Malfuzat Maulana Ilyas
Pendahuluan
Nama Maulana Muhammad Ilyas Rah. A. telah saya ddengar sejak saya masih belajar. Pertama kali saya bertemu beliau kira-kira pada bulan Ramadhan 1353 H (1934 M). Empat atau lima tahun kemudian beberapa kali saya berpeluang bertemu dan menziarahi Beliau. Saya menganggap Beliau seorang ulama mithali yang mukhlish dan seorang yang luas pandangan namun saya belum terkesan dan belum dapat memahami maksud usaha dakwahnya.
Pada masa agama mengalami kemunduran dan tidak dianggap penting, Beliau telah berusaha menghidupkan kembali ruh agama dan membangkitkan semangat yang tinggi dan harapan cerah untuk mengishlah umat.
Pada 1358 H (1939), seorang penulis terkenal buku-buku agama telah bertemu Maulana Ilyas dan menghadiri satu perhimpunan dakwah di Mewat. Beliau telah menulis sebuah buku yang menggambarkan kesan dan hasil perhimpunan itu dan sejauh yang saya ingat tulisan tersebut adalah naskah pertama yang menyiarkan perhimpunan dakwah.
Beberapa hari kemudian pada bulan Zulkaidah 1358 H, saya berkeinginan mengikuti safar Maulana Ilyas dengan niat ingin belajar dan mendalami usaha dakwah ini bersama Maulana Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadwy (wafat 1420 H/1999) dan seorang teman dekat –Mulwi Abdul Wahid. Setibanya di New Delhi tanpa diduga saya telah menerima sepucuk telegram yang isinya meminta saya untuk pulang segera. Maka tanpa bertemu Maulana Ilyas saya terpaksa pulang dan meninggalkan kedua teman saya. Mereka berdua telah mempelajari dan mendalami usaha Tabligh secara langsung dari Maulana Ilyas sewaktu safar bersama Beliau. Maulana Abul Hasan Ali An-Nadwy sangat terkesan dengan pribadi dan kemuliaan Maulana Ilyas serta hasil dari kerja Tablighnya. Beliau telah mengirim beberapa surat untuk meyakinkan saya berkenaan Dakwah dan Tabligh dan mengajak saya untuk ambil bagian di dalamnya. Bagaimana pun semua itu belum membuka pintu hati saya.
Beberapa saat kemudian, berlangsung satu ijtimak Tabligh di Mewat dan saya dijemput untuk hadir. Dengan rela hati saya pun pergi ke sana. Saya akui banyak mempelajari kerja ini dalam safar dan bergaul dengan Maulana Ilyas. Saya menyaksikan banyak perubahan yang mengagumkan pada masyarakat Mewat. Pengalaman itu sungguh mencerahkan kehidupan saya namun saya belum bersedia memperjuangkan usaha ini sepenuh hati. Selanjutnya saya mengalami satu peristiwa. Para masyaikh seperti Hadrat Mujaddid Alfa Tsani, Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad Syahid, Syah Ismail Syahid Ahmad Ganggohi adalah imam-imam suluk. Saya sangat menyanjung pribadi mereka tetapi saya kurang meminati ajaran tasawufnya. Ada beberapa hal ilmiah yang masih mengganjal dalam pikiran saya.
Pada akhir tahun 1361 H atau awal 1362 H (1942) saya telah berkhidmat kepada seorang masyaikh selama seminggu. Satu hari saya minta diajarkan tasawuf. Beliau telah memberi petunjuk tentang salah faham dan keraguan saya. Dalam dua tiga hari berbagai masalah saya terjawab. Apabila saya akan pulang, dengan penuh mahabbah masyaikh tersebut menegaskan kepada saya, “Seringlah kamu menziarahi Hadrat Dehlawy (Maulana Ilyas).” Saya berkata, “Saya telah menziarahi dan berkhidmat kepada Beliau. Saya sangat memuliakannya namun saya belum terpaut dengannya.” Masyaik pun menjelaskan mengenai kemualiaan Maulana Ilyas dengan penuh penghormatan, Beliau berkata, “Di sepanjang zaman, terdapat banyak Khawwas (hamba Allah yang memiliki hubungan khusus dengan Allah) namun ada beberapa orang yang memiliki hubungan yang lebih khusus di antara yang khusus tersebut. Saya berpendapat pada masa ini Hadrat Dehlawy adalah orang yang memiliki hubungan yang lebih khusus dengan Allah di antara yang khusus tersebut.”
