Wednesday, March 5, 2014

WAHYU CINTA MIRZA GHULAM AHMAD

Panjang lebar Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad menulis biografi Mirza Ghulam Ahmad  dalam Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad. Namun, di buku berjudul asli Sirat Masih Mauud as itu, Bashiruddin yang juga khalifatul masih II tak mencantumkan secuil pun fakta kisah cinta ayahnya.

Ada 88 kitab (termasuk Tazkirah) yang dikarang Mirza Ghulam Ahmad, yang diantaranya merekam wahyu-wahyu yang menjadi saksi kegagalan cinta Mirza Ghulam Ahmad. Tapi, bagaimana boleh meleset? Bukankah Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, rasul, almasih, almahdi, krishna, brahman avatar , titisan nabi-nabi sejak adam, mujaddid, imam zaman dan lain-lain?

Abdullah Hasan Alhadar, dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang bulat di panggung sejarah, menuliskan kisah itu dengan judul love Affair Mirza. Dia menyebutnya kisah 1001 malam dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai majnunnya. Roman ini, mulanya ditulis oleh penulis india, Sheikh Abu Bakar Najar, dalam risalah Do You Know About Mirza in Love?

Alkisah, pada suatu hari, Mirza Ghulam Ahmad yang sudah sakit-sakitan akibat diabetes, vertigo, gangguan penglihatan dan lain-lain, melihat gadis bernama Muhammadi Begum. Dia putri paman ibu Mirza, Mirza Ahmad Beg. Jatuh cinta, Mirza Ghulam Ahmad, yang telah beristri dua, melamar gadis itu. Tapi betapa terkejutnya nabi Mirza, kerana lamarannya ditolak. Buntutnya, Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan wahyu yang susul-menyusul. Mulai yang berkonten persuasif, hingga mengancam dan mengultimatum.

Tazkirah hlm 157 menyatakan, “Maka Allah menyatakan kepadaku, hendaklah engkau melamar perempuannya yang paling besar untukmu dan katakanlah kepadanya (Ahmad Beg) agar dia menjadikan engkau sebagai menantu lebih dahulu dan jika engkau tidak menerima (lamaranku) maka ketahuilah bahawa Allah telah mengabarkan kepadaku bahawa (kalau kamu) menikahkan anakmu dengan laki-laki lain, maka tidak diberkahi dan juga kepadamu (Ahmad Beg). Dan jika kamu merasa takut, maka akan ditimpakan kepadamu bencana-bencana. Dan bencana yang paling akhir adalah kematianmu, kamu akan mati setelah pernikahan itu tiga tahun bahkan kematian itu lebih dekat dan mati itu akan datang sedang kamu dalam keadaan lalai. Begitu pula suaminya akan mati setelah dua tahun enam bulan”

Dalam Izalatil Auham hlm. 396, Mirza mengumumkan wahyu, “Bahawa putri Ahmad Beg akan menjadi salah seorang istrinya, tetapi keluarganya akan menentangmu dan akan berusaha supaya perkawinanmu tidak terlaksana. Tapi jangan khawatir kerana Allah akan memenuhi janjinya dan menyerahkan putri itu padamu dan tak ada seorang pun sanggup menghalangi apa yang menjadi kehendak Allah.”

Kerana orang tua gadis iut tak terpengaruh, turun lagi wahyu seperti tertulis di Asmani Risalat hlm 40, “Aku Allah telah menikahkan gadis itu padamu, hai Mirza! Tak ada perubahan atas kata-kata-Ku….”

Di kitab Tukhfah Baghdad hlm. 28, Mirza Ghulam Ahmad juga menulis wahyu, “Bergembiralah engkau hai Mirza, bahawa Aku menikahkan engkau dan Aku telah kawinkan gadis itu dengan engkau.”

Kerana wahyu-wahyu itu tak kesampaian, masyarakat mulai mengolok-olok Mirza Ghulam Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan lalu wahyu yang tercatat di Dafa Elwathawis hlm 228, “Biarlah mereka yang mengingkari kebenaran akan diperingatkan dan menyesali diri mereka, demikian ramalanku pasti tepat.”

Wahyu terus turun, tapi Ahmad Beg memutuskan menikahkan putrinya dengan seorang pemuda, Sultan Muhammad. Mirza Ghulam Ahmad lalu menulis surat berisi permohonan dan peringatan yang dikirimkan kepada sejumlah keluarga gadis itu. Tapi, penolakan tak berkurang bahkan, istri anaknya, juga menolak. Buntutnya, Mirza Ghulam Ahmad meminta anaknya, Mirza Fadalah menceraikan istrinya. Putra lainnya yang tidak menyukai cara-cara ayahnya, diherdik oleh Mirza dan tidak diberi hak waris. Peristiwa ini tertulis di Seeratul Mahdi hlm 22.

Pad 7 April 1892, ketika pengikut-pengikut Mirza Ghulam Ahmad sedang asyik berdoa di masjid agar perkawinan batal, diluar masjid terjadi keramaian. Resepsi pernikahan Muhammadi dengan Sultan sedang berlangsung.

