Syekh Ibnu Atha'illah As-Sakandari adalah tokoh sufi yang berjasa besar bagi dunia tasawuf hingga hari ini. Karyanya yang berjudul "Al-Hikam" adalah magnum opus-nya yang sangat populer di seluruh dunia. Tokoh dan pewaris Tarekat As-Sadziliyah ini karya-karyanya banyak dipelajari tidak hanya bagi jamaah tarekatnya, namun juga menjadi rujukan tarekat yang lain. Syekh Ibnu Atha'illah berhasil menampilkan sosok tarekat dan tasawuf yang moderat, ramah, santun, dan rahmatan lil 'alamin.
Berikut adalah beberapa pokok pemikiran Syekh Ibnu Atha'illah yang tertuang dalam karya-karyanya:
Pertama, Syekh tidak menganjurkan murid-muridnya untuk meninggalkan pekerjaan atau profesi dunia mereka. Baginya, pakaian, makanan, dan kendaraan hanyalah alat dan kebutuhan hidup di dunia. Sepanjang dapat digunakan di jalan Allah, mampu bersikap sederhana, dan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat-Nya maka pekerjaan yang halal harus tetap dijalankan. Syekh Ibnu Atha'illah mengatakan, "Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya."
Kedua, seorang salik harus dan wajib mengamalkan syari’at Islam. Ibnu Atha'illah sejalan dengan ajaran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Imam Al-Ghazali, Imam Junaed Al-Baghdadi, dan pendahulnya yang lain, yakni ajaran tasawuf yang berasas kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada pendidikan ruhani, pelurusan tauhid, penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), dan bimbingan akhlakul-karimah.
Ketiga, menurut Syekh Ibnu Atha'illah, sikap zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia, sebab zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah. Dunia yang harus dijauhi, dibenci dan dihindari adalah dunia yang melalaikan, melengahkan kalbu dan memperbudak manusia. Tidak boleh terjerumus dan tergoda laku syahwat, berlebih-lebihan, kikir, riya, dan hawa nafsu serakah. Menurut Syekh, "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan kita kepada Allah SWT. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi."
Keempat, menjadi sufi tidak harus menjadi miskin dunia. Para salik boleh menjadi miliuner dengan syarat kalbunya tidak bergantung pada harta benda. Tidak berharap pada makhluk. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, tapi tidak melalaikan-Nya dan tidak boleh menjadi hamba dunia. Tak bersedih kehilangan harta dan tak mabuk ketika mendapatkannya.
Kelima, memiliki tanggung jawab kepada umat, bermanfaat dan maslahat bagi sesama. Seorang salik harus rahmatan lil-alamiin. Ikut melakukan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, aktif dalam ranah pendidikan, pengetahuan dan akhlak.
Keenam, bagi Syekh Ibnu Atha'illah tasawuf adalah olah batin atau latihan-latihan jiwa untuk ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Menurutnya, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, selalu melaksanakan perintah-Nya, bisa menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya. Tasawuf menurut beliau dapat diperoleh dengan dua jalan, yakni:
Pertama mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; Kedua, makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui mujahadah, kerja keras dan sungguh-sungguh, melalu riyadhah, memperbanyak zikir dan selawat nabi, puasa, shalat sunnah dan keutamaan ibadah lainnya. (Catatan rujukan: Al-Hikam, Taj Al-Arus, Bahjatun Nufus, Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad).
No comments:
Post a Comment