(Surat dan Maulana Said Ahmad Khan untuk Bhai Abdul Wahhab)
Usaha yang sangat besar ini (dakwah dan tabligh) memiliki tertib yang sangat halus. Nafsu hanya dapat diperbaiki apabila tertib ini dipegang dengan sungguh-sungguh. Enam prinsip akan segera tertanam apabila tertib diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, apabila tertib tidak diterapkan, bahkan penjelasan tentang enam prinsip pun tidak akan ada gunanya. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1). Bersikap tawadhu’ ketika berbicara, berjalan, makan, bermuamalah, dan bermuasyarah. Pendek kata, tawadhu’ hendaknya benar-benar diterapkan dalam setiap perbuatan. Bersikap tawadhu’ sangat penting terutama ketika menyampaikan bayan. Kita jangan sampai menganggap diri kita besar dan meremehkan orang lain, tetapi hendaknya kita menganggap kecil diri kita ketika menyampaikan bayan. Namun demikian, karena pembicaraan yang disampaikan dalam bayan berasal dan Allah swt. dan Rasul-Nya saw, maka orang yang menyampaikan bayan hendaknya berbicara dengan semangat dan keagungan. Jangan menyampaikan bayan dengan lemah.
Ucapan yang bernilai tinggi harus disampaikan dengan cara yang baik pula. Melakukan yang demikian ini nampaknya problematis, tetapi tidak mustahil untuk dilakukan. Hindarilah menggunakan kata-kata yang menghakimi ketika berbicara. Jauhilah mengecam dan mengkritik seseorang. Salah satu tanda-tanda tawadhu’ adalah apabila seseorang mencela kita atau mengecam kita, maka kita menerimanya dengan sabar dan tahan uji. Jangan marah kepadanya. Inilah sunnah dan penghulu para Nabi, penguasa dua dunia, s.a.w. Inilah sumber kemajuan bagi orang yang terjun dalam dakwah.
Apabila dikatakan kepada kita bahwa kita kurang memiliki sifat dan enam sifat seperti ilmu, dzikir, ibadah, akhlaq, atau keikhlasan misalnya, atau kita kurang memiliki semangat pengorbanan, kita harus mengakui kekurangan kita dan sifat-sifat tersebut memang tidak kita miliki. Dalam pada itu, berterimakasihlah kepada orang yang telah berbaik hati menunjukkan kekurangan kita. Juga berdoalah kepada Allah swt agar Dia memberikan sifat-sifat tersebut kepada kita. Sayyidina Umar r.a. berkata, “Temanku adalah orang yang menegurku ketika aku bersalah.” Dengan cara ini, kita akan dapat memperbaiki hati kita dan nafsu kita, dan kita akan memperoleh taufik dari Allah swt. dalam menuju kebenaran.
Hakikat ilmu terletak pada hadirnya hati (dan pikiran), juga terletak pada tunduk kepada kebesaran Allah swt. Hakikat akhlaq terletak pada berbuat baik kepada musuh dan memaafkan orang lain. Hakikat ikhlas adalah selalu terjaga dan kejahatan hawa nafsu dan mengkhawatirkan apakah amal baiknya diterima atau tidak. Hakikat pengorbanan terletak dalam memegang perintah Allah swt di atas segalanya, dengan cara mengorbankan dirinya dalam rangka memegang perintah Allah swt tersebut. Dengan demikian, apabila seseorang menunjukkan kesalahan anda, akuilah kesalahan tersebut. Dalam pada itu, syaitan akan menghalangi anda agar tidak mengakui kesalahan anda, sehingga timbul perasaan dendam dalam hati anda. Bahkan apabila kita tidak mampu melihat kesalahan kita, hendaknya kita tetap mengakui bahwa diri kita memiliki kesalahan dan kekurangan. Inilah jalan untuk memperbaiki diri.
