Friday, March 7, 2014

KISAH PARA SAHABAT YANG SYAHID

1). Shuhaib bin Sinan.

Pada suatu hari Ammar bin Yasir, mengisahkan peristiwa yang terjadi pada waktu itu, “Saya berjumpa dengan Shuhaib bin Sinan di muka pintu rumah Arqam, ketika itu Rasulullah saw sedang berada di dalamnya. “Hendak ke mana kamu?” tanya saya kepadanya “Dan, kamu hendak ke mana?” jawabnya balik bertanya. “Saya hendak menjumpai Muhammad Saw untuk mendengarkan ucapannya,” kata saya. “Saya juga hendak menjumpainya,” ujarnya pula. Akhirnya kami masuk ke dalam dan Rasulullah menjelaskan tentang aqidah agama Islam. Setelah kami meresapi yang dituturkannya, kami pun menjadi pemeluknya.
 Waktu itu, bagi fakir miskin, budak belian dan orang-orang perantau, memasuki rumah Arqam itu merupakan suatu pengorbanan yang melampaui kemampuan yang LAZIm dari manusia. Atau melangkahi batas-batas alam secara keseluruhan. Yakni, alam lama dengan segala apa yang diwakilinya baik berupa keagamaan dan akhlak.

Shuhaib bin Sinan adalah anak pendatang, sedang sahabat yang berjumpa di ambang pintu tadi (Ammar bin Yasir) adalah seorang miskin, tetapi keduanya itu berani menghadapi bahaya dan kenapa mereka bersedia untuk menemuinya?

Seperti itulah, panggilan iman yang tidak dapat dibendung. Atau adanya pengaruh kepribadian Rasulullah saw, yang kesan-kesannya telah mengisi hati mereka dengan hidayah dan kasih sayang (baca: akibat bosan dengan kesesatan dan kepalsuan hidup mereka selama ini). Shuhaib telah menggabungkan dirinya dengan kafilah orang-orang beriman. Bahkan ia telah membuat tempat yang luas dan tinggi dalam barisan orang-orang teraniaya dan tersiksa!

Betapa indahnya, kata-kata yang terucap oleh Shuhaib bin Sinan, sebagai bukti rasa tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim yang telah baiat kepada Nabi saw dan bernaung dalam panji-panji agama Islam.

“Tidak suatu perjuangan bersenjata yang diterjuni Rasulullah, kecuali pastilah aku menyertainya. Dan tidak ada suatu baiat yang dijalaninya, kecuali tentulah aku menghadirinya. Dan tidak ada suatu pasukan bersenjata yang dikirimnya, kecuali akau termasuk sebagai anggota rombongannya. Dan tidak pernah beliau bertempur baik di masa-masa pertama Islam atau di masa-masa akhir, kecuali aku berada di sebelah kanan atau di sebelah kirinya. Dan kalau ada sesuatu yang dikhawatirkan Kaum Muslimin di hadapan mereka pasti aku akan menyerbu paling depan, demikian pula kalau ada yang dicemaskan di belakang mereka, pasti aku akan mundur ke belakang. Serta aku tidak sudi sama sekali membiarkan Rasulullah saw berada dalam jangkauan musuh sampai ia kembali menemui Allah!”

Itulah, kata-kata yang terucap dari mulut Shuhaib bin Sinan dan bukankah hal tersebut merupakan suatu gambaran akan keimanan yang istimewa dan kecintaan yang luar biasa atas Rasul-Nya?

Shuhaib bin Sinan, telah mengawali hari-hari perjuangannya yang mulia dan cintanya yang luhur itu pada saat hijrahnya Rasulullah saw. Pada waktu itu, ditinggalkannya segala emas dan perak serta kekayaan yang diperolehnya sebagai hasil perniagaan selama bertahun-tahun di Mekah.

Dalam hal ini, Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada yang sedia menebus dirinya demi mengharapkan keridlaan Allah dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207).

Itulah gambaran Shuhaib yang telah menebus dirinya dalam beriman itu dengan segala harta kekayaannya yang telah beliau usahakan selama masa mudanya.

2). Haritsah bin Syuraqah.

Suatu hari ketika Rasulullah saw berjalan di kota Madinah, beliau berpapasan dengan seorang sahabat yang bernama Haritsah bin Suraqah. Maka seraya Rasulullah saw bertanya kepadanya dan mengatakan, “Ya Haritsah bagaimana keadaanmu di pagi hari ini?” Maka menjawab Haritsah, “Ya Rasulallah aku di pagi hari ini telah mencapai hakikat keimanan”. Ketika mendengar jawaban tersebut Rasul pun berkata kepadanya, “Ya Haritsah segala sesuatu ada buktinya dan mana bukti dari hakikat imananmu?”.

Maka berkata Haritsah, “Ya Rasulallah telah keluar dari hatiku mahabbah kepada dunia sehingga emas dan batu sama nilainya di mataku. Ya Rasulullah seakan akan Arsy Tuhanku dihadapanku sangat jelas, seakan akan penghuni syurga mendapatkan nikmat di syurga dihadapanku sangat jelas dan seakan akan penghuni neraka di neraka mendapatkan azab di neraka dihadapan mataku sanagat jelas. Ya Rasulallah di malam hari aku bergadang (bermunajat) dan di siang hari aku berpuasa”.

Ketika Rasul mendengar jawaban Haritsah seraya beliau mengatakan, “(Engkau adalah) hamba Allah yang telah memperoleh cahaya di hatimu. Ya Haritsah engkau telah mengetahui maka LAZImilah”.

Maka haritsah berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah doakan aku, aku ingin mati syahid di jalan Allah.” Maka Rasul-pun mendoakan agar haritsah mati syahid di jalan Allah. Dan kebetulan di hari itu Rasulullah dan para sahabat keluar dari kota Madinah untuk memerangi orang kafir Quraish di perang Badar dan jumlah tentara orang kafir lebih dari 950 prajurit sedang tentara Rasulullah hanyalah 313 prajurit dan tidak memiliki persenjataan melainkan sangat sedikit sekali dan sangat terbatas. Akan tetapi kemenangan dari Allah diberikan kepada Rasulullah dan para sahabat.

Sehingga di riwayatkan bahawa yang terbunuh dari orang orang kafir 70 prajurit dan yang tertawan 70 prajurit. Adapun yang mati syahid dari kaum muslimin 14 sahabat dan diantara mereka adalah Haritsah bin Suraqoh. Maka ketika kembali Rasulullah dan para sahabat dari medan perang beliau dihadang oleh ibu Haritsah dan seraya mengatakan kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah dimana anakku Haritsah?” Maka dijawab oleh Rasulullah, “Wahai ibu Haritsah sabarlah sesunggahnya anakmu terbunuh dijalan Allah”.

Maka diulangi pertanyaan tersebut oleh ibu Haritsah kepada Rasulullah dan dijawab oleh Rasul dengan jawaban yang serupa. Lantas di ulangilah untuk ketiga kalinya pertanyaan tersebut oleh ibu Haritsah dengan menanyakan, “Ya Rasulullah aku tahu kalau anakku terbunuh di jalan Allah akan tetapi dimanakah anakku? Apakah di syurga atau di neraka?”

Maka Rasulullah menjawab, "Wahai ibu Haritsah apakah kau tidak tahu? Sesungguhnya syurga itu bukanlah hanya satu syurga, akan tetapi syurga itu banyak sekali tingkatannya. Dan sesungguh nya anakmu telah mencapai syurga Firdaus yang paling tinggi.” Diriwayatkan oleh para ahli sejarah bahawa Haritsah terbunuh di jalan Allah ketika beliau berusia 17 tahun.

3). Hamzah bin Abdul Mutalib.

Thabarani telah mengeluarkan dari Al-Harits At-Taimi dia berkata, Adalah Hamzah bin Abdul Mutthalib r.a. pada hari pertempuran di Badar membuat tanda dengan bulu burung Naamah (Bangau). Sesudah selesai peperangan, maka seorang dari kaum Musyrikin bertanya, “Siapa orang yang bertanda dengan bulu burung Naamah itu?” Maka orang berkata, “Dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib.” Sahut orang itu lagi, “Dialah orang yang banyak mepermalukan kita di dalam peperangan itu.” (Majmauz Zawaid 6:81).

Bazzar mengeluarkan dari Abdul Rahman bin Auf ra dia berkata, bertanya Umaiyah bin Khalaf kepadanya, “Hai Abdullah! Siapa orang yang memakai bulu burung Naamah di dadanya pada perang Badar itu?” Jawabku, “Dia itu paman Muhammad, dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib.”

Berkata lagi Umaiyah bin Khalaf, “Dialah orang yang banyak mempermalukan kita dengan senjatanya sehingga dia dapat membunuh banyak orang di antara kita.” (Majmauz Zawaid 6:81)

Hakim telah mengeluarkan dari Sabir bin Abdullah ra dia berkata, Rasulullah saw mencari-cari Hamzah pada hari Ubud setelah selesai peperangan dan setelah semua orang berkumpul di sisi Baginda, “Di mana Hamzah?” Maka salah seorang di situ menjawab, “Tadi, saya lihat dia berperang di bawah pohon di sana, dia terus menerus mengatakan, “Aku singa Allah dan singa RasulNya! Ya Allah, Ya Tuhanku! Aku mencuci tanganku dari apa yang dibawa oleh mereka itu, yakni Abu Sufyan bin Harb dan tentera Quraish dan aku memohon uzur kepadamu dari apa yang dibuat oleh mereka itu dan kekalahan mereka, yakni tentera Islam yang melarikan diri!” Lalu Rasulullah saw pun menuju ke tempat itu dan didapati Hamzah telah gugur.

Sewaktu Baginda melihat dahinya, Baginda menangis,dan melihat mayatnya dicincang-cincang, Baginda menarik nafas panjang. Kemudian Baginda berkata, “Tidak ada kain kafan buatnya?!” Maka segeralah seorang dari kaum Ansar membawakan kain kafan untuknya. Berkata Jabir seterusnya, bahawa Rasulullah saw telah berkata, “Hamzah adalah penghulu semua orang syahid nanti di sisi Allah pada hari kiamat.” (Hakim 3:199).

Ibnu Ishak telah mengeluarkan dari Jaafar bin Amru bin Umaiyah Adh-Dhamri, dia berkata, Aku keluar bersama Abdullah bin Adiy bin Al-Khiyar pada zaman Muawiyah ra dan disebutkan ceritanya hingga kami duduk bersama Wahsyi (pembunuh Hamzah ra), maka kami berkata kepadanya, “Kami datang ini untuk mendengar sendiri darimu, bagaimana engkau membunuh Hamzah ra” Wahsyi bercerita, “Aku akan memberitahu kamu berdua, sebagaimana aku telah memberitahu dahulu kepada Rasulullah saw ketika Baginda bertanya ceritanya dariku.”

Pada mulanya, aku ini adalah hamba kepada Jubair bin Muthim dan pamannya yang bernama Thuaimah bin Adiy telah mati terbunuh di perang Badar. Pada saat kaum Quraish keluar untuk berperang di Uhud, Jubair berkata kepadaku, “Jika engkau dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad untuk menuntut balas kematian pamanku di Badar, engkau akan aku merdekakan.” 

Begitu tentara Quraish keluar ke medan Uhud, aku turut keluar bersama mereka. Aku seorang Habsyi yang memang mahir untuk melempar tombak dan sebagaimana biasanya orang Habsyi, jarang-jarang tidak mengenai sasaran apabila melempar. Apabila kedua belah pihak bertempur di medan Uhud itu, aku keluar mencari-cari Hamzah untuk kujadikan sasaranku, hingga aku melihatnya di antara orang yang bertarung, seolah-olahnya dia unta yang mengamuk, terus memukul dengan pedangnya segala apa yang datang menyerangnya, tiada seorang pun yang dapat melawannya. Aku pun bersiap untuk menjadikannya sasaranku. Aku lalu bersembunyi di balik batu berdekatan dengan pohon yang dia sedang bertarung, sehingga sewaktu dia datang berdekatan denganku, mudahlahlah aku melemparkan tombakku itu.

Tatkala dia dalam keadaan begitu, tiba-tiba datang menyerangnya Sibak bin Abdul Uzza. Hamzah melihat Sibak datang kepadanya, lalu dia berteriak, “Ayo ke sini, siapa yang mau mencari mati!” Disabetnya dengan sekali ayunan kepalanya berguling di tanah. Maka pada ketika itulah, aku terus mengacung-acungkan tombakku itu dan saat aku rasa sudah tepat sasaranku, aku pun melemparkannya ke Hamzah mengenai bawah perutnya terus rnenembus bawah selangkangnya. 

Dia mencoba menerkamku, tetapi dia sudah tidak berdaya lagi, aku lalu meninggalkannya di situ hingga dia mati. Kemudian aku kembali lagi untuk mengambil tombakku itu dan aku membawanya ke perkemahan kami. Aku duduk di situ menunggu dan aku tidak punya tujuan yang lain, kecuali membunuh Hamzah agar aku dapat dimerdekakan oleh tuanku.

Kami kembali ke Makkah, seperti yang dijanjikan oleh tuanku, aku dimerdekakan. Aku terus tinggal di Makkah dan apabila kota Makkah ditaklukkan oleh Rasulullah saw, aku pun melarikan diri ke Thaif dan menetap di sana. Ketika rombongan orang-orang Thaif bersiap-siap hendak menemui Rasulullah saw untuk memeluk Islam, aku merasa serba salah tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Aku berfikir, apakah aku harus melarikan diri ke Syam atau ke Yaman, ataupun ke negeri-negeri lainnya, sampai bila aku akan menjadi orang buruan? Demi Allah, aku merasakan diriku susah sekali.

Tiba-tiba ada orang yang datang kepadaku memberi nasihat, “Apa yang engkau takutkan? Muhammad tidak membunuh orang yang masuk ke dalam agamanya dan menyaksikan syahadat kebenaran!” Aku tidak punya jalan lain kecuali menerima nasihat itu. Aku pun menuju ke Madinah untuk menemui Rasulullah saw. Tanpa diduga tiba-tiba Baginda melihatku berdiri di hadapannya menyaksikan syahadat kebenaran itu. Baginda lalu menoleh kepadaku seraya berkata, “Apakah engkau ini Wahsyi?” Jawabku, “Saya, wahai Rasulullah!” Beliau berkata lagi, “Duduklah! Ceritakanlah bagaimana engkau rnembunuh Hamzah?” Aku lalu menceritakan kepadanya seperti aku menceritakan sekarang kepada kamu berdua.

Setelah selesai bercerita, Baginda berkata kepadaku, “Awas! Jangan lagi engkau datang menunjukkan wajahmu kepadaku!” Kerana itu aku terus-menerus menjauhkan diri dari Rasulullah saw supaya Baginda tidak melihat wajahku lagi, sehinggalah Baginda wafat meninggalkan dunia ini. Kemudian saat kaum Muslimin keluar untuk berperang dengan Musailimah Al-Kazzab, pemimpin kaum murtad di Yamamah, aku turut keluar untuk berperang melawannya. 

Aku bawa tombak yang membunuh Hamzah itu. Ketika orang-orang sedang bertempur, aku mencuri-curi masuk dan aku lihat Musailimah sedang berdiri dan di tangannya pedang yang terhunus, maka aku pun membuat persiapan untuk melemparnya dan di sebelahku ada seorang dari kaum Ansar yang sama tujuan denganku. Aku terus mengacung-acungkan tombak itu ke arahnya dan setelah aku rasa bidikanku sudah cukup tepat, aku pun melemparkannya dan mengenainya, lalu orang Ansar itu menghabisi hidupnya dengan pedangnya. Aku sendiri tidak memastikan siapa yang membunuh Musailimah itu, apakah tombakku itu ataupun pedang orang Ansar tadi, hanya Tuhan sajalah yang lebih mengetahui. Jika aku yang membunuhnya, maka dengan demikian aku telah membunuh orang yang terbaik pada masa hidup Rasulullah saw dan aku juga membunuh orang yang paling jahat sesudah masa Beliau. (Al-Bidayah Wan-Nihayah 4:18)

Bukhari telah mengeluarkan dari Jaafar bin Amru sebagaimana cerita yang sebelumnya, ketika orang ramai berbaris untuk berperang, keluarlah Sibak bin Abdul Uzza sambil berteriak, “Siapa yang akan melawanku?” Hamzah pun datang untuk melawannya, lalu Hamzah berkata kepadanya, “Hai Sibak! Hai putera Ummi Anmar, tukang sunnat orang perempuan! Apakah engkau hendak melawan Allah dan RasulNya?” Hamzah lalu menghantamnya dengan suatu pukulan yang keras menghabisinya.

