Sunday, March 27, 2016

AJARAN CINTA PARA SUFI

Dapat dikatakan bahwa semua perbuatan baik dan akhlak mulia yang diajarkan oleh agama adalah buah dari cinta. Sedangkan segala yang tidak dibuahkan oleh kecintaan kepada Allah adalah karena mengikuti hawa nafsu dan merupakan akhlak yang tercela. Memang, kadang-kadang seseorang mencintai Allah karena kenikmatan yang diterimanya. Tapi, kadang seorang juga mencintai Allah karena keagungan dan keindahan-Nya meskipun Dia “tidak memberikan” kenikmatan kepadanya. Para pecinta tidak terlepas dari kedua macam cinta tersebut.

Maka dari itu, Imam Al-Junaid mengatakan, “Dalam mencintai Allah, orang terbagi menjadi dua macam, yaitu awam dan khusus. Orang awam memperoleh cinta tersebut karena mereka mengenal kebaikan dan kenikmatan-kenikmatan Allah yang terus-menerus, serta tak terhitung jumlah dan banyaknya. Mereka tidak mampu mengendalikan diri mereka agar rela kepada-Nya. Besar kecil cinta mereka tergantung besar-kecilnya kebaikan Allah yang mereka terima.

Sedangkan orang khusus memperoleh cinta karena besarnya kemampuan, kekuasaan, ilmu pengetahuan, hikmah, dan upayanya untuk menjadikan Sang Kekasih sebagai satu-satunya yang harus ia cintai. Ketika mereka mengenal sifat-sifat-Nya yang sempurna dan nama-nama-Nya yang indah, mereka tidak mampu menolak untuk mencintai-Nya.

Dengan sifat-sifat dan nama-nama tersebut, bagi mereka Tuhan berhak untuk dicintai. Hal itu karena Allah memang layak memperoleh cinta meskipun Dia hilangkan semua kenikmatan dari para pecinta khusus tersebut.” Disarikan dari Al-Mahabbah, Ihya Ulumuddin, karya Imam Al-Ghazali.

2). KENIKMATAN APA YANG LEBIH INDAH?

Apakah mengenal diri sendiri sudah cukup? Apakah dengan berzikir sudah cukup memberi kenikmatan? Bukankah itu masih berupa kesenangan indrawi? Bukankah itu masih memiliki bentuk dan rupa? Apakah surga adalah puncak kenikmatan? Imam Al-Ghazali mempertanyakan, apa artinya janji Allah jika mengingat-Nya adalah kenikmatan paling sempurna? Bahkan, orang-orang yang mengenal Allah pasti tahu bahwa kenikmatan hawa nafsu yang beraneka ragam itu sudah tertampung dalam kenikmatan ini (kenikmatan hati memandang wajah-Nya), seperti dilukiskan dalam bait syair berikut:

Ada ribuan nafsu di hatiku
Menyatu padu sejak Aku mengenal-Mu
Orang-orang yang kudengki dahulu
Kini berbalik mendengki diriku
Jadilah aku tuan dari makhluk segala penjuru
Sejak Engkau menjadi tuanku
Wahai agamaku! Wahai duniaku!
Kubiarkan manusia memilikimu
Sebab kesibukanku kini adalah menyebut-Mu
Sebagian sufi yang lain pun bersenadung:
Jauh dari-Nya lebih panas dari neraka
Di pangkuan-Nya lebih damai daripada surga

Menurut Al-Ghazali, apa yang sebenarnya ingin mereka katakan adalah bahwa kenikmatan hati mengenal dan mengetahui Allah lebih penting daripada kenikmatan makan, minum ataupun kawin. Sebab, surga adalah sumber dari segala kenikmatan pancaindera, sedangkan kenikamtan hati adalah saat berjumpa dengan Allah semata. (Imam Al-Ghazali dalam Al-Mahabbah, Ihya Ulumuddin). 

3). KETAWADHUAN DARI NABI MUSA A.S

Di riwayatkan bahwa Nabi Musa as sering bermunajat kepada Allah di Gunung At-Thur. Suatu saat Allah Menurunkan wahyu kepadanya. “Ketika nanti engkau datang untuk bermunajat kepada-Ku, bawalah bersamamu suatu makhluk yang engkau merasa lebih mulia darinya.” Kemudian Nabi Musa mencari kesana kemari. Melihat dan memperhatikan satu demi satu wajah manusia yang ia temui. Ia pun mendatangi pasar budak, mungkin saja ia temukan manusia yang ia cari. Setiap melihat seseorang, ia berpikir dalam benaknya “apakah aku lebih mulia darinya? Mungkin saja ia lebih mulia dariku di sisi Allah swt.”

Hingga akhirnya ia tidak berani menganggap dirinya lebih mulia dari manusia, bagaimanapun kondisinya. Kemudian pandangannya beralih kepada hewan, mungkin dirinya pantas merasa lebih mulia dari hewan. Tapi ia tetap tak menemukan. Hingga akhirnya ia temukan se'ekor anjing yang berpenyakit kulit. Kondisi anjing ini begitu buruk dan penyakitan. Hatinya pun bergumam “Sepertinya aku bisa membawa anjing ini bersamaku.” Kemudian Nabi Musa membawanya ke tempat ia biasa menyendiri dan bermunajat kepada Allah SWT. Di tengah jalan, ia menoleh kepada anjing ini. Hatinya dipenuhi dengan penyesalan karena telah merasa lebih mulia darinya. Tiba-tiba ia lepaskan tali dari leher si anjing dan menyuruhnya pergi. 

Sesampainya di tempat munajat, Allah Berkhitob kepadanya. “Wahai Musa, apakah kau telah membawa apa yang telah Kami Perintahkan kepadamu sebelumnya?” Ia menjawab, “Tuhanku, aku tak menemukan sesuatu yang Engkau Minta dariku itu.” Lalu Allah Berfirman: “Demi Kemuliaan dan Kebesaran-Ku, andai engkau membawa sesuatu (yang kau anggap lebih hina darimu) maka akan aku hapus namamu dari nama-nama para Nabi.”

Sungguh besar rasa tawadhu’ dari Nabi Musa as. Dengan semua kemuliaan yang ia peroleh, Nabi Musa tidak berani menganggap dirinya lebih mulia, walau dari se'ekor anjing. Lalu siapakah kita jika merasa lebih mulia dari orang lain? Siapa kita yang menganggap diri ini lebih benar dari orang lain? Sungguh kesombongan telah merasuki jiwa kita tanpa terasa. Akankah kita menganggap diri kita lebih mulia dari Nabi Musa as?

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” ( QS. Al-Hujurat : 13 )

No comments:

Post a Comment