Wednesday, August 10, 2016

MAKNA SULUK DALAM TASAWUF

Suluk berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan. Suluk merupakan aktiviti rutin memakmurkan lahir dan batin. Segenap kesibukan hamba hanya ditujukan kepada Sang Rabb, bahkan ia selalu disibukkan dengan usaha2 menjernihkan hati sebagai persiapan untuk sampai kepada-Nya (wusul). Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang Salik (pelaku suluk), iaitu pertama, mengikuti selera org2 yang mengambil aspek2 yang ringan dalam penafsiran dan kedua, mengikuti org2 sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya.  Barangsiapa yang menyia-siakan waktunya,maka ia termasuk org bodoh. Dan org yg terlalu mengekang diri dgn waktu maka ia termasuk org lalai. Sementara org yg melalaikannya, dia adalah org2 lemah.

Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia menjadikan Allah Swt dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara, sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung kesedihan (kerana kehinaan dirinya dihadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berzikir. 

Dengan kata lain, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara' meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan perintah-Nya. Semua itu dilakukan dengan segala kesungguhan hanya kerana Allah Swt., bukan sekadar untuk meraih balasan pahala, dan juga diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual kebiasaan. 

Kerana sesungguhnya org yg asyik dgn amaliahnya, tidak lagi memandang bentuk rupa zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu hal yg benar adalah meninggalkan segala bentuk ikhtiar sekaligus menenangkan diri dlm hilir mudik takdir Tuhan. Dlm sebuah syair berbunyi:

Aku ingin menemuinya,
Namun Dia menghendakiku untuk menghindar,
Lalu ku tanggalkan semua hasratku,
Demi apa yang Kau kehendaki.

Sirnakan semua makhluk darimu dengan hukum Allah Swt dan binasakan hawa nafsumu atas perintah-Nya. Demikian halnya, tanggalkan seluruh hasratmu demi perbuatan2Nya (af'al). Dengan demikian, maka kau telah mampu menangkap ilmu Allah Swt. Kebebasanmu dari ketergantungan dengan makhluk ditandai dengan perpisahanmu dengan mereka, kau tidak akan kembali dengan mereka, dan kau pun tidak akan menyesali semua yang ada dalam genggaman mereka. 

Adapun tanda kebebasanmu dari hawa nafsu adalah dengan tidak memasang harapan yang berlebihan dari semua usahamu, dan tidak pula bergantung dengan urusan kau untuk meraih sebuah kemanafaatan ataupun utk menghindari kebinasaan. Maka kau jangan hanya bergulat dengan dirimu sendiri, jangan terlalu percaya diri, jangan mencelakan atau membahayakan dirimu sendiri. Namun, pertama-tama yang harus kau lakukan adalah menyerahkan semuanya pada Yang Berhak, agar Dia berkenan memberikan Kuasa-Nya kpdmu. Seperti kepasrahanmu kepada-Nya saat kau berada dlm rahim ibumu, atau saat kau masih dalam susuan ibumu.

Sementara, tanggalnya seluruh hasrat iradah-mu, lebur dalam iradah-Nya ditandai dengan tidak adanya sifat menghendaki dalam dirimu (murid), dalam hal ini kau hanyalah sebagai objek yang dikehendaki (murad), bahkan dalam setiap lakumu ada intervensi aktiviti-Nya maka jadilah kau sebagai objek yang dikehendaki-Nya. Adapun aktiviti-Nya menempati semua anggota ragamu, mententeramkan jiwa, melapangkan dada, menyinari wajahmu, dan memeriahkan suasana batinmu. 

Takdir menjadi nuansa dalam hatimu, azali senantiasa akan menyerumu. Rabb yang Maha Menguasai mengajarimu dengan ilmu-Nya, menyematkan pakaian untukmu dari cahaya hulul, dan memposisikanmu pada derajat generasi orang terdahulu di antara Para Ulama yang soleh (ulu al-‘ilm). (Mi’raj as-Salikin, Imam Al Ghazali).

No comments:

Post a Comment