4). Zaid bin Haritsah.

Zaid bin Haritsah, seorang yang dilukiskan oleh para ahli sejarah dengan perawakan biasa, pendek, kulitnya coklat kemerah-merahan dan hidung yang agak pesek, adalah termasuk pahlawan-pahlawan Islam yang besar.

Sudah lama sekali Suda, isteri Haritsah, berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Maan. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu waktu keberangkatanya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya (ayah Zaid) mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan Suda sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu ia akan menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat bersama dengan isterinya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya disertai perasaan aneh menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Kerana ia harus menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, perasaan gundah itu hilang jua. Kafilah pun berangkat meninggalkan kampung itu. Harisah pun mengucapkan selamat jalan kepada isteri dan anaknya. Haritsah melepas kepergian isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Isteri dan anaknya pun sangat sedih dalam peristiwa perpisahan itu.

Setelah mereka berdua sampai di tempat tujuan, beberapa waktu kemudian terjadilah musibah yang menimpa penduduk kampung Bani Maan. Kampung itu habis porak-poranda diserang oleh gerombolan perampok Badui. Semua barang berharga milik penduduk kampung itu dikuras habis, penduduknya ditawan dan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka, pulanglah Suda untuk menyusul suaminya seorang diri. Demi Haritsah mengetahui kejadian itu, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya segera ia berjalan mencari anak kesayangannya. Padang pasir dijelajahinya, kampung demi kampung diselidikinya. Sesekali ia bertanya kepada kabilah yang lewat kalau-kalau ada yang tahu keberadaan anaknya tersayang, Zaid. Usahanya itu pun belum menunjukan hasil. 

Ketika kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya, mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokannya. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam. Pada kemudian harinya dia memberikannya kepada Siti Khadijah. Pada waktu itu, Khadijah ra telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum diangkat menjadi Rasul oleh Allah SWT).

Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Muhammad. Beliau pun menerimanya dengan senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dengan pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anaknya sendiri.

Pada salah satu musim haji, sekelompok orang dari desa tempat Haritsah tinggal berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bunda Zaid. Zaid balik menyampaikan pesan salam rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Kepada para hujaj atau jamaah haji itu, Zaid berkata, “Tolong beritakan kepada kedua orang tuaku bahawa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.”

Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah bersama seorang saudaranya. Sesampainya di Mekah, ia menanyakan di mana rumah Muhammad. Setelah bertemu dengan Muhammad, Harisah berkata, “Wahai Ibnu Abdul Muththalib! Wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan. Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?”

Muhammad merasakan benar bahawa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tetapi dalam pada itu merasakan pula hal seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Muhammad kepada Haritsah, “Panggilah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih anda, maka akan saya kembalikan kepada anda tanpa tebusan. Sebaliknya, jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!”

Mendengar ucapan Muhammad yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegirangan kerana tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan seperti itu, lalu ucapnya, “Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!”

Kemudian Muhammad menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya dihadapannya, beliau langsung bertanya, “Tahukah Engkau siapa orang-orang ini?” “Ya, tahu,” jawab Zaid. “Yang ini ayahku, sedangkan yang seorang lagi adalah pamanku.”

Kemudian Muhammad mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya. Tanpa berpikir panjang, Zaid menjawab, “Tak ada orang pilihanku, kecuali anda (Muhammad)! andalah ayah dan andalah pamanku!”

Mendengar itu, kedua mata Muhammad basah dengan air mata kerana rasa syukur dan haru. Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Kaabah, tempat orang-orang Quraish sedang banyak berkumpul, lalu serunya, “Saksikan oleh kalian semua bahawa mulai saat ini Zaid adalah anakku yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.”

Mendengar ucapan itu hati Haritsah seakan-akan berada diawang-awang kerana suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malahan sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraish yang terkenal dengan sebutan “Ash-Shadiqul Amin” (orang lurus terpercaya), keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.

Meskipun telah sekian lama merindukan anaknya kembali, Haritsah dan saudaranya pulang dengan hati yang tenteram kerana anaknya berada dalam naungan keluarga yang termulia, keluarga Muhammad. Muhammad telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat, maka menjadi terkenallah dia diseluruh Mekah dengan nama “Zaid bin Muhammad.”

Pada suatu hari yang cerah, seruan wahyu yang pertama datang kepada Muhammad, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan! Ia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena). Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-Alaq: 1-5).

Kemudian datang susul-menyusul wahyu berkikutnya kepadanya, “Wahai orang yang berselimut! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah.” (QS Al-Muddatsir: 1-3)

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (genggaman) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah: 67)

Tidak tak lama setelah Muhammad memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu tersebut, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk Islam, bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama. Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar disebabkan kejujurannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, serta terpelihara lidah dan tangannya.

Semua itu menyebabkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai “Zaid Kesayangan” sebagaimana yang telah dipanggilkan sahabat-sahabat Rasul kepadanya. Berkatalah Aisyah ra, “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat menjadi pemimpinnya. Seandainya dia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah.”

Suatu ketika Rasulullah saw berdiri melepas bala tentara Islam yang akan berangkat menuju medan perang Muktah melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya, “Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya dia tewas, pimpinan akan diambil alih oleh Jaafar bin Abi Thalib dan seandainya Jaafar tewas pula, maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Rawahah.”

Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah saw. Siapakah sebenarnya Zaid ini?
Ia seorang anak yang pernah ditawan, diperjualbelikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek, tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka. Kerana itulah, dia mendapat temapat yang tinggi di dalam Islam dan di hati Rasululah saw

Rasulullah saw menikahkan Zaid dengan Zainab. Sayangnya, pernikahannya tidak berumur panjang dan berakhir dengan perceraian. Kesediaan Zainab menikah dengan Zaid hanya kerana rasa enggan menolak anjuran dan syafaat Rasulullah dan kerana tidak sampai hati menolak Zaid sendiri. Maka Rasulullah saw mengambil tanggung jawab terhadap rumah tangga Zaid ini yang telah pecah itu. Rasulullah merangkul Zainab dengan menikahinya sebagai isterinya, kemudian mencarikan Ummu Kultsum binti Uqbah yang kemudian dinikahkan dengan Zaid.

Kerana peristiwa tersebut, terjadilah kegemparan di kalangan masyarakat Kota Madinah. Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya.Tantangan dan kecaman ini kemudian dijawab oleh Allah swt dengan wahyu-Nya yang membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau anak adaptasi dengan anak sebenarnya, sekaligus membatalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut, “Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki (yang ada bersama) kalian. Tetapi, ia adalah Rasul Allah dan Nabi penutup. (QS Al-Ahzab: 40)

Dengan turunnya wahyu tersebut, Zaid kemudian dipanggil dengan sebutan “Zaid bin Haritsah.” Dan sekarang, tahukah anda bahawa kekuatan Islam yang pernah maju ke medan perang “Al-Jumuh” komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Kekuatan-kekuatan laskar Islam yang bergerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya adalah Zaid bin Haritsah juga? Begitulah, sebagaimana yang pernah kita dengar dari Aisyah ra sebelumnya, “Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti dia yang diangkat menjadi pemimpinnya.”

Suatu ketika datanglah perang Muktah yang terkenal itu. Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan mereka. Terutama di daerah jajahan mereka, Syam (Syiria) yang berbatasan dengan negara dari agama baru ini, yang sentiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan untuk menaklukan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.

Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. Sebagai seorang yang ahli strategi, Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak sebelum diserang di daerahnya sendiri.

Demikianlah, pada bulan Jumafil Ula, tahun yang kedelapan Hijriah, tentara Islam maju bergerak ke Balqa di wilayah Syam. Demi mereka sampai di perbatasannya, mereka dihadapi tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerahkan juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedangkan laskar Islam mengambil posisi di dekat negeri kecil yang bernama Muktah yang kemudian dijadikan nama pertempuran ini.

Rasulullah saw mengetahui benar arti penting dan bahayanya peperangan ini. Oleh sebab itu, beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam bertakarub mendekatkan mendekatkan diri kepada Ilahi, sedangkan di siang hari sebagai pendekar pejuang pembela agama. Tiga orang pahlawan itu adalah mereka yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, yang mengharap semata-mata ridha Illahi dengan menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak.

Mereka bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah Zaid bin Haritsah, Jaafar bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah, moga-moga Allah rela kepada mereka dan menjadikan mereka rela kepada-Nya, serta Allah merelakan pula seluruh sahabat lainya.

Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yang hendak berangkat itu. Rasul melepas mereka dengan amanat, “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Harits sebagai pimpinan, seandainya dia gugur, pimpinan dipegang oleh Jaafar bin Abi Thalib dan senadainya Jaafar gugur pula, maka tempatnya diisi oleh Abdullah bin Rawabah.”

Jaafar bin Abi Thalib dijadikan orang yang kedua setelah Zaid, meskipun keberanian dan ketangkasanya serta keturunan dan kebangsawanannya tidak diragukan lagi, bahkan orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak pamannya sendiri.

Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang batil dan rasialisme. Islam mengganti sistem-sistem yang tidak baik itu atas bimbingan dan hidayah Ilahi yang berpokok kepada hakikat kemanusiaan.

Ketika Rasulullah memilih mereka bertiga untuk menjadi pemimpin pasukan secara berurutan, seolah-olah beliau telah telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuarn yang akan berlangsung. Beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan, Zaid, lalu lalu Jaafar, kemudian Ibnu Abi Rawahah, ternyata ketika mereka menemui ajalnya, pulang ke rahmat Allah sebagai syuhada, sesuai dengan urutan itu pula.

Demi Kaum Muslimin melihat tentara romawi yang jumlahnya menurut taksiran tidak kurang dari 200,000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duga sama sekali, mereka terkejut. Tetapi bilakah pertarungan yang didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?

Ketika itulah, disana, mereka maju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh. Didepan sekali kelihatan dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah saw maju menyerbu laksana taufan, dicelah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan disisi Allah, karena sesuai dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang Mumin dengan syurga sebagai imbalannya.” (QS. at-Taubah: 111).

Zaid tak sempat melihat pasir Balqa, bahkan pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman syurga dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya, bahawa itulah hari istirahat dan kemenangannya.

Ia telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menebas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyala membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya kekampung kedamaian, syurga yang kekal disisi Allah. Dia telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir. Rohnya yang melayang dalam perjalannya ke syurga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.

Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, kerana melihat panglima yang kedua Jaafar melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ketanah.

5). Jaafar bin Abi Thalib.

Beliau adalah sepupu sekaligus sahabat Rasulullah yang mirip dengan Rasulullah baik ujud tubuh, tingkah laku atau budi pekertinya. Beliau diberi gelar “Bapak Si Miskin”, “Si Bersayap Dua di Syurga atau Si Burung Syurga”. Salah seorang pelopor ternama Islam, beliau dan istrinya (Amma binti Umais) termasuk dalam golongan orang-orang yang pertama masuk Islam. 

Sewaktu Rasulullah memilih sahabat-sahabatnya yang akan hijrah ke Habsyah (Ethiopia), maka tanpa berfikir panjang Jaafar bersama istrinya tampil mengemukakan diri hingga tinggal disana selama beberapa tahun. Disana mereka dikaruniai Allah tiga orang anak yaitu Muhammad, Abdullah dan Auf. Selama di Ethiopia, maka Jaafar bin Abi Thaliblah yang tampil menjadi juru bicara yang lancar dan sopan. Allah mengaruniakan kepadanya hati yang tenang, akal fikiran yang cerdas, jiwa yang mampu membaca situasi dan keadaan serta lidah yang fasih.

Hal itu terbukti ketika berdialog dengan Negus, Raja Ethiopia pada saat kaum muslimin hijrah kesana. Kaum Quraish tidak senang dan merasa cemas ketika kaum muslimin hijrah ke Ethiopia, khawatir kalau-kalau kaum muslimin di tempatnya yang baru menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak. Kerana itulah para pemimin Quraish mengirimkan dua utusannya yaitu Abdullah bin Rabiah dan Amar bin Ash (keduanya waktu itu belum masuk Islam) untuk menyampaikan harapan Quraish agar Negus mengusir kaum muslimin yang hijrah dan menyerahkannya kepada mereka.

Negus merupakan seorang raja yang imannya kuat. Dalam lubuk hatinya, ia menganut agama Nasrani secara murni dan padu, jauh dari penyelewengan dan lepas dari fanatik buta dan menutup diri. Nama baiknya dan kisah perjalanan hidupnya yang adil tersebar kemana-mana. Kerana itulah Rasulullah memilih negerinya menjadi tempat hijrah bagi sahabat-sahabatnya dan kerana itu pula kaum kafir Quraish khawatir kalau tipu muslihatnya menjadi gagal sehingga utusannya dibekali sejumlah hadiah yang berharga untuk pembesar-pembesar dan pejabat gereja disana dengan tujuan agar para pendeta itu berpihak kepada mereka. Kedua utusan itu terus-menerus membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta terhadap kaum muslimin.

Pada saat Negus, dihadapkan dengan utusan Quraish dan kaum muhajirin Islam, utusan Quraish kembali mengulangi tuduhan terhadap kaum muslimin bahawa kaum muslimin itu adalah orang-orang bodoh dan tolol yang meninggalkan agama nenek moyang mereka tetapi tidak pula hendak memasuki agamanya Negus dan bahkan datang dengan agama baru yang mereka ada-adakan sehingga utusan itu meminta mereka dikembalikan pada kaumnya. Negus pun bertanya kepada kaum muslimin, agama apakah yang menyebabkan mereka meninggalkan bangsanya tetapi juga tidak memandang perlu pula terhadap agamanya (Nasrani).

Jaafar pun bangkit berdiri untuk menunaikan tugas yang telah diamanahkan padanya oleh kawan-kawannya sesama Muhajirin yang mereka tetapkan dalam rapat yang diadakan sebelumnya. Dengan pandangan ramah penuh kecintaan kepada baginda raja yang telah baik menerima mereka, beliau berkata, “Wahai paduka yang mulia! Dahulu kami memang orang-orang jahil dan bodoh, kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berhampiran. Yang kuat waktu itu memakan yang lemah. Hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rasul-Nya kepada kami dari kalangan kami. Kami kenal asal-usulnya, kejujurannya, ketulusan dan kemuliaan jiwanya. Dia mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri pada-Nya dan agar membuang jauh-jauh apa yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu, berupa batu-batu dan berhala. Beliau menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah, menghubungkan silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga dan menahan diri dari menumpahkan darah yang dilarang Allah.

Dilarangnya kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim dan menuduh berbuat jahat terhadp wanita yang baik-baik. Lalu kami benarkan dia dan kami beriman kepadanya dan kami ikuti dengan taat apa yang disampaikannya dari Tuhannya. Lalu kami beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak kami persekutukan sedikitpun juga dan kami haramkan apa yang dihalalkan-Nya untuk kami. Kerananya kaum kami memusuhi kami dan menggoda kami dari agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi dan kepada perbuatan-perbuatan jahat yang pernah kami lakukan dulu. Maka sewaktu mereka memaksa dan menganiaya kami dan menggecet hidup kami dari agama kam, kami keluar hijrah ke negeri paduka dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan terhindar dari perbuatan mereka.”

