Saturday, February 6, 2010

KEKEJAMAN PEMERINTAH-PEMERINTAH JAWA: SATU FENOMENA TRADISI

Berdasarkan tajuk artikel diatas saya akan memaparkan sebuah penulisan mengenai pemerintah Jawa sejak zaman kerajaan Islam Mataram dan kekejaman salah seorang daripada mereka yang berkesinambungan hingga ke zaman moden. Mungkin ada dikalangan masyarakat Jawa di negara ini dan seberang terutamanya akan merasa tersinggung dengan artikel ini namun apa yang saya tulis sebenarnya bukan bertujuan untuk menjatuhkan air muka mana-mana suku tetapi adalah kebenaran. 

Malahan artikel ini adalah saduran daripada beberapa artikel yang ditulis oleh para sejarawan dan intelek Jawa sendiri. Kita dapat lihat bahawa apa yang berlaku di Indonesia sekarang dengan pelbagai kekacauan etnik dan gejala salah guna kuasa yang melampau bukanlah perkara baru tetapi merupakan suatu tradisi atau sumpahan kepada mereka. Apakah yang tidak beres?


Tulisan ini merupakan sebuah analisis terhadap paradigma suatu pemerintahan pada masa Raja Raja Mataram yang berkuasa dari tahun 1646 hingga tahun 1742. Fokus diberikan pada Amangkurat 1. Dengan pertimbangan Raja Amangkurat ini tidaklah terlalu jauh masanya dari zaman sekarang dan beberapa sisa catatan tidak terlalu susah mendapatkannya, walaupun demikian kita sebagai generasi baru perlu dengan tekun untuk menggali dan menemukan hikmah-hikmah yang ada dari cerita ini.


Alasan mengapa Amangkurat yang kita gunakan sebagai pembandingan, mengapa? Bukankah Sultan Agung atau Hayam Wuruk lebih memiliki prestasi membanggakan didalam sejarah Indonesia, hal ini bermaksud agar dapat dijadikan pelajaran bagi generasi bangsa Indonesia dan Kepulauan Melayu umumnya untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh mereka. Raja Amangkuratlah sebagai titik tolak dari kerajaan Mataram yang merupakan peradaban orang Jawa


Dalam tulisan ini saya terus memperbincangkan tentang pemerintah-pemerintah di zaman Mataram Islam dan skip dari menyentuh mengenai kerajaan Demak. Mungkin ada antara anda yang tahu sejarah Demak, adalah tidak cukup untuk  ditulis dalam satu artikel sahaja. Tentu panjang berjela-jela jadinya nanti sebab walaupun Demak sebuah kerajaan Islam yang diasaskan para wali namun anak cucu mereka tidak mewarisi sifat kewalian leluhur mereka malah bergaduh sesama sendiri dan berbunuhan adik beradik hingga menyebabkan kerajaan Demak runtuh.


Setelah jatuhnya kerajaan Demak dan beberapa lagi kerajaan Islam silih berganti, akhirnya muncul sebuah kerajaan Islam terkuat di Pulau Jawa yang berjaya menyatukan beberapa buah kerajaan-kerajan kecil di seluruh jawa yakni kerajaan Mataram. Kerajaan ini mencapai kemuncak kejayaan ditangan seorang pemerintah yang bijak dan alim yakni Sultan Agung Hanyakrakusuma. Dibawah pemerintahanya ulama dijadikan penasihat di istana dan agama Islam lebih pesat diperkembangkan di seluruh Jawa hingga ke Madura. 


Putra dan pengganti Sultan Agung adalah Susuhunan Amangkurat I (1646-1677 M). Pokok pemerintahannya adalah untuk memperkuatkan lagi kerajaan Mataram, memusatkan pentadbiran dan kewangan, serta menumpas semua perlawanan. Dia ingin merubah kerajaan yang telah diasaskan Sultan Agung dengan kekuatan ketenteraan untuk memaksa suatu mufakat menjadi suatu kerajaan yang bersatu, yang sumber-sumber pendapatannya dikuasai untuk kepentingan raja sahaja. Apabila berhasil maka dia akan merombak politik Jawa.


