Thursday, July 21, 2016

KOTA-KOTA JIWA

Kala Aku mengembara di dunia fana ini, Allah menunjukiku jalan yang lurus. Ketika menelusuri jalan itu di antara tertidur dan terjaga, seolah2 dalam mimpi, aku tiba di sebuah kota yang sangat gelap. Kota itu sangatlah luas sehingga aku tidak dapat melihat atau memperkirakan batasnya. Kota ini dihuni oleh manusia dari beragam bangsa. Semua perbuatan buruk dari segala makhluk, semua dosa yang kuketahui maupun tidak kuketahui, mengelilingiku. Kota ini dikenali dengan Kota Ammarah (Kota Yang Angkuh). 

Nun jauh di sana, di bahagian tengah kota ini, ada kota lain dengan dinding yang tinggi dan besar. Apa yang kusaksikan di sekelilingku membuatku berfikir bahawa sejak semua cahaya matahari-kebenaran tak pernah menerangi kota ini. Tidak hanya langit dan rumah2 di kota ini yang berada dalam gelap gelita, tetapi para penduduknya bagaikan kelawar, mempunyai fikiran dan hati sepekat malam. Sebahagian dari mereka yang mengetahui perintah2 Allah swt, tentang yang halal dan haram, berupaya mengatasi hal itu dan menemukan kepuasan di dalamnya dan tidak lagi berhubungan dengan penduduk kota itu. Para penduduk kota tidak bersikap ramah terhadap mereka. Aku dengar mereka berlindung di dalam kota berdinding (Kota Lawwamah) yang ku lihat berada di bahagian tengah alam ini.

Setibanya aku digerbang Kota Lawwamah. Di depan gerbangnya tertulis “Org yg bertaubat dari dosa spt org yg tak pernah berbuat dosa.” Kubuka pintu gerbang dgn bertaubat atas dosa2ku dan masuk ke dlm kota itu. Kulihat penduduknya jauh lebih sedikit dibandingkan dgn Kota Kegelapan yg pernah kusinggahi. Ketika pertama kali aku tiba di Kota Lawwamah, kulihat di tengah2nya ada istana lain. Aku bertanya kpd salah seorg penduduknya yg berilmu mengenai hal itu. 

Dia mengatakan bhw kota itu diberi nama Mulhimah (Kota Cinta dan Ilham). Tatkala kudengar hal itu, aku sgt ingin meninggalkan kota Lawwamah, dan berlari kepintu gerbang Kota Mulhimah yg penuh barakah. Di pintunya kubaca tulisan “bab al-jannati maktub: La ilaha illa Allah.” Kubaca La ilaha illa Allah dgn suara yg keras “Tidak ada Tuhan kecuali Allah” lalu bersujud dan memanjatkan syukur. Pada saat itulah pintu terbuka dan aku pun masuk ke dlmnya.

Kulihat mereka saling mencintai, menghormati, tolong-menolong dengan wajah sentiasa ceria. Tak ada rasa cemas dan dukacita. Aku tiba2 merasakan kedamaian dan kegembiraan di tengah2 mereka. Kulihat ada seorang tua yang tampan.wajahnya memancarkan kedewasaan dan kebijaksanaan. Aku tertarik kepadanya dan langsung mendatanginya seraya bertanya, “Wahai sahabatku, aku adalah musafir miskin dan sekaligus sakit. Aku mencari ubat untuk menyembuhkan penyakit kegelapan dan kelalaianku. Adakah tabib di Kota Cinta ini yg dpt menyembuhkan diriku?”. 

Orang itu terdiam untuk beberapa saat. Kutanyakan namanya. Dia mengatakan kepadaku, namanya adalah Hidayah (Petunjuk). Sejak azali tak satu pun kata dusta yg keluar dari mulutku. Tugas dan kewajibanku adalah menunjukkan jalan kepada orang yg benar2 ingin bersama dengan Sang Kekasih. Kepadamu kukatakan, “Engkau juga pencinta yg tulus: ‘dengarkan aku dengan telinga hatimu’. Ada empat wilayah di Kota Cinta ini yang harus kamu datangi. Keempat wilayah itu saling berhubung”. Kamu harus menuju kewilayah Mujahid (pejuang), tegas orang itu.

Kuturuti nasihat org itu dan pergi kewilayah para pejuang. Org2 yg kutemui di sana terlihat lemah dan kurus. Mendirikan salat, taat, berpuasa dan bertafakur. Kekuatan mrk terletak pada cara hidup yg selari dgn pengetahuan mrk. Aku menjadi dekat dgn mrk, aku tinggal di wilayah para pejuang itu selama bertahun2. aku mengerjakan apa yg mrk kerjakan dan hidup spt mrk. Siang malam aku berusaha keras dgn egoku ttpi aku masih berada dlm keadaan begitu banyak “aku” dan pertempuran antara “aku-aku”, meskipun semuanya berhadapan dgn Allah yg Esa. Hal ini, yakni penyakit syirik khafi-ku, menjadi bayang2 berat di dlm hatiku, menyembunyikan kebenaran dan membuatku ttp lalai. 

