Ibnu Mas’ud memberi nasihat, “Kefakiran dan kekayaan hanyalah sebuah kendaraan. Aku tak mau peduli mana yang akan aku naiki. Kalau aku fakir, maka aku dituntut untuk sabar. Dan, kalau aku kaya, maka aku harus rela berkorban”. Urwah Ibn Zubair suatu ketika harus dipotong sebelah kakinya dari lutut lantaran digerogoti suatu penyakit. Menanggapi hal tersebut, ia berkata: “Alhamdulillah, Allah telah mengambil sebelah kaki dariku. Demi Allah, jika Engkau telah mengambil kakiku sebelah, tetapi sesungguhnya Engkau sisakan untukku yang sebelah. Jika Engkau memberiku cobaan, maka sungguh Engkau telah menyelamatkan aku.” Malam itu ia tetap tidak meninggalkan wirid yang biasa dilakukannya. (Imam Al-Ghazali dalam Al-Mahabbah wa asy-Syauq wa al-Uns wa al-Ridha).
TINGKAT KENIKMATAN CINTA
Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah, Ihya Ulumuddin membagi 4 tingkat kenikmatan cinta. Metafor cinta yang dijelaskannya sungguh membuka mata hati kita bercermin pada tingkat apa cinta kita kepada Allah SWT.
Pertama: Cinta karena kecantikan & ketampanan wajah sang kekasih. Semakin cantik atau tampan wajahnya, maka akan semakin nikmat memandang wajahnya.
Kedua: Kuatnya cinta dan nafsu asmaranya. Kenikmatan yang dirasakan oleh yang begitu mendalam cintanya berbeda dengan orang yang dangkal cintanya.
Ketiga: Pengetahuan cintanya.Kenikmatan memandang sang kekasih dalam gelap, dari balik tirai tipis, atau dari jarak jauh, tidak akan sama dengan kenikmatan memandangnya dari dekat, tanpa tirai dan di bawah lampu yang terang. Apalagi kenikmatan berbaring bersamanya tanpa dengan atau tanpa pakaian.
Keempat: Ada tidaknya rintangan dan kesedihan. Kenikmatan yang dirasakan orang yang sehat, tidak punya masalah, dan memandangnya seorang diri,pasti tak akan sama dengan kenikmatan yang dirasakan orang yang sakit, sedang bersedih, takut dan hatinya sibuk dengan banyak masalah.
Lalu, mari kita coba bayangkan, ada orang yang sedang jatuh cinta, tapi kadar cintanya tidak seberapa. Ia memandang kekasihnya dari balik tirai tipis, dari jarak jauh dan tak melihat dengan jelas. Saat itu ia dikerubungi dan disengat serangga berbisa semacam kalajengking dan tabuhan yang mengganggu sehingga hatinya tidak tentram. Dalam situasi semacam ini tentu ia tidak akan merasakan kenikmatan sedikit pun saat memandang kekasihnya.
Bayangkan pula, tiba-tiba keadaan berubah. Tirai itu terkoyak dan cahaya menyala begitu sempurna. Tak ada serangga yang menyakiti. Fisiknya juga sehat, hatinya tenang tak punya masalah, dan gelora nafsunya mencapai puncak.
Coba bayangkan, betapa berlibatgandanya kenikmatan yang ia rasakan itu. Jangan perbandingkan dengan kondisi sebelumnya. Yang sebelumnya pasti tak ada artinya apa-apa! Begitulah kira-kira perbandingan antara kenikmatan menatap wajah Allah dan makrifat. Tirai tipis adalah perumpamaan bagi tubuh dan kesibukan mengurusnya. Kalajengking dan tabuhan adalah perumpamaan bagi hawa nafsu yang menguasai manusia, seperti haus, lapar, marah, sedih, susah dan lemah syahwat.
Cinta adalah perumpamaan bagi keterbatasan jiwa berikut segenap kelemahannya di dunia, cenderung menoleh ke alam rendah dan tidak merindukan ke alam tinggi. Keterbatasan jiwa ini bisa diibaratkan seperti keterbatasan bayi untuk merasa tertarik dengan kenikmatan kekuasaan, sebab ia hanya menyukai dunia bermain saja”. (Dikutip dari Al-Mahabbah, Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali).
No comments:
Post a Comment