Mendengar kelebihan Maulana Ilyas itu, saya yang telah terpaut dengan masyaikh itu, langsung berazam dari situ saya akan langsung menziarahi Maulana Ilyas kemudian baru pulang. Saya tiba semasa Maulana sedang sakit parah dan tidak bisa bangun. Ketika saya berada dihadapan Beliau dan hendak berjabat tangan setelah memberi salam, Beliau segera berdiri sambil memegang tangan saya. Saya meminta Beliau untuk berbaring saja. Beliau berkata, “Tidak mengapa, mereka telah menyusahkan kamu dan membuat kamu sakit. Marilah, ambil usaha agama ini, Insya Allah kamu akan beruntung.” Maulana melepaskan tangan saya setelah saya berjanji akan datang lagi dan melapangkan masa untuk dakwah ini. Saya dapat bersama beliau sehari semalam. Saya lihat dalam sakit parah pun Beliau selalu merisaukan keadaan agama. Kerisauan agama Beliau membuat saya sungguh terkesan dan saya bertekad dalam hati akan datang lagi dan akan memberi hidup saya untuk usaha ini. Semoga Allah menganugerahkan kesehatan kepada Beliau dan saya akan berkhidmat kepada Beliau.
Setelah Beliau sembuh, pada bulan Jumadil Akhir 1362 H, diadakan ijtimak di Mewat. Saya yang hina ini telah pergi menemui Beliau dan sahabat saya yang mulia Maulana Abul Hasan An-Nadwy juga hadir. Semoga Allah membalas kebaikan Maulana Ihtishamul Hasan yang telah mengatur saya menaiki kendaraan kecil Maulana Muhammad Syafi’ Quraisy bersama Maulana Ilyas. Saya, Maulana Ilyas, Maulana Muhammad Syafi’ dan pemandunya berada di satu kendaraan. Apabila kendaraan bergerak dari Nizamuddin, Maulana pun mulai berbicara. Karena penting dan bernilainya ucapan Beliau saya terlintas di dalam hati untuk mencatatnya. Saya keluarkan buku dan pena dari saku lalu mulai mencatatnya. Catatan dalam perjalanan ini dijadikan Malfuudzaat Bab Pertama bersama catatan pada bulan Rajab 1362 H (1943). Beliau telah mengizinkan saya untuk menerbitkannya di Majalah Al Furqan. Malfuudzaat Bab Kedua dicatat pada bulan Rabiul Awal dan akhit tahun 1363 H. Keduanya ada dalam buku ini.
Sebulan setelah ijtimak Mewat. Saya berkesempatan lagi bersama Maulana Ilyas selama satu Minggu di Ijtimak Lucknow dan Kanpur. Ucapan-ucapan yang penting telah saya catat dan dijadikan Bab Ketiga dari malfuudzaat Beliau. Beberapa lama kemudian Maulana kembali sakit hingga Beliau wafat pada tahun 1363 H / 1944 M. Empat bulan sebelum Maulana wafat, di bulan Rabiul Awwal sewaktu sakit parah dan mendekati sakaratul maut saya hadir di sisi Beliau. Pada saat itu Maulana Abul Hasan An-Nadwy juga datang berkunjung dan menyarankan agar saya berkhidmat kepada Maulana Ilyas. Satu ketika Maulana Ilyas berkata kepada saya, “Mulwi Shahab, kerja ini perlu diberi masa. Berapa yang kamu sanggup berilah dan tinggallah disini untuk mempelajarinya. Sekarang ini pun (rohani) kamu mampu bergerak ribuan batu sehari.” Saya mengambil keputusan, Insya Allah akan selalu berada di sisi Maulana, Cuma seminggu kemudian, saya pulang dua tiga hari untuk suatu keperluan. Keseluruhannya saya bersama Beliau kira-kira selama dua bulan sebelum Beliau wafat. Malfuudzaat Bab selanjutnya dicatat pada masa-masa ini hingga beliau wafat. Bab keempat telah ditulis dan disusun oleh Maulana Za’far Ahmad Thanwy yang berkhidmat di Nizamuddin selama sebulan penuh pada masa-masa akhir kehidupan Maulana Ilyas Rah. A.