Jaafar mengucapkan kata-kata yang mempesona itu laksana cahaya fakar sehingga membangkitkan perasaan dan keharuan pada jiwa Negus. Ketika Negus menanyakan wahyu yang dibawa dari Rasulullah, Jaafar langsung membacakan bahagian dari surat Maryam. Mendengarnya, Negus langsung menangis, begitu pula dengan para pendeta dan pembesar lainnya. Selanjutnya Negus mengatakan kepada kaum Quraish bahawa sesungguhnya yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa a.s. sama memancar dari satu pelita, kerana itu utusan Quraish dipersilahkan pergi dan beliau tidak akan menyerahkan kaum muslimin kepada mereka.

Tetapi keesokan harinya kedua utusan itu kembali menghadap Raja Negus hendak memojokkan kaum muslimin telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa sehingga hal itu cukup menggoncangkan Negus dan para pengikutnya. Negus pun memanggil kaum muslimin kembali untuk menanyai bagaimana sebenarnya pandangan Agama Islam tentang Isa al-Masih. Jaafar pun bangkit sekali lagi dan berujar, ”Kami akan mengatakan tentang Isa a.s , sesuai dengan keterangan yang dibawa Nabi kami Muhammad saw, bahawa, Dia adalah seorang hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimah-Nya yang ditiupkan-Nya kepada Maryam dan ruh daripadaNya”

Negus bertepuk tangan tanda setuju seraya mengumumkan bahawa memang begitulah yang dikatakan Al-Masih tentang dirinya. Akhirnya Negus mempersilahkan kaum muslimin itu untuk tinggal bebas di negerinya dan akan melindungi mereka serta mengusir para utusan Quraish dengan mengembalikan hadiah-hadiahnya.

Di kala Rasulullah bersama kaum muslimin sedang bersukacita dengan kemenangan atas jatuhnya Khaibar, tiba-tiba muncullah Jaafar bin Abi Thalib kembali pulang dari Ethiopia bersama sisa muhajirin lainnya yang baru kembali dari sana. Betapa sukacitanya Nabi kerana kedatangan mereka, dipeluknya Jaafar sambil berkata, “Aku tak tahu entah mana yang lebih menggembirakanku, apakah dibebaskannya khaibar atau kembalinya Jaafar!”

Sekembalinya ke Madinah jiwa Jaafar bergelora dan dipenuhi keharuan kerana mendengar berita dan cerita tentang sahabat-sahabatnya kaum muslimin, baik yang gugur sebagai syuhada, maupun yang masih hidup selaku pahlawan-pahlawan yang berjasa dari perang Badar, perang Uhud, Khandak dan yang lainnya. Beliau pun merindukan kesempatan dan peluang untuk berjuang pula sebagai syahid di jalan Allah.

Ketika perang Muktah, Jaafar memandang peperangan ini sebagai peluang yang sangat baik dan satu-satunya kesempatan seumur hidup untuk merebut salah satu di antara dua kemungkinan, membuktikan kejayaan besar bagi agama Allah dalam hidupnya atau ia akan beruntung menemui syahid di jalan Allah. Jaafar termasuk di antara tiga serangkai yang diangkat Rasulullah menjadi panglima pasukan dan pemimpinnya di perang Muktah ini. Tentara Romawi yang berjumlah 200,000 orang beserta persenjataan yang tak tertandingi tidak membuat Jaafar menjadi gentar, tetapi justru membangkitkan semangat juang yang tinggi pada dirinya, kerana sadar akan kemuliaan seorang mukmin yang sejati dan sebagai pahlawan yang ulung haruslah kemampuan juangnya berlipat ganda dari musuh.

Sewaktu panji-panji pasukan hampir terlepas dari tangan Zaid bin Haritsah, dengan cepatnya disambar oleh Jaafar dan ia terus menyerbu ke tengah-tengah barisan musuh dan mengayunkan pedangnya ke sehala jurusan mengenai musuhnya. Tentara Romawi terus mengepungnya dan mereka menebas tangan kanannya hingga putus, tetapi sebelum panji jatuh ke tanah, cepat disambarnya dengan tangan kirinya. Lalu mereka tebas pula tangan kirinya, tetapi Jaafar mengepit panji itu dengan kedua pangkal lengannya ke dada. Ia bertekad akan memikul tanggung jawab untuk tidak membiarkan panji Rasulullah jatuh menyentuh tanah selagi ia masih hidup. Di saat jasadnya telah kaku tetapi panji masih tertancap di antara kedua lengan dan dadanya, datanglah Abdullah bin Rawahah membelah barisan musuh dan merenggut panji itu.

Demikianlah Jaafar mempertaruhkan nyawa dalam menempuh suatu kematian agung yang tiada taranya. Begitulah caranya ia menghadap Allah, berselimut darah kepahlawanannya. Menurut Abdullah bin Umar, ketika mendapati jasadnya, didapati luka-luka bekas tusukan pedang dan lemparan tombak lebih dari 90 tempat di tubuh Jaafar. Dan Rasulullah bersabda mengenai dirinya, “Aku telah melihatnya di syurga, kedua bahunya yang penuh bekas-bekas cucuran darah penuh dihiasi dengan tanda-tanda kehormatan!” (diambil dari buku Karakteristik Perihidupan 60 Sahabat Rasulullah)

6). Zubair bin Awwam.

Setiap kali nama Thalhah disebut, nama Zubair juga disebut. Dan setiap kali disebut nama Zubair, nama Thalhah pun pasti disebut.

Sewaktu Rasulullah saw mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah, beliau mempersaudarakan Thalhah dengan Zubair. Sudah sejak lama Nabi saw bersabda tentang keduanya secara bersamaan, seperti sabda beliau, “Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di syurga.”

Keduanya masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Kaab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah, ibu Zaubair, juga bibi Rasulullah.

Thalhah dan Zubair mempunyai banyak kesamaan dalam menjalani roda kehidupan. Masa remaja, kekayaan, kedermawanan, keteguhan dalam beragama dan keberanian mereka hampir sama. Keduanya termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal dan termasuk sepuluh orang yang dikabarkan oleh Rasul masuk syurga, termasuk enam orang yang diamanahi Khalifah Umar untuk memilih khalifah pengganti. Bahkan, hingga saat kematian keduanya sama persis.

Seperti yang telah kita sebutkan, Zubair termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, kerana dia termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam dan sebagai perintis perjuangan di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diebri petunjuk, cahaya dan kebaikan saat remaja.

Dia ahli menunggang kuda dan memiliki keberanian sejak kecil. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahawa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.

Di masa-masa awal, saat jumlah kaum muslimin masih sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahawa Rasulullah terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah laksana tiupan angin kencang, padahal usianya masih muda belia.

Yang pertama kali dilakukannya adalah mengecek kebenaran berita tersebut. Seandainya berita itu benar, dia bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir Quraish atau dia sendiri yang gugur.

Di satu tempat, di bahagian kota Makkah yang agak tinggi, dia bertemu Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksudnya. Dia menceritakan berita yang dia dengar dan menceritakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan dan pedangnya selalu diberi kemenangan.

Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang, namun dia juga merasakan penyiksaan Quraish. Orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Dia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernafas. Di saat itulah sang paman berkata, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan kubebaskan kamu dari siksa ini.”

Meskipun masih muda belia, Zubair menjawab dengan tegas, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya.”

Zubair ikut dalam perjalanan hijrah ke Habasyah dua kali. Kemudian dia kembali, untuk mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak dia ikuti.

Banyaknya bekas luka pedang dan tombak di tubuhnya adalah bukti keberanian dan kepahlawanannya. Marilah kita dengarkan cerita seorang rakannya yang melihat bekas luka yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya.

“Aku pernah bersama Zubair bin Awwam dalam satu perjalanan dan aku melihat tubuhnya. Ada banyak bekas sabetan pedang. Di dadanya ada beberapa lubang bekas tusukan tombak dan anak panah. Aku berkata kepadanya, Demi Allah, yang kulihat ditubuhmu belum pernah kulihat di tubuh orang lain. Ia menjawab, “Demi Allah, semua luka-luka ini kudapat bersama Rasulullah dalam peperangan membela agama Allah.”

Seusai Perang Uhud dan pasukan Quraish sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah, Zubair dan Abu Bakar diperintahkan Rasulullah memimpin kaum muslimin mengejar mereka agar mereka menganggap kaum muslimin masih mempunyai kekuatan, sehingga mereka tidak berpikir untuk menyerbu Madinah.

Abu Bakar dan Zubair membawa 70 tentara muslim. Sekalipun Abu Bakar dan Zubair sebenarnya sedang mengikuti satu pasukan yang menang perang dan berjumlah jauh lebih besar, namun kecerdikan dan siasat yang dipergunakan keduanya berhasil mengecoh mereka. Mereka menyangka bahawa pasukan yang dipimpin Abu Bakar dan Zubair adalah pasukan perintis dan di belakang pasukan ini masih ada pasukan yang jauh lebih besar. Tentu saja ini membuat mereka takut. Mereka pun mempercepat langkah menuju Makkah.

Di perang Yarmuk, Zubair memerankan satu pasukan tersendiri. Ketika banyak prajuritnya yang lari ketakutan melihat jumlah pasukan Romawi yang begitu banyak, dia berteriak, “Allaahu Akbar”, lalu menyerbu pasukan Romawi sendirian dengan pedangnya.

Dia sangat rindu untuk syahid. Dia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama nabi-nabi padahal tidak ada nabi setelah Muhammad saw, kerana itu aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada dengan harapan mereka syahid.”

Ada yang diberi nama Abdullah dari nama Abdullah bin Jahsy. Ada yang diberi nama Munzir dari nama Munzir bin Amru. Ada yang diberi nama Urwah dari nama Urwah bin Amru. Ada yang diberi nama Hamzah dari nama Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada yang diberi nama Jaafar dari nama Jaafar bin Abi Thalib. Ada yang diberi nama Mushab dari nama Mushab bin Umair. Ada yang diberi nama Khalid dari nama Khalid bin Said. Seperti itulah, semua anaknya diberi nama dengan nama-nama para syuhada dengan harapan boleh syahid seperti mereka.

Disebutkan dalam buku sejarah, “Zubair tidak pernah menjadi bupati atau gubernur. Tidak pernah menjadi petugas penarik pajak atau cukai. Dia tidak pernah menduduki jabatan kecuali sebagai pejuang perang membela agama Allah.”

Ia sangat percaya dengan kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah 100 ribu prajurit, namun dia seakan-akan sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang. Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang adalah keistimewaannya.

Ia melihat gugurnya sang paman, yaitu Hamzah di Perang Uhud. Dia juga melihat bagaimana tubuh pamannya dicabik-cabik oleh pasukan kafir. Dia berdiri dekat jenazah sang paman. Gigi-giginya terdengar gemeretak dan genggaman pedangnya semakin erat. Hanya satu yang dipikirkannya, yaitu balas dendam. Akan tetapi, wahyu segera turun melarang kaum muslimin melakukan balas dendam.

Ketika pengepungan terhadap bani Quraizah sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah menugaskan Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berdiri di depan benteng musuh yang kuat dan berkata, “Demi Allah, mari kita rasakan apa yang dirasakan Hamzah atau akan kita buka benteng mereka.” Keduanya melompat ke dalam benteng. Dengan kecerdasannya, ia berhasil membuat takut orang-orang yang berada dalam benteng dan berhasil membuka pintu benteng sehingga pasukan Islam berhamburan menyerbu ke dalam benteng.

Di perang Hunain, suku Hawazin yang dipimpin Malik bin Auf menderita kekalahan yang memalukan. Tidak boleh menerima kekalahan yang diderita, Malik beserta beberapa prajuritnya bersembunyi di sebuah tempat, mengintai pasukan Islam dan bermaksud membunuh para panglima Islam. Ketika Zubair mengetahui kelicikan Malik, ia langsung menyerang mereka seorang diri dan berhasil mengobrak-abrik mereka.

Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”

Bukan kerana sebagai saudara sepupu dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang bergelar “zatun Niqatain” (memiliki dua selendang), melainkan kerana pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang tiada dua, kepemurahannya yang tidak terkira dan pengorbanan diri serta hartanya untuk Allah, Tuhan alam semesta.

Dia seorang yang berbudi tinggi dan berakhlak mulia. Keberanian dan kepemurahannya bagai dua kuda yang digadaikan. Dia seorang pebisnis sukses. Harta kekayaannya melimpah ruah. Semuanya dia dermakan untuk kepentingan Islam hingga saat mati mempunyai utang. Kedermawanan, keberanian dan pengorbanannya bersumber dari sikap tawakalnya yang sempurna kepada Allah. Kerana dermawannya, sampai-sampai dia rela mendermakan nyawanya untuk Islam.

Sebelum meninggal, dia berpesan kepada anaknya untuk melunasi utang-utangnya, “Jika kamu tidak mampu melunasinya, mintalah kepada pelindungku.” Sang anak bertanya, “Siapa pelindung yang ayah maksud?” Zubair menjawab, “Allah! Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

Di kemudian hari, sang anak bercerita, “Demi Allah, setiap kali aku kesulitan membayar utangnya, aku berkata, “Wahai Pelindung Zubair, lunasilah utangnya.” Maka Allah melunasi utangnya.”

Di perang Jamal, seperti yang tersebut dalam kisah Thalhah, perjalanan hidup Zubair berakhir. Setelah dia mengetahui duduk permasalahannya, lalu meninggalkan peperangan, dia dikuntit oleh sejumlah orang yang menginginkan perang tetap berkecamuk. Ketika Zubair sedang melaksanakan solat, mereka menikam Zubair. Setelah itu, si pembunuh pergi menghadap Khalifah Ali, mengabarkan bahawa dia telah membunuh Zubair. Dia berharap kabar itu menyenangkan hati Ali kerana yang dia tahu, Ali memusuhi Zubair. Ketika Ali mengetahui ada pembunuh Zubair yang hendak menemuinya, dia langsung berseru, “Katakanlah kepada pembunuh Zubair putra Shafiah bahawa orang yang membunuh Zubair tempatnya di neraka.”

Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.”

Adakah kata yang lebih indah dari kata-kata Khalifah Ali untuk melepas kepergian Zubair?

Salam sejahtera untukmu, wahai Zubair, di alam kematian. Beribu salam sejahtera untukmu, wahai pembela Rasulullah. (Sumber: 60 Sirah Sahabat Rasulullah saw).

7). Abbad bin Bisyr.

Abbad bin Bisyr adalah seorang sahabat yang tidak asing dalam sejarah dakwah Islam. Dia tidak hanya termasuk di antara para abid (ahli ibadah), tapi juga tergolong kalangan para pahlawan yang gagah berani dalam menegakkan kalimah Allah. Tidak hanya itu, ia juga seorang penguasa yang cakap, berbobot dan dipercaya dalam urusan harta kekayaan kaum Muslimin.

Ketika Islam mulai tersiar di Madinah, Abbad bin Bisyr Al-Asyhaly masih muda. Dalam kegiatan sehari-hari dia memperlihatkan tingkah laku yang baik, bersikap seperti orang-orang yang sudah dewasa, kendati usianya belum mencapai dua puluh lima tahun.

Dia mendekatkan diri kepada seorang dai dari Makkah, yaitu Mushab bin Umair. Dalam tempo singkat, hati keduanya terikat dalam ikatan iman yang kokoh. Abbad mulai belajar membaca Al-Quran kepada Mushab. Suaranya merdu, menyejukkan dan menawan hati. Oleh kerana itu, ia terkenal di kalangan para sahabat sebagai imam dan pembaca Al-Quran.

