Wednesday, April 13, 2016

ILMU MAKRIFAT DAN RASA MAKRIFATULLAH

Ilmu menyedarkan manusia akan adanya Allah dengan akal, sedangkan makrifat membawa manusia kehadirat-Nya. Ilmu diperoleh dengan mencari, mempelajari, menelaah sehingga memperoleh sebuah kesimpulan dan kesimpulan tersebut disebut sebagai pengetahuan. Untuk mendapatkan ilmu diperlukan panca indera sebagai media penerimanya. 

Makrifat tidak bisa diperoleh melalui pencarian ataupun penelitian, tidak dapat terhasil dari  diskusi dan tidak pula melalui kajian-kajian semata. Berpuluh tahun kita mempelajari makrifat dan beribu buku yang kita baca tidak akan mengantarkan kita kepada makrifat dihati... hanya sekadar ilmu diakal. Bila diuji oleh Allah, gagal menyerlah akhlak sebagai ahli makrifat, AhlilLah. Kalau ada sebuah tulisan/karangan/kitab yang mengupas tentang makrifat adalah sekadar  suatu ilmu. Itu hanyalah ilmu makrifat bukan makrifat itu sendiri, yang  tentu saja tidak bisa membawa rohani kita sampai ke alam makrifat. Makrifat yang dimaksudkan adalah "Makrifatullah" , yang sering disederhanakan maknanya menjadi "mengenal Allah". Makrifat bisa diertikan sebagai keadaan  dimana manusia benar-benar telah mengenal Tuhan sehingga tidak ada keraguan sedikitpun dalam hati batinnya bahawa sesuatu yang diyakini itu benar-benar Allah adanya.

Seperti ungkapan Syeikh Abu Yazid Al-Bustami tentang makrifat, “Tiada keraguan sedikitpun bahawa yang aku saksikan adalah Allah”. Makrifat dalam pandangan Syeikh Abu Yazid Al-Bustami adalah Penyaksian (Musyahadah), sebagai syarat awal untuk bisa dikatakan seseorang telah mengenal Tuhannya. Syarat seseorang bisa disebut sebagai muslim apabila telah mengakui Allah dan Rasul-Nya dalam sebuah kalimat pendek, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah Rasul-Nya”. Dalam tahap selanjutnya tentu kalimat itu bukan sekadar diucapkan belaka, tapi kita benar-benar telah menyaksikan Allah SWT dan telah menyaksikan Muhammad sebagai Rasul sehingga kita tidak tergolong sebagai orang yang bersaksi palsu atau hanya sekadar mengaku-ngaku.

Rasulullah SAW bersabda: "Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah” (Awal beragama adalah mengenal Allah dan akhir beragama adalah menyaksikan Allah). Imam al-Ghazali mengatakan: “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal (Allah) yang wajib disembah”. Makrifat hanya bisa didapati melalui mujahadah dalam dzikir dan ibadah, sehingga akan sampai rohaninya kepada Alam Rabbani sehingga sang hamba menyaksikan keagungan Dzat Allah yang sulit diungkapkan lewat kata-kata. Tahap ini hanya bisa diperolehi dengan bimbingan seseorang yang lebih dulu telah ber-Makrifatullah, yang "kamil mukamil".  Dalam alam makrifat (metafisik sufisme) yang sangat halus, pembimbing rohani sangat diperlukan, agar salik dapat membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat, atau syaitan, atau dari jin, sehingga tidak tersesat dalam perjalanannya.

Pendapat Imam al-Ghazali, makrifat ialah mengetahui rahsia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya, mengenal segala yang ada. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahawa orang yang mempunyai makrifat tentang Tuhan, atau ‘arif, tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, kerana memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahawa Tuhan masih berada dibelakang tabir (berada ditempat yang jauh). Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata seperti itu. Makrifat bagi al-Ghazali juga mengandung erti memandang kepada wajah Tuhan. Namun bagi al-Ghazali makrifat itu lebih dahulu urutannya daripada mahabbah, kerana mahabbah timbul dari makrifat, dan mahabbah baginya bukan mahabbah sebagai yang diucapkan oleh Rabi’ah Adawiyah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, yaitu cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia, yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain.

Menurut al-Ghazali bahawa makrifat dan mahabbah adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperolehi dari makrifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Dan kebahagiaan yang sejati menurutnya ditemukan melalui makrifat. Makrifat atau ilmu sejati bukan di dapat semata-mata melalui akal atau panca indera. Ma’rifah itu sebenarnya adalah mengenal Tuhan (Hadrat Rububiyah), dengan kesenangan hati yang hanya di dapat setelah diperolehi pengetahuan yang belum diketahui. Jalan makrifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ainul Yaqin saja, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin.

Ukuran (standard) bagi seseorang telah mencapai derajat Makrifatullah atau belum, bukan dengan menggunakan standard rasional-intelektual atau standard empirisme (seperti kehebatan, kesaktian, kepiawaian berdakwah, kegeniusan atau pengetahuan). Tetapi dengan penguasaan wilayah kerohanian yang sangat halus dan suci, dimana logika-logikanya hanya bisa diterima dengan mukasyafah kalbu atau hati. Lebih lanjut Al-Ghazali berbicara tentang teori kebahagiaan. Menurutnya bahawa kebahagiaan itu ada 2 macam, yaitu: lazat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Dengan bertambah banyak yang diketahui, bertambah pula kepuasan dan kebahagiaan, itulah sebabnya orang yang lebih luas ilmunya pastilah lebih merasa berbahagia daripada orang yang kurang ilmu. (Tn. Hj. Ir Alias Hashim Asy-Syattari). 

No comments:

Post a Comment