Tetapi usahanya itu sudah ditakdirkan mengalami kegagalan. Faktor geografi, komunikasi dan populasi yang menentukan bahwa kekuasaan pentadbiran di Jawa tidak dapat dipusatkan dengan hanya perintah raja. Sebagai akibat dari rancangannya itu, Amangkurat I telah memencilkan orang orang yang kuat dan daerah daerah yang penting, yang akhirnya menyebabkan berkobarnya suatu pemberontakan yang terbesar. Hal ini mengakibatkan tumbangnya wangsa tersebut dan masuknya campurtangan VOC.


Amangkurat I memperlihatkan perangainya yang jahat dan kejam semenjak awal masa pemerintahannya lagi. Pada tahun 1637, ketika masih bergelar putra mahkota, dia telah terlibat dalam suatu skandal yang melibatkan isteri seorang bangsawan istana, Tumenggung Wiraguna. Pada tahun 1647 Raja baru tersebut mengutus Wiraguna ke Ujung Timur, seolah-olah untuk mengusir pasukan Bali dan di tempat yang jauh dari keluarga dan para pengikutnya itu dia dibunuh. Sesudah itu, keluarga Wiraguna di Mataram dan orang orang lain yang terlibat dalam skandal tahun 1637 tersebut juga dibunuh. Saudara lelaki raja, Pangeran Alit, memihak Wiraguna pada tahun 1637 dan ketika mengetahui sahabat-sahabatnya sedang dibunuh, dia mencari sokongan di kalangan para ulama. Mereka menyerang istana tetapi dapat dipukul mundur dan Pangeran Alit gugur dalam pertempuran tersebut. 


Kini Amangkurat I berganti melawan para ulama pula kerana berdendam dengan mereka. Satu senarai para pemimpin agama yang terkemuka disusun dan mereka semuanya dikumpulkan di halaman istana. Kemudian, menurut duta VOC, Rijklof van Goens, antara 5,000 dan 6,000 orang lelaki, wanita dan kanak-kanak di bunuh dengan kejam oleh tentera Mataram.


Pada tahun 1647 Amangkurat I pindah ke istananya yang baru di Plered, tepat di sebelah timur laut Karta. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu merah daripada kayu seperti istana yang lama, mungkin semacam contoh kekukuhan yang ingin dipamer Amangkurat I di seluruh pelosok kerajaannya. Pekerjaan di Plered tersebut berjalan setidak-tidaknya sampai tahun 1666. Waktu kompleks istana baru itu bertambah besar, Raja baru itu semakin kejam. Sahabat-sahabat lama ayahnya menghilang satu demi satu, beberapa di antaranya mungkin karana usia lanjut, tetapi kebanyakan mereka dibunuh atas perintah Raja. 


Pada tahun 1648 Van Goens menyebutkan tentang “cara pemerintahan mereka yang aneh”. Orang orang tua dibunuh dalam rangka memberi tempat kepada yang masih muda! (Gezantschapsreizen, 67). Di antara orang orang paling terkemuka yang menjadi korban raja ini adalah ayah mertuanya sendiri Pangeran Pekik dari Surabaya, yang dibunuh bersama-sama dengan sebahagian besar anggota keluarganya pada tahun 1659. Bapa saudaranya pun, yang merupakan satu-satunya saudara lelaki Sultan Agung yang masih hidup, Pangeran Purbaya, terancam tetapi berhasil selamat dek kerana adanya campur tangan ibunya.


Kegiatan Amangkurat I menghalang kesepakatan orang orang terkemuka yang sangat penting bagi kedudukan raja Jawa. Dia membunuh orang orang yang dicurigai menentangnya, baik di istana mahupun di seluruh pelosok kerajaannya dan tentu saja menimbulkan kegelisahan dan ketakutan di antara orang orang yang masih hidup. Tampak jelas perpecahan di daerah-daerah di luar perbatasan kerajaan. Hal ini mendorong sekutu-sekutu dan kerajaan bawahannya untuk meninggalkannya. Pada tahun 1650 dia memerintahkan tentera Cirebon menyerang Banten dan pada akhir 1657 tentera Mataram sendiri bergerak menyerang Banten. Kedua serangan tersebut mengalami kegagalan, sehingga tidak hanya memperkuat perasaan benci Banten terhadap Mataram namun kemungkinan besar juga menyebabkan Cirebon meragukan manfaat dari kepatuhan mereka kepada Amangkurat I.


