(Rasulullah s.a.w mengerjakan haji hanya sekali sahaja seumur hidup Baginda).
Pada bulan Zulkaedah 6 Hijrah (April 628), Nabi Muhammad s.a.w bermimpi menunaikan umrah ke Mekah, lalu mengajak para sahabat untuk menunaikan mimpi tersebut. Maka Rasulullah s.a.w berserta sekitar 1500 sahabat berangkat menuju Mekah, mengenakan pakaian ihram dan membawa haiwan-haiwan qurban. Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalang-halangi, sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Mekah.
Kaum Quraisy mengutus Suhail bin Amr untuk berunding dengan Rasulullah s.a.w. Suhail mengusulkan kesepakatan genjatan senjata antara Mekah dan Madinah, serta kaum Muslimin harus menunda umrah (kembali ke Madinah) tetapi tahun depan diberikan kebebasan melakukan umrah dan tinggal selama tiga hari di Mekah. Di luar dugaan para sahabat, ternyata Rasulullah s.a.w menyetujui usul Suhail itu. Sepintas lalu isi perjanjian kelihatannya merugikan kaum Muslimin, tetapi secara politis sangat menguntungkan. "Perjanjian Hudaibiyah" merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam, sebab untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Mekah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.
Ketika Rasulullah s.a.w dan rombongan pulang kembali ke Madinah, turunlah wahyu Allah dalam Surah Al-Fath ayat 27: "Sungguh Allah membenarkan mimpi rasulNya dengan sebenar-benarnya, bahawa kamu sekalian pasti akan memasukki Masjidil Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (tahallull) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat!” Sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Zulkaedah 7 Hijrah atau Mac 629) Rasulullah s.a.w beserta para sahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah.
Ketika rombongan Nabi yang berjumlah sekitar 2000 orang memasuki pelantaran Kaabah untuk melakukan tawaf, orang-orang Mekah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak-teriak bahawa kaum Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah s.a.w bersabda kepada jemaah Baginda, "Marilah kita tunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan tawaf dengan berlari!”
Sesudah mencium Hajar Aswad, Rasulullah s.a.w dan para sahabat memulai tawaf dengan berlari-lari mengelilingi Kaabah, sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat, setelah orang-orang yang di atas bukit Qubais pergi, Rasulullah s.a.w mengajak para sahabat berhenti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunnah tawaf di kemudian hari: bahu kanan yang terbuka (idtibak) serta berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama khusus pada tawaf yang pertama.
Selesai tujuh putaran, Rasulullah s.a.w solat dua rakaat di Maqam Ibrahim, kemudian minum air zamzam. Sesudah itu Rasulullah s.a.w melakukan saie antara Safa dan Marwah, dan akhirnya melakukan tahallul (menghalalkan kembali larangan-larangan ihram) dengan mencukur kepala beliau.
Ketika masuk waktu zohor, Rasulullah s.a.w menyuruh Bilal bin Rabah naik ke atap Kaabah untuk melaungkan azan. Suara azan Bilal bergema ke segenap penjuru, sehingga orang-orang Mekah berkumpul ke arah 'suara aneh' yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang solat berjamaah. Hari itu, 17 Zulkaedah 7 Hijrah (17 Mac 629M), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Mekah dan Nabi Muhammad s.a.w menjadi imam solat di depan Kaabah!
Rasulullah s.a.w dan para sahabat, sesuai dengan Perjanjian Hudaibiyah, hanya tiga hari berada di Mekah, kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi kegiatan kaum Muslimin di Mekah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tidak lama sesudah itu, tiga orang terkemuka Quraisy, iaitu Khalid bin Walid, Amru bin Ash dan Utsman bin Thalhah, menyusul hijrah ke Madinah dan memeluk Islam.
Di kemudian hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (634-644M), Khalid bin Walid memimpin pasukan Islam membebaskan Syria dan Palestin serta Amru bin Ash membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi. Adapun Utsman bin Thalhah dan keturunannya diberi kepercayaan oleh Rasul untuk memegang kunci Kaabah. Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Kaabah silih berganti sampai Dinasti Saudi sekarang, kunci Kaabah tetap dipegang oleh keturunan Utsman bin Thalhah dari Bani Syaibah.
Beberapa bulan sesudah Rasulullah s.a.w berumrah, kaum Quraisy melanggar perjanjian genjatan senjata, sehingga pada 20 Ramadan 8 Hijrah (11 Januari 630M) Rasulullah s.a.w berserta 10 ribu pasukan menaklukkan Mekah tanpa pertumpahan darah. Rasulullah s.a.w memberikan pengampunan kepada seluruh warga Mekah yang dahulu memusuhi kaum Muslimin. "Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang di antara para penyayang," demikian sabda Rasulullah s.a.w mengutip ucapan Nabi Yusuf a.s yang tercantum dalam Surat Yusuf 92.
Kesucian hati Rasulullah s.a.w yang tanpa rasa dendam ini menyebabkan seluruh orang Quraisy masuk Islam. Turunlah Surat An-Nasr: "Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan, engkau melihat manusia masuk kepada agama Allah berbondong-bondong. Sucikan dan pujilah Tuhanmu serta memohon ampunlah padaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat." Setelah menerima ayat ini, Rasulullah s.a.w pada rukuk dan sujud dalam solat mengucapkan Subhanakallahumma rabbana wa bihamdika, allahummaghfirli (Maha Suci Engkau, Ya Allah Tuhan kami, dan pujian bagiMu. Ya Allah, ampunilah aku).