Bab-bab selanjutnya disusun sewaktu Maulana sedang sakit sehingga Beliau wafat. Menyaksikan keadaan Maulana ketika akhir kehidupannya menambahkan lagi yakin akan kisah-kisah yang terjadi pada orang-orang terdahulu yang banyak tertulis pada kitab-kitab. Sakit Beliau sangat membimbangkan kami. Banyak hal yang ingin saya sampaikan dan pengalaman istimewa ini saya rekam dalam makalah saya “Pengalaman Hidup Saya.” Sukar menerangkan kehebatan pribadi istimewa ini namun saya harap sahabat saya Maulana Abul Hasan Ali An-Nadwy telah menulis mengenainya. Insya Allah dengan menelaah ringkasan dan petikan nasihat serta malfuudzaat ini para pembaca yang mulia akan mendapat gambaran mengenai pribadi dan derajat almarhum.
Beberapa Catatan : Sewaktu Maulana memberi nasihat, saya yang hina ini menulis secara ringkas dan di lain waktu saya menyusunnya kembali melalui ingatan. Kemungkinan terjadi sedikit perbedaan lafadznya. Sering juga ketika Maulana sedang berucap saya hanya mendengar dengan tawajjuh kemudian baru disalin berdasarkan ingatan yang mungkin sepersepuluh dari ucapan beliau. Usaha Maulana menyebarkan kehidupan beragama dan ruh keimanan adalah khusus dengan cara mengorbankan seluruh jiwa dan hidup beliau. Usaha asal Beliau hanyalah dakwah agama. Alhamdulillah setelah Beliau wafat dengan Rahmat Allah dan asbab fikir Beliau usaha meningkat dan bertambah maju. Mereka yang meneruskan usaha ini sangat penting menjaga tertib serta ruh dakwah ini (Iman dan Ihtisab) dengan tawajjuh. Semoga malfuudzaat ini dapat memberi petunjuk dan bimbingan bagi kita.
Maulana Manzur Nu’mani
Malfuzat 1
Beliau berkata, Lazimnya, umat nabi-nabi terdahulu apabila jauh dari zaman kenabian, ruh dan hakikat amalan serta ibadah mereka mati lalu berubah menjadi adat dan upacara-upacara saja. Itulah agama yang tinggal. Untuk menghapuskan kesesatan dan adat itu maka para nabi diutus menghidupkan kembali ruh ibadah dan hakikat agama yang tulen sehingga akhirnya diutus baginda Rasulullah saw. Seluruh agama samawi waktu itu berkeadaan demikian, yang tinggal hanyalah beberapa adat yang disangka syariat. Rasulullah saw datang menghapuskan adat-adat itu dan mengajar hakikat agama, hokum, dan akhlak yang sebenarnya. Umat Muhammad saw kini juga sedang menderita penyakit yang sama, amal ibadah telah menjadi adat saja. Taklim agama yang sepatutnya menjadi asbab untuk ishlah diri telah menjadi adat juga. Karena silsilah nubuwah telah tamat maka kerja nubuwah ditanggungjawabkan kepada para ulama pewaris nabi. Fardhu atas mereka usaha memperbaiki suasana fasad dan sesat ini dengan cara membetulkan niat. Karena suatu amalan menjadi adat jika dilakukan bukan dengan niat karena Allah dan sifat penghambaan. Oleh karena itu membetulkan niat akan menghidupkan ruh amalan hingga tidak lagi disebut sebagai adat malah sebagai hakikat dan penghambaan diri kepada Allah. Maka dalam setiap amalan hendaknya ada sifat penghambaan dan semangat beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu menanamkan niat yang shahih dalam setiap amalan agar menjadi hakikat menjadi tugas dan kewajiban para ulama dan ahli-ahli agama.
