Imam An-Nawawi di dalam Riyadhush Shalihin menyampaikan wasiat yang disampaikan oleh para imam terhadap para pencari ilmu. Wasiat tersebut diawali oleh imam Adz-Dzahabi dalam bab At-Taubah. Dari Abu hurairah Ra, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun (beristighfar) kepada Allah dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih daripada tujuh puluh kali.”
Imam Adz-Dzahabi pun menyampaikan dari Argharbin Yasar Al-Muzani, Rasulullah saw bersabda, “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah dan beristighfarlah kalian kepadaNya, karena Aku berstighfar dalam sehari 100 kali” (HR. Ahmad).
Di dalam hadits pertama disebutkan bahwa Nabi saw beristighfar 70 kali dan didalam hadits yang lain disebutkan 100 kali. Manakah dari kedua hadits ini yang dimaksud oleh Nabi saw? Apakah kedua perintah hadits ini dapat digabungkan dan diamalkan ? Apakah kedua hadits ini saling bertentangan satu sama lainnya?
Jawabannya, Pasti tidak bertentangan. Maksud istighfar dalam kedua hadits tersebut adalah memperbanyak istighfar dan menghimbau untuk bertaubat dan kembali ke jalan Allah Taala. Tidak ada pertentangan dan tidak ada perbedaan diantara kedua hadits tersebut, sebab perintah istighfar dalam kedua hadits tersebut tidak dibatasi oleh substansi bilangan 100 atau 70 kali. Siapa yang menginginkan lebih daripada jumlah tersebut, itu lebih baik dan diterima. Dan barangsiapa yang istighfarnya tidak sampai 100 atau 70 kali, iapun tidak berdosa dan tidak mengapa, sebab kedua jumlah ini hanyalah perintah mandubah dan mustahabah (disukai), yang menjadikan pelakunya terpuji dan tidak tercela bagi yang meninggalkannya.
Imam Az-Zarkasyi berkata, “Sesungguhnya pengkhusussan dengan bilangan tidak menunjukkan bertambah atau berkurangnya suatu bilangan. Maksudnya tidak menunjukkan penolakan hukum yang dikhususkan dengan bilangan itu, baik bertambah atau berkurangnya bilangan tersebut.
Pendapat ini sama dengan perkataan ulama ushul fikih. Menurut pendapat yang shahih, bahwa pengertian bilangan tidak selalu merupakan dalil ketetapan dan pembatasan. Lalu apakah masuk akal, tuduhan orang yang mencela dan menganggap bahwa jama’ah Tabligh telah membatasi dakwah mereka dengan hitungan hari-hari tertentu dan khusus, seperti 3 hari, atau 40 hari, dan seterusnya?
Padahal 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan itu bukan hujjah dan tidak bermakna pembatasan dan peringkasan dalam kewajiban dakwah, bilangan hari-hari tersebut hanya untuk mempermudah tertib waktu yang digunakan oleh para ahli dakwah dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya. Hal ini bisa dibuktikan dari perkataan para masyaikh, bahwa Waktu-waktu itu hanyalah untuk kemudahan tertib, bukan sebagai pembatasan.
Syaikh umar palanpuri di dalam penjelasannya disalah satu ijtima’ berkata, “siapa yang siap khuruj fi sabilillah 40 hari ?” lalu ada seorang pemuda berdiri, dan berkata, “ ya syaikh kenapa harus 40 hari ?" Lalu syaikh menjawab, “Baik siapa yang siap 39 hari?
Imam Al-Izz bin Abdisallam menyatakan bahwa menyampaikan risalah kepada generasi penerus adalah wajib secara ijma’. Dan kewajiban ini tidak sempurna, kecuali melalui wasilah yang dapat mendatangkan, mendorong, dan menunjukkan kepadanya.
Dalam hal ini tidak ada batasannya, sebagaimana imam syatibi t telah berdalil didalam al ihtisham dengan berkata, “Perintah menyampaikan syariat, tidak ada pertentangan didalamnya, karena Allah swt berfirman:
Wahai rasul, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (Al Maidah:67) Umatnyapun diwajibkan untuk menyampaikan risalah tersebut. Didalam hadits disebutkan, ‘Hendaklah yang hadir diantara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Shahih Bukhari). Dengan demikian, termasuk dalam bab ini adalah khuruj fi sabilillah dan segala penyampaian risalah yang telah dilaksanakan oleh para dai, sepanjang wasilah itu sesuai dengan syar’i, nash, dan maslahat umum.
No comments:
Post a Comment