Rasulullah s.a.w segera memerintahkan pemusnahan berhala-berhala di sekeliling Kaabah serta membersihkan ibadah haji dari unsur-unsur kemusyrikan dan mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim yang asli. Pada tahun 8 Hijrah itu Rasulullah melakukan umrah dua kali, iaitu ketika menaklukkan Mekah serta ketika beliau pulang dari Perang Hunain. Ditambah dengan umrah tahun sebelumnya, berarti Rasulullah sempat melakukan umrah tiga kali, sebelum beliau mengerjakan ibadah haji tahun 10 Hijrah.
Pada bulan Zulhijjah 9 Hijrah (Mac 631M), Rasulullah s.a.w mengutus sahabat Abu Bakar Shiddiq untuk memimpin ibadah haji. Rasulullah sendiri tidak ikut lantaran sedang menghadapi Perang Tabuk melawan pasukan Romawi. Abu Bakar Shiddiq mendapat perintah untuk mengumumkan Dekrit Rasulullah, berdasarkan firman Allah dalam At-Taubah ayat 28 yang baru diterima Nabi, bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjidil Haram dan menunaikan ibadah haji, karena sesungguhnya mereka bukanlah penganut ajaran tauhid dari Nabi Ibrahim a.s.
Pada tahun 10 Hijrah (631/632 M) Semenanjung Arab telah dipersatukan di bawah kekuasaan Nabi Muhammad s.a.w yang berpusat di Madinah, dan seluruh penduduk telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syahwal 10 Hijrah (awal tahun 632M) Rasulullah s.a.w mengumumkan bahwa beliau sendiri akan memimpin ibadah haji tahun itu. Berita ini disambut gembira oleh seluruh umat dari segala penjuru, sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasulullah s.a.w dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tatacara) haji.
Rasulullah s.a.w berangkat dari Madinah sesudah solat Jumaat tanggal 25 Zulkaedah 10 Hijrah (21 Febuari 632M), mengendarai unta beliau Al-Qashwa, dengan diikuti sekitar 30,000 jamaah. Seluruh isteri beliau ikut serta, dan juga puteri beliau Fatimah. Sesampai di Zulhulaifah yang hanya belasan kilometer dari Madinah, rombongan singgah untuk istirahat dan mempersiapkan ihram. Di sini istri Abu Bakar Shiddiq, Asma melahirkan putra yang diberi nama Muhammad. Abu Bakar berniat mengembalikannya ke Madinah tetapi Rasulullah s.a.w mengatakan bahwa Asma cukup mandi bersuci, lalu memakai pembalut yang rapi, dan dapat melakukan seluruh manasik haji. Muhammad bin Abu Bakar yang lahir di Zulhulaifah itu kelak menjadi Gabenor Mesir pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib (656-661M).
Keesokan harinya, Sabtu 26 Zulkaedah (22 Februari), setelah semuanya siap untuk berihram, Rasulullah s.a.w menaiki unta kembali, lalu bersama seluruh jamaah mengucapkan: Labbaik Allahumma Hajjan (Inilah saya, Ya Allah, untuk berhaji). Tidak ada yang berniat umrah, sebab menurut tradisi saat itu umrah hanya boleh di luar musim haji. Tiga cara haji (Tamattuk, Ifrad dan Qiran) yang kita kenal sekarang baru diajarkan Rasulullah s.a.w di Mekah lapan hari berikutnya. Rombongan menuju Mekah dengan tiada henti mengucapkan talbiyah. Pada Sabtu 3 Zulhijjah (29 Febuari), mereka tiba di Sarif, 15 km di utara Mekah, kemudian beristirehat. Aisyah, isteri Nabi, kedatangan masa haidnya, sehingga dia menangis karena takut tidak dapat menunaikan haji. Rasulullah menghiburnya, "Sesungguhnya haid itu ketentuan Allah untuk puteri-puteri Adam. Segeralah mandi dan engkau dapat melakukan semua manasik haji, kecuali tawaf sampai engkau suci.”
Pada Ahad 4 Zulhijjah (1 Mac) pagi, Rasulullah s.a.w dan rombongan memasuki Mekah. Di sana sudah menunggu puluhan ribu umat yang datang dari berbagai penjuru, dan jumlah keseluruhan jemaah haji mencapai lebih dari 100,000 orang. Rasulullah s.a.w memasuki Masjidil Haram melalui gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam (Pintu Kedamaian) di samping telaga Zamzam di belakang Maqam Ibrahim. Perlu diketahui bahwa yang disebut "Masjidil Haram" saat itu adalah lapangan tempat solat dan tawaf (secara harfiah, masjid artinya 'tempat sujud'), sedangkan bangunan masjid baru dirintis oleh Khalifah Umar bin Khattab (634-644M), lalu mengalami perluasan dari masa ke masa sehingga akhirnya megah seperti sekarang.