Malfuzat 2
Beliau berkata, “Di dalam Al Quran dan Hadits telah banyak disebut tentang pentingnya Hakikat Agama dan Agama itu ‘YUSRAN (mudah dan ringan). Semakin penting suatu perkara dalam agama maka semakin mudah. Ruh agama itu Tashhiih Niat dan Ikhlash, merupakan bagian terpenting dalam agama yang juga sangat mudah dan menjadi maksud suluk dan thariqat (cara ishlah dalam tashawuf). Bahwa suluk dan thariqat juga sangat mudah. Perlu diingat bahwa setiap perkara akan menjadi mudah apabila dibuat dengan tertib dan caranya. Dengan cara yang SALAH perkara mudah menjadi sangat susah. Kesalahan manusia ialah tidak menjaga tertib . Padahal apapun perkara dunia ada tertib dan caranya yang perlu di ikut. Sekiranya tidak mengikut tertib maka pasti tidak akan berhasil. Membawa pesawat, kapal laut, kereta api, mobil, hingga memasak roti pun ada tertib dan kaidahnya sendiri.
Malfuzat 3
Beliau mengatakan, “Tujuan khusus thariqat (tashawuf) adalah agar tabiat manusia gemar dengan perintah Allah dan membenci larangan Nya (merasakan kelezatan beribadah dan merasa duka cita jika berbuat maksiat) Inilah tujuan dari thariqat. Yang lain di dalamnya (dzikir, ibadah, riyadhah, tafakkur, sughul, mujahadah, dll) adalah asbab agar segera sampai kepada tujuan. Namun hari ini banyak orang menyangka bahwa asbab itu adalah tujuan thariqat. Padahal kebanyakannya adalah BID’AH. Karena dengan derajat semua cara itu adalah asbab pada tabiat bukan tujuan, maka mengikut kehendak dan keadaan yang berlainan, cara itu harus diperbaiki untuk sampai kepada tujuan. Yang terpenting adalah perkara di dalam syariat karena syariat itu WAJIB diamalkan sepanjang zaman.
Malfuzat 4
Beliau berkata, “Derajat WAJIB adalah lebih tinggi daripada SUNNAH. Perlu difahami bahwa sunnah itu untuk menyempurnakan hal wajib yang ada kekurangan. Sunnah adalah penghias dan wajib adalah tujuan. Banyak orang salah faham. Mereka melalaikan yang wajib dan sibuk dengan amalan sunnah. Tuan-tuan telah mengetahui bahwa dakwah ilal khair, amar makruf dan nahi mungkar adalah FARDHU dan kewajiban agama. Berapa banyak orang yang melakukannya? Sedangkan dzikir-dzikir sunnah dan banyak lagi amalan agama yang derajatnya sunnah, sangat banyak orang yang mengerjakannya.”
Malfuzat 5
Beliau berkata, “Ada ahli agama dan ulama yang salah memahami ISTIGHNA (tidak berhajat kepada yang lain selain keredhaan Allah). Mereka menyangka bahwa maksud istighna adalah tidak bertemu dan bergaul dengan orang-orang kaya dan hartawan. Padahal maksud istighna adalah kita pergi jumpai mereka dengan perasaan tidak berhajat kepada harta dan pangkat tapi semata-mata untuk ishlah diri mereka. Bertemu dengan maksud agama dan menyampaikan perkara agama, tidak menyalahi maksud istighna bahkan ini sangat penting. Yang perlu dijaga sewaktu kita bertemu dengan mereka adalah hati kita jangan terkesan serta tidak berhajat kepada dunia dan pangkat mereka.
