Saturday, August 20, 2016

SYEIKH ABU QASIM AL QUSYAIRY

Firman Allah swt.: “Dan janganlah kamu mengusir org2 yg menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah Nya.” (Q.s. AI An’aam: 52). Diriwayatkan oleh Anas ra., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan mempekerjakannya.” Seseorang bertanya, “Bagaimana Dia mempekejakannya, wahai Rasulullah?” 

Rasul menjawab, “Dia akan memberinya pertolongan untuk amal saleh sebelum mati.” (H.r. Tirmidzi). Kehendak (iradat) adalah jalan permulaan para penempuh dan nama tahapan pertama dari mereka yang menempuh jalan menuju Allah swt. Sifat ini disebut “kehendak” (iradat) hanya karena kehendak mendahului setiap masalah sedemikian rupa, sehingga bila seorang hamba tidak menghendaki sesuatu, ia pun tidak akan melakukannya. Manakala hal ini terjadi di awal langkah menuju jalan Allah swt, ia disebut “kehendak” dgn diserupakan pada keinginan yg mendahului semua persoalan. 

Seorang murid mendapat sebutan demikian karena ia mempunyai kehendak, sebagaimana halnya seorang ‘alim disebut demikian karena ia mempunyai ilmu. Kedua kata ini (iradat dan ilmu) merupakan isim-isim musytaqat. Tetapi di lingkungan kaum Sufi, yang menghendaki (murid) identik dengan orang yang tidak berkehendak itu sendiri. Seseorang yang belum menanggalkan kehendak dirinya bukanlah seorang murld. 

Tetapi dalam pengertian bahasa, orang yang tidak mempunyai kehendak bukanlah seorang murid. Mayoritas orang telah berbicara tentang makna Iradat, masing-masing mengungkapkan sesuai dengan kecenderungan hatinya. Sebagian besar syeikh menjelaskan, “Iradat adalah berpisah dari praktik-praktik yang menjadi kebiasaan.” Kebiasaan orang banyak adalah menghuni kelalaian, cenderung pada ajakan hawa nafsu, terus menerus mengikuti angan-angan kosong. 

Akan tetapi, seorang murid terlepas dari semua itu. Keterlepasannya itu sendiri merupakan bukti keabsahan iradatnya. Oleh karenanya, keadaan demikian itu disebut iradat, karena ia terlepas dari praktik2 kebiasaan.

Hakikat iradat adalah kebangkitan qalbu dlm mencari Al-Haq. Karena itu dikatakan, bahwa iradat merupakan keterpesonaan yg menyakitkan, yg membuat remeh setiap yg menakutkan. Sebahagian syeikh menuturkan, “Suatu ketika aku hanya seorg diri di padang pasir dan jiwaku merasa sgt tertekan, hingga aku berteriak, ‘Wahai manusia, berbicaralah kepadaku! Wahai jin, berbicaralah kepadaku!’ 

Lalu sebuah suara gaib berseru kpdku, ‘Apakah yang engkau kehendaki?’ Aku menjawab, ‘Aku menghendaki Allah swt.’ Suara itu bertanya, ‘Kapankah engkau menghendaki Allah swt.’?” Maksudnya, org yg memanggil2 manusia dan jin dgn kata-kata, “Berbicaralah kepadaku!” bagaimana ia dapat disebut menghendaki Allah swt.? Padahal sebagai seorang murid tidak akan pernah gentar dalam kehendaknya baik siang maupun malam. 

Ia berjuang keras secara lahiriah, sementara dalam batinnya menderita. Ia meninggalkan tempat tidurnya, batinnya sibuk sepanjang waktu, menanggung kesulitan hidup, memikul beban, mengembangkan sifat-sifat akhlak yang baik, meraih kerinduan demi kerinduan, memeluk bencana, dan meninggalkan semua bentuk. Seperti yang terkandung dalam sebuah syair:

Kulibas malam dengan gairahnya
tiada harimau dan serigala serigala yang menakutkan,
Rinduku tenggelam meluapi rahasia batinku
Dan betapa perindu selalu tergulung jiwanya.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakah, “Kehendak (iradat) adalah keterpesonaan yang pedih dalam sanubari, sengatan dalam hati, hasrat yang membara dalam sukma, gemuruh dalam batin, dan kilatan-kilatan dalam jiwa.” Yusuf ibnul Husain menuturkan, “Abu Sulaiman dan Ahmad bin Abu al-Hawary mengadakan perjanjian bahwa Ahmad tidak akan menentang perintah Abu Sulaiman dalam semua hal. Pada suatu hari ia menemui Abu Sulaiman ketika yang tersebut belakangan ini sedang berbicara di majelisnya. 