Juga perlu dijelaskan bahwa Rasulullah s.a.w tidak pernah memerintahkan masuk masjid harus dari gerbang Banu Syaibah atau Bab as-Salam. Beliau masuk pintu itu karena memang datang dari arah utara! Gerbang yang dimasuki Nabi itu kini tidak ada lagi. Ketika pada tahun 1957 Masjid al-Haram diperluas sehingga tempat saie termasuk Safa dan Marwah menjadi bahagian masjid, pemerintah Arab Saudi membuat banyak pintu. Dua pintu di antaranya diberi nama Pintu Banu Syaibah dan Pintu Bab as-Salam. Sekarang banyak jemaah haji berusaha masuk Masjid al-Haram dari Pintu Bab as-Salam ‘made in Saudi’ ini dengan anggapan melaksanakan Sunnah Nabi.
Pada awal setiap putaran tawaf, jemaah haji disunnahkan untuk memberikan penghormatan (istilam) kepada Hajar Aswad di sudut tenggara Kaabah.
Rasulullah s.a.w memberikan empat cara istilam tersebut. Ketika umrah pertama kali tahun 7 Hijrah, beliau mengucup Hajar Aswad. Ketika penaklukan Mekah tahun 8 Hijrah, beliau menyentuhkan hujung tongkat ke Hajar Aswad dari atas unta. Ketika umrah saat pulang dari Hunain, Hajar Aswad beliau usap dengan tangan kanan. Ketika beliau haji tahun 10 Hijrah, beliau hanya melambaikan tangan dari jauh ke arah Hajar Aswad. Cara terakhir ini sangat praktis dan paling afdal. Tetapi banyak jemaah haji sekarang yang berusaha keras untuk mengucup Hajar Aswad. Hanya karena terlalu mengejar, mereka rela melakukan yang haram (menyakiti sesama jemaah) untuk mengejar yang sunnah!
Rasulullah s.a.w melakukan tawaf tujuh putaran. Ummu Salamah, salah seorang istri beliau, bertawaf dengan ditandu sebab sedang sakit. Setiap melewati Rukun Yamani Rasulullah s.a.w cuma mengusapnya dengan tangan. Antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad beliau mengucapkan doa paling terkenal:
Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina azaa ban nar (Ya Tuhan kami, berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari azab neraka).
Setelah selesai tujuh putaran, beliau solat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, kemudian pergi ke telaga Zamzam. Beliau minum air Zamzam dan membasahi kepala beliau.
Sesudah itu Rasulullah s.a.w menuju bukit Safa untuk memulai saie. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap Kaabah, bertakbir tiga kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwah, dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil. (Kini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau. Sebagai catatan, jarak dari Safa ke Masil 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil 80 meter, dan dari Bait Aqil ke Marwah 240 meter.) Sesampai di Marwah Rasulullah s.a.w melakukan apa yang beliau kerjakan di Safa. Demikianlah berulang alik sebanyak tujuh kali.
Setelah selesai saie, Rasulullah s.a.w di Marwah mengarahkan sesuatu yang mengejutkan para sahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya: beliau memerintahkan seluruh sahabat yang tidak membawa hadyu (haiwan korban) agar mengubah niat haji menjadi umrah, padahal selama ini umrah hanya dilakukan di luar musim haji! Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebahagian besar jemaah haji yang tidak membawa hadyu dapat bertahallul (bebas dari larangan ihram) dan baru berihram lagi untuk haji tanggal 8 Zulhijjah. Oleh karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada Hari Nahar (10 Zulhijjah) atau Hari-Hari Tasyriq (11-13 Zulhijjah) mereka harus menyediakan haiwan untuk dijadikan hadyu. Inilah yang kelak dikenal sebagai Haji Tamattuk, ertinya 'bersenang-senang', sebab masa berihram hanya beberapa hari saja.
Pada mulanya para shahabat ragu-ragu melaksanakan perintah Nabi s.a.w karena "umrah di musim haji" belum pernah ada, apalagi Nabi sendiri ternyata tidak bertahallul! Melihat keraguan para shahabat, Rasulullah s.a.w bersabda, "Seandainya aku tidak membawa hadyu, aku pun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku membawa hadyu, sehingga aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyuku." Ada juga shahabat yang kehairanan dan bertanya, "Tahallul untuk apa saja, Ya Rasulullah?" "Tahallul untuk semuanya!" jawab Nabi.
Kemudian Rasulullah s.a.w mengeluarkan perintah: Dakhalatil umratu ilal hajji abadan abadan ("Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya"). Ertinya, sejak saat itu umrah dapat dikerjakan di musim haji, bahkan menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari ibadah haji! Mendengar penegasan Rasulullah s.a.w, para shahabat yang sebahagian besar tidak membawa hadyu mengubah niat haji menjadi umrah, lalu bertahallul secara beramai-ramai. Hanya Rasulullah s.a.w dan sebagian kecil sahabat yang terus berihram (tidak bertahallul) sebab mereka membawa hadyu.
Sejak hari itu, 4 Zulhijjah 10 Hijrah, mulailah diperkenalkan tiga cara ibadah haji. Pertama, Haji Tamattuk atau 'bersenang-senang' (umrah dulu, baru haji) bagi mereka yang tidak membawa hadyu. Kedua, Haji Ifrad atau 'sendiri' (haji dulu, baru umrah) bagi penduduk Mekah yang membawa hadyu. Ketiga, Haji Qiran atau 'gabungan' (haji dan umrah langsung digabungkan) bagi bukan penduduk Mekah yang membawa hadyu. Cara terakhir inilah, iaitu Haji Qiran, yang dikerjakan Rasulullah s.a.w. Sesudah mengerjakan haji, Rasulullah s.a.w tidak lagi melakukan umrah secara terpisah dan langsung kembali ke Madinah tanggal 14 Zulhijjah.