Aku bertanya kpd tabib2 di wilayah itu, seraya memohon kpd mrk. Kuceritakan penyakitku kpd mrk, kemusyrikan terselubung, sikap lalai yg parah, kegelapan hati dan meminta bantuan. Mrk berkata kpdku, bahkan ditempat org2 yg berperang melawan ego mrk ini pun tidak ada ubat bg penyakitmu. Kemudian mrk menasihatiku utk pergi menuju istana Muthmainnah (Kota Ketenangan). Dekat istana itu terletak wilayah yg disebut Munajat wa Muraqabah, mungkin di sana, kata mrk, ada seorg tabib yg dpt menyembuhkanku.

Ketika aku tiba di wilayah Muraqabah, kulihat para penduduknya tenang dan damai, menyebut Allah dan nama-nama-Nya yg indah. Masing2 dari mereka mempunyai anak hati yg dilahirkan. Mereka berdiri, khusyuk di hadapan Allah, diam, bersedih dan penuh rendah hati. Meskipun paras lahir mereka terlihat hancur dan rusak. Kuhabiskan waktu bertahun2 di wilayah tafakur dan perenungan ini. Aku mengerjakan apa yang mereka kerjakan, dan sesungguhnya kukira aku akhirnya sembuh dari kelalaian, kemusyrikan dan kealpaan. 

Tetapi, aku masih belum sembuh dari terselubung antara “aku” dan “Dia” yang tetap menjadi beban berat di dalam hatiku. Air mataku mencurah deras. Dengan penuh takjub, aku terperosok ke dalam keadaan aneh ketika samudra kesedihan melingkupiku. Aku ingin tenggelam di lautan itu. Tak kutemui jalan lain kecuali kematian. Tetapi, aku tak dapat berbuat apa2, aku tidak memiliki kehendak, bahkan kehendak untuk mati. Saat aku berdiri di sana tanpa daya, muncullah si guru tampan, yang pernah kujumpai pertama kali di kawasan asing, guru yang disebut Hidayah (Petunjuk). 

Dia menatapku dengan penuh kasih, “Wahai hamba malang yg diperbudak oleh diri sendiri di pengasingan tanah asing ini! Wahai pengembara yang jauh dari kampung halaman! Kamu tidak akan menemukan ubat penyakitmu di tempat roh ini. Tinggalkan tempat ini. Pergilah ke wilayah nun jauh di sana, di dekat gerbang istana Muthmainnah. Nama tempat itu adalah Fana. Di sana akan kau temui tabib2 yang telah pernah merasakan fana, yang mengetahui rahasia “fa-afnu tsumma afnu tsumma afnu fa-abqu tsumma abqu tsumma abqu”.

Tanpa menunggu lebih lama, aku pergi ke wilayah fana. Kulihat penduduknya bisu, tidak berkata2 , seolah2 mati, tanpa tenaga utk mengucapkan sepatah katapun. Tidak kulihat mereka melakukan apa2 kecuali salat lima waktu dalam sehari. Mereka telah kehilangan konsep tentang perbedaan antara dunia dan akhirat. Bagi mereka, derita dan bahagia tak ada bezanya. Keperluan dan hasrat telah menjadi barang asing bg mereka. Mereka bahkan telah berhenti memohon kpd Allah apa yg mereka inginkan. 

Aku tinggal bersama mereka selama beberapa tahun. Kukerjakan apa yang mereka kerjakan. Aku benar2 meniru mereka, tetapi aku tidak tahu keadaan batin mereka. Oleh kerana itu, aku tidak dapat melakukan apa yg mereka lakukan di dalam batin mereka. Bahkan, di tempat itu, ditengah2 mereka, sakitku terasa kian parah. Tetapi, ketika aku ingin menjelaskan keadaan penyakitku, aku tidak dapat menemukan tubuh atau adanya, bahkan sekadar mengatakan “Inilah tubuhku” atau “Inilah aku”. Kemudian aku tahu bahawa itulah “aku” yang telah kembali. Dalam rasa takjub, kurasakan diriku terbebas dari semua keinginanku. Aku menangis dan terus menangis dalam keterputusanku, seandainya aku memanggil-Nya, maka yang ada menjadi pencinta dan Sang kekasih. 

Aku tidak tahu jalan kembali. Ratapan sedih itu memanggil malaikat ilham, untuk mengajarku dengan seizin Tuhannya, dia membacakan kepadaku dari kitab ilham ilahi yang berbunyi “Pertama, Fanakanlah perbuatanmu”. Dia berikan itu kepadaku sebagai hadiah. Ketika kuhulurkan tangan untuk menerimanya, kulihat tidak ada tangan. Ia hanya merupakan susunan tanah, air, angin dan api. Aku tidak mempunyai tangan dan aku tidak memiliki tenaga untuk berbuat.

(Sheikh Abd Al Khaliq Al Shabrawi)

No comments:

Post a Comment