(Mawlana Syaikh HishamKabbani qs, Dari Buku Silsilah Rantai Emas Naqshbandi Haqqani). Bismillahir Rohmaanir Rohim. Syaikh `Abdullah Faiz ad-Daghestani bercerita dalam sebuah insiden penembakan yang terjadi selama pengabdian beliau dalam kemiliteran Ottoman. Suatu hari ada serangan dari musuh dan kami, 100 orang tertinggal dibelakang untuk mempertahankan wilayah perbatasan. Aku adalah seorang penanda yang ulung, mampu memukul sebuah ancaman dari jarak jauh. Kami tidak mampu mempertahankan posisi kami di bawah serangan yang tajam. Aku merasakan sebuah peluru menembus jantungku, aku pun terjatuh di tanah.
Ketika aku terbaring sekarat, aku melihat Nabi Muhammad s.a.w menghampiriku. Beliau berkata, ”Oh anakku, engkau ditakdirkan untuk meninggal di sini, namun kami masih memerlukanmu di bumi ini, baik secara spiritual maupun fisik. Aku datang padamu untuk menunjukkan bagaimana seorang manusia meninggal dan bagaimana malaikat mengambil nyawa”. Beliau saw memberiku penglihatan di mana aku melihat rohku mulai meninggalkan tubuhku, dari sel ke sel, berawal dari ibu jari kakiku. Begitu kehidupan dilepaskan, aku dapat melihat berapa banyak sel-sel dalam tubuhku. Fungsi-fungsi setiap sel, dan penyembuh setiap penyakit dari setiap sel dan aku juga mendengar zikir di setiap sel tubuhku itu.
Begitu rohku mulai bergerak meninggalkan tubuh, aku mengalami apa yang orang rasakan ketika meninggal dunia. Aku dibawa melihat berbagai keadaan saat kematian: kepedihan, kemudahan, dan kematian yang sangat membahagiakan. Nabi Muhammad saw mengatakan, “Engkau termasuk orang yang meninggal dengan keadaan bahagia.” Aku menikmati kematian itu, karena hal itu membuatku memahami ayat Quran, ‘Kami adalah milik Allah, dan pada-Nya kami kembali‘ [2:156]. Penglihatan itu berlanjut sampai aku mengalami saat rohku sampai pada napas terakhir. Aku melihat malaikat maut datang dan mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan. Segala macam penglihatan bagi orang yang sedang sekarat aku alami, namun aku masih dalam keadaan hidup, sehingga aku dapat memahami rahasia segala tingkatan itu.
Aku melihat rohku memandang ke bawah pada jasadku, dan Nabi Muhammad saw mengatakan padaku, “Kemarilah!” Aku menemani Nabi saw dalam sebuah penglihatan akan ketujuh surga. Aku melihat apa pun yang Nabi saw inginkan aku melihatnya di dalam tujuh surga-surga itu. Beliau mengangkatku pada maqam kebenaran dimana aku melihat nabi-nabi, semua awliya, seluruh syuhada, dan kaum yang lurus imannya. Beliau mengatakan, “Oh anakku, sekarang aku akan membawamu melihat siksaan-siksaan neraka.“ Di sana aku melihat semua yang Nabi saw pernah sebutkan dalam hadis-hadis dan sabda beliau saw tentang siksaan-siksaan neraka. Aku pun berkata, “Ya Nabi, engkaulah yang dikirim sebagai wasilah bagi umat manusia, adakah cara agar mereka dapat terselamatkan?” Beliau menjawab, “Anakku, dengan syafaatku mereka dapat terselamatkan. Aku menunjukkan padamu, takdir dari kaum yang aku tidak mempunyai kekuatan untuk campur tangan atas mereka.”
Nabi saw berkata, “Anakku, kini aku kembalikan kamu ke dunia dan ke dalam tubuhmu.” Begitu Nabi Muhammad saw mengatakan hal itu, aku melihat ke bawah di mana terlihat tubuhku telah membengkak. Aku pun berkata pada Nabi saw, “Ya Nabi Allah, lebih baik aku di sini bersamamu. Aku tidak mau kembali. Aku bahagia bersamamu dalam Hadirat Ilahi. Lihatlah dunia itu. Aku sudah pernah di sana dan sekarang aku telah meninggalkannya. Mengapa harus kembali? Lihat, tubuhku sudah membengkak.” Nabi saw menjawab, “Oh anakku, engkau harus kembali. Itulah tugasmu.” Atas perintah Nabi saw, aku kembali pada tubuhku, meskipun aku tidak menginginkannya. Aku melihat peluru telah menyatu dalam daging, dan pendarahan telah berhenti. Begitu aku memasuki tubuhku, dengan lembut penglihatan itu pun berakhir. Aku melihat para dokter di medan peperangan sedang mencari mereka yang masih hidup di antara yang telah gugur. Salah seorang berteriak, “Yang itu masih hidup!” Aku terlalu lemah untuk bergerak atau pun berbicara, sampai aku menyadari bahwa tubuhku telah tergeletak di sana selama 7 hari. Mereka membawa dan merawatku, sampai kesehatanku pulih.