Satu-satu upayanya untuk menguasai Ujung Timur Pulau Jawa pada tahun 1647 mengalami kegagalan, sehingga  wilayah ini tetap bebas dari pengaruh Mataram. Pihak Bali menyerang pesisir timur dan Mataram tidak dapat berbuat apa-apa. Di luar Jawa hanya Palembanglah yang masih tetap menyatakan setia dengan harapan yang sangat tipis bahwa Mataram akan bersedia membantunya melawan musuh mereka bersama iaitu Banten dan kemudian dalam perang melawan VOC (1658-1659).


Jambi dengan tegas menolak kekuasaan Mataram sesudah tahun 1663 dan memilih bekerja sama dengan VOC. Kalimantan juga sama sekali bebas dari pengaruh Mataram sesudah sekitar tahun 1659. Selama peperangan-peperangannya dengan VOC, Sultan Hasanuddin dari Gowa mengirim utusan-utusan ke Mataram pada tahun 1657 dan 1658. Akan tetapi, Amangkurat I meminta supaya Hasanuddin datang sendiri ke istananya sebagai tanda takluk, yang jelas tidak akan dilakukan oleh Hasanuddin. Sebagai akibatnya maka sudah jelas bahwa hubungan Gowa-Mataram menjadi dingin.


Alasan-alasan yang telah menyebabkan terjadinya perpecahan di daerah pinggiran kerajaan ini pada dasarnya bersifat ketenteraan. Amangkurat I tidak sanggup menyelenggarakan ekspedisi-ekspedisi seperti yang telah dijalankan oleh Sultan Agung. Hal ini adalah akibat langsung dari pemerintahannya yang zalim. Dia tidak berani meninggalkan istananya yang dikawal ketat dan menempatkan dirinya di tengah-tengah para komandan yang tidak dapat dijauhkan bagi keselamatan jiwanya. Demikian pula halnya, dia tidak berani menyerahkan kepercayaan kepada orang lain untuk memimpin pasukan utamanya. Dengan demikian, kezalimannya telah menyebabkan hancurnya mufakat pembesar-pembesar terkemuka dan mereka telah memencilkan kerajaan ini dan tidak memungkinkannya membentuk suatu pasukan yang besar. Oleh kerana itulah, maka para sekutu dan taklukannya di daerah-daerah yang terpencil mendapat kesempatan yang baik untuk melepaskan kesetiaan mereka.


Hubungan Raja dengan VOC pada mulanya baik. Pada tahun 1646 dia menandatangani suatu perjanjian persahabatan yang mengatur pertukaran tawanan dan VOC mengembalikan wang yang telah dirampasnya dari seorang utusan Sultan Agung yang sedang dalam perjalanan ke Mekah pada tahun 1642. Amangkurat I nampaknya menganggap perjanjian ini sebagai bukti tunduknya Batavia kepada kekuasaannya dan VOC tidak merasa perlu menyatakan penafsiran lain. Beberapa kali perutusan VOC mengunjungi istana antara tahun 1646 dan 1654 dan pos perdagangan VOC di Jepara dibuka kembali pada tahun 1651. Hubungan dagang VOC dengan daerah pesisir berkembang lagi.


Bermulanya semula perdagangan Jawa-VOC di daerah pesisir telah mengakibatkan timbulnya suatu masalah dalaman baru di Jawa. Barang-barang yang diperlukan VOC terutama beras dan kayu adalah hasil-hasil daerah pesisir. Barangkali para pengusaha, pedagang dan pembesar di daerah pesisir utaralah yang memperoleh sebagian besar keuntungan dengan berlangsungnya semula perdagangan ini, sedangkan yang diperoleh Raja kurang daripada yang diinginkannya. Oleh kerana itulah, maka Amangkurat I mulai melakukan pengawasan yang semakin ketat terhadap daerah pesisir sehingga membangkitkan kembali perasaan benci yang mendalam antara daerah pesisir dan daerah pedalaman.