Perlu diketahui bahwa cara Haji Tamattuk bukanlah ilham Rasulullah s.a.w sendiri melainkan memang diperintahkan Allah sebagai keringanan bagi umatNya, melalui wahyu yang turun ketika Rasulullah s.a.w dan rombongan tertahan di Hudaibiyah tahun 6 Hijrah, tetapi baru pada tahun 10 Hijrah Rasulullah s.a.w berkesempatan menunaikan haji dan menerapkan pelaksanaannya.
Ayat perintah tamattuk itu kini tercantum dalam Al-Baqarah 196: tamatta`a bi l-`umrati ila l-hajj ("bersenang-senang dengan umrah ke haji") bagi mereka yang bukan penduduk Mekah,li man lam yakun ahluhu hadhiri l-masjidi l-haram ("bagi siapa yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjid al-Haram”).
Ketika Rasulullah s.a.w dan rombongan berangkat dari Zulhulaifah tanggal 26 Zulkaedah, semuanya berniat haji dan tidak seorang pun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah, istri Rasulullah s.a.w, di kemudian hari, "Kami keluar bersama Nabi s.a.w hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan tawaf dan saie('kami' di sini adalah jemaah haji, sebab Aisyah sedang haid), barulah Rasulullah s.a.w memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk bertahallul."
Keterangan Jabir bin Abdillah r.a., sahabat yang paling lengkap bercerita tentang kisah haji Rasulullah s.a.w, lebih tegas lagi, 'Kami bertujuan haji yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan umrah, sebab kami tidak mengenal umrah (lasna na`rifu l-`umrah)". Maksud Jabir tentu tidak mengenal "umrah di musim haji", sebab ketika rombongan berada di Zulhulaifah 'cara lama’ (umrah harus di luar musim haji) belum dihapuskan oleh Rasulullah s.a.w.
Rasulullah s.a.w sebagai seorang pemimpin yang bijaksana menunggu saat yang tepat untuk menerapkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 196, agar umat tidak terkejut dengan ‘cara baru’ (haji harus disertai umrah). Ketika Rasulullah s.a.w dan rombongan beristirehat di Sarif tanggal 3 Zulhijjah sebelum masuk Mekah, beliau mulai melakukan perubahan cara baru dengan mengumumkan kepada jemaah haji, "Barangsiapa yang mau menjadikannya umrah, jadikanlah hajimu menjadi umrah." Di sini Rasulullah s.a.w hanya mengumumkan, dengan kalimat 'siapa mau' (man sya’a).
Esok harinya, tanggal 4 Zulhijjah 10 Hijrah (1 Mac 632M), ketika semua jemaah haji dari berbagai penjuru sudah berkumpul di Mekah, serta jemaah telah santai karena sudah melaksanakan tawaf dan saie, barulah Rasulullah s.a.w mengeluarkan perintah cara Haji Tamattuk bagi mereka yang tidak membawa hadyu dan memerintahkan gabungan umrah ke dalam haji. Hal ini pun ternyata menimbulkan suasana heboh di kalangan para sahabat, sampai-sampai Rasulullah s.a.w sebagai manusia normal sedikit emosi melihat para sahabat pada awalnya enggan membetulkan niat haji menjadi umrah.
Dari huraian di atas jelaslah bahwa untuk jemaah haji negara kita yang sudah tentu bukan peribumi Mekah dan boleh dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah (jika ada yang berminat meniru Nabi membawa hadyu, alangkah sulitnya keadaan di kapalterbang, sehingga besar kemungkinan tidak diperkenankan oleh pihak syarikat penerbangan), tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah s.a.w untuk mengambil cara Haji Tamattuk. Hal ini berlaku baik bagi jemaah yang ke Madinah dahulu maupun bagi jemaah yang langsung ke Mekah.
Siang hari tanggal 4 Zulhijjah itu Rasulullah s.a.w mengajak Bilal bin Rabah sang muazzin dan cucu beliau, Usamah bin Zaid (putra anak angkat beliau, Zaid bin Harisah, yang syahid pada Perang Mu'tah tahun 7 Hijrah) untuk memasuki Kaabah, disertai oleh pemegang kunci Kaabah, Utsman bin Thalhah. Ketika pulang dari Kaabah dan menemui Aisyah, Rasulullah s.a.w berkata, "Wahai Aisyah, aku tadi melakukan apa yang sebaiknya tidak kulakukan, iaitu memasuki Kaabah. Aku takut di kemudian hari umatku yang berhaji tidak dapat masuk Kaabah lalu mereka kecewa. Padahal sesungguhnya kita hanya diperintahkan Allah untuk mengelilinginya, dan tidak diperintahkan memasukinya.”
