Saturday, August 20, 2016

PENGERTIAN TASAWWUF

Islam merupakan agama yg menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). 

Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian diri dan disiplin2 tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. 

Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua hal: 

1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan 

2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah. 

Secara harfiah terdapat beberapa penafsiran tentang arti istilah sufi. Di antara penafsiran itu antara lain menyebutkan bahwa kata sufi bermula dari kata safa (suci hati dan perbuatan), saff (barisan terdepan di hadapan Tuhan), suffah (menyamai sifat para sahabat yang menghuni serambi masjid nabawi di masa kenabian), saufanah (sejenis buah/buahan yang tumbuh di padang pasir), safwah (yang terpilih atau terbaik), dan bani sufah (kabilah badui yang tinggal dekat Ka’bah di masa jahiliyah). Menurut Imam Qusyairi, keenam pendapat tersebut di atas jauh dari analogi bahasa kata sufi. 

Sedangkan yang lebih sesuai adalah berasal dari kata suf (bulu domba). Hal ini dinisbahkan kepada kebiasaan para sufi klasik yang memakai pakaian dari bulu domba kasar sebagai simbol kerendahan hati. Dalam kaidah ilmu sharaf, tasawwafa berarti memakai baju wol, sejajar dan taqammasa yg berarti memakai kemeja. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha utk menyucikan jiwa sesuci mungkin dlm usaha mendekatkan diri kpd Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dlm kehidupan. Ibn al-Khaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yg menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dgn makhluk) atau hal-hal sejenisnya yg diburu oleh para sufi di masa belakangan. 

Corak sufisme yg mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan ttg ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagai mana akrab dalam tradisi mistisisme agama2 lainnya. Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yg diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dlm kerangka zuhud. Kata Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah utk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan utk menjadi hamba Allah. 

Menurutnya, tidak ada tingkatan yg lebih tinggi dibanding tingkat ‘abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yg lebih tinggi di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dlm perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dlm bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan2 supranatural. Adapun tasawuf yg berkembang pada masa berikutnya sbg suatu aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dgn Islam dapat dikatakan positif (ijabi). Tetapi apabila telah keluar dari prinsip2 keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yg negatif (salbi). 

Tasawuf ijabi mempunyai dua corak:

1) Tasawuf Salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual;

2). Tasawuf Sunni, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam konstruk pemahaman dan pengamalannya.

Perbedaan mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil. Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah. Sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat. Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk Tasawuf Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat neoplatonisme. 

Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi. Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi. 

Lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: 

reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, 

(2) perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, 

(3) katalisator yg sejuk dari realitas umat yg secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan. 

Karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah2 umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah yang antara lain berbunyi:

الله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كنتم فيه تختلفون 

Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yg tengah dekaden agar menjadi lebih baik dan sesuai dgn cita-cita ideal Islam.

وعباد الرحمان الذين يمشون على الأرض هون وإذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما والذين يبيتون لربهم سجدا وقياما والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا وكان بين ذلك قواما

Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf mmg sering dipandang sbg fenomena baru yg muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam pemahaman dan pembahasan ilmu2 keislaman. Seperti diungkap R.A. Nicholson, bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk2 mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja. Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkah2 menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). 

Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminativa. Hal serupa ada pula dalam Islam, dgn mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan haqiqa. Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan2 yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. 

Salik adalah istilah yang diberikan kpd para pencari Tuhan, yaitu org2 yg berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar2nya. Jalan spiritual yg ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dlm tradisi kesufian, tingkatan2 spiritual digambarkan dlm analogi titik pemberhentian (station atau maqam) yg antara sufi satu dgn lainnya sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain:

taubat, 
(2) zuhud, 
(3) sabar, 
(4) tawakkal, 
(5) ridha, 
(6) mahabbah, 
(7) ma’rifah, 
(8) fana’, 
(9) ittihad, 
(10) hulul.

Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state). Yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut:

muraqabah, 
(2) khauf,  
(3) raja’, 
(4) Syauq, 
(5) Uns, 
(6) tuma’ninah, 
(7) musyahadah, 
(8) yakin.

Allah dalam surat al-Nisa ayat 77 menyatakan, “Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik bagi org2 yg bertaqwa.” Dlm wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal utk membersihkan hati seseorang. Sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dgn sifat2 luhur adalah tangga berikutnya utk mencapai tingkat spiritualitas yg lebih tinggi yaitu tajalli. Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat (dari kata syari’ = jalan utama). Ini sebuah pengandaian olah kalangan sufi bahwa sesungguhnya sekolah tasawuf adalah cabang dari dogma agama.

Purgativa > Contemplativa > Illuminativa > Syari’ah > Thariqah > Haqiqah >Takhalli > Tahalli > Tajalli

No comments:

Post a Comment