Thursday, July 28, 2016

TAUHID DAN MAKRIFATULLAH

Menurut Syeikh Ibnu Athaillah As Sakandri, siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya mentauhidkan Allah s.w.t melalui tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahsia nama-nama Allah. Dengan rahsia tersebut, semua nya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman; "Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dgn kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang2nya di waktu pagi dan petang hari."  (QS. 13:15).

Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk2 ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syaikh Ibnu Atha'illah mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut. 

Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dgn ruhnya dlm lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dgn sirr-nya dlm lautan alam ghaib. Dan org shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dlm rahasia cahaya yg suci yg beredar di antara berbagai makna Asma2 dan Sifat-2Nya disertai dgn keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yg hamba Allah bertasbih dlm lautan pemurnian dgn kerahasiaan Sirr al-Asrar dgn memandangNya, dlm ke'baqa'an-Nya.

Syeikh Muhammad Nafis Al-Banjari membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, berikut ini uraian utk setiap tahapan makrifat tauhid dgn interpretasi pribadi, yaitu :

• TAUHID AF'AL sebagai pengesaan terhadap Allah swt dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah swt.

• TAUHID ASMA' adalah pengesaan Allah swt atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah swt. Allah sebagai Isim A'dham yang Maha Agung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.

• TAUHID SIFAT adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dlm pengertian ini maka manusia dapat berada dlm maqam Tauhid as-Sifat dgn memandang dan memusyahadahkan dgn mata hati dan dgn keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Samak (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat2 Allah. Sebab, hanya Allah lah yg mempunyai sifat2 tersebut. Segala sifat yg dilekatkan kpd makhluk harus dipahami secara metaforis dan bukan dlm konteks sesungguhnya sbg suatu pinjaman.

• TAUHID ZAT berarti mengesakan Allah pada Zat. Maqam Tauhid az-Dzat menurut Syaikh al-Banjari adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari pemandangan dan musyahadah kaum 'Arifin. Dlm konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dgn memandang dgn mata kepala dan mata hati bahwasanya tiada yg maujud di alam wujud ini melainkan Allah swt Semata.

Tauhid Af'al pada pengertian Syaikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang kehendak Allah SWT yang maujud sbg ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yg dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yg terealisasikan kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dgn pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yg sudah melekat padanya sbg makhluk sintesis yg ditempatkan dlm suatu kontinuum ruang-waktu relatif. 

Tauhid Af’al adalah Samudera Pengenalan, di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah utk bertobat dan menyucikan dirinya, menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dgn ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat kepada-Nya utk menauhidkan-Nya, beramal utkNya agar memperoleh ridha-Nya. Kalau saya proyeksikan ke dlm sistem qolbu yg diulas sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af'al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari dominasi nafs ammarah, menuju lawwamah, menuju mulhammah, dan mencapai ketenangan dgn nafs muthma'innah.

Dalam Samudera Asma', maka hijab-hijab tersingkap dengan masing2 derajat dan keadaannya. Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh ilahiah-Nya (dominasi qolbu oleh ruh yg mengenal Tuhan). Samudera Asma' adalah Samudera Munajat dan Permohonan, difirmankan oleh Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang baik (al-Asma al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama2 itu." (QS. 7:180). 

Di samudera inilah salik akan diuji dgn khauf dan raja', keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan dan keadaan2 ruhaniah lainnya. Di tepian Samudera Asma' adalah lautan kerinduan yg berkilauan karena pendar2 cahaya rahmat dan kasih sayang Allah. Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak2 gelombang yg menghalus dgn cepat, menciptakan kerinduan2 ke dalam rahasia terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki hamparan Samudera Kerahasiaan.

Tauhid as-Sifat adalah Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan atau Lautan Cinta Ilahi adalah penafian diri. 

Apa yang melekat pada semua makhluk adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya. Siapa yg kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi kerahasiaan ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dgn suluh cahaya kemurnian yang menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid az-Dzat.

Di tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan ruhaniah tertinggi dgn totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada. Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, “Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah maqam Nabi Muhammad Saw, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungan Ilahiah. 

Maqam dimana semua yang baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra eksistensinya. Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar).

Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku, 
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak 
yang tak mampu kutanggung dan ungkapkan. 
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu. 
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa 
“semua makhluk akan musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.” 
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.” 
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu. 
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu. 
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab, Diri-Mu hanya tersingkap oleh diri-Mu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh Dia-Mu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh Engkau-Mu Sendiri.
Sebab, Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri,
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih.
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa,
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera Pemurnian-Mu,
biarkan aku memandang-Mu dengan cinta-Mu,
menjadi sekedar hamba-Mu dengan ridha-Mu,
seperti Muhammad yang menjadi Abdullah Kekasih-Mu.

Penguraian tauhid yg dilakukan oleh Syaikh al-Banjari memang didasarkan pada langkah2 penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena, pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma', Sifat dan Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera Tauhid tersebut. 

Hasil akhirnya, kalau tidak ada penyimpangan yang sangat mendasar, sebenarnya serupa dgn pengalaman makrifat para sufi lainnya yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih mantap sebagai hamba Allah.

No comments:

Post a Comment