2). Asas kedua adalah, kita hendaknya menghormati dan memuliakan orang lain. Tujuannya adalah untuk mempertahankan dan menyuburkan Kalimah dalam diri kita, sehingga kebesaran Kalimah selalu meningkat dalam hati kita agar iman kita selalu bertambah, sehingga ajaran Islam mudah kita amalkan. Apabila kita membenci sesama muslim dalam hati kita, kebesaran Kalimah Tauhid akan hilang dari dalam hati. Namun demikian, kita harus membenci dosa yang dilakukan oleh seorang muslim, bukan membenci orangnya. Inilah kepandaian dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang da’i. Hal seperti ini perlu untuk dipelajari.
Hendaknya teman-teman lebih dihormati daripada orang-orang lain. Sikap seperti ini akan menuju kepada tingkatan akhlaq dalam arti kata yang sebenarnya. Ini merupakan masalah yang sulit karena diperlukan kebijaksanaan terutama ketika menasihati teman yang melakukan kesalahan. Apabila kita belum memiliki cara yang bijak untuk menasihatinya, hendaknya kita jangan memberi nasihat kepadanya, tetapi berdoalah untuknya, dan sebutkanlah secara halus dalam majelis. Banyak kejahatan yang timbul dalam masyarakat karena kurangnya rasa hormat terhadap teman. Seorang da’i selalu menghadapi ujian, kesulitan, dan sebagainya. Kadang-kadang ia diganggu oleh sanak keluarga dekatnya atau oleh orang lain.
Di dalam ujian dan kesulitan itu terletak manfaat untuk memperbaiki dan memperkuat keruhaniannya. Sebuah hadits menyatakan, “Semua keadaan bermanfaat bagi seorang mukmin. Apabila ia mendapat kenikmatan, ia akan bersyukur, dan apabila ia ditimpa musibah, ia akan bersabar.” Dengan demikian, kita tidak perlu gelisah, tetapi hendaknya tetap sibuk dalam dakwah. Akan tetapi, kita harus berhati-hati terhadap murka Allah, hendaknya kita meminta ampunan atas kesalahan kita, dan merasa takut kalau-kalau kita terjauh dari rahmat-Nya. Insya Allah kita akan berhasil.
Sesuatu yang juga sangat penting, hendaknya kita pandai-pandai melihat keadaan. Dengan kata lain, bagaimanakah kita harus berbuat ketika berhadapan dengan situasi tertentu. Ketika Allah swt mengangkat Rasulullah saw menjadi Nabi, beliau melaksanakan kewajiban berdakwah selama tiga tahun pertama dengan sembunyi-sembunyi. Setelah itu, turunlah wahyu yang memerintahkan agar beliau menyampaikan dakwahnya dengan terang-terangan. Kemudian, beliau saw mengumpulkan orang-orang Quraisy Makkah di bukit Shafa, beliau mengajak mereka kepada Islam. Pada saat itu juga, beliau memerintahkan orang-orang yang telah memeluk Islam untuk berdakwah dengan sembunyi-sembunyi dengan mengajak teman-teman dekatnya. Sehingga, Abu Bakar r.a. menjalankan dakwah seorang diri ketika ia mengajak teman-teman dekatnya untuk memeluk Islam.
Inilah dakwah perseorangan atau dakwah dalam kalangan terbatas. Orang-orang yang memeluk Islam, dengan sembunyi-sembunyi mengadakan taklim dan musyawarah di rumah Arqam. Taklim mereka meliputi akhlaq dan tauhid. Rasulullah saw. menanamkan akhlaq kepada para sahabat seperti kejujuran, amanah, ketaatan, kasih sayang, saling menolong, dan sebagainya. Hal ini terbukti dari pidato yang disampaikan oleh Ja’far r.a. di hadapan raja Negus ketika ia bertanya tentang apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Inilah bentuk dakwah perseorangan atau dalam kalangan terbatas, dan taklim dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh para sahabat r.a, yang keduanya dilakukan di rumah Arqam.