Pada suatu malam ketika Rasulullah saw sedang melaksanakan solat tahajud di rumah Aisyah yang berdekatan dengan masjid. Terdengar oleh beliau suara Abbad bin Bisyr membaca Al-Quran dengan suara yang merdu.

“Ya Aisyah, suara Abbad bin Bisyrkah itu?” tanya Rasulullah.

“Betul, ya Rasulullah!” jawab Aisyah.

Rasulullah berdoa, “Ya Allah, ampunilah dia!”

Abbad bin Bisyr turut berperang bersama Rasulullah saw dalam tiap peperangan yang beliau pimpin. Dalam peperangan-peperangan itu dia bertugas sebagai pembawa Al-Quran. Ketika Rasulullah kembali dari Perang Zatur Riqa, beliau beristirahat dengan seluruh pasukan Muslim di lereng sebuah bukit. Setibanya di tempat perhentian di atas bukit Rasulullah bertanya, “Siapa yang bertugas jaga malam ini?”

Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir berdiri, “Kami, ya Rasulullah!” kata keduanya serentak. Rasulullah telah menjadikan keduanya bersaudara ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah.
Ketika keduanya keluar ke pos penjagaan, Abbad bertanya kepada Ammar, “Siapa di antara kita yang berjaga terlebih dahulu?” “Aku yang tidur lebih dahulu,” jawab Ammar yang bersiap-siap untuk berbaring tidak jauh dari tempat penjagaan. Dalam suasana malam yang tenang dan hening, Abbad solat malam dan larut dalam manisnya ayat-ayat Al-Quran yang dibacanya. Dalam solat itu dia membaca surat Al-Kahfi dengan suara memilukan bagi siapa saja yang mendengarnya. 

Ketika Abbad tenggelam dalam mahabbah dengan Rabb-nya, seorang laki-laki datang dengan tergesa-gesa dan melihat seorang hamba Allah sedang beribadah. Lelaki itu yakin bahawa Rasulullah ada di tempat itu dan orang yang sedang solat itu adalah pengawal yang bertugas jaga.

Orang itu menyiapkan anak panah dan memanah Abbad dengan tepat mengenai tubuhnya. Abbad mencabut anak panah yang bersarang di tubuhnya sambil meneruskan bacaan dan tenggelam dalam solat. Orang itu memanah lagi dan mengenai Abbad dengan jitu. Abbad kembali mencabut anak panah lalu meneruskan ibadahnya. Kemudian orang itu memanah lagi. Abbad mencabut lagi anak panah dari tubuhnya seperti dua anak panah terdahulu.

Giliran jaga bagi Ammar bin Yasir pun tiba. Abbad merangkak ke dekat saudaranya yang tidur, lalu membangunkannya seraya berkata, “Bangunlah! Aku terluka parah dan lemas.”

Sementara itu, melihat mereka berdua, si pemanah buru-buru melarikan diri. Ammar menoleh ke arah Abbad dan melihat darah bercucuran dari tiga luka di tubuhnya. “Subhanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan aku ketika panah pertama mengenaimu?” tanyanya keheranan.

“Aku sedang membaca Al-Quran dalam solat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum selesai. Demi Allah, kalaulah tidak kerana takut akan menyia-nyiakan tugas jaga yang dibebankan Rasulullah, menjaga pos perkemahan kaum Muslimin, biarlah tubuhku putus daripada memutuskan bacaan dalam solat,” jawab Abbad.

Ketika perang memberantas orang-orang murtad berkecamuk pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah menyiapkan pasukan besar untuk menindas kekacauan yang ditimbulkan oleh Musailamah Al-Kazab. Abbad bin Bisyr termasuk pelopor dalam pasukan tersebut. Abbad dan pasukannya menyerbu dan memecah pasukan musuh, serta menebar maut dengan pedangnya. Kemunculannya menyebabkan pasukan Musailamah Al-Kazab terdesak mundur dan melarikan diri ke Kebun Maut.

Di sana, dekat pagar tembok Kebun Maut, Abbad gugur sebagai syahid. Tubuhnya penuh dengan luka bekas bacokan pedang, tusukan lembing dan panah yang menancap. Para sahabat hampir tak ada yang mengenalinya, kecuali setelah melihat beberapa tanda di bahagian tubuhnya yang lain.

8). Tsabit bit Qais

Juru Bicara Rasulullah  saw

Hassan adalah penyair Rasulullah dan penyair Islam. Sedangkan Tsabit adalah juru bicara Rasulullah dan juru bicara Islam. Kalimat dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kuat, padat, keras, tegas dan mempesonakan. 

Pada tahun datangnya utusan-utusan dari berbagai penjuru Semenanjung Arabia, datanglah ke Madinah perutusan Bani Tamim yang mengatakan kepada Rasulullah saw, “Kami datang akan berbangga diri kepada anda, maka izinkanlah kepada penyair dan juru bicara kami menyampaikannya.” Maka Rasulullah saw tersenyum, lalu katanya, “Telah kuizinkan bagi juru bicara kalian, silakan!” 

Juru bicara mereka Utharid bin Hajib pun berdirilah dan mulai membanggakan kelebihan-kelebihan kaumnya. Setelah selesai, Nabi pun berkata kepada Tsabit bin Qeis, “Berdirilah dan jawablah!” 

Tsabit bangkit menjawahnya, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Langit dan bumi adalah ciptaan-Nya dan titah-Nya telah berlaku padanya. Ilmu-Nya meliputi kerajaan-Nya, tidak satu pun yang ada, kecuali dengan karunia-Nya. Kemudian dengan qodrat-Nya juga, dijadikanNya kita golongan dan bangsa-bangsa. Dan Ia telah memilih dari makhluk-Nya yang terbaik seorang Rasul-Nya. Berketurunan, berwibawa dan jujur kata tuturnya. Dibekali-Nya Al-Quran, dibebani-Nya amanat. Membimbing ke jalan persatuan ummat. Dialah pilihan Allah dari yang ada di alam semesta. Kemudian dia menyeru manusia agar beriman kepada-Nya, maka berimanlah orang-orang muhajirin dari kaum dan karib kerabatnya, yakni orang-orang yang termulia keturunannya dan yang paling baik amal perbuatannya. Dan setelah itu, kami orang-orang Ansar, adalah yang pertama pula memperkenankan seruannya. Kami adalah pembela-pembela Agama Allah dan penyokong-penyokong Rasul-Nya….” 

Di Medan Jihad

Tsabit telah menyaksikan perang Uhud bersama Rasulullah saw dan peperangan-peperangan penting sesudah itu. Corak perjuangannya menakjubkan, sangat menakjubkan! Dalam peperangan-peperangan menumpas orang-orang murtad, dia selalu berada di barisan terdepan, membawa bendera Ansar dan menebaskan pedangnya yang tak pernah menumpul dan tak pernah berhenti. 

Di perang Yamamah, Tsabit melihat terjadinya serangan mendadak yang dilancarkan oleh tentara Musailamatul Kadzab terhadap Muslimin di awal pertempuran, maka berserulah dia dengan suaranya yang keras memberi peringatan, “Demi Allah, bukan begini caranya kami berperang bersama Rasulullah saw!” Kemudian dia pergi tak seberapa jauh dan tiada lama kembali sesudah membalut badannya dengan balutan jenazah dan memakai kain kafan, lain berseru lagi, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dibawa mereka (tentara Musailamah) dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang diperbuat mereka (kaum Muslimin) yang kendor semangat dalam peperangan!” 

Maka segeralah bergabung kepadanya Salim bekas sahaya Rasulullah saw, sedang ia adalah pembawa bendera muhajirin. 

Keduanya menggali lobang yang dalam untuk mereka berdua. Kemudian mereka masuk dengan berdiri di dalamnya, lain mereka timbunkan pasir ke badan mereka sampai menutupi setengah badan. Demikianlah mereka berdiri tak ubah bagai dua tonggak yang kokoh, setengah badan mereka terbenam ke dalam pasir dan terpaku ke dasar lobang, sementara setengah bahagian atas dadanya, kening dan kedua lengan mereka siap menghadapi tentara penyembah berhala dan orang-orang pembohong. Tak henti-hentinya mereka memukulkan pedang terhadap setiap tentara Musailamah yang mendekat, sampai akhirnya kedua mereka mati syahid di tempat itu dan reduplah sudah sinar sang surya mereka! 

Peristiwa syahidnya kedua pahlawan ra ini bagaikan pekikan dahsyat yang menghimbau kaum Muslimin agar segera kembali kepada kedudukan mereka hingga akhirnya mereka berhasil menghancurkan tentara Musailamah, mereka tersungkur menutupi tanah bekas mereka berpijak.

9). Suhail bin Amr.

Ketika masih musyrik dia adalah seorang yang sangat gigih dan keras menentang perjuangan dakwah Rasulullah saw. Melihat Suhail berada dalam barisan tawanan Perang Badar, Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah saw “Wahai Rasulullah, biarkan aku menjatuhkan dua gigi depan Suhail supaya dia tidak menghinamu lagi sejak saat ini.”

 “Wahai Umar” jawab Rasul dengan lembut, “Semoga suatu saat Suhail akan berada dalam keadaan yang engkau sukai”.

Saat perjanjian Hudaibiyah, Suhail bin Amr kembali berkonfrontasi dengan kaum muslimin. Ia menjadi juru bicara dari kalangan Musyrikin. Perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada bulan Zulkaedah tahun keenam hijrah (628 M) ditandatangani antara pihak Musyrikin Mekah yang diwakili oleh Suhail dengan Rasulullah. Perjanjian ini berisi janji untuk melakukan gencatan senjata selama sepuluh tahun.

Ucapan Nabi kepada Umar saat perang Badar tentang Suhail bin Amr terbukti saat Fathu Makkah tahun 8H. Setelah memeluk Islam, kehidupan Suhail benar-benar berubah. Ia menjadi seorang yang pemurah, dermawan, banyak melaksanakan solat, puasa, sedekah, membaca Al-Quran dan menangis kerana takut kepada Allah. Ia adalah seorang pejuang yang gagah berani dan perkasa di medan laga. Ia juga menjadi seorang ahli pidato yang sangat terkenal dalam Islam.

Suhail memperoleh syahid pada saat perang Yarmuk tahun 15H. Dia mati syahid bersama Ikramah bin Abu Jahal dan Al Harits bin Hisyam. Saat itu mereka bertiga kehausan. Para sahabat membawa air kepada Ikramah. Melihat Suhail kehausan, Ikramah meminta memberikan air itu kepada Suhail. Suhail sangat ingin minum. Namun di titik nafas penghabolehn itu ia melihat Al-Harits bin Hisyam juga sedang kehausan. Dia minta air itu diberikan saja kepada Al Harits. Ketika air itu tiba, ternyata Al Harits sudah meninggal. Air itu segera dibawa ke Ikramah lagi, ternyata dia sudah tak bernafas. Langsung dibawa kepada Suhail, ternyata keadaan Suhail pun sama, sudah tak bernyawa. Akhirnya mereka bertiga syahid tanpa ada satupun yang meminum air tersebut. Meninggal dalam pengorbanan dan kesetiaan kepada sahabat. Mereka tetap setia hingga nafas yang terakhir.

10). Musab bin Umair.

Musab bin Umair adalah sahabat Rasulullah s.a.w yang sangat berjasa dan menjadi teladan kepada umat Islam sepanjang zaman. Sebelum memeluk Islam, dia berperawakan lemah lembut, suka berpakaian kemas, mahal dan indah. Malah dia selalu bersaing dengan kawan-kawannya untuk berpakaian sedemikian. Keadaan dirinya yang mewah dan rupanya yang kacak menyebabkan Musab menjadi kegilaan gadis di Makkah. Mereka sentiasa berangan-angan untuk menjadi isterinya.

Musab sebenarnya adalah anak yang paling disayangi ibunya berbanding adik-adiknya yang lain. Apa sahaja permintaannya tidak pernah ditolak. Oleh itu tidaklah mengherankan apabila ibunya begitu marah selepas mendapat tahu Musab telah menganut Islam. Ibunya telah mengurung dan menyiksa Musab selama beberapa hari dengan harapan dia akan meninggalkan Islam. Tindakan ibunya tidak sedikit pun menimbulkan rasa takut pada Musab, sebaliknya dia tidak jemu-jemu membujuk ibunya memeluk Islam kerana sayang pada ibunya. Musab membuat pelbagai usaha tetapi semua tindakannya hanya menambahkan lagi kemarahan dan kebencian ibunya. 

Pada suatu hari Musab melihat ibunya dalam keadaan pucat lesu. Dia pun menanyakan sebabnya. Kata ibunya, dia telah berniat di hadapan berhala bahawa dia tidak akan makan dan minum sehingga Musab meninggalkan Islamnya. Mendengar jawaban ibunya, Musab berkata kepada ibunya, “Andaikata ibu mempunyai seratus nyawa sekalipun dan nyawa ibu keluar satu demi satu, nescaya saya tetap tidak akan meninggalkan Islam sama sekali”.

Mendengar jawaban Musab yang begitu tegas dan berani, ibunya pun mengusir Musab dari rumah, maka tinggallah Musab bersama-sama Rasulullah dan sahabat-sahabat yang sangat daif ketika itu. Untuk meneruskan kehidupannya, Musab berusaha sendiri bekerja mencari nafkah dengan menjual kayu api. Apabila sampai berita ini kepada ibunya, dia merasa amat marah dan malu kerana kebangsawanannya telah dicemari oleh sikap Musab. Adik-beradik Musab juga sering menemui dan memujuknya supaya kembali menyembah berhala. Tetapi Musab tetap mempertahankan keimanannya. 

Sewaktu ancaman dan seksaan kaum Quraish ke atas kaum Muslim menjadi-jadi, Rasulullah telah mengarahkan supaya sebahagian sahabat berhijrah ke Habysah. Musab turut bersama-sama rombongan tersebut. Sekembalinya dari Habsyah, keadaan beliau semakin berubah. Kurus kering dan berpakaian compang-camping lantaran penyiksaan Quraish ke atasnya. Keadaan itu menimbulkan rasa sedih di dalam hati Rasulullah. Kata-kata Rasulullah mengenai Musab sering disebut-sebut oleh sahabat, “Segala puji bagi bagi Allah yang telah menukar dunia dengan penduduknya. Sesungguhnya dahulu saya melihat Musab seorang pemuda yang hidup mewah ditengah-tengah ayah bondanya yang kaya raya. Kemudian dia meninggalkan itu semua kerana cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”.
  
Apabila ibu Musab mendapat tahu mengenai kepulangannya, dia memujuk anaknya supaya kembali kepada berhala. Dia mengutuskan adik Musab yang bernama Al-Rum untuk memujuknya. Namun Musab tetap dengan pendiriannya. Bagaimanapun tanpa pengetahuan ibunya, Al-Rum juga sudah memeluk Islam tetapi dia merahsiakannya. Musab, adalah orang pertama diutus oleh Nabi ke Yathrib (Madinah) untuk berdakwah. Hasil dakwahnya, pada tahun tersebut 12 orang Madinah memeluk Islam dan bertemu dengan Nabi di Musim Haji untuk mengikat janji setia dengan Nabi (Perjanjian Aqabah 1). Pada tahun berikutnya 70 lagi orang Yathrib masuk Islam dan datang ke Mekah di musim Haji untuk berjanji setia dengan Nabi (Perjanjian Aqabah 2). Kejayaan cemerlangnya inilah, pembuka jalan kepada Nabi dan para sahabat untuk berhijrah ke Yathrib. 

Sewaktu terjadi peperangan Uhud, Musab ditugaskan memegang bendera-bendera Islam. Peringkat kedua peperangan telah menyebabkan kekalahan di pihak tentera Muslimin. Tetapi Musab tetap tidak berganjak dari tempatnya dan menyeru, “Muhammad adalah Rasul dan sebelumnya telah banyak diutuskan rasul.” 