Pada petang hari 4 Zulhijjah, Ali bin Abi Thalib r.a., saudara sepupu dan menantu Nabi s.a.w yang sejak bulan Ramadan beliau perintahkan memimpin pasukan ke Yaman, tiba di Mekah beserta rombongannya dengan berpakaian ihram. Jika rombongan Rasul mulai berihram di Zulhulaifah, maka rombongan Ali mulai berihram di Yalamlam. Setibanya di Mekah, Ali langsung menemui Fatimah. Ali yang belum mengetahui adanya ‘cara baru’ jelas terkejut melihat istrinya berpakaian bebas dengan rambut terurai. "Siapakah yang menyuruhmu bertahallul, Fatimah?" tegur Ali. "Ayahanda sendiri" jawab Fatimah, "isteri-isteri beliau pun semuanya diperintahkan melakukan tahallul."
Ali segera menemui Rasulullah s.a.w untuk meminta penjelasan. Setelah Rasulullah s.a.w menerangkan syariat Tamattuk, Ali memohon agar diperkenankan tidak bertahallul seperti Rasulullah. Maka Rasulullah s.a.w bersabda, "Kalau begitu kehendakmu, janganlah engkau mengakhiri ihrammu." Rasulullah lalu memberikan sebahagian haiwan hadyu beliau kepada Ali bin Abi Thalib.
Menjelang maghrib, Rasulullah s.a.w didatangi saudara sepupu beliau, Ummu Hani binti Abi Thalib (kakak perempuan Ali), yang menawarkan agar Rasulullah s.a.w tinggal di rumahnya. Namun Rasulullah s.a.w menjawab bahawa beliau ingin tetap bersama-sama dengan kebanyakan jemaah yang berdiam di khemah-khemah. Selama di Mekah Rasulullah s.a.w dan isteri-isteri Baginda tinggal di daerah Muhashshab.
Dari 5 sampai 7 Zulhijjah (2-4 Mac), Rasulullah s.a.w melakukan kegiatan-kegiatan: memimpin solat di Masjidil Haram, melakukan tawaf sunat dan solat sunat di Hijir Ismail. Meskipun dalam keadaan berihram, beliau menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah tempat lahir beliau di Suqal Layl dan berziarah ke kuburan isteri yang paling beliau cintai, Khadijah al-Kubra, yang terletak di Mala. Beliau juga menghapuskan kebiasaan aneh pada masa Jahiliyah: orang yang berihram tidak boleh memasuki rumah dari pintu, tetapi harus membuat lubang di belakang rumah atau masuk melalui atap. Tradisi yang entah dari mana asalnya ini dilarang oleh Nabi s.a.w berdasarkan perintah Allah dalam Al-Baqarah 189.
Pada hari Khamis 8 Zulhijjah (5 Mac), Rasulullah s.a.w memerintahkan jemaah yang memakai cara Tamattuk kembali mengenakan pakaian ihram dan menjauhi larangan-larangan ihram untuk memulai ibadah haji. Mereka yang memakai cara Ifrad atau Qiran, termasuk beliau sendiri, memang sudah dalam keadaan berihram sebab sesudah tawaf dan saie tanggal 1 Mac mereka tidak bertahallul. Manasik haji yang beliau terapkan di Arafah, Muzdalifah dan Mina sangat perlu kita cermati, sebab manasik ini merupakan 'cara baru' yang berbeza dengan 'cara lama' (cara Jahiliah), berdasarkan aturan Ilahi dalam Al-Baqarah 196-203 yang diwahyukan tahun 6 Hijrah dan baru sempat diterapkan pada ibadah haji Rasulullah s.a.w tahun 10 Hijrah.
Pada tanggal 8 Zulhijjah pagi, Rasulullah s.a.w berserta jemaah haji pergi menuju Mina (6 km dari Mekah) untuk mempersiapkan air, sebab mulai tanggal 10 Zulhijjah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari. Itulah sebabnya tanggal 8 Zulhijjah disebut Hari Tarwiyah (tarwiyah artinya ‘mempersiapkan air’).
Di zaman moden sekarang, meskipun air di Mina berlimpah sehingga para jemaah tidak perlu tarwiyah (mempersiapkan air), sebagian besar ulama tetap berpendapat bahwa pergi ke Mina tanggal 8 Zulhijjah merupakan sunnah haji yang sangat dianjurkan. Paling tidak, hal itu perlu kita lakukan untuk menjejakki sunnah perjalanan Rasulullah s.a.w ketika beliau menunaikan haji.
Pada hari Jumaat 9 Zulhijjah (6 Mac) sesudah matahari terbit, Rasulullah s.a.w dan seluruh jemaah haji berangkat menuju Arafah, 19 km dari Mina ke arah timur.
Ketika melewati Muzdalifah, kaum Quraisy berharap agar Rasulullah s.a.w berhenti, sebab selama ini kaum Quraisy selalu berwukuf di Muzdalifah sedangkan yang berwukuf di Arafah adalah mereka yang bukan suku Quraisy. Maka Rasulullah s.a.w memerintahkan agar seluruh jemaah haji tanpa kecuali kembali kepada syariat asli Nabi Ibrahim a.s untuk berwukuf di Arafah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 199: Afidhu min haitsu afadha n-nas ("Membanjirlah kamu dari tempat membanjirnya manusia”).