Mereka mengembalikanku pada pamanku. Begitu aku bertemu Syaikh Sharafudin qs pamanku, beliau mengatakan, “Ohanakku, apakah kamu menikmati kunjunganmu?” Aku tidak menjawab “Ya” ataupun “Tidak” karena aku tidak tahu yang mana yang dimaksud pamanku, kunjungan kemiliteran atau kunjungan bersama Nabi saw. Kembali beliau bertanya, “Oh anakku, apakah kamu menikmati kunjunganmu bersama Nabi saw?“ Aku pun sadar bahwa beliau mengetahui segala hal yang telah terjadi padaku. Aku pun langsung menghampirinya dan mencium tangan beliau sambil berkata, “Oh syaikhku, aku harus mengakui bahwa aku tidak ingin kembali. Namun Nabi saw mengatakan bahwa itulah tugasku.”
Ketika Syaikh Abdullah qs Wafat Meninggalkan Kehidupan ini. Suatu hari pada tahun 1973 beliau mengatakan, “Nabi Muhammad saw memanggilku. Aku harus pergi dan menjumpai beliau. Beliau mengatakan, ‘Engkau akan datang padaku setelah menjalani operasi mata,’” dan memang mata kiri beliau tidak begitu baik. Beliau sudah memberi tanda pada kami bahwa beliau akan meninggalkan kami, namun kami tidak mampu menangkapnya. Beliau hidup di dalam kami dan hidup dalam setiap orang yang pernah mengenalnya, bahkan kucing-kucing yang selalu berada di sekitar beliau. Setelah beliau pergi untuk operasi mata, beliau tidak mau makan. Kami memohon beliau untuk makan, namun beliau menolaknya dengan mengatakan, “Aku sedang berada dalam khalwat penuh, karena Nabi saw sedang memanggilku.” Beliau hanya berkenan menerima roti kering yang dilembutkan dalam air, sekali sehari. Beliau berkata, “Aku tak mau hidup lebih lama lagi. Aku ingin bergabung dengan Nabiku saw dan bersama beliau. Beliau sedang memanggilku, Tuhan sedang memanggilku.”
Hal ini seperti hantaman kilat bagi kami, namun kami tidak mempercayainya. Beliau kemudian menulis sebuah wasiat yang menyatakan, “Hari Minggu yang akan datang, aku akan wafat.“ Berarti tanggal 30 September1973 atau tanggal 4 Ramadhan 1393 H. Semua orang terpukul dan takut menghadapi hari itu apakah ramalan beliau akan terjadi. Saat itu pukul sepuluh, hari Minggu, tepat di saat yang beliau ramalkan, kami semua duduk di kamar beliau. Syaikh `Abdullah berkata padaku, ”Rasakan detak jantungku.” Aku pun memeriksa nya dan hasilnya lebih dari 150. Lalu beliau mengatakan, “Oh anakku, ini adalah detik-detik terakhir hidupku. Aku ingin sendirian. Semua harus pergi keruang rapat.” Hanya tersisa 10 orang dalam kamarnya. Dua orang dokter datang, salah satunya adalah kakakku dan satunya teman kami. Mereka berdua adalah ahli bedah. Grandsyaikh Abdullah qs tidak ingin yg lain kecuali saudara beliau yg ada dalam kamarnya.
Kami mendengar putri Grandsyaikh menjerit, “Ayahku telah wafat, ayahku telah wafat.” Kami berlarian menuju kamar beliau dan melihat Grandsyaikh sudah tidak bergerak lagi. Dengan cepat kakakku memeriksa detak jantung dan tekanan darahnya, namun tidak lagi terdeteksi. Dia berlari dengan histeris menuju mobil untuk mengambil sebuah alat penyemprot dan obat, lalu kembali lagi. Dia masuk lagi dengan sikap yang sama, ingin menyuntik Syaikh di dadanya dan kembali memompanya. Dokter yang lain mengatakan, “Apa yang kamu lakukan? Syaikh sudah meninggal 7 menit yang lalu. Hentikan ketololanmu.” Namun kakakku tetap bersikeras melakukannya. Dan kemudian Grandsyaikh membuka mata beliau, mengangkat tangan dan berkata dalam bahasa Turki, “Burak!” yang berati “Hentikan!” Setiap orang terkejut. Tidak pernah sebelumnya mereka mendengar mayat bisa berbicara. Aku tidak akan melupakan hal ini sepanjang hidupku. Semua yang hadir, para profesor dan dokter pun tak pernah melupakannya. Setelah itu baru kakakku meletakkan peralatannya kembali. Kami hanya berdiri dalam keadaan takjub. Beliau sudah meninggal atau belum?
