Saturday, March 26, 2016

PESAN IMAM AL-GHAZALI TENTANG IBADAH HAJI

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali memberi penjelasan tentang ibadah haji, baik secara syariat ataupun secara batiniah. Menurut beliau, di antara adab yang paling penting dalam perjalanan haji bagi seorang Muslim adalah mengkhususkan dirinya untuk melakukan haji dan memutuskan segala hubungannya dengan dunia. Hal tersebut harus dilakukan dengan melakukan taubat yang murni semata-mata karena Alah SWT, serta bebas dari semua perbuatan maksiat dan kezhaliman.

Karena, setiap kezhaliman itu merupakan pengait dan setiap pengait itu seperti musuh yang memberikan pinjaman dan ia akan mengait ke arah seseorang dan akan berkata, “Ke mana engkau menghadap, wahai Fulan? Apakah engkau menuju ke Rumah Allah, Raja dari segala raja, sedangkan engkau menyia-nyiakan perintah-Nya di rumahmu dan mengabaikan-Nya? Tidakkah engkau malu bahwa engkau datang kepada-Nya sebagaimana datangnya seorang hamba yang suka bermaksiat, lalu Dia akan menolakmu dan tidak menerimamu?"

Imam Al-Ghazali berpesan: "Jika engkau ingin hajimu diterima, pertama-tama laksanakan perintah-perintah-Nya, kembalikanlah apa-apa yang diperoleh dengan zhalim, bertaubatlah kepada-Nya dari semua maksiat, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dengan selain Dia, agar engkau menghadap kepada-Nya dengan wajah hatimu sebagaimana engkau menghadap kepada rumah-Nya dengan wajah tubuhmu. Jika engkau tidak melakukan itu, engkau tidak mendapatkan apa-apa dari perjalananmu kecuali kelelahan dan kesengsaraan, lalu dicampakkan dan ditolak.

Jika seorang yang menunaikan haji membeli dua pakaian ihram, hendaklah ketika itu ia ingat akan kain kafan dan ingat pula bahwa ia akan dibungkus dengannya. Sesungguhnya ia akan mengenakan dua pakaian ihram ketika dekat dengan Baitullah dan barangkali belum sempat menyempurnakan perjalanannya kepada-Nya tiba-tiba ia sudah harus menjumpai Allah dalam keadaan dibungkus dengan kain kafan.

Sebagaimana ia tidak menjumpai rumah Allah kecuali dalam keadaan berbeda dengan kebiasaannya dalam berpakaian, maka ia juga tidak menjumpai Allah setelah mati melainkan dengan pakaian yang berbeda dengan pakaian dunia. Pakaian ihram ini mirip dengan pakaian untuk kafan, yaitu tidak ada jahitannya.

Di antara kedalaman-kedalaman ibadah haji adalah bahwa seseorang berangkat dari negerinya hendaknya ia berpisah dengan keluarganya dan tanah airnya dalam rangka menghadap Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan perjalanan-perjalanan dunia. Hendaknya ia hadirkan di dalam hatinya apa yang ia inginkan: Ke mana ia menghadap dan siapa yang ditujunya.
Hendaknya ia menyadari bahwa ia menghadap kepada Sang Maha Pemelihara dari segala pemelihara dalam rombongan orang-orang yang diseru lalu mereka memenuhinya, memutuskan segala hubungan, berpisah dengan orang-orang, dan mendatangi Baitullah, yang Allah agungkan dan tinggikan kedudukannya, sampai ia memberikan kepada mereka puncak cita-cita mereka dan mereka berbahagia dengan memandang kepada Sang Maha Pelindung.

Hendaklah ia hadirkan di dalam hatinya harapan akan sampainya dan diterimanya amalnya, tidak tertipu dengan amal-amalnya, tidak merasa mulia dengan keberangkatanya, dan tidak merasa bangga dengan meninggalkan keluarganya dan hartanya. Melainkan percaya dengan anugerah Allah SWT dan berharap Dia mewujudkan janji-Nya bagi orang yang menziarahi Rumah-Nya, dan berharap, apabila ia tidak sampai ke rumah dan menemui ajalnya di dalam perjalanan, ia akan berjumpa dengan Allah sebagai orang yang mendatangi-Nya, sebagaimana yang Allah katakan dalam surah An-Nisa`, yang artinya, “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’: 100)."

Menurut Imam Al-Ghazali, bagi mereka yang telah sampai di Baitullah hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Hendaknya ia juga merasa takut apabila ia tidak mendapatkan kedekatan dengan Allah yang membuatnya masuk ke Tanah Haram.
Hendaknya harapannya ada di sepanjang waktu. Kemurahan Allah itu merata, Tuhan itu Maha Penyayang, kemuliaan Baitullah itu sungguh besar, hak orang yang berziarah itu dijaga, dan orang yang meminta pertolongan dan perlindungan itu tidak akan disia-siakan. Apabila pandangan seseorang tertuju kepada Ka`bah, hal itu akan menghadirkan keagungan Baitulah di dalam hatinya."

Imam Al-Ghazali berkata kepada orang yang memandangnya, “Berharaplah agar Allah memberikan rezeki kepadamu agar dapat melihat wajah-Nya yang mulia sebagaimana Dia telah memberi rezeki kepadamu dapat memandang Rumah-Nya yang agung. Bersyukurlah kepada-Nya karena Dia menyampaikanmu pada kedudukan ini dan menggabungkanmu dalam kelompok orang-orang yang mendatangi-Nya.

Di saat itu ingatlah bagaimana manusia digiring pada hari Kiamat menuju surga, yang mana mereka terbagi-bagi ke dalam orang-orang yang diberikan izin untuk memasukinya dan orang-orang yang dipalingkan, sebagaimana terbagi-baginya para jama’ah haji menjadi orang-orang yang diterima dan yang ditolak hajinya. Dan teruslah mengingat perkara-perkara akhirat dalam segala yang dilihat, karena segala hal ihwal haji menunjukkan hal ihwal akhirat.

Kemudian ketika melaksanakan thawaf di Baitullah, hendaknya ingat bahwa thawaf adalah seperti shalat, sehingga hadirkanlah dalam qalbu keagungan Allah, rasa takut dan rasa harap kepada-Nya, dan seluruh perasaan cinta kepada-Nya. Dengan melaksanakan thawaf, jama’ah haji mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan mengelilingi seputar arasy.

Janganlah berpandangan bahwa thawaf adalah semata-mata mengelilingi Ka`bah dengan tubuh, melainkan thawaf juga dengan qalbu dan senantiasa ingat kepada Allah. Dengan demikian, kita memulai berpikir dan mengakhirinya karena Allah. Ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya yakin sedang menjalin sumpah kesetiaan dengan Allah dan akan mematuhi-Nya.”

Setelah selesai melaksanakan thawaf dan kemudian menuju Bukit Safa untuk melaksanakan sa`i, Al-Ghazali juga berpesan: “Laksanakanlah sa`i laksana bolak-baliknya seorang hamba di halaman istana seorang raja. Hamba itu datang dan pergi berkali-kali untuk menyatakan ketulusan pengabdiannya dan mendambakan perhatian dengan pandangan kasih sayang, laksana orang yang masuk dan keluar dalam menghadap seorang raja. Sedangkan ia tidak tahu apa yang akan ditetapkan sang raja terhadap dirinya, yakni diterimakah atau ditolak. Kalau gagal pada kali pertama, ia berharap meraih kasih sayang pada kali kedua.” (Disarikan dari kitab Ihya Ulumuddin, karya Imam Al-Ghazali). 

No comments:

Post a Comment