Sebelum masuk Arafah Rasulullah s.a.w singgah di Namirah, dan ketika masuk waktu zohor (matahari tergelincir ke barat) beliau pergi ke tengah Padang Arafah. Rasulullah s.a.w menghentikan unta beliau, di suatu tempat yang sedikit tinggi. Di samping beliau berdiri Rabiah bin Umayyah yang mempunyai suara keras dan lantang, dan ditugasi untuk menyambung suara Nabi agar jelas terdengar oleh puluhan ribu jemaah yang hadir.
Kemudian Rasulullah s.a.w memberikan khutbah yang isinya antara lain sebagai berikut: "Wahai manusia (Ya Ayyuhan Nas), dengarkanlah kata-kataku agar aku terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kamu di tempat wukuf ini sesudah tahun ini. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu darah sesamamu dan harta sesamamu sampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan Tuhanmu dan Dia pasti akan menanyai kamu tentang segala perbuatanmu."
"Wahai manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang itu kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis riba’ dihapuskan, dan kamu boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat zalim dan kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak boleh ada riba’ lagi, dan riba’ yang pertama kuhapuskan adalah riba’ dari Abbas bin Abdil-Muttalib seluruhnya. Semua pertumpahan darah di masa jahiliyah harus ditinggalkan tanpa balas dendam. Hutang darah yang pertama ku hapuskan adalah darah Rabiah bin Harits bin Abdul Muttalib yang dibunuh oleh Hudzail.”
"Wahai manusia, sesungguhnya syaitan telah putus asa untuk terus disembah-sembah di negerimu ini. Akan tetapi dia akan puas dengan ditaati dalam hal-hal selain itu, iaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu bahwa itu salah tetapi tetap kamu perbuat. Maka waspadalah terhadap syaitan dalam hal agamamu. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istri-istrimu dan mereka pun mempunyai hak terhadapmu. Bertakwalah kamu kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu sebab kamu telah mengambil mereka dengan amanat Allah."
"Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu sesuatu, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu sesuatu yang terang dan nyata: Kitab Allah dan Sunnah NabiNya. Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, dan tidaklah halal seseorang mengambil milik saudaranya kecuali dia memberikan dengan rela.”
"Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhanmu cuma satu, dan sungguh ayah kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari orang bukan Arab melainkan takwa.”
Di celah-celahan khutbah, Rasulullah s.a.w berulang kali bertanya kepada puluhan ribu umat yang hadir, "Wahai manusia, apakah aku telah menyampaikan?" Jemaah haji serentak menjawab, "Benar, telah engkau sampaikan." Maka Rasulullah s.a.w mengangkat tangan Baginda ke langit sambil berseru, "Allahumma, isyhad! Wahai Allah, saksikanlah!" Kemudian Rasulullah s.a.w menutup khutbah beliau dengan bersabda, "Hendaklah kamu yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga orang yang menyampaikan akan lebih dalam penghayatannya daripada yang sekadar mendengarkan. Berlimpahlah rahmat dan berkat Allah atas kamu sekalian.”
Selesai berkhutbah Rasulullah s.a.w turun dari unta, lalu memimpin solat zohor dan asar secara jamak dan qasar. Kemudian beliau menuju Sakhrat, batu karang di kaki bukit Jabal Rahmah.
Di sini Rasulullah s.a.w menerima wahyu Al-Ma’idah 3: Alyauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radhitu lakumul islama dina ("Hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku lengkapkan untukmu nikmatKu dan Aku redhakan bagimu Islam sebagai agamamu”).
Ketika Rasulullah s.a.w menyampaikan wahyu yang baru beliau terima kepada para sahabat, hanya Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar bin Khattab bertanya, "Apakah yang kau tangisi, wahai Abu Bakar? Bukankah kita seharusnya bergembira bahwa agama kita telah sempurna?" Abu Bakar menjawab, "Tidak terpikir olehmu, wahai anak Khattab, wahyu itu merupakan isyarat bahwa Rasulullah s.a.w mungkin cuma sebentar saja lagi akan bersama-sama dengan kita." (ini menunjukkan kebijaksanaan Abu Bakar melebihi sahabat yang lain).
Rasulullah s.a.w memerintahkan umatnya untuk tidak mensia-siakan waktu wukuf. "Haji itu di Arafah" sabda Baginda. "Allah mengutus para malaikat ke langit dunia untuk merakam segala permohonan anak cucu Adam yang wukuf di Arafah" Sambil menghadap kiblat, Rasulullah s.a.w dan para sahabat memuji dan mengagungkan Allah, berzikir dan berdoa memohon ampun atas segala dosa, membaca ayat-ayat Qur'an dan memperbanyak talbiyah.
Setelah matahari terbenam, Rasulullah s.a.w mengajak para jemaah haji untuk berangkat menuju Muzdalifah (Masyaril Haram), sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 198: Fa idza afadhtum min arafatin fa dzkurul laha indal masyaril haram ("Maka ketika kamu membanjir dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyaril Haram"). Rasulullah s.a.w mengajak Usamah bin Zaid untuk duduk di punggung unta baginda, Al-Qashwa. Di zaman jahiliyah sudah menjadi kebiasaan untuk secepat mungkin meninggalkan Arafah dengan setengah berlari. Maka Rasulullah s.a.w melarang cara yang tergopoh-gopoh ini. "Tenang, jangan bergegas. Hendaklah yang kuat diantara kamu membantu dan mengawasi yang lemah," demikian sabda Baginda.
