“Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas kesempatan beramal yang engkau lewatkan dan tidak adanya penyesalan atas pelanggaran yang engkau lakukan”. (Syeikh Ibn Atha’illah dalam Al-Hikam). Sahabatku, setidaknya terdapat 3 penyebab utama matinya hati. Pertama, terlalu cinta kepada dunia. Kedua, kurangnya kehati-hatian dan kurang berzikir. Ketiga, selalu menuruti hawa nafsu.
Obat untuk penyakit pertama adalah dengan menanamkan sikap sederhana, qanaah dan berhemat. Untuk obat bagi penyakit kedua adalah dengan menumbuhkan kesadaran secara terus-menurus akan kehadiran Allah disertai dengan doa dan munajat kepada-Nya.
Dan, untuk obat penyakit ketiga adalah dengan mengikuti para guru yang telah mendapatkan cahaya Ilahi, yang telah berada di jalan kenabian, dengan nasihat, petuah, dan instruksi-instruksi mereka untuk mengolah jiwa (riyadhah) dan menundukkan hawa nafsu. Demikian menurut Syekh Fadhlalla Haeri.
CINTA SEJATI DAN KEMATIAN
Imam Sofyan Ats-Tsauri dan Bisyr Al-Hafi pernah mengatakan, “Tidak akan membenci kematian kecuali orang yang meragukannya. Sebab, bagaimanapun juga seorang kekasih tidak akan pernah membenci pertemuan dengan kekasih yang dicintainya.”
Al-Buwaithi berkata kepada salah seorang zahid, “Apakah engkau mencintai kematian?” Mungkin orang yang zahid itu ragu dan tidak menjawab pertanyaan tersebut. Maka, Al-Buwaithi berkata lagi, “Jika kau orang yang jujur, tentu kau akan mencintai kematian.”
Lalu, dia membacakan firman Allah SWT, “Berharaplah engkau akan kematian jika engkau (benar-benar) orang-orang yang jujur,” (QS Al-Baqarah [2]: 94). Lalu, lelaki zahid itu menjawab, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian mengharap-harap kematian.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Al-Buwaithi menjawab, “Beliau berkata seperti itu untuk orang yang sedang dirundung penderitaan. Ingatlah bahwa rela menerima ketentuan Allah SWT jauh lebih utama dibandingkan dengan lari dari ketentuan itu.” (Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mahabbah wa al-Syawq wa al-Uns wa al-Ridha).
MUNGKINKAH INI KEMBANG API TERAKHIR?
Kematian bisa datang kapan saja. Maka, persiapan menyambut kematian lebih penting daripada perayaan tahun baru. Di tengah maraknya perayaan dan pesta, ada baiknya kita merenung, bermuhasabah dan berzikir kepada Allah. Mungkin, ini adalah kembang api terakhir yang pernah kita lihat di dunia. Di sisi lain, kita juga harus memiliki harapan setinggi-tingginya kepada Allah. Dialah Sang Maha Pemberi harapan. Bukan harapan kepada makhluk. Tapi, harapan suci kepada Allah, harapan agar Allah mengampuni dosa kita, harapan mendapat keberkahan rezeki, ilmu, perubahan nasib, kebahagian hidup dunia dan akhirat. Namun ingatlah, kematian pasti akan datang, kapan pun dan dimana pun. Sudahkah kita mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan-Nya?
Imam Al-Ghazali mengatakan: “Ketahuilah, sesungguhnya yang disukai dari orang yang sedang mendekati ajalnya adalah ketentraman dan ketenangan. Dari lidahnya terucap dua kalimat syahadat dan dari hatinya ia berprasaka baik kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda: “Perhatikanlah 3 hal yang terdapat pada orang yang sedang dalam keadaan sakaratul-maut; Jika keningnya berkeringat, berair kedua matanya, dan kering kedua bibirnya,berarti rahmat Allah telah turun kepadanya. Tetapi, jika ia kelihatan seperti orang yang tercekik, memerah warna kulitnya, dan pucat kedua bibirnya, maka itu adalah akibat azab Allah kepadanya.” (HR At-Tirmidzi)
Imam Al-Ghazali juga mengatakan: “Lidah yang lancar mengucapkan dua kalimat syahadat adalah tanda yang baik dalam menghadapi kematian. Abu Sa’id Al-Khudri menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tuntunlah kepada orang-orang yang hendak mati dengan kalimat La Ilaaha illa Allah.” Pada riwayat yang lain, Hudzaifah juga menuturkan, “Sesungguhnya kalimat tersebut akan menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya.” Sahabat Utsman bin Affan r.a. mengatakan, “Barangsiapa mati dalam keadaan yakin bahwa tidak ada tuhan selain Allah, niscaya ia masuk surga.” Ubaidillah mengatakan, “wa huwa yashadu (dan dia bersaksi).”
Sahabat Utsman r.a. mengatakan, “Apabila seseorang menjelang ajalnya, maka tuntunlah ia dengan membaca La ilaha illa Allah. Sebab, setiap orang yang mengakhiri hidupnya dengan kalimat tersebut, itu akan menjadi bekalnya menuju surga.” Sahabat Umar r.a. mengatakan, “Tungguilah orang-orang yang akan mati di antara kalian, dan ingatkanlah mereka. Sesungguhnya mereka itu bisa melihat sesuatu yang tidak bisa kalian lihat. Tuntunlah mereka membaca La ilaha illa Allah.”
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Malaikat maut menghampiri seseorang yang akan mati. Lalu, ia akan memerhatikan hati orang tersebut, namun ia tidak akan mendapati apa pun di dalamnya. Ia lalu membuka sepasang bibirnya, dan mendapati ujung lidahnya menempel pada langit-langit mulutnya seraya mengucap La ilaha illa Allah. Ia lalu diampuni berkat kalimat ikhlas itu.” (HR Ibnu Abi Dunya, Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi).
Orang yang sedang menuntun (talqin) sebaiknya jangan bernada mendesak/memaksa. Tetapi, harus dengan cara yang halus dan lembut. Sebab, lidah orang yang sedang dituntun itu kadang berat untuk berkata-kata lagi, sehingga jika dipaksa justru akan semakin membebaninya, dan boleh jadi akan membuatnya tidak mau untuk menirukan ucapan yang baik tersebut. Sesungguhnya makna kalimat tersebut adalah agar ketika seseorang hendak meninggal duna, di dalam hatinya tidak ada sesuatu pun selain Allah. Dan, jika satu-satunya yang dicari olehnya hanya Allah Yang Mahaesa dan Mahabenar, maka kedatangannya kepada Allah akan menjadi puncak kenikmatan.
Sebaliknya, jika hatinya masih diliputi perasaan cinta kepada duniawi, maka meskipun kalimat syahadat tersebut berada di ujung lidahnya, tapi tidak menembus ke dalam hatinya, dan nasibnya akan bergantung kepada kehendak Allah. Karena, gerakan lidah saja tidak membawa faedah apa-apa, kecuali jika Allah berkenan menerimanya.” (Imam Al-Ghazali dalam kitab Zikir al-Maut wa Ba’dahu, Ihya Ulumuddin).
No comments:
Post a Comment