Meresponsnya, turun lagi wahyu yang tercatat di Tazkirah hlm 160-161, “Sesungguhnya dia akan dijadikan seorang janda dan suaminya serta bapaknya akan mati tiga tahun kemudian setelah hari pernikahan. Kemudian kami akan mengembalikannya kepadamu setelah kematian mereka berdua”

Waktu terus bergulir. Sembilan tahun sudah usia pernikahan Muhammadi-Sulta dan tak terjadi apa-apa. Pada 1 Agustus 1901, Mirza Ghulam Ahmad menulis di harian Al Hakam Vol 5 No 29, “Sesungguhnya gadis ini belum menjadi istriku, namun demikian jangan kira aku tidak akan mengawininya. Sebagaimana aku telah katakan sebelumnya. Dan barang siapa mencemooh aku, akan mendapat malu. Kerana gadis ini masih hidup maka ia akan menemui aku dalam suatu perkawinan yang akan datang.”

Tahun 1908, Mirza Ghulam Ahmad meninggal. Adapun Muhammadi dan Sultan, tetap hidup. Bahkan Sultan ikut perang Dunia I. Dia memang mendapat luka-luka , tapi sembuh dan hidup bahagia bersama istrinya.

Nurrudin, khalifatul masih I, berapologi lewat media kalangan Ahmadiyah.org, Fathurrahman Ahmadi Djajasugita dalam tulisannya tanggapan atas artikel-artikel, menyebut kegagalan itu kerana Ahamd Beg, Sultan dan Muhammadi adalah penganut Hindu dan sangat membenci Islam.

Hasan bin Mahmud Audah, mantan direktur umum seksi bahasa Arab Jamaah Ahmadiyah Pusat London, dalam bukunya, Ahmadiyah, kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman menulis sedikit soal kisah ini. Dia menyatakan saat terpikat pada Muhammadi, usia Mirza Ghulam Ahmad 60 tahun.

“Di antara perkara yang mesti seseorang berhenti dalam pengamatannya terhadap kehidupan Mirza Ghulam, adalah bersikerasnya mengawini gadis berumur 17 tahun” kata Audah yang telah keluar dari Ahmadiyah dan melakukan berbagai upaya mengajak warga Ahmadiyah kembali kepada Islam.

Soal Muhammadi Begum, dia menyatakan, “(Muhammadi Begum) seorang wanita muslimah dari kalangan famili yang tidak membenarkan kenabian Mirza Ghulam Ahmad.” Keluarga Mirza Ghulam Ahmad yang juga tidak beriman pada kenabiannya adalah anak-anaknya sendiri, yaitu Mirza Sultan dan Mirza Fadalah.

“Masalah ini (kisah Mirza Ghulam Ahmad-Muhammadi) jarang dibicarakan orang-orang Ahmadiyah,” kata mantan Mubaligh Ahmadiyah dan lama menetap di Qadian serta menikah dengan anak tokoh Ahmadiyah di sana.

SEORANG NABI MATI DALAM KEADAAN HINA!

Hartono Ahmad Jaiz pernah bertanya kepada Dr. Hasan bin Mahmud Audah, mantan orang kepercayaan Khalifah Ahmadiyah ke-4 Thahir Ahmad, yang sudah kembali ke Islam. “Apakah benar, nabinya orang Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India 15 Februari 1835 dan mati pada 26 Mei 1906, itu matinya di kakus (WC)?”

Kemudian Dr. Hasan bin Mahmud Audah pun menjawab, “Ha…, ha…, haa… itu tidak benar. Mirza Ghulam Ahmad tidak boleh ke WC. Dia meninggal di tempat tidur. Tetapi berminggu-minggu sebelum matinya dia berak dan kencing di situ. Jadi tempat tidurnya sangat kotor seperti WC. Kerana sakitnya itu, sampai-sampai dalam sehari dia kencing seratus kali. Makanya, tanyakanlah kepada orang Ahmadiyah, maukah kamu mati seperti nabimu?”

Dr Hasan bin Mahmud Audah adalah mantan Muballigh Ahmadiyah dulunya dekat dengan Thahir Ahmad (Khalifah Ahmadiyah) yang mukim di London. Pertanyaan di atas diajukan Hartono Ahmad Jaiz seusai berlangsungnya Seminar Nasional tentang Kesesatan Ahmadiyah dan Bahayanya yang diselenggarakan LPPI di Masjid Istiqlal Jakarta, Ahad 11 Agustus 2002.

Selain masalah kematiannya yang menjijikkan, Mirza Ghulam Ahmad menurut Audah punya dua penyakit: jasmani dan akal. Sakit jasmaninya sudah jelas, berminggu-minggu menjelang matinya tak boleh beranjak dari tempat tidur, hingga kencing dan berak di tempat tidurnya.

Adapun sakit akalnya, Mirza Ghulam Ahmad mengaku menjadi Maryam, lalu kerana Allah meniupkan ruh kepadanya, maka lahirlah Nabi Isa. Dan yang dimaksud dengan Nabi Isa itu tak lain adalah diri Mirza Ghulam Ahmad itu sendiri.

“Apakah tidak sakit akal itu namanya,” ujar Dr Hasan Audah yang dulunya mempercayai Mirza Ghulam Ahmad, sehingga sempat membeli sertifikat kuburan syurga di Rabwa.

No comments:

Post a Comment