Ahmad melaporkan, ‘Tungku sudah menyala, apa perintahmu?’ Abu Sulaiman diam, tidak menjawab. Ahmad mengulangi perkataannya hingga tiga kali, akhirnya Abu Sulaiman berkata, dengan nada seakan-akan jengkel kepadanya, ‘Pergilah kamu dan duduk diatasnya saja!’ Lalu sejenak ia lupa akan Ahmad. Ketika ingat, Abu Sulaiman segera memerintahkan, ‘Lekas jemput Ahmad! Ia ada di atas tungku, sebab ia telah berjanji pada dirinya untuk tidak menentang perintahku.’ Maka org2 pun pergi mencari Ahmad, dan mereka menemukannya di dalam tungku, tanpa sehelai rambut pun terbakar.”

Dikatakan, “Di antara sifat2 murid adalah bahwa ia senang melaksanakan shalat sunnah, ikhlas dalam menasihati ummat, sukacita dalam khalwat, dan sabar dlm menaati aturan, memprioritaskan kepentingan Allah swt, memiliki rasa malu di hadapan Nya, rajin mengerjakan apa yang disenangi-Nya, mengerjakan apa pun yang dapat membawa kepada-Nya, qana’ah dengan menyembunyikan diri dari orang lain, dan hatinya selalu mengalami kegelisahan sampai ia wushul kepada Tuhannya.” 

Abu Bakr Muhammad al-Warraq mengatakan, ‘Ada tiga hal yang menyiksa hati seorang murid: Pernikahan, menulis hadis dan perjalanan.” Sescorang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau berhenti menulis hadis?” Ia menjawab, “Kehendak mencegahku untuk melanjutkan pekerjaan itu”. 

Hatim al-Asham mengajarkan, “Jika engkau datang kepada seorang murid yang menginginkan sesuatu selain yang dikehendaki, yakinlah bahwa ia telah menunjukkan kerendahan dirinya.” Al-Kattany berkata, “Aturan hidup yang layak bagi seorang murid mencakup hal-hal sebagai berikut: tidur hanya jika sangat mengantuk, makan hanya ketika sangat lapar, dan berbicara hanya manakala terpaksa.” 

Al-Junayd mengatakan, “Manakala Allah menghendaki kebaikan bagi seorang murid, Dia akan membawanya ke lingkungan para Sufi dan menjauhkannya dari kaum ulama pembaca buku.” Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Pangkal iradat, engkau melakukan isyarat menuju Allah swt. dan engkau menernukan Dia dengan isyarat itu.” Saya lalu bertanya, ‘Apakah yang mencakup seluruh persoalan tentang iradat?” Ia menjawab, “Yaitu bahwa engkau menemukan Allah swt. tanpa isyarat.” Ad-Daqqaq menjelaskan, “Seorang murid tidak dapat disebut murid sampai malaikat di sisi kirinya tidak mencatat selama duapuluh tahun.” 

Abu Utsman al-Hiry menegaskan, “Jika murid mendengar sesuatu tentang ilmu kaum Sufi, dan mengamal kannya, ilmu itu menjadi hikmah dalam hati hingga akhir hayatnya. Jika ia berbicara tentang hikmah itu, orang yang mendengarnya memperoleh manfaat. Orang yang mendengar sesuatu tentang ilmu mereka, namun tidak berbuat sesuai dengannya, hanyalah sebuah hikayat yang kelak akan dilupakannya.” Al-Wasithy berkomentar, “Tahapan pertama seorang murid adalah kehendak Allah swt. yang menggugurkan kehendaknya sendiri”. 

Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Hal tersulit bagi para murid adalah bergaul dengan org2 yang menentang mereka.” Yusuf bin al Husain mengatakan, “Jika engkau melihat seorang murid terlibat dalam usaha mencari penghidupan serta pekerjaan2 halal, tetapi tidak sesuai dengan ketaatan aturan hukum, yakinlah bahwa tidak sesuatu pun hasil yang akan muncul darinya.” Seseorang bertanya kepada al-Junayd, ‘Apakah baik bagi seorang murid untuk mendengarkan cerita-cerita?” Ia menjawab, “Cerita2 adalah salah satu tentara Allah, yang menguatkan qalbu para murid.” 

