Penjelasan Ibn Taimiyah mengenai tarekat sangat penting untuk dikemukakan lebih jauh disini, sebab sekali lagi selama ini ia sering dituding sebagai anti tarekat dan bahkan dijadikan rujukan utama oleh sebagian kecil umat untuk menentang tarekat, padahal Ibn Taimiyah tidak pernah menentang tarekat/tasawuf kecuali yang nyata sekali bertentangan dengan Al-Quran dan al-Sunnah.
Ketika memuji Imam al-Junaid al-Baghdadi berkenaan dengan kewajiban seorang salik orang yang berjalan menuju Tuhan agar mengenal Sang Pencipta (ma’rifat al-shani) sehingga dapat beramal dan berubudiyah secara ikhlas, Ibn Taimiyah menegaskan dalam kitabnya al-Istiqamah: “Ini (mengenal sang Pencipta) termasuk di antara pokok-pokok akidah ahlu-sunnah dan imam-imam para Syeikh, khususnya syeikh2 sufi, karena pokok pangkal tarekat para sufi adalah kehendak (al-iradah), yang merupakan fondasi amal. Mereka dalam hal kehendak, ibadah, amal dan akhlak lebih besar ketehuhannya daripada dalam hal perkataan dan ilmu pengetahuannya.
Ketika memuji Imam al-Junaid al-Baghdadi berkenaan dengan kewajiban seorang salik orang yang berjalan menuju Tuhan agar mengenal Sang Pencipta (ma’rifat al-shani) sehingga dapat beramal dan berubudiyah secara ikhlas, Ibn Taimiyah menegaskan dalam kitabnya al-Istiqamah: “Ini (mengenal sang Pencipta) termasuk di antara pokok-pokok akidah ahlu-sunnah dan imam-imam para Syeikh, khususnya syeikh2 sufi, karena pokok pangkal tarekat para sufi adalah kehendak (al-iradah), yang merupakan fondasi amal. Mereka dalam hal kehendak, ibadah, amal dan akhlak lebih besar ketehuhannya daripada dalam hal perkataan dan ilmu pengetahuannya.
Mereka dengan semua itu lebih besar perhatiannya dan lebih banyak pemeliharaanya. Orang yang belum memasuki semua itu tidak dapat serta merta menjadi ahli tarekat mereka.” Dalam kitabnya yang lain al-Hasanah wa al-Sayyiah, Ibn Taimiyah menegaskan lebih lanjut bahwa orang yang mengikuti Imam al-Junaid adalah orang yang memperoleh hidayah, selamat dan bahagia: “Barang siapa menempuh jalan yang ditempuh oleh al-Junaid yang merupakan salah seorang pakar tasawuf dan ma’rifah, maka ia benar-benar telah mendapat hidayah, selamat dan bahagia.” Selain Imam al-Junaid al-Baghdadi, Ibn Taimiyah juga memuji dan membela syekh syekh tarekat lainnya, seperti: Abu Yazid al-Busthami, Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, dan bahkan juga Imam al-Ghazali.
Tentang Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, misalnya, Ibn Taimiyah menggambarkannnya sebagai berikut: “Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, misalnya, Ibn Taimiyah menggambarkannya sebagai berikut: “Shekh Abd al-Qadir al-Jailani dan Syekh tarekat seperti beliau merupakan syekh yang paling gigih memerintahkan menetapi syara, perintah dan larangan, serta mengedepankan agar meninggalkan keinginan dan kehendak nafsu, karena kesalahan dalam berkehendak dilihat dari segi kehendak itu sendiri hanya terjadi dari sisi hawa nafsu ini.
Tentang Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, misalnya, Ibn Taimiyah menggambarkannnya sebagai berikut: “Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, misalnya, Ibn Taimiyah menggambarkannya sebagai berikut: “Shekh Abd al-Qadir al-Jailani dan Syekh tarekat seperti beliau merupakan syekh yang paling gigih memerintahkan menetapi syara, perintah dan larangan, serta mengedepankan agar meninggalkan keinginan dan kehendak nafsu, karena kesalahan dalam berkehendak dilihat dari segi kehendak itu sendiri hanya terjadi dari sisi hawa nafsu ini.