Malfuzat 6
Beliau berkata, “Apabila seorang hamba ingin berbuat kebaikan, maka syaitan akan menghalanginya dengan berbagai cara dan menyempitkan jalannya serta menimbulkan rintangan. Jika cara ini tidak berhasil maka syaitan akan menggunakan cara merusak niat dan keikhlasan dengan menyuntikan racun Riya’ dan sum’ah dan mencabangkan niatnya agar timbul niat lain. Syaitan selalu berhasil dengan muslihat ini. Maka ahli agama hendaklah berhati-hati atas tipu daya ini dan senantiasa memeriksa niat kita. Niat hanya karena Allah jangan dicampur dengan niat lain yang menyebabkan amal tersebut tidak diterima.
Dikejar Macan, Terperosok ke Dalam Sumur
Suatu hari seorang pencari kayu di hutan sedang dikejar-kejar oleh seekor macan. Dalam keadaan panik kakinya terperosok dan jatuh ke dalam sumur. Untung saja ia masih sempat berpegangan pada akar pohon yang menjuntai ke dalam sumur. ia berpegangan erat pada akar itu, sementara sang macan menungguinya di mulut sumur dengan mulut menganga siap menerkam si pencari kayu kapan pun juga. Saat sedang berpegangan pada akar ia melihat dua ekor tikus berwarna putih dan hitam sedang menggerogoti akar pohon tadi. Pada saat bersamaan pencari kayu itu melihat ke dasar sumur, ternyata begitu banyak ular berbisa yang siap menggigit dan memangsanya. Saat mendongak ke atas sumur ada tetesan madu yang menetes dan sarang lebah pohon di atas sumur. Dengan serta merta ia membuka mulutnya dan meminum madu yang menetes ke mulutnya. Karena sangat laparnya, ia pun menikmati madu itu. Ia begitu menikmatinya, saking lezatnya sehingga sejenak ia melupakan segala yang di sekelilingnya. Pencari kayu adalah gambaran manusia, macan adalah Malaikat lzrail sang pencabut nyawa yang senantiasa mengejar manusia kapan pun dan di mana pun. Akar pohon adalah umur manusia yang senantiasa berkurang digerogod tikus putih (waktu siang) dan tikus hitam (waktu malam) sementara ular-ular berbisa di dasar sumur ibarat alam kubur yang siap dengan kedahsyatan siksaannya. Sedangkan tetesan madu adalah secuil kenikmatan dunia yang menipu tetapi mampu membius kebanyakan manusia. Dunia Sementara, Akhirat Selamanya.
Malfuzat 7
Beliau berkata, “Terdapat kelemahan dan kelainan di kebanyakan madrasah. Walaupun santrinya diajar dengan ilmu pengetahuan tetapi tidak ditekankan maksud asal belajar (khidmat kepada agama dan dakwah ila Allah). Akibat dari kelalaian ini setelah tamat belajar , matlamat mereka ialah mencari kedunian atau menjadi pekerja atau mengambil ujian di pengajian umum untuk memburu duit. Maka seluruh masa, belanja, usaha, dan tenaga yang telah dicurahkan untuk belajar ilmu agama tidak berhasil. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya bekerja dengan orang-orang yang memusuhi agama. Oleh karena itu kita harus fikir untuk membimbing mereka supaya bersedia untuk berkhidmat kepada agama dan mengamalkan perintah agama dan menunaikan hak-hak ilmu agama setelah tamat belajar. Suatu kerugian jika kita menanam benih kemudian tidak bisa mengambil hasilnya. Jika kita sanggup dalam menanam tetapi hasilnya diambil oleh musuh Islam maka ini adalah kerugian yang lebih besar lagi.
Malfuzat 8
Selanjutnya beliau berkata, “Kita tidak sadar mengenai kerugian dan keburukan terhadap agama akibat para santri lulusan madrasah ikut ujian universitas pemerintah (India-penyalin). Ujian dibuat untuk menjabat pekerjaan di sekolah-sekolah Inggris. Jadi seolah-olah membantu pemerintah kafir menggunakan santri lulusan Diniyyah untuk kepentingan matlamatnya. Fikirkanlah, apakah yang lebih dzalim apabila ilmu agama yang telah diperoleh lalu disalahgunakan untuk membantu pengajaran orang kafir. Melalui ujian ini, mereka menghubungkan ilmu agama dengan pemerintah kafir bukan dengan Allah dan Rasul-Nya. Perkara ini adalah sangat bahaya.