Kemudian ditanyakan lagi kepadanya, ‘Adakah dalil yang mendukung ucapanmu itu?” Al-Junayd menegaskan, “Ya, dalilnya adalah firman Allah swt, ‘Dan semua kisah dari Rasul rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu’.” (Q.s. Huud: 120). Al-Junayd mengatakan, “Seorang murid yang tulus tidak membutuhkan ilmu pengetahuan para ulama.” Perbedaan antara yang berkehendak (murid) dan yang dikehendaki (murad), bahwa pada hakikatnya setiap murid sesungguhnya adalah juga murad. 

Jika ia bukan yang dikehendaki Allah swt, niscaya tidak akan menjadi murid, sebab tiada sesuatu pun dapat terjadi kecuali dengan kehendak Allah swt. Selanjutnya, setiap murad adalah juga murid, sebab jika Allah menghendakinya secara khusus, Dia akan menganugerahinya keberhasilan dalam memiliki iradat (terhadap Nya).” Akan tetapi, kaum Sufi membedakan antara murid dan murad. Menurut mereka, murid adalah seorang pemula, sedangkan murad berada pada pangkalnya.

Murid dibimbing melakukan pekerjaan2 yg menguras tenaga dan diterjunkan ke dalam kancah kesulitan; bagi seorg murad, satu perintah dari Allah swt. saja sudah mencukupi, tanpa menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Murid dipaksa utk bekerja keras, sedangkan murad dianugerahi kenyamanan dan ketenteraman. 

Sunnatullah bagi para penempuh cita2 beraneka ragam: Mayoritas mereka berselaras melalui mujahadah, dan setelah mengalami kesulitan yg berkepanjangan, akhirnya berhasil mencapai kebenaran hakiki yg agung. Tetapi sebagian besar dari mereka yg diperlihatkan keagungan kebenaran hakiki pada awalnya, belum dicapai oleh mereka yg mengerjakan banyak olah ruhani, ttpi sebagian besar dari mrk kembali lagi, dan mujahadah setelah mendapatkan anugerah bersama mrk riyadhah, agar selaras garis2 ketentuannya.

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menjelaskan, “Murid menanggung, sedangkan murad ditanggung.” Ia juga berkomentar, “Musa as. Adalah seorang murid sebab beliau berkata, ‘Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku!’ (Q.s. Thaha: 25). Nabi kita Muhanmad saw. adalah seorang murad, sebab Allah swt. berfirman mengenai diri beliau, ‘Tidakkah Kami telah melapangkan dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yg memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?’ (Q.s. Al-Insyirah:14). 

Nabi Musa as. juga memohon, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau!’ Allah swt. berfirman, ‘Kamu sekali kali tidak akan sanggup melihat Ku.’ (Q.s. AI-Araf 143). Allah swt. berfirman kepada Nabi kita, ‘Apakah kamu tidak melihat kepada Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang?’ (Q.s. Al-Furqan: 45). Kata-kata, ‘Apakah kamu tidak melihat kpd Tuhanmu?’ dan ‘Bagaimana Dia memanjangkan bayang2?’ dimaksudkan sebagai tabir bagi cerita yang sebenarnya dan sebagai sarana untuk memperkuat keadaannya.”

Ketika al-Junayd ditanya ttg murid dan murad, ia menjawab, “Murid dikendalikan oleh aturan2 dan ketetapan2 ilmu, sedangkan murad dikendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah swt. Murid berjalan; sedang murad terbang. Sanggupkah manusia pejalan mampu menyusul yg terbang?” Dzun Nuun mengirim seseorg kpd Abu Yazid dgn pesan, “Tanyakan kpd Abu Yazid, ‘Berapa lama tidur dan kesantaian ini, padahal kafilah telah berlalu?’ Abu Yazid mengirimkan jawabannya, ‘Katakan kpd saudaraku Dzun Nuun, ‘Seorang laki-laki adalah yg tidur sepanjang malam kemudian bangun diperhentian sebelum kafilah tiba.’ Dzun Nuun berseru, ‘Hebat dia! Inilah ucapan yg belum sampai pada keadaan kita’.” (Gerbang Sufi).

No comments:

Post a Comment