Beliau memerintahkan seorang salik ‘murid yang menempuh suluk (perjalanan) menuju Tuhan’ agar tidak memiliki sama sekali kehendak yg bersumber dari hawa nafsu melainkan ia berkehendak sesuai dengan yang dikehendaki Allah ‘azza wa jalla.” Pada bagian sebelumnya sudah disinggung bahwa Ibn Taimiyah menyebut para sufi sbg ahl ulum al-qulub ‘pakar2 ilmu hati yang bebas dari bid’ah ketika ia mengatakan: “Perkataan pakar2 ilmu hati dari kalangan sufi dan yang selain mereka, seperti Abu Hamid al-Ghazali pula Ibn Taimiyah mengutip pernyataan yg mengukuhkan kebenaran tarikat para sufi: “Tarekat para sufi adalah tujuan (ghayah), karena mereka menyucikan kalbu mereka dari hal-hal selain Allah dan memenuhinya dgn zikrullah; dan ini merupakan prinsip dakwah para rasul.
Pengakuan Ibn Taimiyah mengenai kebenaran tarekat para sufi juga mencuat dari pernyataanya yg dituangkan dlm kitabnya yg berjudul Syarh al-Aqidah al-Ishfahaniyah, yaitu ketika ia berbicara ttg mu’jizat para nabi: “ Tidak ada jalan bagi akal utk memahami mukjizat para nabi hanya dan komoditi akal semata. Hal-hal lain dari keistimewaan para nabi hanya dapat dipahami dgn rasa oleh org yg menempuh tarekat tasawuf…”
Jika Nabi memiliki suatu keistimewaan yg Anda tidak punya modelnya, maka Anda sama sekali tidak akan memahami keistimewaan itu, apalagi membenarkannya, karena pembenaran hanya muncul setelah pemahaman, dan model yg dimaksudkan di sini terdapat di awal tarekat tasawuf… Adapun rasa (dzawq) maka ia seperti ‘menyaksikan’ dan ‘mengambil dgn tangan’ dan hal itu tidak ada kecuali dlm tarekat para sufi.
Jika Nabi memiliki suatu keistimewaan yg Anda tidak punya modelnya, maka Anda sama sekali tidak akan memahami keistimewaan itu, apalagi membenarkannya, karena pembenaran hanya muncul setelah pemahaman, dan model yg dimaksudkan di sini terdapat di awal tarekat tasawuf… Adapun rasa (dzawq) maka ia seperti ‘menyaksikan’ dan ‘mengambil dgn tangan’ dan hal itu tidak ada kecuali dlm tarekat para sufi.
Ibn Taimiyah bahkan tidak mengingkari konsep "mabuk” yang kadang2 melahirkan berbagai ungkapan yang sepintas terkesan berbau syirik tetapi sebenarnya tidak dimaksudkan demikian, ungkapan2 yang dikenal dengan syathahat. Ungkapan2 pada dasarnya muncul secara otomatis dari kondisi fana (ekstase) yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh pertimbangan atau kesadaran apa pun kecuali semata-mata karena terbuai oleh keagungan dan keindahan Tuhan.
Dalam kaitan ini ia mengatakan: “Sebagian tokoh sufi yang mengalami kondisi spiritual tertentu (dzawi al-ahwal) kadang-kadangmengalami ‘mabuk dan lenyap dari selain Allah’ dalam keadaaan fana’yang singkat. Keadaan mabuk seperti itu terjadi tanpa disengaja, tanpa pertimbangan.
Dalam kaitan ini ia mengatakan: “Sebagian tokoh sufi yang mengalami kondisi spiritual tertentu (dzawi al-ahwal) kadang-kadangmengalami ‘mabuk dan lenyap dari selain Allah’ dalam keadaaan fana’yang singkat. Keadaan mabuk seperti itu terjadi tanpa disengaja, tanpa pertimbangan.
Kadang-kadang dalam keadaan itu ia berkata subhani (maha suci aku), atau ungkapan-ungkapan lain seperti yang mempengaruhi Abu Yazid al-Busthami dan orang-orang berjiwa sehat (al-ashihha) lainnya.” Hal itu menurut Ibn Taimiyah sejalan dengan makna-makna hadis qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Dalam hadis itu disebutkan bahwa apabila seorang hamba selalu berupaya menempuh jalan pendekatan diri kepada Allah dengan melaksanakan secara intensif al-faraidh (perkara2 yang diwajibkan) dan al-nawafil (perkara-perkara yang disunnahkan), sebuah upaya yang bermuara pada suatu keadaan (hal) yang dalam hadis itu diungkapkan dgn “sampai Aku mencintainya” (hatta uhibahu), “maka Akulah yang menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.” Semua ini dikemukakan Ibn Taimiyah ketika ia membela ahli tarekat yang sejalan dengan sunnah.
No comments:
Post a Comment