Dakwah perseorangan yang dilanjutkan dengan musyawarah ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Makkah Mukarramah. Setelah berhijrah ke Madinah Munawwarah, dakwah dilakukan secara terbuka dan merupakan asbab untuk mencapai tujuan. Akan tetapi, sebelum berhijrah, Mushab bin Umair r.a. ditugaskan ke Madinah untuk berdakwah di balik pintu tertutup. Di sana, ia mengajarkan ilmu dan mengajar Al-Qur’an dan sunnah kepada penduduk Madinah. Peristiwa ini mengajarkan tentang asas dakwah, yakni bagaimanakah dakwah harus dijalankan. Terutama, bagaimanakah seseorang harus bersikap menurut tuntutan keadaan. Di samping itu, Nabi saw tidak mengizinkan Abu Dzar Al-Ghifari r.a untuk tinggal di Makkah Mukarramah, tetapi mengutusnya agar berdakwah kepada kaumnya.
Demikian pula, Amr bin Abasah r.a pulang ke Madinah enam tahun kemudia’n sejak kunjungannya yang pertama, dan kembali ke Madinah lagi tujuh tahun kemudian sejak kunjungannya yang kedua. Selama masa yang panjang tersebut, ia hanya berdakwah di kalangan kaumnya dan hanya mendakwahkan Tauhid. Dan peristiwa ini, kita juga dapat menyimpulkan tentang beberapa asas yang penting. Pendek kata, diperlukan kepandaian menyesuaikan kerja dakwah dengan situasi dan kondisi.
Demikian pula, dalam berdakwah juga diperlukan kepandaian untuk memahami berbagai karakter manusia. Ketika diseru kepada Islam oleh Rasulullah saw, Ali r.a yang pada waktu itu masih berumur sembilan atau sepuluh tahun, ia menjawab bahwa ia akan bermusyawarah dengan orang tuanya. Rasulullah saw memerintahkan Ali ra. untuk merahasiakannya, jangan memberitahu hal itu kepada ayahnya. Demikian pula, Ali r.a. supaya menyatakan ia mau menerima Islam atau tidak. Dari sini, kita juga dapat menyimpulkan tentang asas penting dalam dakwah dan kita juga dapat belajar untuk memahami perasaan orang lain.
Sejak permulaan, orang pertama yang menerima Islam adalah Abu Bakar r.a. Ia adalah seorang sahabat dekat Rasulullah saw; Zaid bin Haritsah r.a, anak angkat beliau saw, Khadijah rha., istri tercinta beliau, dan kemudian Ali r.a, yang pada saat itu berada dalam penjagaan beliau. Dan sini kita dapat mempelajari tentang bagaimanakah kerja dakwah harus ditujukan pada masa-masa awal. Mula-mula ditujukan kepada teman-teman dekat dan orang-orang yang mau menerima Islam. Pendek kata, seluruh cara hidup Nabi saw dan para sahabat harus kita jadikan pedoman. Apabila kita tidak menjadikan cara hidup mereka sebagai pedoman, maka akan terjadi kesalahan yang sulit diatasi, dan persoalan yang sulit diatasi juga akan muncul.
Adapun kesulitan yang dihadapi oleh Rasulullah saw dan para sahabat beliau merupakan hikmah dari Allah swt. Allah swt selalu bersama Nabi saw. Perhatikanlah kata-kata yang menghibur dari Rasulullah saw yang diucapkan untuk menghilangkan rasa takut Abu Bakar r.a. ketika di gua Tsur, “Jangan berkecil hati, Allah swt bersama-sama kita.” Kenapa beliau tidak mengucapkan kata-kata yang sama kepada Amr bin Abasah r.a.? Sedangkan Allah swt juga bersama Nabi-Nya saw. Pada waktu itu.
Banyak asas-asas dakwah yang dapat diambil sebagai pelajaran dari peristiwa semacam itu. Dengan demikian, kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan juga merupakan hal yang sangat penting.
Demikian pula, tahap pertama dalam dakwah terletak pada kebersihan hati seseorang. Dengan kata lain, mula-mula orang yang berdakwah supaya memperbaiki dirinya terlebih dahulu. Kemudian barulah pintu nusrah (pertolongan Allah) akan dibuka baginya, yang diikuti dengan dinampakkannya kekuasaan Allah. Masa memperbaiki diri adalah masa-masa menanggung kesulitan dan kesusahan.
