Sunday, January 10, 2016

ILMU DAN MAKRIFAH

Ketika kita mendengar antara ilmu dan makrifat, dari dua itu ada perbezaannya : “ilmu mengenalkan kita tentang Allah sedangkan makrifat mengantarkan kita kepada-Nya”. Mungkin banyak yang penasaran dimana beza ilmu dan makrifat padahal buku-buku tentang tasawuf/tarekat/hakikat banyak membahas masalah makrifat sebagai ilmu dan bahkan ada buku dengan judul “ilmu makrifat” atau “Pengantar ilmu makrifat”.

Saidina Ali ketika ditanya tentang makrifat, Beliau berkata, “Aku mengenal Allah dengan Allah dan aku mengenal selain Allah dengan cahaya-Nya”. Abu Yazid berkata, “tidak ada keraguan sedikitpun dalam hatiku tentang Allah”. Makrifat berdasarkan ucapan diatas adalah pengalaman seorang hamba ketika berjumpa dengan Tuhannya. Makrifat khusus tentang bagaimana cara berhubungan dengan Allah dan orang yang telah mencapai tahap makrifat disebut dengan ‘Arif. Dalam keseharian kita sering mendengar istilah ‘Arif yang digabungkan dengan kata “bijaksana” sehingga menjadi Arif Bijaksana walaupun orang yang disebut Arif Bijaksana tersebut belum tentu benar-benar telah mencapai tahap makrifat.

Di dalam Kasful Mahjub kitab tasawuf klasik karya Imam Al-Qusyairi dijelaskan bahwa syarat untuk mencapai makrifat itu bukan pandai atau luas pengetahuannya kerana kalau itu sebagai syarat maka semakin pandai seseorang maka semakin dia bermakrifat kepada Allah, kenyataan semakin pandai manusia semakin dia bingung dengan keberadaan Tuhan. Ilmu diperoleh dari panca indera sedangkan makrifat diperoleh lewat Qalbu (hati).

Makrifat tidak diperoleh dengan membaca dan mendengar, itulah sebabnya walaupun belajar banyak dari buku-buku tasawuf atau mengambil jurusan master tasawuf di universititidak akan menjamin untuk mencapai tahap makrifat. Pengetahuan tasawuf yang membahas tentang makrifat yang merupakan pengalaman dari Para Guru Sufi hanya boleh menjelaskan kita tentang apa itu makrifat tapi tidak akan pernah dapat membawa kita kepada pengalaman bermakrifat.

Makrifat adalah keadaan dimana seorang hamba sangat dekat dan akrab dengan Tuhannya tanpa keraguan sedikitpun yang sedang disembah dan sedang dipuja tersebut adalah Allah bukan yang lainnya, bukan sajadah atau dinding mesjid dan bukan pula ka’bah. Bahkan Imam Junaidi Al-Baghdadi ketika ditanya apakah Beliau melihat Tuhan yang disembah dalam ibadah, Beliau menjawab, “Kami tidak menyembah Tuhan yang tidak kami lihat”.

Pengalaman-pengalaman ruhani para sufi hanya dapat dicapai melalui mujahadah, berperang melawan diri sendiri, melawan setan yang bersemayam dalam dada setiap manusia tanpa kecuali. Mujahadah berupa zikir, puasa dan berbagai kegiatan yang bersifat ubudiyah kepada Allah, lewat itulah Allah berkenan memberikan karunia berupa Makrifat yaitu mengenal Dzat Allah yang Maha Agung. Jadi makrifat itu bukan hasil pencarian tapi merupakan karunia dari Allah SWT.

Sebelum mencapai tahap makrifat, seorang salik (murid penempuh jalan kepada Tuhan) terlebih dahulu mengenal dan mahir dengan Muraqabah, sehingga dia sangat mudah mengenal yang mana malaikat dan yang mana pula setan. Dia akan mudah kenal bisikan-bisikan halus yang menyusup ke dalam dada dan pikiran manusia, bisikan setan atau bisikan malaikat, godaan iblis atau ilham dari Allah.