Ketika itu, seorang tentera berkuda Quraish, Ibn Qamiah menyerbu ke arah Musab dan menetak tangan kanannya yang memegang bendera Islam. Musab menyambut bendera itu dengan tangan kirinya sambil mengulang-ulang laungan tadi. Laungan itu menyebabkan Ibn Qamiah bertambah marah dan menetak tangan kirinya pula. Musab terus menyambut dan memeluk bendera itu dengan kedua-dua lengannya yang kudung. Akhirnya Ibn Qamiah menikamnya dengan tombak. Maka gugurlah Musab sebagai syuhada Uhud. 

Al-Rum, Amir ibn Rabiah dan Suwaibit ibn Sad telah berusaha mendapatkan bendera tersebut daripada jatuh ke bumi. Al-Rum telah berjaya merebutnya dan menyaksikan sendiri syahidnya Musab. Al- Rum tidak dapat lagi menahan kesedihan melihat kesyahidan abangnya. Tangisannya memenuhi sekitar bukit Uhud. Ketika hendak dikafankan, tidak ada kain yang mencukupi untuk menutup jenazahnya. Keadaan itu menyebabkan Rasulullah tidak dapat menahan kesedihan hingga bercucuran air mata baginda. Keadaannya digambarkan dengan kata-kata yang sangat masyhur, “Apabila ditarik kainnya ke atas, bahagian kakinya terbuka. Apabila ditarik kainnya ke bawah, kepalanya terbuka. Akhirnya, kain itu digunakan untuk menutup bahagian kepalanya dan kakinya ditutup dengan daun-daun kayu.”
  
Demikian kisah kekuatan peribadi seorang hamba Allah dalam mempertahankan kebenaran dan kesucian Islam. Beliau jugalah merupakan pemuda dakwah yang pertama mengetuk setiap pintu rumah di Yathrib sebelum berlakunya hijrah. Kisahnya mempamerkan usaha dan pengorbanannya yang tinggi untuk menegakkan kebenaran. Semua itu adalah hasil tarbiyah yang dilaksanakan oleh Rasulullah. 

Musab telah menjadi saksi kepada kita akan ketegasan mempertahankan aqidah yang tidak berbelah bagi terhadap Islam sekalipun teruji antara kasih sayang kepada ibunya dengan keimanan. Musab lebih mengutamakan kehidupan Islam yang serba sederhana berbanding darjat dan kehidupan serba mewah. Dia telah menghabiskan umurnya untuk Islam, meninggalkan kehebatan dunia, berhijrah zahir dan batin untuk mengambil kehebatan ukhrawi yang sejati sebagai bekalan akhirat.

11). Sumayyah.

Dialah Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Huzaifah bin Mughiroh. Beliau dinikahi oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekkah sehingga tidak ada kabilah yang dapat membela, menolak dan mencegah kezaliman atas dirinya, kerana dia hidup sebatang kara. Kedudukannya menjadi sulit dibawah naungan aturan yang berlaku pada masa Jahiliyah. 

Begitulah Yasir mendapatkan dirinya menyerahkan perlindungannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Huzaifah. Dia akhirnya dinikahkan dengan hamba wanita bernama Sumayyah, tokoh yang kita bicarakan ini. Beliau hidup bersamanya dalam suasana yang tenteram. Tidak berselang lama dari pernikahan tersebut, merekapun dikaruniai dua orang anak, yaitu Ammar dan Ubaidullah. 

Tatkala Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki beliau mendengar agama baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah saw kepada beliau. Maka berfikirlah Ammar bin Yasir sebagaimana yang difikirkan oleh penduduk Mekkah, sehingga kesungguhan beliau di dalam berfikir dan lurusnya fitrah beliau, menggiringnya untuk memeluk Dienul Islam. Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya. 

Beliau menceritakan kejadian yang beliau alami hingga pertemuannya dengan Rasulullah saw, kemudian menawarkan kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata Yasir dan Sumayyah menyahut dakwah yang penuh berkah tersebut dan bahkan mengumumkan keislamannya sehingga Sumayyah menjadi orang ketujuh yang masuk Islam. Dari sinilah dimulai sejarah yang agung bagi Sumayyah yang bertepatan dengan permulaan dakwah Islam dan sejak fajar terbit untuk pertama kalinya. Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, kerana Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahawa mereka telah masuk Islam bahkan mengumumkan keislamannya dengan kuat sehingga orang-orang kafir menyikapinya dengan menentang dan memusuhi mereka. 

Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari dien mereka. Mereka memaksa dengan cara menyeret mereka ke padang pasir tatkala cuaca sangat panas dan menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan diatas dadanya sebongkah batu yang berat, akan tetapi tiada terdengar rintihan ataupun ratapan melainkan ucapan Ahad….Ahad…., beliau ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang diucapkan juga oleh Yasir, Ammar dan Bilal. 

Suatu ketika Rasulullah saw menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah tersiksa secara kejam, maka beliau menengadahkan tangannya ke langit dan berseru, “Bersabarlah keluarga Yasir kerana sesungguhnya tempat kembali kalian adalah syurga.”

Sumayyah mendengar seruan Rasulullah saw, maka beliau bertambah tegar dengan imannya. Dia mengulang-ulang dengan berani, "Aku bersaksi bahawa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahawa janjimu adalah benar.”

Sehingga bagi beliau kematian adalah sesuatu yang kecil dalam rangka memperjuangkan aqidahnya. Di hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah Azza wa Jalla, maka dia menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para Thaghut yang zalim, yang mana mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya sekalipun hanya satu langkah semut. 

Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari isterinya. Sumayyah pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah saw. 

Tatkala para Thaghut telah berputus asa mendengar ucapan yang sentiasa diulang-ulang oleh Sumayyah maka musuh Allah, Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah dengan menusukkannya tombak yang berada dalam genggamannya ke tubuhnya. Maka terbanglah nyawa beliau dari raganya yang beriman dan bersih. Dan beliau adalah wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh yang baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan, yang mana beliau telah mengerahkan segala apa yang beliau miliki dan menganggap remeh kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal dalam rangka meraih keridhaan Rabb-nya. 

“Dan mendermakan jiwa adalah puncak tertinggi dari kedermawanan.”

(Diambil dari buku Mengenal Shahabiah Nabi saw dengan sedikit perubahan, penerbit Pustaka AT-TIBYAN)

12). Amar bin Yasir.

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka membaiatnya di bawah pohon.” (Al-Fath: 18). 

Ayat ini menurut para mufasir berhubungan para sahabat Nabi yang memberikan baiatnya kepada Rasulullah. Salah satu dari mereka itu bernama Ammar Bin Yasir. Dia seorang putra dari Sumayyah yang dikenal sebagai syahidah pertama dalam Islam. Ammar berkulit sawo matang dan berperawakan tinggi. Kedua matanya hitam kebiru-biruan. Pundaknya bidang dan rambutnya lebat. 

Ia masuk Islam ketika berada di Kaabah tidak sengaja mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan Muhammad Saw. Kerana terasa berbeda dengan lantunan syair-syair Arab maka Ammar menelusurinya. Maka larangan untuk tidak mendekati Muhammad Saw tidak digubrisnya. Akhirnya Ammar pun sengaja datang ke Darul Arqam. Di depan rumah itu Ammar bertembung dengan Suhaib Bin Sanan.

“Mau apa kau ke sini” tanya Ammar mendahului. “Aku mau menemui Muhammad dan ingin mendengarkan ajaran-ajarannya,” jawab Suhaib singkat. “Aku pun begitu,” ungkap Ammar. Dan setelah itu mereka masuk dan mendengarkan tausiyah Rasulullah hingga menjelang malam. Besoknya Ammar datang lagi dan masuk Islam. Dia menghafal ayat-ayat Al-Quran yang disampaikan Rasulullah saw. Dia membacanya secara lunak. Hari berikutnya membaca secara keras dan makin keras hingga terdengar ke luar rumah.

Ammar selain berjasa dalam membangun masjid pertama, Quba, juga ikut berjuang bersama Nabi dalam perang Badar, Uhud, Khaibar, Khandak dan peperangan lainnya. Ammar bersama orang tuanya, Sumayyah Binti Kahiyyat dan Yasir pernah disiksa oleh Abu Jahal Bin Hisyam ditengah-tengah padang pasir, ramdha. Saat tahu tentang itu, Rasulullah datang dan berkata, “Hai keluarga Yasir, sabarlah! kalian dijanjikan pahala syurga.”

Bahkan mereka diancam akan dibunuh jika tidak meninggalkan agama Islam. Kedua orangtua Ammar, Yasir dan Sumayah, tetap berpegang teguh memegang Islam dengan berani berujar di hadapan para musyrikin, “Kami yang sudah suci dengan Islam tidak mau mengotorinya lagi.” Mendengar itu para musyrikin marah dan akhirnya membunuh keduanya dengan tombak. Atas tindakan itu, akhirnya Ammar tidak boleh apa-apa selain menuruti kaum musyrikin. Ia dihadapan para pemuka musyrikin melontarkan cacian dan makiannya kepada Rasulullah dan langsung menyatakan keluar dari agama Islam. 

Kejadian itu pun diketahui Nabi. Selang beberapa hari setelah kejadian itu turunlah ayat kepada Nabi, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (Dia tidak berdosa)” (QS An-nahl:106). Berdasarkan ayat ini umat Islam pada waktu itu diizinkan untuk melakukan taqiyah dalam rangka menjaga keselamatan. Inilah yang dilakukan Ammar yang terpaksa mencaci maki Nabi dan menyatakan keluar dari Islam untuk penyelamatan jiwanya. Dan tindakan taqiyah yang dilakukan Ammar tadi dibenarkan oleh Nabi, “Kalau mereka kembali menyiksamu lagi, ucapkan cacianmu padaku, Allah akan mengampunimu dikeranakan kamu terpaksa melakukannya.” 

Ada hadits lain yang berkenaan dengan Ammar, yaitu dari Khalid Bin Walid yang berkata bahawa dirinya pernah bertengkar dengan Ammar. Lalu mengadukannya kepada Nabi. Saat itu Rasulullah saw langsung berkata, “Hai Khalid, siapa yang memaki-maki Ammar Bin Yasir, Allah akan memaki-maki dia. Barang siapa yang memusuhinya, Allah akan menjadi musuh dia. Barangsiapa yang merendahkan Ammar, Allah pun akan merendahkan dia.” Inilah pujian yang menyatakan kedudukan Ammar Bin Yasir dihadapan Allah dan Rasul-Nya. 

Selain tercatat sebagai muslim yang taat, Ammar juga termasuk orang berusaha mendamaikan pertengkaran antara Ansar dan Muhajirin saat peristiwa Saqifah, yang merebutkan kepemimpinan Islam pasca wafat Nabi. Orang-orang Ansar mengajukan Saad Bin Ubadah dan orang-orang muhajirin menunjuk Abu Bakar. Ammar ketika melihat perseturuan itu memberikan nasihat kepada kedua kelompok tersebut. Sebagai jalan keluarnya, Ammar mengadakan rapat yang disebut Majelis Syura. Konsep inilah bukti kontribusi gagasan/ide dari Ammar Bin Yasir pada Islam. Ammar juga pada masa khalifah Umar Bin Khattab diamanahi sebagai gubernur Kufah, Irak. 

Bahkan pada masa Khalifah Utsman Bin Affan, Ammar memberikan nasihat kepadanya. Terutama masalah pengangkatan pejabat-pajabat teras yang berasal dari keluarga Utsman. Atas tindakannya itu Ammar dianggap orang yang berusaha melakukan khianat terhadap pemerintah. “Alhamdulillah, ternyata penegak kebenaran selalu dihinakan,” ucap Ammar ketika Hasyim Bin Walid Bin Mughira mengejeknya. Kemudian dalam buku Syarh Nahjul Balaghah dikabarkan tubuhnya dipukuli beberapa kaum musyrikin hingga pingsan. Dalam keadaan itulah sebahagian kaum muslimin membawanya ke rumah Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi. Ammar pingsan cukup lama hingga beberapa waktu tidak solat-kerana tidak sadar. Ketika sadar dari pingsan Ammar berkata, “Alhamdulillah bukan sekali ini aku disakiti, dahulu juga dianiaya ketika membela Rasulullah.”

Menurut sejarah Ammar Bin Yasir wafat dimasa khalifah Ali Bin Abi Thalib, yaitu pada usia 94 tahun, saat perang Siffin kepalanya terlepas dari badan. Ali Bin Abi Thalib kemudian mensolatkan dan menguburkannya di Riqqah, 300 km dari kota Damsyik, Suriah. Begitulah perjuangan seorang muslim di masa awal Islam. Meskipun penuh cobaan dari kaum musyrikin, tetapi kepatuhan dan ketangguhannya dalam memeluk Islam betul-betul sebuah teladan yang harus diikuti umat Islam.

13). Zaid bin Khattab.

Zaid bin Khattab adalah saudara Umar bin Khattab. Dia lebih dahulu masuk Islam dan baik Islamnya. Dia seorang mujahid yang banyak kembali kepada Allah. Suatu hari Rasulullah saw menyampaikan sebuah pernyataan, “Diantara kalian ada seorang laki-laki yang kecemasannya terhadap neraka lebih besar daripada gunung Uhud.”

Pada peristiwa setelah wafatnya rasul, timbul gerakan yang mengkalim bahawa Musailamah adalah nabi. Adalah Rajjal bin Anfawah yang menipu banyak orang dengan mengatakan bahawa aku mendengar Muhammad berkata, bahawa ia telah bersama-sama dengan Musailamah bin Hubaib dalam hal kenabian. Zaid bin Khattab adalah orang yang paling cemas terhadap gerakan Musailamah dan Rajjal. Ia begitu berani mati syahid dengan berbagai cara.

Pada perang Uhud baju perangnya hilang, maka Umar bin Khattab menawari dia untuk mengenakan baju perangnya. Zaid berkata, "Aku ingin mereguk manisnya mati syahid sebagaimana yang engkau inginkan. Maka dia pun perang tanpa pakaian perang.”

Pada peristiwa Perang Yamamah prajurit muslim memerangi tentara Musailamah. Dia melihat prajurit muslim ketakutan kerana banyaknya yang terbunuh sebagai syuhada. Maka dia berpekik, “Wahai saudara-saudara, kalian harus teguh, kerjakan musuhmu, majulah kedepan. Demi Allah aku tidak akan berbicara sampai Allah mengalahkan mereka atau sampai aku menjumpai Allah lalu aku bicara kepada-Nya dengan argumen yang akan aku sampaikan.”

Ia lalu mencari Musailamah, tetapi pasukannya menyembunyikannya. Maka ia mencari Rajjal sampai ia menemukannya lalu menebas kepalanya yang membuat rasa takut muncul pada diri Musailamah dan Mahkan bin Thufail.

Ketika tentara Islam mengetahui kematian Rajjal, maka mereka yang terluka bangkit dan berperang dengan gigih, sementara Zaid rindu akan syurga. Maka dia menerobos pasukan sampai dia tewas dalam keadaan syahid.

Pulanglah prajurit Islam tanpa Zaid. Dan menangislah Umar bin Khattab seraya berkata, "Semoga Allah menghujani rahmat kepada Zaid. Ia telah mendahului aku memeluk Islam dan telah mendahului aku menjadi syahid.” Umar selalu mengenangnya, dia berkata, "Tidaklah angin berhembus melainkan aku mencium bau harum Zaid.” Semoga Allah meridhoi Zaid bin Khattab.

14). Abdullah bin Zubair.

Nama lengkapnya Abdullah bin az-Zubair bin al-Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bi Qushai. Beliau adalah anak dari bibi Rasulullah. Ibunya bernama Asma binti Abu Bakar as-Siddiq. Panggilannya Abu Bakar. Gelarnya Aizullah (yang berlindung pada Allah). Ayahnya az-Zubair bin al-Awwam adalah termasuk pengikut setia (hawariy) Rasulullah dan salah satu dari sepuluh sahabat yang dikabarkan akan masuk syurga.