Malfuzat 9
Beliau berkata, “Maksud ilmu yang pertama dan utama ialah agar seseorang itu ishlah kekurangan dan kelemahan dirinya, memahami apakah kewajibannya, dan berusaha memperbaiki kehidupannya. Apabila ilmu digunakan untuk menyalahkan orang lain dan mencari aib orang, maka ilmu tersebut akan menjadi sebab takabbur dan kesombongan ilmu akan membinasakan pemilik ilmu itu. Pepatah urdu mengatakan, “Buat kerja sendiri, jangan cari kerja orang lain.”
Malfuzat 10
Beliau ditanya, “Mengapa orang Islam tidak diberi kuasa dan pemerintahan?” Beliau berkata, “Apabila Ahkam Allah (perintah dan larangan Allah) tidak dapat diamalkan oleh mereka sendiri, kenapa urusan dunia ini perlu diberi kepada mereka? Tujuan Allah memberi kuasa pemerintahan kepada orang Islam ialah supaya mereka menegakan perintah-Nya di bumi. Sekiranya anda diserahkan pemerintahan sekarang, adakah anda dapat menunaikan kehendak Allah itu?”
Malfuzat 11
Beliau berkata, “Orang yang dianggap pembantu pemerintah pada hakikatnya bukanlah pembantu. Sebenarnya mereka cuma membantu untuk memenuhi hajat keperluannya sendiri. Karena hajat mereka dicapai dari pemerintah maka mereka menjadi pembantu pemerintah. Tetapi jika esok hajat mereka dicapai dari musuh pemerintah maka mereka akan jadi pembantu kepada musuh pemerintah. Oleh karena itu hakikatnya mereka yang berhajat itu tidak akan membantu walaupun ayahnya, jika tidak tercapai hajatnya. Cara ishlah mereka ini bukanlah dengan mencaci dan menentang pemerintah. Penyakit mereka yang sebenarnya adalah mementingkan diri sendiri. Selagi penyakit ini ada pada diri mereka walaupun mereka berhenti membantu pemerintah mereka akan menumpu kepada pihak lain yang bisa memenuhi hajatnya. Usaha yang sepatutnya dibuat adalah menggantikan sifat mementingkan diri sendiri kepada sifat mementingkan hak Allah dan perintahNya. Tiada cara lain untuk menyembuhkan penyakit mereka.
Malfuzat 12
Suatu yang lumrah bahwa setiap orang akan gembira apabila ia dapat apa yang ia hajatkan. Misal, seorang yang ingin kekayaan, makanan enak, pakaian mahal, maka tanpa mendapat benda-benda ini ia tidak merasa tenang. Sebaliknya, ada orang yang suka duduk di atas tikar, baring atas lantai, makanan dan pakaian sederhana, mereka merasa tenang dengan keadaan begitu. Maka bagi mereka yang suka kehidupan sederhana yang sesuai cara hidup Rasulullah saw akan merasa nikmat dan tentram jiwanya. Perkara ini adalah karunia Allah yang sangat besar, yang murah dan mudah diikuti oleh orang kaya ataupun miskin. Seorang yang suka hidup mewah dan mahal yang termampu oleh hartawan saja, maka ia tidak akan merasakan ketenangan hidup sepanjang hayatnya.”
Malfuzat 13
Kita telah diperintahkan jangan menahan (bakhil) harta yang dikariniakan Allah kepada kita di dunia ini. Harus dibelanjakan dengan syarat pembelanjaan itu sesuai dengan tempatnya sebagaimana yang diperintah dan ditetapkan Allah.