Pada tahun 1651 Amangkurat I memerintahkan diadakan suatu peraturan untuk mempermudah penarikan cukai. Dia juga mengeluarkan keputusan bahwa tidak seorang pun rakyatnya dapat mengadakan perjalanan ke luar Jawa, sehingga secara langsung menjatuhkan kepentingan para saudagar dari daerah pesisir. Susuhunan juga mengangkat dua orang gabernur daerah pesisir, yang satu untuk mengawasi bahagian barat dan yang lain untuk bahagian timur. Pada tahun 1652 dia melarang sama sekali eksport beras dan kayu. Dia memberitahu pihak Belanda bahawa tindakan ini bukan suatu langkah yang ditujukan terhadap mereka tetapi terhadap Banten dan bahawa mereka dapat memperolehi beras dengan cara mengutus seorang duta kepadanya untuk merundingkan jumlah dan harganya. Dengan kata lain, dia berusaha menjamin keuntungan dari perdagangan VOC supaya terus tersalur ke dalam perbendaharaan Raja. Pihak Belanda mengeluh mengenai tindakan tersebut, tetapi Amangkurat I tetap dengan pendiriannya. Sementara itu, rakyatnya di daerah pesisir menderita kerana adanya tuntutan Raja yang berupa wang tunai dari mereka dan gangguan raja terhadap perdagangan mereka.


Pada tahun 1655 Amangkurat I memerintahkan agar pelabuhan-pelabuhan ditutup sama sekali, bahkan para nelayan pun tidak dibenarkan berlayar. Para pembesar dikirim untuk mengambil alih kapal-kapal yang besar dan memusnahkan semua kapal yang kecil. Tindakan-tindakan tersebut dimaksudkan untuk mempermudahkan pengumpulan cukai, tetapi di sebalik  semua itu terlihat jelas adanya keinginan Raja untuk menghancurkan daerah pesisir apabila dia tidak dapat menguasainya. Pada tahun 1657 pelabuhan-pelabuhan tersebut tiba-tiba dibuka kembali, tetapi pada tahun 1660 dinyatakan tertutup lagi bagi semua pedagang dan kali ini pos perdagangan VOC di Jepara juga ditutup.


Penutupan pelabuhan yang kedua ini konon merupakan pembalasan atas tindakan VOC menghancurkan Palembang pada tahun 1659. VOC merasa tertarik kepada Palembang yang merupakan sumber lada untuk beberapa waktu lamanya dan pada tahun 1642 VOC telah berhasil mencapai suatu perjanjian yang memberinya hak monopoli. Akan tetapi pertentangan-pertentangan terus berlanjutan dan pada tahun 1657 kapal-kapal VOC yang berada di sana diserang. Sebagai akibatnya, VOC menyerang dan membakar Palembang pada tahun 1659, maka berdirilah kembali pos VOC di sana. Amangkurat I berasa tergugat kerana hancurnya satu-satunya sekutu yang tersisa di luar Jawa. Akan tetapi, nampak jelas bahwa alasan untuk ditutupnya pelabuhan-pelabuhan tersebut lebih luas daripada itu kerana semua saudagar, bukan hanya VOC saja, dilarang berdagang di pelabuhan-pelabuhan. Akan tetapi, pelabuhan-pelabuhan tersebut dibuka kembali pada tahun 1661.

 

Usaha-usaha Amangkurat I untuk menguasai daerah pesisir dan keinginannya untuk memonopoli perdagangan dengan VOC tentu saja memiliki kaitan yang sangat erat. Dia nampaknya memiliki empat sasaran utama:


(1) Menjamin supaya cukai dari perdagangan daerah pesisir terus tersalur ke istana. 


(2) Menegakkan kembali hubungan ‘vazal’ VOC yang menurut keyakinannya telah ditetapkan di dalam perjanjian tahun 1646.


(3) Menerima hadiah-hadiah VOC yang dapat meningkatkan kemegahan dan keagungan istananya, misalnya kuda Parsi dsb.


(4) Menerima wang VOC untuk meringankan kekurangan dana yang teruk di kerajaannya. 


Tujuan-tujuan ini dapat tercapai dengan jalan meruntuhkan ekonomi daerah pesisir dan memaksa agar VOC mmbuat semua pembeliannya secara langsung dengan istana. Amangkurat I terus mendesak agar VOC mengirimkan duta-duta kepadanya dengan ancaman kalau tidak pelabuhan-pelabuhan akan ditutup kembali. Perutusan-perutusan VOC dikirim ke Plered pada tahun 1667, 1668 dan 1669, tetapi hanya sedikit kemajuan dicapai ke arah penyusunan kegiatan dagang yang stabil dan bersahabat dan perutusan yang terakhir malah tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanannya ke Plered. Seperti yang akan dibahas di bawah ini, pada masa itu istana Mataram sudah mendekati saat kehancurannya.