Mengenai kelahirannya, Asma (ibunya) bercerita bahawa suatu hari ketika sedang hamil tua keluar rumah. Kira-kira kandungan itu sudah berumur sembilan bulan. Ibunya pergi ke Madinah dan berhenti di Quba ketika dirinya merasa bayinya hendak keluar. Firasatnya itu betul. Tak lama setelah berhenti sejenak di Quba, bayinya lahir. Setelah ibunya membawa bayi itu ke tempat Rasulullah agar didoakan. Rasulullah pun mengunyah kurma hingga lembut kemudian menyuapkan kepada bayi itu sembari berdoa. Jadi pertama-pertama yang masuk di tenggorokan bayi itu adalah suapan Rasulullah. Bayi itu diberinama Abdullah. Itulah awal kelahiran bayi muslim dalam Islam setelah terjadi peristiwa hijrah ke Madinah yang langsung disuapi dan dinamai Rasulullah.

Kelahirannya disambut meriah dan riang gembira oleh umat Islam yang ada di Madinah. Kenapa demikian? Konon ceritanya bahawa orang-orang Yahudi telah menyihir hingga umat Islam tidak melahirkan bayi. Beruntunglah Abdullah mendapatkan didikan langsung dari Rasulullah sejak kecil. Maka tidak heran jika pada umur 7 atau 8 tahun memberikan sumpah setia kepada Rasulullah untuk tegaknya ajaran Islam. Kehadirannya disambut Rasulullah dengan senyum ketika dirinya menyatakan diri untuk memberikan sumpah setia (baiah) (lihat Sahih Bukhri: 2146).

Sejak dirinya memberikan sumpah setia (baiah), waktunya digunakan untuk menimba ilmu langsung dari Rasulullah. Seakan-akan tidak ada jalan melainkan jalan ke rumah Rasulullah yang dituju. Apalagi Aisyah, istri Rasulullah, adalah bibinya yang baik hati. Sehingga dirinya merasa benar-benar seperti anaknya. Maka tidak mengherankan jika beliau diantara para sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah langsung. Dan juga dari ayah, paman (Abu Bakar), ibu dan bibinya (Aisyah). Dalam masalah ibadah beliau juga sangat tekun dan istiqomah serta penuh khusyu. Mujahid berkata, “Ibn Zubair jika sedang solat badanya seperti tiang (khusyu). Seperti halnya Abu Bakar.” Tsabit al-Banany bercerita, “Suatu hari saya lewat di samping Ibn Zubair yang berada di belakang tempat sedang solat. Dirinya seperti kayu yang ditancapkan, tidak bergerak (kerana khusyu).

Dari Utsmanbin Tholhah berkata, “Ada tiga perkara yang tidak dapat dikalahkan dari Ibn Zuabair, dalam keberanian, ibadah dan kepandian beretorika (balaghoh). “Dari ibunya berkata, “Ibn Zubair selalu solat malam dan berpuasa di siang hari.” Dari Muslim bin Niyaqb berkata, “Ibn Zubair suatu hari ruku. Waktu itu kami membaca surah al-Baqoroh, Ali Imran, an-Nisa dan al-Maidah. (Hingga surah itu selesai dibaca) beliau belum mengangkat kepalanya.” Tidak mengherankan jika di kalangan sahabat beliau dikenal dengan sebutan Hamam al-Masjid” (merpati masjid).

Kurang lebih 8 tahun 4 bulan beliau bergaul dekat dengan Rasulullah. Setelah beliau ditinggal Rasulullah menghadap sang Khalik.

Suatu hari beliau sedang bermain dengan anak-anak seusianya. Peristiwa itu terjadi pada waktu khalifah Umar bin Khattab. Ketika Umar datang, kawan-kawannya itu lari menjauh sementara dirinya masih berdiri di tempatnya. Umar bertanya, “Kenapa tidak ikut lari bersama kawan-kawanmu?” beliau menjawab, “Saya tidak berbuat jahat dan dosa, kenapa harus lari. Dan jalan pun tidak sempit hingga aku beri jalan untukmu.” Mendengar jawab itu, Umar pun kemudian pergi melewati jalan itu.

Mengenai keberaniannya, Mushab bin Abdullah berkata, “Ayahku bercerita padaku dan juga az-Zubair bin Hubaib. Suatu hari Ibn az-Zubair berkata, “Kelompok Jurjair dengan jumlah tentara 120 ribu orang menyerang kami. Kemudian mereka mencoba mengepung kami yang jumlahnya cuma 20 ribu.” Dalam riwayat Hisyam bin Urwah diceritakan bahawa bahawa pada waktu perang Jamal, Ibn az-Zubair diambil di tenggah-tengah orang-orang yang terbunuh (beliau masih hidup). Tubuhnya terkena luka parah akibat terkena 70 lebih pukulan dan tusukan.”

Dari Urwah diceritakan bahawa Ibn Zubair ikut membonceng kuda di belakang ayahnya pada waktu terjadi perang Yarmuk. Waktu itu berumur 20 tahun. Beliau juga ikut dalam penaklukan Afrika pada masa khalifah Utsman. Begitu juga beliau menjaga Khalifah Utsman di rumahnya.

Setelah wafatnya Muawiyyah bin Abu Sufyan, kekhalifahan digantikan anaknya, Yazid. Yazid menyuruh beliau untuk memberikan sumpah setia atas kekhalifahannya itu. Hanya saja beliau enggan memenuhi permintaannya. Beliau lebih memilih pergi jauh ke Mekkah. Sikapnya itu membuat Yazid marah. Tapi apa hendak dikata. Beliau memang enggan.

Beberapa tahun kemudian akhirnya Yazid wafat. Maka beliau dibaiah untuk mengantikan khilafah itu. Beliau pun menerima. Beliau memerintah di Mesir, Hijaz, Yaman, Iraq, Khurasan dan sebahagian besar Syam. Semua penduduk patuh dan taat kepada beliau. Madinah Munawarah dijadikan sebagai ibu kota pemerintahannya.

Diantara proyek pembangunan yang beliau lakukan adalah pembaharuan dan renovasi Kabah dengan tidak membuang tiang-tiang penting yang diletakkan Nabi Ibrahim. Prestasi lain yaitu beliau orang pertama yang membuat mata uang dirham berbentuk bulat. Uang dirham itu di salah satu sisinya bertulis Muhammad Rasulullah. Dan pada sisi lainnya, “Amrullah bil fawa wal adalah.”

Selama hidupnya dalam perjuangan menengakkan Islam, beliau telah meriwayatkan kurang lebih 32 hadits. Pada tahun 73 Hijriah beliau wafat di Mekkah setelah terbunuh oleh al-Hajaj bin Yusuf dalam peperangan dengan orang-orang Umaiyyah. Hari wafatnya adalah hari Selasa, Jumadil Awwal tahun 73H, waktu itu beliau berumur 72 tahun. Dikuburkan di Madinah. Beberapa hari kemudian ibunya, Asma, meninggal dunia.

15). Abu Ayyub Al-Anshari.

Ketika Rasulullah memasuki kota Madinah, unta yang beliau tunggangi bersimpuh di depan rumah Bani Malik bin Najjar. Maka beliau pun turun dari atasnya dengan penuh harapan dan kegembiraan. Salah seorang Muslim tampil dengan wajah berseri-seri kerana kegembiraan yang membuncah. Ia maju lalu membawa barang muatan dan memasukkannya, kemudian mempersilakan Rasulullah masuk ke dalam rumah. Nabi saw pun mengikuti sang pemilik rumah.

Siapakah orang beruntung yang dipilih sebagai tempat persinggahan Rasulullah dalam hijrahnya ke Madinah ini, di saat semua penduduk mengharapkan Nabi mampir dan singgah di rumah-rumah mereka? Dialah Abu Ayub Al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar.

Pertemuan ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, sewaktu utusan Madinah pergi ke Makkah untuk berbaiat dalam baiat Aqabah Kedua, Abu Ayub Al-Anshari termasuk di antara 70 orang Mukmin yang mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah serta menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi pembela.

Dan kini, ketika Rasulullah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai pusat agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besarnya telah terlimpahkan kepada Abu Ayub, kerana rumahnya dijadikan tempat pertama yang didiami Rasulullah. Beliau akan tinggal di rumah itu hingga selesainya pembangunan masjid dan bilik beliau di sampingnya.

Sejak orang-orang Quraish bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana menyerang Madinah, sejak itu pula Abu Ayub mengalihkan aktifitasnya dengan berjihad di jalan Allah. Ia turut bertempur dalam Perang Badar, Uhud dan Khandaq. Pendek kata, hampir di tiap medan tempur, ia tampil sebagai pahlawan yang siap mengorbankan nyawa dan harta bendanya.

Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun siang, dengan suara keras atau perlahan adalah firman Allah SWT, “Berjuanglah kalian, baik di waktu lapang, maupun waktu sempit…” (QS At-Taubah: 41).

Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Abu Ayub berdiri di pihak Ali tanpa sedikit pun keraguan dan kala Khalifah Ali bin Abi Thalib syahid dan khilafah berpindah kepada Muawiyah, Abu Ayub menyendiri dalam kezuhudan. Tak ada yang diharapkannya dari dunia selain tersedianya suatu tempat yang lowong untuk berjuang dalam barisan kaum Muslimin.

Demikianlah, ketika diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke arah Konstantinopel, dia segera memegang kuda dan membawa pedangnya, memburu syahid yang sejak lama ia dambakan.

Dalam pertempuran inilah dia menderita luka berat. Ketika komandannya datang menjenguk, nafasnya tengah berlomba dengan keinginannya menghadap Ilahi. Maka bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid bin Muawiyah, "Apakah keinginan anda wahai Abu Ayub?"

Abu Ayub meminta kepada Yazid, bila dia telah meninggal agar jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh dan di sanalah dia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya sepanjang jalan itu, sehingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya dan diketahuinya bahawa mereka telah berhasil mencapai kemenangan.

Dan sungguh, wasiat Abu Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota Konstantinopel yang sekarang yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah terdapat perkuburan laki-laki besar.

Hingga sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi dan penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu sebagai orang suci. Dan yang mencengangkan, para ahli sejarah yang mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata, "Orang-orang Romawi sering berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan."

Jasad Abu Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, namun ringkikan kuda dan gemerincing pedang tak terdengar lagi. Waktu telah berlalu dan kapal telah berlabuh di tempat tujuan. Abu Ayub telah menghadap Ilahi di tempat yang ia dambakan

16). Amr bin Jamuh.

Ia adalah ipar dari Abdullah bin Amr bin Haram, kerana menjadi suami dari saudara perempuan Hindun binti Amar. Ibnul Jamuh merupakan salah seorang tokoh penduduk Madinah dan salah seorang pemimpin Bani Salamah.

Ia didahului masuk Islam oleh putranya Muaz bin Amr yang termasuk kelompok 70 peserta baiat Aqabah. Bersama sahabatnya Muaz bin Jabal, Muaz bin Amr ini menyebarkan Agama Islam di kalangan penduduk Madinah dengan keberanian luar biasa sebagai layaknya pemuda Mumin yang gagah perwira.

Telah menjadi kebiasaan bagi golongan bangsawan di Madinah, menyediakan di rumah masing-masing duplikat berhala-berhala besar yang terdapat di tempat-tempat pemujaan umum yang dikunjungi oleh orang banyak. Maka sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang bangsawan dan pemimpin, Amru bin Jamuh juga mendirikan berhala di rumahnya yang dinamakan Manaf.
Putranya, Muaz bin Amr bersama temannya Muaz bin Jabal telah bermufakat akan menjadikan berhala di rumah bapaknya itu sebagai barang permainan dan penghinaan. Di waktu malam mereka menyelinap ke dalam rumah, mengambil berhala itu dan membuangnya ke dalam lubang yang biasa digunakan manusia untuk membuang hajatnya.

Pagi harinya Amr tidak melihat Manaf berada di tempatnya yang biasa, maka dicarinyalah berhala itu dan akhirnya ditemukannya di tempat pembuangan hajat. Bukan main marahnya Amr, lalu bentaknya, "Keparat siapa yang telah melakukan perbuatan durhaka terhadap tuhan-tuhan kita malam tadi…? "Kemudian dicuci dan dibersihkannya berhala itu dan dibelinya wangi-wangian.

Malam berikutnya, berdua Muaz bin Amr dan Muaz bin Jabal memperlakukan berhala itu seperti pada malam sebelumnya. Demikianlah pula pada malam-malam selanjutnya. Dan akhirnya setelah merasa bosan, Amar mengambil pedangnya lalu menaruhnya di leher Manaf, sambil berkata, “Jika kamu betul-betul dapat memberikan kebaikan, berusahalah untuk mempertahankan dirimu... !”

Pagi-pagi keesokan harinya Amr tidak menemukan berhalanya di tempat biasa tetapi ditemukannya di tempat pembuangan hajat dan tidak sendirian, berhala itu terikat bersama bangkai seekar aniing dengan tali yang kuat. Selagi ia dalam keheranan, kekecewaan serta amarah, tiba-tiba datangtah ke tempatnya itu beberapa orang bangsawan Madinah yang telah masuk Islam. Sambil menunjuk kepada berhala yang tergeletak tidak berdaya dan terikat pada bangkai anjing itu, mereka mengajak akal budi dan hati nurani Amr bin Jamuh untuk berdialog serta membeberkan kepadanya perihal Tuhan yang sesungguhnya, Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi, yang tidak satupun yang menyamai-Nya. 

Begitupun tentang Muhammad saw, orang yang jujur dan terpercaya, yang muncul di arena kehidupan ini untuk memberi bukan untuk menerima, untuk memberi petunjuk dan bukan untuk menyesatkan. Dan mengenai Agama Islam yang datang untuk membebaskan manusia dari belenggu segala macam belenggu dan menghidupkan pada mereka ruh Allah serta menerangi dalam hati mereka dengan cahaya-Nya.

Maka dalam beberapa saat, Amr telah menemukan diri dan harapannya. Beberapa saat kemudian ia pergi, dibersihkahnya pakaian dan badannya lalu memakai minyak wangi dan merapikan diri, kemudian dengan kening tegak dan jiwa bersinar ia pergi untuk baiat kepada Nabi terakhir dan menempati kedudukannya di barisan orang-orang beriman.

Mungkin ada yang bertanya, kenapa orang-orang seperti Amr ibnul Jamuh, yang merupakan pemimpin dan bangsawan di kalangan suku bangsanya, kenapa mereka sampai mempercayai berhala-berhala itu sedemikian rupa? Kenapa akal fikiran mereka tak dapat menghindarkan diri dari kekebalan dan ketololan itu? Dan kenapa sekarang ini, setelah mereka menganut Islam dan memberikan pengurbanan, kita menganggap mereka sebagai orang-orang besar?

Di masa sekarang ini, pertanyaan seperti itu mudah saja timbul, kerana bagi anak kecil sekalipun tak masuk dalam akalnya akan mendirikan di rumahnya barang yang terbuat dari kayu lalu disembahnya, walaupun masih ada para ilmuwan yang menyembah patung. Tetapi di zaman yang silam, kecenderungan-kecenderungan manusia terbuka luas untuk menerima perbuatan-perbuatan aneh seperti itu di mana kecerdasan dan daya fikir mereka tiada berdaya menghadapi arus tradisi kuno tersebut.

Sebagai contoh dapat kita kemukakan di sini, Athena. Yakni Athena di masa Perikles, Pythagoras dan Socrates! Athena yang telah mencapai tingkat berfikir yang menakjubkan, tetapi seluruh penduduknya, baik para filosof, tokoh-tokoh pemerintahan sampai kepada rakyat biasa, mempercayai patung-patung yang dipahat dan memujanya sampai taraf yang amat hina dan memalukan! Sebabnya ialah kerana rasa keagamaan di masa-masa yang telah jauh berselang itu tidak mencapai garis yang sejajar dengan ketinggian alam fikiran mereka.