Sesampai di Muzdalifah, yang berjarak 14 km dari Arafah, Rasulullah s.a.w dan rombongan menunaikan solat maghrib dan isyak secara jamak dan qasar. Rasulullah s.a.w dan sebagian besar jemaah haji bermalam di Muzdalifah, tetapi beliau mengizinkan orang-orang yang lemah, wanita dan anak-anak berangkat ke Mina (5 km dari Muzdalifah) sesudah tengah malam, supaya dapat melontar jumrah sebelum jemaah yang ramai membanjir datang.
Sawdah, isteri Nabi yang paling gemuk, memohon izin untuk pergi ke Mina malam itu juga sebab tubuhnya tidak kuat berdesak-desakan. Rasulullah s.a.w mengizinkan dan mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu Rasulullah s.a.w yang masih remaja, Abdullah bin Abbas bin Abdil-Muttalib (setiap pergerakan seorang wanita harus berserta dengan seorang lelaki ahlinya). Di kemudian hari, Abdullah bin Abbas ini menjadi salah seorang perawi hadis Nabi yang termasyhur.
Sesudah solat subuh di Muzdalifah, Rasulullah s.a.w memimpin jemaah haji menuju Mina. Kini yang beliau ajak menunggang di punggung Al-Qashwa’ adalah sepupu beliau Fadhil bin Abbas (abangnya Abdullah). Ketika melalui lembah Muhassir, Rasulullah s.a.w menyuruh para jemaah haji mempercepat langkah seraya bersabda, "Bersegeralah melewati Muhassir, sebab di lembah ini ashhabul fil (pasukan gajah) Abrahah dimusnahkan burung Ababil.”
Pada hari Sabtu 10 Zulhijjah (7 Mac) pagi hari Rasulullah s.a.w dan rombongan sampai di Mina. Beliau tidak singgah di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju Jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada musim haji tahun 621M (setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, lebih kurang di atas jumrah, Rasulullah s.a.w menerima ikrar sumpah setia dari para wakil masyarakat Ansar (suku Aus dan Khazraj) yang mengundang beliau untuk berhijrah ke kota mereka, Yatsrib atau Madinah.
Berbeda dengan Jumrah Ula dan Jumrah Wustha yang berada di lapangan terbuka, Jumrah Aqabah terletak di kaki bukit. Itulah sebabnya penampung batu lontaran di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan di Jumrah Aqabah cuma setengah lingkaran karena terhalang lereng bukit. Di kemudian hari, meskipun bukit Aqabah sudah dipotong rata dengan tanah, Jumrah Aqabah selama berabad-abad dibiarkan tetap dikelilingi setengah lingkaran. Baru pada tahun 2004, pemerintah Arab Saudi mengubah penampung batu lontaran di Jumrah Aqabah menjadi lingkaran penuh seperti dua jumrah yang lain.
Pada tanggal 10 Zulhijjah itu Rasulullah s.a.w melontar Jumrah Aqabah dengan batu kerikil sebanyak tujuh kali, dan bertakbir pada setiap lontaran. Inilah perlambang usaha penolakan terhadap syaithan, meniru tindakan Nabi Ibrahim a.s yang digoda syaitan tatkala akan menyembelih putranya, Nabi Ismail a.s.
Sesudah melontar Rasulullah s.a.w berdoa: Allahuma jalhu hajjan mabruran wa saiyan masykuran wa dzanban maghfuran ("Ya Allah, jadikanlah hal ini sebagai haji yang bermutu, usaha yang diterima, dan dosa yang terampuni"). Kemudian Rasulullah s.a.w menyembelih hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor disembelih oleh Ali bin Abi Thalib.
Sesudah itu Rasulullah s.a.w melakukan tahallul dengan menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau. Khalid bin Walid dan Suhail bin Amr memunguti rambut-rambut beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke muka mereka sambil menangis, karena menyesali perbuatan mereka sebelum masuk Islam.
Selanjutnya Rasulullah s.a.w pergi ke Mekah untuk melakukan tawaf mengelilingi Kaabah. Setelah solat zohor beliau kembali ke Mina. Oleh karena Rasulullah s.a.w mengambil cara Haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Zulhijjah itu beliau tidak melakukan saie di antara Safa dan Marwah. Saie beliau cukup satu kali pada saat masuk Mekah yang sudah mencakup saie haji dan umrah. Tetapi sebagian besar para shahabat melakukan saie tanggal 10 Zulhijjah atau sesudahnya, karena mereka mengambil cara Haji Tamattuk sesuai perintah Rasulullah s.a.w. Inilah saie haji bagi para sahabat yang Tamattuk, sebab saie mereka pada hari pertama masuk Makkah adalah saie umrah saja dan belum saie haji.
Rasulullah s.a.w memberikan kelonggaran pada jemaah haji untuk melakukan manasik-manasik di atas dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta tawaf dan saie boleh dilakukan secara rawak, tidak usah berurutan. Para jemaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat dikerjakan. Bahkan manasik-manasik di atas tidak harus semuanya terlaksana pada Hari Nahar (10 Zulhijjah). Penyembelihan hadyu boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq (11-13 Zulhijjah). Tawaf dan saie boleh dilakukan pada Hari-Hari Tasyriq, bahkan boleh dilakukan sesudah jemaah pulang dari Mina asalkan masih dalam bulan Dzulhijjah.