Sementara itu, VOC mendapat keuntungan di Indonesia Timur. Seperti halnya tindakan menghancurkan Palembang pada tahun 1659 telah menggugat Amangkurat I, maka begitu juga dengan tertakluknya Gowa. Raja sekarang mula menyadari bahwa VOC bukan hanya merupakan sumber kewangan tetapi juga sumber malapetaka. Itulah yang semakin membulatkan tekadnya untuk menguasai daerah pesisir. Kedua orang gabernor daerah pesisir yang diangkat pada tahun 1651 telah digantikan oleh empat orang gabernor pada tahun 1657. Pada tahun 1669 kuasa tersebut dikurangkan dan wakil-wakil dari istana yang disebut “Umbul” dikirim untuk mengawasi pentadbirannya. Kehidupan ekonomi dan pentadbiran daerah pesisir selanjutnya menjadi kacau bilau, dan mulai musnah.


Sulit untuk diketahui berapa kuat penentangan terhadap Amangkurat I sebelum akhir tahun 1660-an tetapi hanya beberapa orang yang mempunyai pengaruh cukup besar untuk memimpin suatu pemberontakan yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan yang tidak ada henti-hentinya itu. Akan tetapi, pada tahun 1660-an muncul seseorang yang kekuatan pasukannya cukup memadai untuk menjamin dirinya mempunyai harapan untuk selamat dan berjaya. Orang itu adalah putra raja sendiri, putra mahkota, yang kelak akan bergelar Susuhunan Amangkurat II (1677-1703).


Putra mahkota adalah putra Amangkurat I dengan seorang putri Surabaya, putri Pangeran Pekik. Dia sebenarnya dibesarkan oleh keluarga ibunya, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia mempunyai beban mental yang berat sebagai akibat pembunuhan yang dilakukan ayahnya terhadap keluarga ibunya dan Pangeran Pekik pada tahun 1659. Kehidupannya sewaktu remaja hanya sedikit yang diketahui, kecuali bahawa dia mempunyai kelemahan terhadap wanita-wanita cantik yang menimbulkan konflik dengan ayahnya yang mempunyai selera yang sama.


Pada tahun 1660 pihak Belanda mendengar desas-desus bahwa Amangkurat I mahu membunuh putranya sendiri dan pada tahun 1661 dia telah melakukannya, namun terbukti bahwa hal itu tidak benar, tetapi pada tahun 1663 terdengar desas-desus lain mengenai usaha raja yang gagal untuk meracun putranya. Ada kemungkinan para penyokong putra mahkota gagal dalam usaha percubaan kudeta pada tahun 1661, yang mengakibatkan terbunuhnya ramai penyokongnya. Putra mahkota sendiri telah berhasil menyelamatkan diri dari tindakan balas dendam ayahnya, mungkin sebab pengawal pribadinya yang sangat kuat.


Pada tahun 1668-1670 terjadi lagi konflik antara putra mahkota dengan ayahnya mengenai seorang wanita. Perpecahan antara ayah dan anak sekarang telah menjadi masak ranum. Mulai tahun 1660 putra mahkota sudah berusaha menjalin hubungan sendiri dengan VOC. Antara tahun 1667 dan 1675 dia mengirim sembilan perutusan ke Batavia untuk meminta apa saja, dari ayam Belanda sampai kuda Parsi dan gadis-gadis Makasar. Mungkin tujuannya yang sebenarnya adalah untuk mengusha-ushakan apakah dia dapat mengharapkan sokongan VOC atau tidak. Enam orang pangeran lain di istana masing-masing juga mempunyai pengawal bersenjata dan tempat tinggal yang dijaga, di antaranya adalah Pangeran Puger yang kelak akan menjadi Susuhunan Pakubuwana I (1704-1719). Kini Plered telah menjadi satu kumpulan kem-kem bersenjata.