Amr ibnul Jamuh telah menyerahkan hati dan hidupnya kepada Allah Rabbul-Alamin. Dan walau pun dari semula ia telah berbaiat pemurah dan dermawan, tetapi Islam telah melipatgandakan kedermawanannya ini, hingga seluruh harta kakayaannya diserahkannya untuk Agama dan kawan-kawan seperjuangannya.

Pernah Rasulullah saw menanyakan kepada segolongan Bani Salamah yaitu suku Amr ibnul Jamuh, katanya, "Siapakah yang menjadi pemimpin kalian, hai Bani Salamah?” Ujar mereka, “Al-Jaddu bin Qeis, hanya sayang ia kikir...". Maka sabda Rasulullah pula, “Apa lagi penyakit yang lebih parah dari kikir! Kalau begitu pemimpin kalian ialah si Putih Keriting, Amr ibnul Jamuh…!”

Demikianlah kesaksian dari Rasulullah saw ini merupakan penghormatan besar bagi Amr! Dan mengenai ini seorang penyair Anshar pernah berpantun, “Amr ibnul Jamuh membiarkan kedermawanannya merajalela dan memang wajar, bila ia dibiarkan berkuasa, jika datang permintaan, dilepasnya kendali hartanya, silakan ambil, ujarnya, kerana esok ia akan kembali, berlipat ganda!”

Dan sebagaimana ia dermawan membaktikan hartanya di jalan Allah, maka Amr ibnul Jamuh tak ingin sifat pemurahnya akan kurang dalam menyerahkan jiwa raganya! Tetapi betapa caranya? Kakinya yang pincang menjadi penghadang badannya untuk ikut dalam peperangan. Ia mempunyai empat orang putra, semuanya beragama islam dan semuanya satria bagaikan singa dan ikut bersama Nabi saw dalam setiap peperangan serta tabah dalam menunaikan tugas perjuangan.

Amr telah berketetapan hati dan telah menyiapkan peralatannya untuk turut dalam perang Badar, tetapi putra-putranya memohon kepada Nabi agar ia mengurungkan maksudnya dengan kesadaran sendiri, atau bila terpaksa dengan larangan dari Nabi. Nabi pun menyampaikan kepada Amr bahawa Islam membebaskan dirinya dari kewajiban perang, dengan alasan ketidakmampuan disebabkan cacat kakinya yang berat itu. Tetapi ia tetap mendesak dan minta diizinkan, hingga Rasulullah terpaksa mengeluarkan perintah agar ia tetap tinggal di Madinah.

Kemudian datanglah masanya perang Uhud. Amr lalu pergi menemui Nabi saw, memohon kepadanya agar diizinkan turut, katanya, "Ya Rasulallah, putra-putraku bermaksud hendak menghalangiku pergi bertempur bersama anda. Demi Allah, aku amat berharap kiranya dengan kepincanganku ini aku dapat merebut syurga!”

Kerana permintaannya yang amat sangat, Nabi saw memberinya izin untuk turut. Maka diambilnya alat-alat senjatanya dan dengan hati yang diliputi oleh rasa puas dan gembira, ia berjalan berjingkat-jingkat dan dengan suara beriba-iba ia memohon kepada Allah, “Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk menemui syahid dan janganlah aku dikembalikan kepada keluargaku!”

Dan kedua pasukan pun bertemulah di hari uhud itu. Amr ibnul Jamuh bersama keempat putranya maju ke depan menebaskan pedangnya kepada tentara penyeru kesesatan dan pasukan syirik. Di tengah-tengah pertarungan yang hiruk-pikuk itu Amr melompat dan bersizingkat dan sekali lompat pedangnya menyambar satu kepala dari kepala-kepala orang musyrik. Ia terus melepaskan pukulan-pukulan pedangnya ke kiri ke kanan dengan tangan kanannya, sambil menengok ke sekelilingnya, seolah-olah mengharapkan kedatangan Malaikat dengan secepatnya yang akan menemani dan mengawalnya masuk syurga.

Memang, ia telah memohon kepada Tuhannya agar diberi syahid dan ia yakin bahawa Allah swt pastilah akan mengabulkannya. Dan ia rindu, amat rindu sekali akan berjingkat dengan kakinya yang pincang itu dalam syurga, agar ahli syurga itu sama mengetahui bahawa Muhammad Rasulullah saw itu tahu bagaimana caranya memilih sahabat dan bagaimana pula mendidik dan menempa manusia. Dan apa yang ditunggu-tunggunya itu pun tibalah, suatu pukulan pedang yang berkelebat, memaklumkan datangnya saat keberangkatan, yakni keberangkatan seorang syahid yang mulia, menuju syurga jannatul khuldi, syurga Firdausi yang abadi!

Dan tatkala Kaum Muslimin memakamkan para syuhada mereka, Rasulullah saw mengeluarkan perintah, “Perhatikan, tanamkanlah jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr ibnul Jamuh di makam yang satu, kerana selagi hidup mereka adalah dua orang sahabat yang setia dan saling menyayangi!”

Kedua sahabat yang saling menyayangi dan telah menemui syahid itu dikuburkan dalam sebuah makam, yakni dalam pangkuan tanah yang menyambut jasad mereka yang suci setelah menyaksikan kepahlawanan mereka yang luar biasa. Dan setelah waktu berlalu selama 46 tahun di pemakaman dan penyatuan mereka, datanglah banjir besar yang melanda dan menggenangi tanah pekuburan disebabkan digalinya sebuah mata air yang dialirkan Muswiyah melalui tempat itu. Kaum Muslimin pun segera memindahkan kerangka para syuhada. Kiranya mereka sebagai dilukiskan oleh orang-orang yang ikut memindahkan mereka, "Jasad mereka menjadi lembut dan ujung-ujung anggota tubuh mereka jadi melengkung!"

Ketika itu Jabir bin Abdullah masih hidup. Maka bersama keluarganya ia pergi memindahkan kerangka bapaknya Abdullah bin Amr bin Haram serta kerangka bapak kecilnya Amr ibnul Jamuh. Kiranya mereka dapati kedua mereka dalam kubur seolah-olah sedang tidur nyenyak. Tak sedikit pun tubuh mereka dimakan tanah dan dari kedua bibir masing-masing belum hilang senyuman manis alamat ridha dan bangga yang telah terlukis semenjak mereka dipanggil untuk menemui Allah dulu.

Apakah anda sekalian merasa heran? Tidak, janganlah merasa heran! Kerana jiwa-jiwa besar yang suci lagi bertaqwa, yang mampu mengendalikan arah tujuan hidupnya, membuat tubuh-tubuh kasar yang menjadi tempat kediamannya, memiliki semacam ketahanan yang dapat menangkis sebab-sebab kelapukan dan mengatasi bencana-bencana tanah.

17). Abdullah bin Amr bin Haram.

Ketika para sahabat Ansar yg berjumlah 70 orang itu mengangkat baiat kepada Rasulullah saw (baiat Aqabah II), ia termasuk salah seorang dari mereka. Ketika Baginda Nabi saw memilih wakil dari masing-masing perutusan itu, ia ditunjuk sebagi delegasi dari suku Bani Salamah. Dan ketika ia pulang ke kota Madinah, ia mengerahkan segenap jiwa dan raga, harta benda dan bahkan keluarganya demi kejayaan Islam.

Dialah Abdullah bin Amr bin Haram, sahabat dengan jiwa besar. Org lebih mengenalnya sebagai Abu Jabir. Tiada yang membuat hatinya girang melebihi ihwal kepindahan Rasulullah saw ke kota Madinah. Baginya Sang Nabi saw adalah firdaus yang sentiasa mententramkan siang dan malamnya.

Di perang Badar, ia menjadi Ksatria yg bertempur dg gagah berani memberangus syaitan2 pengibar panji kesyirikan. Sedang di pertempuran Uhud dia menyambut syahidnya. Ia gugur sebagai pahlawan mukminin. Yang menakjubkan dia merasakan hal itu jauh sebelum perang berkecamuk. Tatkala hendak berangkat bertempur, bayang2 ajal itu sudah meliputi benaknya. Namun ia bukannya sedih bermuram durja atau pun ketakutan. Ia malah bersuka cita. Hatinya berbunga-bunga. Sebab itu dia memanggil putra kecintaannya Jabir bin Abdullah, sahabat yang disayang Nabi saw.

“Anakku, ayah merasa yakin akan gugur dlm peperangan ini,” demikian ia memulai wasiatnya. “Bahkan mungkin aku akan menjadi syahid pertama di antara kaum muslimin. Ketahuilah, demi ALLAH, setelah Rasul, tak ada yang lebih kucintai dari anak-anakku. Akan tetapi anakku, ayah mempunyai beberapa hutang. Kumohon bayarkanlah hutang-hutang ayah itu. Dan pesankanlah kepada saudara-saudaramu agar sentiasa berbuat baik…”

Pagi-pagi keesokan harinya, bala tentara muslimin bertolak untuk menghadapi orang-orang Quraish. Derap langkah kaki berbaur dengan debu-debu padang pasir yang bersemburatan di Bukit Uhud. Dari seberang sana, pasukan Quraish bergerak dalam jumlah yg besar. Mereka bertemu di sebuah medan gersang yang menawarkan kematian.

Perang dahsyat pun tak terelakkan. Pedang dan tombak saling berbenturan. Anak panah berlesatan di udara mengusung maut. Pada mulanya tentara muslimin beroleh kemenangan. Tentara musuh berhasil dipukul hingga terdesak mundur. Namun mereka terlalu cepat puas. Merasa di atas angin, pasukan mulai sibuk memunguti rampasan perang. Disiplin prajurit runtuh. Strategi tak lagi dijalankan dengan benar.

Parahnya pasukan pemanah yang menjadi tumpuan utama di atas bukit itu turun tanpa dikomando siapa-siapa. Mereka ikut-ikutan mengumpulkan barang-barang yg ditinggalkan empunya. Suasana pun kacau balau. Pertahanan muslimin terbuka lebar.

Pada saat itu tentara Quraish menghimpun kembali sisa-sisa kekuatannya. Dilihat oleh mereka kaum muslimin tengah lengah. Dengan perhitungan yg tepat, mereka kemudian melancarkan serangan mendadak dari arah belakang. Karuan saja tentara muslimin pontang-panting. Syahid demi syahid berjatuhan bak bunga yg luruh di musim gugur.

Dlm perang ini Abdullah bin Amr bertempur layaknya Ksatria. Semangatnya tak terbendung. Ia terus maju menerobos tanggul pertahanan musuh. Hingga akhirnya firasat yg telah dirasakannya itu menjadi nyata. Ajal menemuinya. Dia meninggal selaku pahlawan Islam yg bakal abadi namanya. Dan itulah pertempuran terakhirnya sekaligus lembaran penutup dari kisah hidupnya yg dipenuhi kemuliaan.

Manakala pertempuran telah usai, Jabir bin Abdullah mencari jasad ayahnya di antara puing-puing perang yg lengang itu. Apa yg disaksikannya sungguh pemandangan yang memiriskan. Para syuhada itu mengalami perlakuan yang keji dan biadab. Tubuh-tubuh mereka dincincang oleh orang2 musyrikin. Tak luput pula sang ayah terkasih, Abdullah bin Amr.

Jabir dan keluarga bersedih hati. Air mata tak kuasa ditahan kala menyaksikan keadaan kepala keluarga yang selama ini mereka kasihi. Saat itulah Rasulullah saw lewat. Melihat suasana haru biru itu beliau Saw berkata, “Kalian tangisi atau tidak, para malaikat akan tetap menaunginya dengan sayap2 mereka.”

Dan ketika tiba waktu pemakaman Abu Jabir, Rasulullah saw menitahkan, “Kuburkan Abdullah bin Amr bin Haram bersama Amr bin Jamuh dlm satu liang! Selagi di dunia mereka adalah dua sahabat yg saling setia dan penuh kasih.”

Setelah Abu Jabir tiada baginda Rasul Saw mengungkapkan sebuah kabar yg melukiskan kegemaran Abu Jabir untuk menjadi syahid. Kpd Jabir beliau Saw berkisah, “Hai Jabir, tak seorang pun diajak bercakap oleh ALLAH SWT kecuali dari balik tabir. Tapi ALLAH SWT Berbicara langsung dengan bapakmu. ALLAH SWT berfirman begini, “Hai hamba-Ku, mintalah pada-Ku, pasti Kuberi!” Maka bapakmu berujar, “Duhai Tuhanku, kubermohon pada-Mu untuk mengembalikan diriku ke dunia agar aku boleh menjadi syahid sekali lagi.” ALLAH SWT menjawab dengan firman-Nya, “Ketentuan dari-Ku telah pasti. Mereka takkan dikembalikan ke dunia lagi.”

Kalau begitu wahai Tuhan, mohon sampaikan kepada orang-orang setelahku segala nikmat yang Engkau limpahkan kepada kami.” pinta Abdullah.

18). Habib bin Zaid.

Dalam sebuah rumah penuh keharuman iman di setiap sudutnya, di lingkungan keluarga yang di dahinya tampak membayangkan gambaran pengorbanan, di sanalah Habib bin Zaid dibesarkan. Ayah Habib, Zaid bin Ashim, adalah salah seorang dari rombongan Yatsrib yang pertama-tama masuk Islam. Dia termasuk kelompok tujuh puluh yang melakukan baiat dengan Rasulullah di Aqabah. Bersama Zaid bin Ashim turut pula di baiat istri dan dua orang putranya.

Ibu Habib, Ummu Amarah Nasibah Al-Maziniyah, merupakan wanita pertama yang memanggul senjata untuk mempertahankan agama Allah dan membela Muhammad Rasulullah.

Saudaranya, Abdullah bin Zaid, adalah pemuda yang mempertaruhkan lehernya sebagai tebusan dalam perang Uhud, untuk melindungi Rasul yang mulia. Kerananya, Rasulullah berdoa bagi keluarga tersebut, “Semoga Allah melimpahkan barakah dan rahmat-Nya bagi kalian sekeluarga.”

Nur Ilahi (cahaya iman) telah menyinari hati Habib bin Zaid sejak dia masih muda remaja, sehingga sangat kokoh melekat di hatinya.

Telah ditakdirkan Allah dia bersama-sama ibu, bapak, bibi dan saudaranya pergi ke Makkah, turun mengambil saham beserta kelompok tujuh puluh untuk melakukan baiat dengan Rasulullah saw dan melukis sejarah. Habib bin Zaid mengulurkan tangannya yang kecil kepada Rasulullah sambil mengucapkan sumpah setia pada malam gelap gulita di Aqabah.

Maka sejak hari itu dia lebih mencintai Rasulullah dari pada ibu bapaknya sendiri. Dan Islam lebih mahal baginya dari pada dirinya sendiri.

Habib bin Zaid tidak turut berperang dalam peperangan Badar, kerana ketika itu dia masih kecil. Begitu pula dalam peperangan Uhud, dia belum memperoleh kehormatan untuk ikut mengambil saham, kerana dia belum kuat memanggul senjata. Tetapi sesudah kedua peperangan itu dia selalu ikut berperang mengikuti Rasulullah saw dan bertugas sebagai pemegang bendera perang yang dibanggakan.

Pengalaman-pengalaman perang yang dialami Habib bagaimana pun besar dan mengejutkannya, pada hakikatnya tiada lain ialah merupakan proses mematangkan mental Habib untuk menghadapi peristiwa yang sungguh mengguncangkan hati, seperti terguncangnya milyunan kaum muslimin sejak masa kenabian hingga masa kita sekarang. Marilah kita simak kisah ganas ini dari awalnya.

Pada tahun kesembilan hijriyah tiang-tiang Islam telah kuat tertancap dalam di bumi Arab. Jamaah dari seluruh pelosok Arab berdatangan ke Madinah menemui Rasulullah saw, masuk Islam di hadapan beliau dan berjanji (baiat) patuh dan setia.