Juga boleh dilakukan urutan seperti ini: dari Muzdalifah jemaah haji langsung ke Mekah melakukan tawaf dan saie, lalu tahallul mencukur atau menggunting rambut di Marwah, kemudian baru ke Mina untuk melontar jumrah dan menyembelih hadyu. "Kerjakan saja, tidak apa-apa. If'al, la haraj," demikianlah selalu jawapan Rasulullah s.a.w ketika beliau ditanya oleh para shahabat mengenai urutan manasik-manasik di atas.
Apapun urutan manasik yang dipilih oleh para jemaah haji, Rasulullah s.a.w mengarahkan para jemaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam Hari Tasyriq, kecuali mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap. Rasulullah s.a.w mengizinkan bapa saudara beliau, Abbas bin Abdul Muttalib, bermalam di Mekah untuk mengelola siqayah (air Zamzam untuk jemaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Nabi s.a.w untuk tidak menginap di Mina.
Pada tanggal 11 dan 12 Zulhijjah, sesudah masuk waktu zohor, Rasulullah s.a.w dan para jemaah haji melontar secara berturut-turut Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan akhirnya Jumrah Aqabah, masing-masing tujuh lontaran. Beliau berdoa sesudah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, tetapi segera pergi setelah melontar Jumrah Aqabah. Rasulullah s.a.w memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar pada siang hari untuk melakukannya di malam hari. Juga bagi orang yang sakit, lanjut usia, lemah, anak kecil atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.
Di masa jahiliyah kaum musyrikin Quraisy menggunakan waktu luang di Mina untuk saling membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang masing-masing. Rasulullah s.a.w melarang kebiasaan takabur ini dan menggantinya dengan zikir kepada Allah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 200: Fa idza qadhaitum manasikakum fa dzkurul laha ka dzikrikum aba’akumaw asyadda dzikra ("Maka ketika kamu telah menunaikan manasikmu, berzikirlah kepada Allah seperti menzikiri bapak-bapakmu, bahkan harus lebih hebat zikirnya”).
Rasulullah s.a.w juga menerapkan kebolehan dari Allah bagi jemaah haji untuk memilih dua hari atau tiga hari dalam melontar tiga jumrah, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah 203: Faman taajjala fi yaumaini fala itsma alayhi waman taakhkhara fala itsma alayhi, limanittaqa ("Barangsiapa yang bergegas dalam dua hari maka tiada dosa baginya dan barangsiapa yang belakangan juga tiada dosa baginya, yang penting mereka taqwa”).
Jadi pada tanggal 12 Zulhijjah petang hari jemaah haji boleh melakukan nafar ('pulang duluan') meninggalkan Mina pulang ke Mekah. Mereka yang ingin nafar awal harus sudah berada di luar Mina sebelum maghrib. Jika saat maghrib masih di Mina, mereka harus mengambil nafar tsani ('pulang rombongan kedua'), iaitu harus bermalam lagi di Mina dan melontar lagi tiga jumrah tanggal 13 Zulhijjah, baru pulang ke Mekah. Sebagian sahabat memilih nafar awal dan sebagian lagi memilih nafar tsani. Adapun Rasulullah s.a.w melakukan nafar tsani, pulang ke Mekah tanggal 13 Zulhijjah.
Pada malam 14 Zulhijjah, Rasulullah s.a.w menyuruh isteri beliau, Aisyah, yang selesai masa haidnya untuk menunaikan umrah. "Inilah pengganti umrahmu yang gagal," sabda beliau. Aisyah kembali berihram dari Tan'im dengan ditemani adiknya, Abdur Rahman bin Abu Bakar, lalu mereka berdua melakukan tawaf dan saie sehingga bertahallul di Marwah. Pengalaman Aisyah yang melakukan Haji Ifrad (haji dulu, baru umrah) dijadikan dasar oleh sebagian ulama di kemudian hari untuk membolehkan Haji Ifrad bagi yang bukan penduduk Mekah dan tidak membawa hadyu.
Juga pengalaman Abdur Rahman bin Abu Bakar yang berumrah lagi dijadikan dasar untuk membolehkan umrah sunnat di musim haji dengan berihram dari Tan`im. Tetapi sebagian lagi ulama berpendapat bahwa jemaah yang tidak membawa hadyu harus melakukan Haji Tamattuk sesuai perintah Rasul (Aisyah melakukan Ifrad lantaran haid) serta umrah sunnat di musim haji tidak dicontohkan Rasul dan para shahabat (umrahnya Abdur Rahman lantaran menemani kakaknya). Wallahualam.
Sesudah solat subuh hari Rabu 14 Zulhijjah (11 Mac), Rasulullah s.a.w dengan isteri-isteri baginda, kecuali Safiyah yang mengalami haid dua hari sebelumnya, melakukan tawaf wada (tawaf perpisahan), lalu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah s.a.w tidak dapat berada lama-lama di Mekah, sebab pekerjaan beliau selaku Kepala Negara harus segera beliau jalankan. Tiga bulan sesudah itu, pada hari Isnin tanggal 12 Rabiulawal 11 Hijrah (8 Jun 632M), Rasulullah s.a.w kembali ke Rahmatullah.
Sesungguhnya kita milik Allah dan sungguh kepadaNya kita semua akan kembali.
No comments:
Post a Comment