Sulaim, ketika dia sedang tidak berada di rumah. Suatu hari, Rasulullah SAW datang ke rumah kami dan tidur di atas tempat tidur Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim pun disuruh pulang dan diberitahu bahwa Nabi sedang tidur di atas tempat tidurnya. Ketika Ummu Sulaim tiba di rumah, Nabi SAW telah berkeringat, dan keringat beliau bergenang di tikar kulit di atas tempat tidur. Maka Ummu Sulaim segera membuka tasnya dan segera mengusap peluh Rasulullah dengan sapu tangan dan memerasnya ke dalam sebuah botol. Tiba-tiba, terbangun dan terkejut seraya berkata: “Apa yang kamu lakukan hai Ummu Sulaim?” Ummu Sulaim menjawab: “Ya Rasulullah, kami mengharapkan keberkatan keringat engkau untuk anak-anak kami (yakni bertabarruk).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu benar hai Ummu Sulaim!” (HR Muslim)
Anas r.a. juga meriwayatkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sentiasa ceria dan keringatnya bagai kilauan mutiara. Apabila beliau berjalan, maka langkahnya terayun tegap. Sutera yang pernah saya sentuh tidak ada yang lebih halus berbanding telapak tangan beliau. Minyak kasturi dan minyak ambar yang pernah saya cium, tidak ada yang melebihi semerbak wanginya badan beliau.” (HR Muslim dan Ahmad)
Abdullah bin Umar r.a. pernah meriwayatkan bahwa ada serombongan orang (sahabat) yang bepergian bersama Rasulullah SAW, lalu singgah di al-Hijr (tempat yang pernah dihuni kaum kaum Nabi Shalih a.s.), negeri Kaum Tsamud, lalu mereka mengambil air dari sumurnya dan membuat adunan roti, maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka agar menumpahkan air yang di ambil dari sumurnya dan agar adunan roti dijadikan makanan buat unta dan memerintahkan mereka agar mengambil air dari sumur-sumur yang (sering) didatangi oleh unta (Nabi Shalih)”. (HR Bukhari dan Muslim).
Nafi’ menuturkan bahwa Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan kepadanya bahwa ada serombongan orang (sahabat) yang bepergian bersama Rasulullah SAW, kemudian singgah di al-Hijr (tempat yang pernah dihuni kaum kaum Nabi Shalih a.s.), negeri Kaum Tsamud, lalu mereka mengambil air dari sumurnya dan membuat adunan roti, maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka agar menumpahkan air yang di ambil dari sumurnya dan agar adunan roti dijadikan makanan buat unta dan memerintahkan mereka agar mengambil air dari sumur-sumur yang (sering) didatangi oleh unta (Nabi Shalih)”. (HR Bukhari dan Muslim).
No comments:
Post a Comment