Para pangeran terpecah-belah oleh perasaan iri dan dengki mereka dalam suatu lingkungan politik di mana pembunuhan merupakan harga yang harus dibayar dengan mudah sekali, darah ditumpahkan diantara sesama saudara bagai mencurah air ke tanah. Akibat dari pemerintahan yang kucar kacir tersebut maka terjadilah sebuah pemberontakan yang besar-besaran dinamakan pemberontakan Tarunajaya sempena nama pemimpin pemberontak tersebut. Akhirnya Amangkurat 1 mati dalam pelarian dari rakyatnya sendiri akibat dari kekejaman yang dilakukannya.


Meneliti apa yang telah saya bincangkan, kita mungkin boleh membayangkan rasa ketakutan orang-orang Jawa dimasa Pemerinahan Amangkurat I pada abad 17. Hampir semua catatan sejarah menceritakan kekejaman baginda baik sumber dari Eropah mahupun dari Jawa sendiri yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi. Dimulai pada masa usia 5 sampai 15 tahun dan masa remaja yang hidup dikelilingi para tawanan Belanda yang mahu tidak mahu mereka itu harus mengabdi pada Pangeran muda ini atau lebih tepatnya menjadi hambanya Pangeran yang tentu memberi pengaruh buruk bagi diri baginda.


Tidak ada catatan sumbangan besar dalam pemerintahannya seperti yang dilakukan ayahnya dulu, Sultan Agung kecuali pembunuhan-pembunuhan dan kecurigaan yang berlebihan pada keluarga dan orang kepercayaannya sehingga pada akhirnya Raja ini kehilangan orang-orang pandai yang dapat mempertahankan kedudukannya dan wilayah Pemerintahan Kerajaan Mataram atas tipu muslihat orang Eropah untuk menguasai jalur vital perdagangan.


Selain itu ada banyak lagi kekejaman yang dilakukan, antaranya ialah peristiwa pembunuhan Kyai Dalem. Kyai Wayah di Pajang adalah seorang dalang Wayang Gedhog yang mempunyai anak perempuan yang amat cantik tapi sudah bersuami, suami anak Ki Wayah benama Kyai Dalem. Raja Amangkurat I tertarik terhadap wanita tersebut? Secara tiba-tiba Kyai Dalem meninggal terbunuh dengan keris dan tidak diketahui siapa pembunuhnya? Sekali lagi Amangkurat I bekerja secara rahsia. Anak perempuan dan isteri Kyai Dalem kemudian dibawa ke kraton dan dinikahi Sunan Amangkurat I, walaupun telah hamil dua bulan. Wanita cantik ini kemudian terkenal sebagai Ratu Mas Malang yang kemudian meninggal dicurigai telah diracun juga oleh Telik Sandhi atau askar mata-mata khas Amangkurat I.


Namun Raja Amangkurat I setelah kematian Ratu Malang menjadi tertekan jiwanya seperti orang tidak waras. Bersama Ratu Malang telah dihukum mati sekitar 43 orang wanita dayang, pelayan, emban dari istana ratu, sebagai hukuman kononnya kerana lalai menjaga dan melayani Ratu Malang. Sebagaimana catatan tambahan lagi peristiwa gudang senjata Mataram meledak menimbulkan malapetaka dan kematian yang lebih banyak. Yang dituduh bertanggung jawab atas meledaknya gudang peluru tersebut adalah Raden Wira Menggala atau Riya Menggala dan Raden Tanureksa. Bersama kerabat mereka sejumlah 27 orang dihukum mati dengan ditusuk keris Telik Sandhi Amangkurat I. Lebih menyedihkan lagi, Raden Wira Menggala yang diperintah membunuh adalah datuknya sendiri iaitu Pangeran Purbaya. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan tahun 1670. Beberapa babad telah menuliskan peristiwa itu iaitu Babad Tanah Jawi, Babad Momana dan catatan Belanda.