Apakah beliau hanya menyembunyikan diri sementara untuk kemudian kembali lagi? Itulah rahasia yang Tuhan anugerahkan pada Kekasih2nya dan para Awliya yg bepergian dalam Kerajaan-Nya, dalam Cinta-Nya, di dalam Rahasia2Nya. Hari ini menjadi hari yang tak pernah terlupakan. Berita duka cita itu tersebar laksana tornado yang dahsyat, berputar dengan cepat melalui Damaskus, Aleppo, Jordan, Beirut. Pelayat datang dari berbagai penjuru untuk melihat beliau terakhir kalinya. Kami memandikannya, dan dari jasad sucinya tercium wangi. Kami menyiapkan beliau dalam salat janazah dan pemakaman keesokan harinya. Seluruh ulama Damaskus hadir dalam pemakaman itu. Empat ratus ribu orang turut dalam salat jenazah untuk beliau. Penduduk berbaris di sepanjang rumah sampai masjid Ibnu Arabi, di mana beliau dibaringkan.
Ketika kami kembali ke rumah beliau setelah salat jenazah, kami melihat peti mati meluncur di antara kepala-kepala para pelayat tanpa ada bantuan siapa pun, bergerak dari masjid beliau menuju pemakaman. Butuh waktu 3 jam untuk kembali dari masjid Muhyiddin Ibnu Arabi menuju masjid Grandsyaikh, padahal biasanya hanya ditempuh dalam waktu 20 menit. Hal ini disebabkan besarnya kerumunan para pelayat di jalanan. Semua orang menangis, mereka tidak menginginkan Grandsyaikh Abdullah qs dikubur. Tidak seorang pun yang mempercayainya dan mau menerimanya. Hal itu cukup membuat kami mengingat keadaan para Sahabat ketika ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw. Kami memahami mengapa Umar ra, Utsman ra, dan`Ali ra tidak mampu menerima ketika Nabi Muhammad saw telah meninggal dunia. Kami mengalami keadaan itu, dan kami membayangkan bagaimana bisa Abu Bakar ra menanggung perasaan itu.
Semua pejabat pemerintahan dan para ulama datang kemasjid menunggu pemakaman beliau. Tiba-tiba tidak tahu asalnya sebuah pesan disampaikan pada imam yangmengatakan bahwa, “Jangan mengubur Grandsyaikh Abdullah Faiz ad-Daghetsani qs sampai Syaikh Nazhim tiba.” Tak seorang pun percaya akan pesan itu, karena tidak ada cara untuk mengontak Syaikh Nazhim yang sedang berada di Siprus. Tidak ada telepon, mesin faks, ataupun telegram ssat itu, yang memakan waktu 2 hari. Tidak ada yg percaya bahwa pesan itu adalah nyata. Namun karena cinta kami pada syaikh, kami bahagia utk menunda pemakaman itu dan menunggu sampai Syaikh Nazhim datang.
Saat itu adalah bulan Ramadhan, semua orang berpuasa. Para ulama dan kerumunan tidaklah surut. Ada yang ingin pulang, kami mengatakan bahwa mereka bebas untuk kembali, namun kami tetap akan menunggu. Setelah beberapa waktu menunggu, dan hanya pengikut beliau yang paling setia yang masih tersisa. Sebelum matahari terbenam, Syaikh Nazhim menaiki tangga. Bagaimana beliau tiba dengan tiba-tiba tidak seorang pun tahu. Masih menjadi misteri sampai saat ini. Syaikh Nazhim membawa jasad Grandsyaikh Abdullah qs kemasjid dan kembali melakukan salat untuk beliau. Syaikh Nazhim menguburkan jasad Syaikh `Abdullah dengan tangan beliau sendiri. Ketika beliau mengusap debu diwajahnya, kami mencium wangi cendana, amber, musk yang tidak biasa kami cium sebelumnya. Syaikh Nazhim meminta kami semua untuk naik dan berbuka puasa. Hanya aku dan kakakku yang tetap tinggal, melihat dari jendela untuk melihat apa yang terjadi.
Syaikh Nazhim berdiri di pusara makam, seperti sedang salat. Dan hanya dengan kedipan mata, Syaikh Nazhim menghilang. Peristiwaini semakin memberi kami kejutan setelah berbagai kejutan yang terjadi. Tak ada kata yang mampu kami ucapkan. Limabelas menit lewat dan tiba-tiba kami melihat Syaikh Nazhim muncul kembali di tempat beliau menghilang. Kami berlari ke pintu begitu Syaikh Nazhim keluar. Beliau berkata, “Mengapa kalian masih di sini? Belum berbuka puasa? Baiklah, lebih baik temani aku!” Kami pun turun dan berbuka puasa bersama beliau. Syaikh Nazhim kembali ke Beirut malam itu juga, dan naik pesawat menuju Siprus. Wamin Allah at Tawfiq.
No comments:
Post a Comment