Menurut Imam Syibli, yang dimaksud dengan syukur adalah memerhatikan (Zat) yang memberikan kenikmatan, bukan pada kenikmatan-Nya. Pendapat lain menyebutkan bahwa syukur adalah mengatur sesuatu yang telah ada dan mencari sesuatu yang belum ada.
Menurut Abu Utsman, yang dimaksud dengan syukurnya orang awam adalah orang yang bersyukur kepada orang yang memberikan makanan dan pakaian. Sedangkan yang dimaksud dengan syukurnya orang khawwas (orang khusus) adalah orang yang bersyukur kepada sesuatu yang mengandung arti di dalam hati. Nabi Dawud a.s. pernah mengatakan, “Ya Tuhan, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu, sedangkan syukurku kepada-Mu adalah (karena) kenikmatan dari-Mu?”
Lalu, Allah menurunkan wahyu kepadanya; sekarang, engkau telah bersyukur kepada-Ku.” Demikian juga yang terjadi pada Nabi Musa a.s. ketika bermunajat kepada Allah SWT, “Ya Tuhanku, Engkau telah menciptakan Nabi Adam dengan kekuasaan-Mu dan berbuat ini dan itu. Bagaimana tentang syukurku?” Maka, Allah berfirman, “Adam mengetahui hal-hal itu dari-Ku. Karena itu, kemakrifatannya merupakan rasa syukur kepada-Ku.”
Alkisah. Seseorang memasuki rumah Sahal bib Abdullah. Dia mengadukan sesuatu kepadanya, “Sesungguhnya seorang pencuri telah memasuki rumahku dan mengambil barang-barang daganganku.” Kemudia pencuri itu berkata, “Bersyukurlah kepada Allah SWT, seandainya ada pencuri memasuki hatimu, sedang dia adalah setan, lalu dia merusak tauhidmu, apa yang harus kau kerjakan?” (Risalah Qusyairiyah).
No comments:
Post a Comment