Malfuzat 14
Suatu hari hujan lebat menyebabkan lauk daging terlambat sampai ke rumah Maulana Ilyas rah. Di antara tetamu yang hadir ada seorang buzruq (juga kerabat Maulana). Maulana tahu tamunya suka daging. Saya yang lemah ini merasa heran melihat Maulana gelisah karena kelewatan lauk itu. Tidak lama kemudian beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat hendaklah ia memuliakan (ikram) tetamunya.” Dan diantara perkara memuliakan tetamunya ialah, jika tidak menyusahkan kita, menjamunya dengan sesuatu yang ia paling sukai.” Kemudian dengan semangat Maulana berkata, ”Sangat penting kita menunaikan hak tetamu yang datang karena Allah dan RasulNya dan tetamu yang ada hubungan dengan kerja agama karena Allah maka haknya lebih besar.”
Malfuzat 15
Beliau berkata,”Jannah adalah balasan bagi hak-hak; yaitu hak kita (kesenangan kita) yang dikurbankan karena Allah SWT dan menanggung kesusahan demi menunaikan hak-hak orang lain (termasuk juga hak-hak Allah). Maka balasan semua itu ialah syurga. Rasulullah SAW bersabda, “Kasihilah oleh kamu yang di bumi, nescaya kamu akan dikasihi Yang di langit (yaitu Allah).” Di dalam hadith ada 2 buah kisah yang masyhur mengenai 2 orang wanita berkenaan dengan perkara ini. Pertama kisah seorang wanita lacur, dengan rasa belas mengambil air dari suatu telaga dan memberi minum seekor anjing yang kehausan maka menjadi asbab Allah SWT.memasukannya ke dalam Syurga. Kedua kisah seorang wanita solih yang menzalimi seekor kucing hingga mati kelaparan. Maka asbab perbuatannya ia dimasukkan ke dalam Neraka Jahannam.”
Malfuzat 16
Beliau berkata, ”Sebelum hijrah, di Mekkah dakwah Rasulullah saw ialah buat gasyt berjumpa manusia. Selepas hijrah ke Madinah, Baginda tidak lagi membuat cara seperti di Mekkah. Malah kebanyakan masa Baginda di Masjid Nabawi, apabila Baginda telah dapat sediakan jemaah untuk berdakwah dan dihantar keluar dari Madinah. Kemudian di Masjid Nabawi (sebagai markaz) Baginda menentukan sasaran dakwah serta memberi tugas berdakwah kepada mereka yang bersedia. Demikian juga di zaman Umar ra, beliau hanya tinggal di Masjid Nabawi (markas) dan menghantar jemaah yang telah bersedia ke Iran, Roma dan tempat-tempat lain demi meninggikan Kalimah Allah dan Jihad Fi Sabilillah dalam jumlah ribuan orang. Pada masa itu sangat penting Umar ra berada di Masjid Nabawi untuk mengetahui dan mengawal Dakwah ilallah dan Jihad Fi Sabilillah.”
Malfuzat 17
Beliau berkata,”Diriwayatkan didalam hadith bahwa Rasullullah SAW mengajar Abu Bakar ra bacaan yang perlu di ucap diakhir shalat; “Ya Allah, daku telah mendzalimi diriku dengan zalim yang banyak dan tidak ada yang boleh mengampunkan dosa melainkan Engkau. Maka ampunilah daku dengan maghfirah Mu dan kasihanilah daku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Maha Penyayang. Kita perlu fikir bahwa Rasullullah SAW telah mengajar doa ini kepada Abu Bakar ra, seorang termulia dan sempurna di kalangan umat ini. Shalat beliau hamper sederajat dengan Rasul SAW sehingga Baginda ra telah melantiknya menjadi imam. Sungguhpun demikian Baginda telah mengajarnya doa pada akhir solat, agar mengakui kelemahan dan kekurangan dirinya di hadapan Allah bahwa beliau belum dapat menyempurnakan hak ibadah seperti yang dikehendaki oleh Allah. Tersirat dengan doa itu, memohon Rahim Allah agar dikasihi, diberi karunia dan diampunkan. Maka dimana pula kedudukan kita?”
jazakalloh saudaraku..
ReplyDelete