Banyak orang terjebak di alam rohani, menuntut ilmu hanya dengan membaca atau melakukan ritual tanpa bimbingan dan kesalahan mencari dari guru guru palsu yang BAHLOL sehingga dia merasa sudah mencapai tahap makrifat. Dengan bangga kemudian meneriakkan apa yang diteriakkan tokoh sufi, kerana merasa suci kemudian meninggalkan dan menolak ibadah-ibadah yang sudah jelas-jelas di wajibkan oleh agama. 

Di zaman sekarang kita semakin sulit membezakan antara Hamba Allah atau Hamba Setan, ulama yang merupakan pembawa cahaya Allah atau dukun ulama sebagai duta setan kerana keduanya sudah bercampur aduk. Seorang dukun pun sangat mahir dalam berbicara tentang makrifat dan seolah-olah dia telah mencapai tahap makrifat, padahal apa yang disampaikan hanya sekedar teori dan hasil dari bacaan di buku-buku ghaib dari bisikan bisikan tipu daya setan jin dan setan manusia.

Kerana itu Abu Yazid al-Bistami mengingatkan kita semua lewat ucapan Beliau, “Barangsiapa yang menuntut ilmu Tanpa Syekh (Guru yg benar ) maka wajib setan Syekh (Guru) nya”.

Sulit memang membezakan ilmu yang benar dan ilmu yang keliru kerana apa yang kita sebut sebagai ilmu benar itu boleh jadi keliru. Standar untuk mengukur apakah ilmu yang kita pelajari itu sah atau tidak bukan pada bentuk ilmunya. Semua orang mengklaim memperoleh ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist. Sah atau tidaknya tergantung kepada Guru Mursyid tempat dia memperoleh ilmu tersebut. 

Dalam dunia tarekat Silsilah atau Rantai Emas yang merupakan menyambung antara Guru satu dengan Guru sebelumnya sampai kepada Rasulullah SAW adalah alat pengukur apakah ilmu yang diajarkan itu sah atau tidak. Kalau ilmu yang diperoleh dari Guru yang Silsilah Keguruannya tidak bersambung kepada Rasulullah SAW maka ilmu tersebut wajib diragukan keasliannya.

Seorang Guru Mursyid akan mengajarkan ilmu kepada para murid baik syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat dalam satu pakej sebagai warisan dari Rasulullah SAW. Hadist yang disampaikan Guru Mursyid benar-benar dijamin keasliannya kerana memang disampaikan lewat jalur yang sah, jalur yang bersambung yang terjamin keasliannya. Seluruh ajaran Guru Mursyid tidak akan terlepas dari apa yang di firmankan oleh Allah SWT dan apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tidak berubah dan tidak akan diubah sampai akhir zaman.

Satu hal yang harus diingat bahwa yang langka di dunia ini bukan ilmu berhubungan dengan Allah, bukan ilmu tarekat, bukan juga ilmu syariat kerana semua ilmu itu boleh diperoleh dimana saja, dibuku, pasantren, universiti Islam, yang langka adalah Guru Mursyidnya, Grand Masternya yang menumpahkan ilmu lewat dada Beliau kepada para murid dimana saja si murid berada dan bila bila saja. Ilmu yang ditumpahkan lewat dada ini lah yang benar-benar murni berasal dari Rasulullah SAW. Ucapan Nabi, “Tidak ada yang tersisa di dadaku ini kecuali aku tumpahkan ke dada Abu Bakar”.

Hamzah paman Nabi ingin sekali belajar Al-Qur’an dan ingin sekali paham tentang Al-Qur’an. Ketika Hamzah mengemukakan keinginannya kepada Nabi, kemudian Nabi memeluk paman Beliau dan sejak saat itu Hamzah langsung paham tentang Al-Qur’an. Nabi telah mentransfer Nur Al-Qur’an yang murni dari dada Beliau kepada dada paman Beliau.

Akhirnya kita selalu bersyukur kepada Allah SWT kerana Allah dengan Rahman dan Rahimnya berkenan memperkenalkan kepada kita Auliya-Nya, Kekasih-Nya yang lewat Kakasih-Na itu kita dibawa berkenalan dengan Allah SWT yang Maha Agung dan Maha Suci sehingga ibadah yang kita lakukan benar-benar tanpa keraguan sedikitpun., Amin ya Rabbal ‘Alamin!

No comments:

Post a Comment