Menurut Syekh Ibnu Atha'ilah, boleh jadi ketika seorang hamba diam tak berdzikir, kalbu yang bertempat di dadanya akan segera bergerak meminta dzikir seperti gerakan anak di perut ibunya. Kalbu manusia ibarat Isa ibn Maryam as., sementara dzikir adalah susunya. Ketika besar dan kuat, ia akan menangis dan berteriak kerana rindu pada dzikir dan objeknya (Allah).
Dzikir kalbu ibarat suara lebah. Ia tidak terlalu nyaring dan menganggu, tetapi tidak pula terlalu samar tersembunyi. Ketika objek dzikir (Allah) sudah bersemayam dalam kalbu dan dzikir itu menjadi samar dan tak tampak, maka sang pendzikir takkan lagi menoleh pada dzikir dan kalbu. Tapi, kalau ia masih menoleh pada dzikir atau pada kalbunya, bererti masih ada hijab. Keadaan saat seseorang tidak lagi memperhatikan dzikir dan kalbunya disebut keadaan fana. Dalam keadaan seperti itu, ia melenyapkan dirinya sehingga tak lagi merasakan keberadaan anggota tubuhnya dan sifat-sifat dirinya lagi, mahupun hal-hal lain di luar dirinya, ataupun lintasan-lintasan jiwanya.
Semua itu ghaib dari dirinya dan dirinya juga ghaib dari semua itu untuk bergegas menuju Tuhan lalu lenyap di dalam-Nya. Seandainya masih terbersit dalam benaknya bahawa ia sedang dalam keadaan fana bererti suasana fananya masih bercampur noda dan belum sempurna. Yang sempurna adalah kalau ia telah fana dari dirinya sendiri dan fana dari kefanaannya. Jalan pertama yang harus dilalui seorang salik adalah pergi menuju Allah. Sebab, petunjuk hanya milik Allah. Seperti dikatakan Nabi Ibrahim as., “Aku pergi menghadap kepada Tuhanku. Dialah yang akan memberi petunjuk kepadaku.” (Q.S. al-Shaffat [37]: 99). Ketika pergi menuju Allah telah mantap dan berlangsung secara berterusan sampai menjadi kebiasaan yang melekat kuat, naik mikrajlah ia menuju alam yang paling tinggi seraya menyaksikan hal hakiki yang paling suci.
Gambaran alam Malaikat tertanam kuat dalam dirinya dan kesucian dialam Lahut tampak jelas di hadapannya. Hal pertama yang tampak di alam tersebut adalah substansi malaikat serta alam roh para Nabi dan Wali-Wali dalam bentuk yang sangat indah. Dengan perantaraannya, ia bisa mengetahui berbagai hakikat yang ada. Itulah yang terdapat di awal perjalanan sampai pada tingkatan yang sulit digambarkan. Dalam segala sesuatu al-Haq tampak secara jelas. Inilah hasil dari esensi dzikir.
Tahap pertama adalah dzikir lisan. Kemudian dzikir kalbu yang cenderung diupayakan dan dipaksakan. Selanjutnya, dzikir kalbu yang berlangsung secara sempurna, tanpa perlu dipaksakan lagi. Serta yang terakhir adalah ketika Allah sudah berkuasa di dalam kalbu serta sirnanya dzikir itu sendiri. Inilah rahsia dari sabda Nabi saw., “Siapa ingin bersenang-senang di taman syurga, perbanyaklah mengingat Allah.” Juga sabda Nabi saw., “Dzikir diam (khafiy) tujuh puluh kali lebih utama daripada dzikir yang terdengar oleh para malaikat pencatat amal”. (Syekh Ibnu Atha’illah dalam Miftah al-Falah wa Misbah, Tn. Ir Alias Hashim Asy-Syattariyyah).
No comments:
Post a Comment