Diantara itu terdapat pula rombongan Bani Hanifah dari Nejed. Mereka menambatkan onta-ontanya di pinggir kota Madinah, dijaga oleh beberapa orang kawannya. Seorang diantara penjaga ini bernama Musailamah bin Habib Al-Hanafy. Para utusan yang tidak bertugas menjaga kendaraan, pergi menghadap Rasulullah saw. Di hadapan beliau mereka menyatakan masuk Islam beserta kaumnya. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan ramah tamah. Bahkan beliau memerintahkan supaya memberi hadiah bagi mereka dan bagi kawan-kawannya yang tidak turut hadir, kerana bertugas menjaga kendaraan.

Tidak berapa lama setelah para utusan Bani Hanifah ini sampai di kampung mereka, Nejed, Musailamah bin Habib Al-Hanafy murtad dari Islam. Dia berpidato di hadapan orang banyak menyatakan dirinya Nabi dan Rasul Allah. Dia mengatakan bahawa Allah mengutusnya menjadi Nabi untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus Muhammad bin Abdullah untuk kaum Quraish. Bani Hanifah menerima pernyataan Musailamah tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi yang terpenting diantaranya ialah kerana fanatik kesukuan.

Seorang dari pendukungnya berkata, “Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah sungguh bohong. Tetapi kebohongan orang Rabiah (Musailamah) lebih saya sukai dari pada kebenaran orang Mudhar (Muhammad).

Tatkala pengikut Musailamah bertambah banyak dan kuat, dia mengirim surat kepada Muhammad Rasulullah, “Teriring salam untuk Anda. Adapun sesudah itu. Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi sekutu anda. Separuh bumi ini adalah untuk kami dan separuh lagi untuk kaum Quraish. Tetapi kaum Quraish berbuat keterlaluan.”

Surat tersebut dihantar oleh dua orang utusan Musailamah kepada Rasulullah saw. Selesai membaca surat itu, Rasulullah saw bertanya kepada keduanya, “Bagaimana pendapat Anda berdua (mengenai pernyataan Musailamah ini)?”

Jawab mereka, “Kami sependapat dengan Musilamah!”

Sabda Rasulullah saw, “Demi Allah! Seandainya tidak dilarang membunuh para utusan, sesungguhnya kupenggal leher kalian.”

Rasulullah membalas surat Musailamah sebagai berikut, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah pembohong. Keselamatan hanyalah bagi siapa yang mengikuti petunjuk (yang benar). Adapun sesudah itu. Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah, Dialah yang berhak mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendakinya. Kemenangan adalah bagi orang-orang yang taqwa.”

Surat balasan tersebut dikirimkan beliau melalui kedua utusan Musailamah.

Musailamah bertambah jahat dan kejahatannya semakin meluas. Rasulullah mengirim surat lagi kepada Musailamah, memperingatkan supaya dia menghentikan segala kegiatannya yang menyesatkan itu. Baginda menunjuk Habib bin Zaid, yaitu pahlawan yang kita ceritakan ini, untuk mengantarkan surat tersebut kepada Musailamah. Ketika itu Habib masih muda belia. Tetapi dia pemuda mukmin yang beriman kuat, sejak dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

Habib bin Zaid berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya dengan penuh semangat, tanpa merasa lelah dan membuang-buang waktu atau bermalas-malasan. Gunung yang tinggi didakinya, lembah yang dalam dituruninya. Akhirnya sampailah dia ke perkampungan Nejed. Maka diberikannya surat Rasulullah itu langsung kepada Musailamah.
Ketika membaca surat tersebut dadanya turun naik kerana iri dan dengki. Mukanya menguning memancarkan kejahatan dan kepalsuan. Lalu diperintahkannya kepada pengawal supaya mengikat Habib bin Zaid.

Besuk pagi Musailamah muncul di majelisnya diiringkan para pembesar dan pengikutnya kiri-kanan. Dia menyatakan majelis terbuka untuk orang banyak. Kemudian diperintahkannya membawa Habib bin Zaid ke hadapannya. Habib masuk ke dalam majelis dalam keadaan terbelenggu dan berjalan tertatih-tatih kerana beratnya belenggu yang dibawanya. Habib bin Zaid berdiri di tengah-tengah orang banyak yang penuh kedengkian, kesombongan dan kepongahan. Dia berdiri tegap, kokoh dan kuat. Musailamah bertanya kepada Habib, “Apakah kamu mengaku Muhammad itu Rasulullah?”

“Ya, benar! Aku mengakui Muhammad sesungguhnya Rasulullah!” jawab Habib bin Zaid tegas.

Musailamah terdiam kerana marah, “Apakah kamu mengakui, aku Rasulullah?” tanya Musailamah.

Habib bin Zaid menjawab dengan nada menghina dan menyakitkan hati. “Agaknya telingaku tuli. Aku tidak pernah mendengar yang begitu,” jawab Habib bin Zaid.

Wajah Musailamah berubah. Bibirnya gemeretak kerana marah. Lalu katanya kepada algojo, “Potong tubuhnya sepotong!”

Algojo menghampiri Habib bin Zaid, lalu dipotongnya bahagian tubuh Habib dan potongan itu menggelinding di tanah.

Musailamah bertanya kembali, “Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah?”

Jawab Habib, “Ya, aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”

Tanya Musailamah, “Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?”

Jawab Habib, “Telah kukatakan kepadamu, telingaku tuli mendengar ucapanmu itu!”

Musailamah menyuruh potong pula bahagian lain tubuh Habib dan potongannya jatuh di dekat potongan yang pertama. Orang banyak terbelalak melihat Habib yang keras hati dan tetap menantang. Musailamah terus bertanya dan algojo terus pula memotong-motong tubuh Habib berkali-kali sesuai dengan perintah Musailamah. Walaupun begitu, Habib tetap berkata, “Aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”

Separuh tubuh Habib telah terpotong-potong dan potongannya berserakan di tanah. Separuhnya lagi bagaikan longgokan daging yang pandai bicara. Akhirnya, jiwa Habib melayang menemui Tuhannya. Kedua bibirnya sentiasa mengucapkan Nabi saw dengan siapa dia telah berjanji setia pada malam Aqabah, yaitu Muhammad Rasulullah.

Setelah berita kematian Habib bin Zaid disampaikan orang kepada ibunya Nasibah binti Maziniyah, dia berucap, “Seperti itu pulalah aku harus membuat perhitungan dengan Musailamah Al-Kazzab. Dan kepada Allah jua aku berserah diri. Anakku Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah saw sejak kecil. Sumpah itu dipenuhinyua ketika dia muda belia. Seandainya Allah memungkinkanku, akan kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya.”

Beberapa lama sesudah kematian Habib bib Zaid, tibalah hari yang dinanti-nantikan Nasibah. Khalifah Abu Bakar mengerahkan kaum muslimin memerangi Nabi-nabi palsu. Antara lain nabi palsu Musailamah Al-Kazzab. Kaum muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah. Dalam pasukan itu terdapat Nasibah Al-Maziniyah dan putranya Abdullah bin Zaid. Ketika perang di Yamamah itu telah berkecamuk, kelihatan Nasibah membelah barisan demi barisan bagaikan seekor singa. Nasibah berteriak, “Di mana musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!”

Waktu ditemukannya, didapatinya Musailamah telah tewas tersungkur di medan pertempuran, dengan darahnya membasahi pedang kaum muslimin. Tidak lama kemudian, Nasibah pun gugur pula sebagai syahidah. Keduanya telah tewas. Namun keduanya berbeda arah. Nasibah pergi ke syurga, sedangkan Musailamah menuju ke neraka. 

19). Ikramah bin Abu Jahal
Ketika pembebasan Makkah, Ikramah bin Abu Jahal termasuk orang yang dihukum mati. Namun, kerana sifat pemaaf Rasulullah saw, Ikramah yang kala itu sempat melarikan diri, akhirnya diampuni. Rasulullah saw bersabda di hadapan para sahabat, “Ikramah bin Abu Jahal akan datang ke tengah-tengah kalian semua sebagai mukmin dan muhajir.” Tak berapa lama, Ikramah dan istrinya tiba di majlis Rasulullah. Di hadapan beliau, Ikramah mengucapkan syahadat. 

Demi Allah, tak satu sen pun dana yang telah saya keluarkan untuk memberantas agama Allah di masa lalu, melainkan mulai saat ini saya tebus dengan mengorbankan hartaku berlipat ganda demi agama Allah. Tak ada seorang pun mukmin yang gugur di tanganku, melainkan akan kutebus dengan membunuh kaum musyrikin berlipat ganda” ujar Ikramah. Ikramah menepati janji. Setelah masuk Islam, ia menjadi seorang hamba yang rajin beribadah. 

Seringkali dia menangis dengan air mata berlinang merenungi ayat-ayat suci Al-Quran yang dibacanya. Ia pun menggabungkan diri dalam setiap pasukan perang kaum muslimin di barisan paling depan. Ketika terjadi perang Yarmuk, Ikramah maju berperang seperti kerasukkan. Melihat tindakan seperti itu, Khalid bin Walid yang menjadi panglima pasukan segera mengejar, “Ikramah, engkau jangan bodoh! Kembali! Kematianmu adalah kerugian besar bagi kaum muslimin.” 

Ikramah tidak memperdulikan peringatan tersebut, "Biarkan saja, ya Khalid! Biarkan saya menebus dosa-dosa yang telah lalu. Saya telah memerangi Rasulullah dalam beberapa medan peperangan. Pantaskah setelah masuk Islam saya lari dari tentara Romawi ini? Tidak! Sekali-kali tidak!” Kemudian ia berteriak, "Siapakah yang berani mati bersama saya?" 

Beberapa orang segera melompat ke samping Ikramah. Kemudian menerjang ke depan, menghalau pasukan lawan yang terus maju. Akhirnya, walau korban berjatuhan mereka berhasil memukul mundur pasukan Romawi dengan kemenangan yang gemilang. 

Di akhir pertempuran, di bumi Yarmuk berjejer tiga mujahid muslim terkapar dalam keadaan kritis! Mereka yang menderita luka-luka sangat parah itu adalah Al-Harits bin Hisyam, Ayyasy bin Abi Rabiah dan Ikramah bin Abu Jahal. 

Al-Harits minta air minum. Ketika air didekatkan ke mulutnya, dia melihat Ikramah dalam keadaan seperti yang ia alami. "Berikan dulu kepada Ikramah!” ujar Al-Harits. 

Ketika air didekatkan ke mulut Ikramah, ia melihat Ayyasy menengok kepadanya, "Berikan dulu kepada Ayyasy!" ujar Ikramah. 

Ketika air minum didekatkan ke mulut Ayyasy, dia telah meninggal. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan Ikramah, namun keduanya pun telah meninggal.

20). Abdullah bin Rawahah.

Waktu itu, Rasulullah sedang duduk di suatu dataran tinggi di kota Makkah, menyambut para utusan yang datang dari Yatsrib (Madinah) dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui kaum Quraish. Mereka yang datang ini terdiri dari 12 orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Ansar (penolong Rasul).

Mereka akan berbaiat kepada Rasulullah, yang kelak disebut dengan Baiat Aqabah Ula (pertama). Merekalah pembawa dan penyiar Islam pertama ke Yatsrib dan baiat merekalah yang membuka jalan bagi hijrahnya Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya membawa kemajuan bagi Islam. Salah seorang dari utusan yang dibaiat itu adalah Abdullah bin Rawahah.

Ibnu Rawahah adalah seorang penulis dan penyair ulung. Untaian syair-syairnya begitu kuat dan indah didengar. Sejak memeluk Islam, dia membaktikan kemampuan bersyairnya untuk mengabdi bagi kejayaan Islam. Rasulullah sangat menyukai dan menikmati syair-syairnya, serta serta sering menganjurkan kepadanya untuk lebih tekun lagi membuat syair.

Pada suatu hari, Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah. Lalu Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang kau lakukan jika hendak mengucapkan syair?”

Abdullah menjawab, “Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan.”

Ia kemudian mengucapkan syair tanpa pikir panjang. “Wahai putra Hasyim, sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia dan memberimu keutamaan, di mana orang lain takkan iri. Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini pada dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka. Seandainya engkau bertanya dan meminta pertolongan kepada mereka untuk memecahkan persolan, tiadalah mereka hendak menjawab atau membela. Kerana itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang engkau bawa. Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa.”

Mendengar itu, Rasulullah gembira dan ridha kepadanya. Beliau bersabda, “Dan kamu pun akan diteguhkan Allah.”

Ketika Rasulullah sedang tawaf di Baitullah pada Umrah Qadha, Ibnu Rawahah berada di depan beliau sambil bersyair, “Wahai Tuhan, kalaulah tidak kerana Engkau, niscaya kami tidaklah akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedekah dan solat. Maka mohon turunkan sakinah atas kami dan teguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang. Sesungguhnya orang-orang yang telah aniaya terhadap kami, bila mereka membuat fitnah, akan kami tolak dan kami tentang.”

Suatu ketika Abdullah bin Rawahah sangat berduka dengan turunnya ayat, “Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat.” (QS Asy-Syuara: 224).

Namun kedukaannya terhibur dengan turunnya ayat lain, “Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak ingat kepada Allah dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya.” (QS Asy-Syuara: 227).

Ketika kaum Muslimin terjun ke medan perang demi membela kalimat Allah, Abdullah bin Rawahah turut tampil membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyah dan Khaibar. Ia menjadikan kalimat syairnya sebagai slogan perjuangan. "Wahai diri! Seandainya kamu tidak tewas terbunuh dalam perang, maka kamu akan mati juga!”

Pada waktu Perang Mautah, bala tentara Romawi sedemikian besarnya, hampir 200,000 orang. Sementara barisan kaum Muslimin sangat sedikit. Ketika melihat besarnya pasukan musuh, salah seorang berkata, “Sebaiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin kita akan dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi.”

Namun Abdullah bin Rawahah berdiri di depan barisan pasukan Muslim. “Kawan-kawan sekalian,” teriaknya, “Demi Allah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasarkan bilangan, kekuatan atau jumlah pasukan kita. Tapi kita memerangi mereka demi mempertahankan agama kita ini, yang dengan memeluknya, kita dimuliakan Allah. Ayo, maju! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita raih, kemenangan atau syahid di jalan Allah.”

Dengan bersorak-sorai, kaum Muslimin yang berjumlah sedikit namun besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak, “Sungguh, demi Allah, benar apa yang dikatakan Ibnu Rawahah!”

Perang pun berkecamuk. Pemimpin pasukan pertama, Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid. Demikian pula dengan pemimpin kedua, Jaafar bin Abi Thalib. Abdullah bin Rawahah kemudian meraih panji perang dari tangan Jaafar dan terus memimpin pasukan. Ia pun terus menerjang barisan tentara musuh yang menyerbu bak air bah. Abdullah bin Rawahah pun gugur sebagai syahid, menyusul dua sahabatnya, Zaid dan Jaafar.

Pada saat pertempuran berkecamuk dengan sengit di Balqa, bumi Syam, Rasulullah saw tengah berkumpul dengan para sahabat dalam suatu majelis. Tiba-tiba beliau terdiam dan air mata menetes di pipinya. Rasulullah memandang para sahabatnya lalu berkata, “Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, dia bertempur bersamanya hingga gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih oleh Jaafar, dia bertempur dan syahid juga. Kemudian panji itu dipegang oleh Abdullah bin Rawahah dan dia bertempur, lalu gugur sebagai syahid.”

Rasulullah kemudian terdiam sebentar, sementara mata beliau masih berkaca-kaca, menyiratkan kebahagiaan, ketentraman dan kerinduan. Kemudian beliau bersabda, “Mereka bertiga diangkatkan ketempatku di syurga.”

No comments:

Post a Comment