Dan hal ini merupakan sesuatu yang penting dalam periode dakwah. Pelajaran dakwah, baik secara aqidah, amaliah, maupun ilmiah, dijalani pada periode ini. Adapun tujuannya adalah untuk memasukkan yakin (iman kepada Allah). Apakah pelajaran di balik peristiwa yang dialami oleh Ali r.a. ketika ia menuntun Abu Dzar Al-Ghifari r.a. ke rumah Arqam?. Ali r.a. memberitahu kepada Abu Dzar r.a. bahwa apabila ia bertemu dengan orang yang mengenalnya dijalan, ia akan menepi pura-pura sedang buang air kecil, dan Abu Dzar r.a. supaya di depan. Apakah pertolongan Allah swt. tidak bersama mereka pada waktu itu?
Dengan demikian, kita jangan sampai larut dalam semangat yang menggebu-gebu dan berpikiran bahwa karena kita berada di jalan yang benar, maka nusrah Allah akan selalu bersama kita. Kita jangan sampai kehilangan wawasan. mengenai hikma ilahi (yang diterapkan dalam keadaan tertentu), dan larut dalam perasaan sehingga bertindak membabi buta. Hosh (bijaksana) sangat diperlukan bersama-sama dengan josh (Semangat). Josh tanpa hosh merupakan hal yang berbahaya.
Dewasa ini, karena tidak memahami tertib Allah swt, kita berbicara dengan penuh semangat atau berbuat tanpa kebijaksanaan hanya karena menganggap diri kita berada dalam kebenaran. Hal seperti ini bertentangan dengan tertib Allah swt. Akibatnya, kita menghadapi berbagai masalah yang sulit diatasi. Hari ini banyak orang yang melakukan kesalahan semacam itu, tetapi kemudian ia berkata, “Kenapa Allah tidak menolong kita, padahal kita berada dalam kebenaran’. Agar dapat berbicara tentang kebenaran dan beramal di atas kebenaran, cara yang digunakan juga harus benar, sesuai dengan keadaannya pada waktu itu. Untuk dapat memahami hal ini diperlukan kepandaian dan kebijaksanaan.
Sekarang ini, banyak orang yang melakukan kesalahan dalam menerapkan cara yang benar sesuai dengan keadaan. Pendekatan yang benar untuk mencapai tujuan ini sangat penting dalam medan dakwah. Tanpa menggunakan pendekatan yang benar dan latihan, maka kita harus menganggap bahwa diri kita jahil dalam ilmu dakwah. Kita harus mempelajari sejarah dakwah para nabi a.s. sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur’an, kemudian memikirkan dan merenungkannya. Setelah itu, kita harus mempelajari dengan sungguh-sungguh kandungan hadits yang pada hakikatnya merupakan penjelasan dan Al-Qu’an.
Tanpa mempelajari hadits, mustahil dapat memahami Al-Qur’an. Demikian pula, cara hidup para sahabat r.a. juga harus kita kaji. Karena cara hidup mereka juga merupakan penjelasan untuk memahami Al-Qur’an dan hadits. Setelah itu, kita harus menenangkan hati dan menjernihkan pikiran kita. Tanpa pikiran yang jernih, kita dapat tersesat dalam memahami tiga hal yang disebutkan di atas. Adapun akal yang sehat hanya dapat dimiliki apabila kita memiliki sifat-sifat iman seperti mengendalikan diri, yakin kepada Allah, zuhud, qanaah, sabar, syukur, jujur, amanah, adil, taqwa, taubat, dan mencintai Allah swt. dan Rasul-Nya dengan sebenar-benar cinta.
Hanya hati yang tenang (dan pikiran yang jernih) yang dapat mencapai pemahaman yang benar terhadap Al-Qur’an, hadits, dan kehidupan para sahabat r.a., kalau tidak, seseorang dapat terjatuh dan jahil-basit (kejahilan yang ringan) kepadajahil-murakkab (kejahilan yang berat). Akibatnya, ia akan tersesat dan menyesatkan orang lain. Sebagian dari tipuan disebabkan oleh kesalahan dalam memahami sesuatu hal, dan sebagian lainnya disebabkan tidak diperhatikannya tuntutan keadaan. Wassalam.
No comments:
Post a Comment