Perbandingan Dengan Keadaan Pimpinan Indonesia Zaman Moden


Sukarno Dan Order Lama


Memiliki watak yang hampir sama, melaksanakan poligami, tanpa memiliki persepsi yang sama dengan Rasulullah saw, lebih sekularistik tentang agama/spiritualis, sehingga membuatkan lemahnya sokongan rakyat di akhir pemerintahan. Selain itu pernah terbuang dari pemerintahannya. Juga menghilangkan demokrasi yang sudah ada sebelumnya misalnya pada awalnya menganut Demokrasi Liberal namun beralih kepada Demokrasi Terpimpin, demikian juga Amangkurat yang awalnya Sultan Agung sudah membentuk Majelis Purumpara, yang merupakan dewan penasihat dari berbagai wilayah yang namun pada masa Amangkurat 1 ditiadakan termasuk anggota Majelis yang sebenarnya adalah orang orang tua dan salah satunya bapa Pangeran Trunojoyo.


Perbezaan lainnya ialah Bung Karno anti Barat, sedangkan Amangkurat I, menganggap Barat (VOC) sebagai tempat bersandar, sebagai akibat suatu ramalan yang mengatakan kalau Belanda itu yang akan melindungi keturunan Mataram. Strategi anti Barat dan Pro Barat adalah hal yang sama kerana kedua pemimpin ini kurang peka akan permasalahan rakyat jelata, jadi yang harus menanggung penderitaan dan kerugian adalah rakyat jelatanya.


Kelebihan Bung Karno dibanding Amangkurat 1 adalah Bung Karno lebih terkehadapan dan terbuka jika diperbandingkan dengan Amangkurat 1, namun pada akhirnya munculnya gejala korupsi. Dan adanya konspirasi barat dalam kejatuhannya seperti dalam kejadian G30S/PKI adalah merupakan operasi CIA walaupun dibantah oleh Amerika, namun masyarakat lain di Indonesia dan Internasional sudah tahu ia sebagai operasi CIA.


Perbandingan Dengan Zaman Orde Baru


Memiliki kesamaan yang hampir sama, tidak visioner ditambah korupsi yang luar biasa hebatnya dibandingkan dengan Amangkurat 1, maka Orde Baru jauh lebih terkenal, sehingga negara ini kehilangan kekayaan sebab kekayaan itu telah berpindah tangan kepada individu tertentu. Selain dari pada itu kedua kerajaan ini awalnya berjaya namun saat akhir kekuasaan mereka tidak menyenangkan, hanya bezanya Orde Baru memiliki beberapa kelebihan untuk memajukan rakyatnya, walaupun kedua kerajaan dan upaya pemerintahan dicurahkan untuk mengamankan kekacauan yang berpunca dari perbuatan mereka sendiri.


Demikian juga terhadap hubungan dengan barat maka dapat dikatakan kalau Orde Baru dan Amangkurat 1 sangatlah erat dengan pengaruh barat, hal ini dapat dilihat pada perlombongan Emas di Freeport Timika. Kita melihat bahwa bangsa Indonesia dipaksa untuk memberi konsesi kepada perusahaan Amerika dengan ancaman separatis Papua. Bila diperbandingkan dengan saat Amangkurat II kehilangan Priangan dan Cirebon, saat VOC membantu melawan Trunojoyo dan Pangeran Puger.


Daripada tulisan ini maka dengan jelas kita dapat lihat adanya kesinambungan tradisi korupsi dan kekejaman dalam pemerintahan pemimpin-pemimpin Indonesia bermula dengan Amangkurat 1 hinggalah sekarang. Adakah fenomena ini suatu kebetulan atau adakah ianya suatu jinx atau sumpahan terhadap bangsa Indonesia dan suku jawa. Kita semua sedia maklum bahawa orang Melayu sering dikaitkan dengan kemalasan. Adakan dengan analisis yang dibuat ini kita dapat labelkan orang jawa sebagai rajin tetapi pendengki, kejam dan korup? 


Apa-apa pun sebenarnya tuduhan ini adalah tidak melampau kerana kita dapat membaca mengenainya di dalam babad-babad kuno mengenai orang jawa dan perwatakan mereka. Namun demikian bukan semua orang jawa bersifat sebegitu. Ada diantara mereka yang benar-benar baik sopan dan rajin serta mempunyai budi pekerti mulia. Mungkin kerana faktor demografi dan geo-politik mereka di Pulau jawa menyebabkan mereka berperangai begitu kerana kebanyakan orang Jawa yang telah lama bermastautin di luar jawa semuanya baik-baik belaka.



No comments:

Post a Comment